HIDDEN TRANSCRIPT TOKOH PEREMPUAN DALAM KONTEKS RESISTENSI MINKE:
KAJIAN TERHADAP NOVEL “JEJAK LANGKAH” KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
M Irwan*
1Prodi Magister Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Indonesia
2Yogyakarta, Indonesia
*Correspondence: E-mail: [email protected]
A B S T R A C T A R T I C L E I N
F O This research discusses the position of female characters in a
work of Indonesian literature, namely "Jejak Langkah" by Pramoedya Ananta Toer, the third novel in the Buru Quartet.
The study aims to examine the roles of Nyai Ontosoroh, Bunda Minke, Ang San Mei, and Princess Van Kasiruta in the life of Minke, the main character in the Buru Quartet.
The presence of these female characters in the novel is intriguing for analysis as they contribute to supporting the main character's resistance against various inequalities. The research employs James Scott's theory of resistance,
categorized into two forms: "public transcript" and "hidden transcript." Public transcript refers to systematic and overt resistance, while hidden transcript represents more subtle forms of resistance, maintaining the same underlying desire for resistance. The resistance of the female characters in
"Jejak Langkah" is portrayed through implicit narratives, serving as a form of silent support for Minke.
© 2021 Kantor Jurnal dan Publikasi UPI
Article History:
Submitted/Received 27 Apr 2023 First Revised 05 May 2023 Accepted 27 Jul 2023
First Available online 28 Jul 2023 Publication Date 01 Sep 2023
____________________
Keyword:
FLE, …
1. PENDAHULUAN
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra
Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, 23(2) (2023) 435-444
inilah kemudian menjadi akar atau sebab dimungkinkannya sebuah resistensi dari pihak- pihak yang menjadi korban Tetralogi Pulau Buru, karya Pramodya Ananta Toer, menghadirkan masa kolonialisme sebagai latar belakang cerita, dan hal ini menjadi menarik untuk mengulas permasalahan “relasi kuasa” sebagaimana disinggung sebelumnya.
Menurut Ratna (2008: 20) kolonialisme secara etimologis sebenarnya tidak mengandung arti penjajahan, melainkan hanya semacam pembukaan atau pembangunan suatu wilayah atau perkampungan tertentu, tetapi justru kemudian mempunyai konotasi negatif sesudah terjadinya interaksi yang tidak seimbang antara pendatang baru dengan penduduk lama.
Interaksi berlangsung karena ada aspek relasi kuasa dan kekuasaan yang ikut terlibat di dalamnya.
Tokoh Minke adalah representasi dari pribumi Jawa yang masuk sekolah HBS dan menikah dengan gadis blesteran Belanda Jawa bernama Annalies Mellema. Pernikahan mereka didukung oleh ibu Annelis sendiri yang bernama Nyai Ontosoroh, perempuan yang menikah dengan Herman Mellema dari Belanda. Dalam hubungan mereka itulah, yang memunculkan berbagai ketimpangan yang mengorbankan banyak pihak terutama Minke.
Sayangnya, Annelies Mellema kemudian meninggal dalam situasi tersebut. Kejadian ini ada dalam fragmen Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Dua novel awal dari Tetralogi Buru yang menjadi semacam pengenalan atas situasi kolonial yang dialami oleh Minke. Setelah kepergian Annelies, Minke berjuang sendiri dengan bersekolah lagi. Namun, berbagai ketimpangan muncul lagi dalam sekolah tersebut. Begitulah adegan awal yang dihadirkan dalam Jejak Langkah, novel ketiga dari Tetralogi Pulau Buru Pramodya Ananta Toer.
Menariknya, dalam situasi tersebut muncul tokoh-tokoh perempuan baru yang menjadi partner Minke dalam menghadapi ketimpangan di sekitarnya. Lalu, peran para perempuan tersebut bagi Minke? Apakah mereka turut melakukan resistensi? Hal inilah yang mendasari penelitian ini untuk dimungkinkan dalam membaca posisi tokoh perempuan melalui novel Jejak Langkah karya Pramodya Ananta Toer. Penelitian ini menggunakan kajian resistensi James Scott yang membaginya jadi dua bentuk perlawanan. Yakni perlawanan terbuka (public transcript) dan hidden transcript (perlawanan tersembunyi.
Penelitin ini akan menggunakan teori resistensi James Scott, antropolog asal Amerika, yang berspesialisasi dalam studi komparatif. Menurut Scott (2000: 385- 386) resistensi secara umum melihat situasi sebenarnya di masyarakat. Resistensi diartikan sebagai sesuatu yang bersifat (1) organik, sistematik dan kooperatif, (2) berprinsip tidak mementingkan diri sendiri, (3) berkonsekuensi revolusioner, dan (3) mencakup gagasan atau maksudmaksud yang meniadakan basis belakang seputar kehidupan keluarga. James Scott membagi dua bentuk perlawanan, yang pertama adalah public transcript (perlawanan terbuka) dan kedua hidden transcript (perlawanan tersembunyi).
Perlawanan terbuka bisa diartikan dengan perlawanan yang secara langsung, konrkrit, atau terjadi interaksi antara penindas dan yang tertindas, pelaku dan korban, atau
437 | Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Volume 23 Issue 2, October 2023, 1-10
mengungkapkan bahwa ada empat karakteristik yang menunjukkan perlawanan terbuka, diantaranya sebagai berikut.
(1) Perlawanan yang berwujud sesuai sistem yang berlaku, terorganisir antara satu pihak dengan pihak lain, dan saling bekerja sama.
(2) Terdapat dampak perubahan (konsekuensi revolusioner) dalam pergerakan yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup.
(3) Bersifat rasional dengan berfokus pada kepentingan banyak orang.
(4) Bertujuan menghapuskan tindakan dominasi dan penindasan dari kaum penguasa.
Perlawanan tersembunyi atau hidden transcript adalah hal sebaliknya dari public transcript. Perlawanan ini terkesan simbolik atau kurang sistematis atau hanya semacam penolakan dari subjek terhadap sesuatu yang membuatnya tertindas artinya ada semacam ambisi untuk melakukan perlawanan namun tidak melakukannya secara langsung.
Scott (2000: 17) menjelaskan bahwa ada empat karakteristik perlawanan tertutup, diantaranya sebagai berikut.
(1) Terjadi secara tidak teratur.
(2) Tidak terorganisir.
(3) Bersifat individual (bertujuan untuk mencari keuntungan dengan berfokus pada kepentingan individu).
(4) Tidak mengandung dampak perubahan.
Berdasarkan pembacaan terhadap novel Jejak Langkah, penelitian ini akan berfokus pada hidden transcript atau perlawanan tersembunyi oleh para tokoh perempuan dalam novel tersebut.
2. METODE
Penelitian ini menggunakan metode diskursif atau analisis wacana dalam sebuah teks. Karya Sastra dalam hal in novel Jejak Langkah menjadi objek yang akan digunakan untuk membaca hidden transcript atau perlawanan tersembunyi yang dimungkinkan oleh tokoh dalam novel yang dihadirkan. Pembacaan akan dianalisis menggunakan bukti teks semisal kutipan dari tokoh cerita yang kemudian dianlisis melalui perspektif hidden transcript yang dikemukakan James Scott.
1. Sinopsis Jejak Langkah
Jejak Langkah adalah novel ketiga dari Tetralogi Pulau Buru Pramodya Ananta Toer yang terbit pada tahun 1985 oleh penerbit Hasta Mitra. Novel ini terus mengalami cetak ulang hingga tahun 2016 dan masih tersebar hari ini. Jejak langkah mengisahkan tokoh utama Minke yang dimulai dengan cerita kedatanganya di Tanah Betawi. Tujuannya tidak lain adalah untuk melanjutkan sekolah S.T.O.V.I.A (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen, Sekolah untuk Pendidikan Dokter Pribumi). Tetapi Minke sudah mendapat perlakuan yang buruk dari dari pihak sekolah. Minke yang memasuki asrama dengan tujuan belajar kedokteran dan berkenalan dengan orang pribumi lainnya semakin ditekan dengan adegan ketika kopernya ditendang oleh seorang peranakan Eropa.
S.T.O.V.I.A punya aturan bahwa siswa harus berpakaian adat Jawa: destar, baju tutup, kain batin dan tak boleh beralas kaki. Meski bagi Minke, itu buruk, tetapi ia harus mematuhinya. Minke berkenalan dengan seorang teman baru yang bernama Partotonojo.
Hanya orang inilah yang bisa sejalan dengan Minke di asrama. Terlebih, ketika Minke menghadapi rentetan konflik, seperti perkelahian dengan anak anak lain serta otoritas sekolah yang kadang tak bisa diterima oleh Minke. Pada suatu waktu di asrama, lukisan milik Minke dibobol oleh orang orang di asrama dan dilempar dari satu tangan ke tangan lain. Lukisan itu adalah gambar Annelies Mellema, mantan istri Minke. Gambar tersebut tertera keterangan Bunga Akhir Abad. Minke mengeluarkan belati dengan emosi, dan mengancam mereka bila tak meletakkan lukisan itu. Tindakan Minke atas perlakuan tersebut bisa dikategorikan sebagai resitensi public transcript yang berarti perlawanan terbuka. Inilah resistensi pertama yang ditunjukan dalam Jejak Langkah.
2. Kehadiran Tokoh Perempuan
Pasca kematian Annelies, Minke tidak lagi tinggal di tempat Nyai Ontosoroh. Ia memulai hidup baru dengan pergi ke Betawi dan bersekolah di STOVIA, untuk mempeljari ilmu kedokteran. Namun, hal tersebut tidak lantas memisahkan hubungan Minke dengan tokoh perempuan yang penting dalam hidup Minke. Mulai dari Annelies, Nyai Ontosoroh, ibu kandung Minke sendiri hingga tokoh perempuan berikutnya seperti Ang San Mei dan Prinses Van Kasiruta. Kehadiran tokoh perempuan dalam Jejak Langkah, dilihat cukup penting dalam mendukung langkah dan sikap Minke, karena masih punya visi yang sama, meski para tokoh tersebut tidak melakukan tindakan yang sama dengan Minke. Inilah yang mendasari penelitian ini untuk melihat hidden transcript atau perlawanan tersembunyi, sebagai satu bentuk resistensi dalam Jejak Langkah.
3. Jejak Annelies
Annelies Mellema adalah gadis blesteran Belanda dan Jawa yang lahir dari pernikahan
439 | Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Volume 23 Issue 2, October 2023, 1-10
dan menemani Minke dalam berjuang. Namun, Annelies tidak berumur panjang. Ia mengalami sakit hebat dalam suasana perselisihan keluarga Mellema yang membuat Minke dan Nyai Ontosoroh kewalahan. Puncaknya adalah ketika Annelies dibawa oleh keluarga Mellema ke Belanda dan wafat di sana.
Kematian Annelies cukup menyakitkan bagi Minke, sebagai suami dan Nyai Ontosoroh, sebagai ibunya. Annelieslah yang paling sabar menghadapi tekanan dalam keluarga Mellema dan tetap setia menemani Minke jauh sebelum ia wafat. Hal itulah yang membuat Minke masih tetap mempertahankan jejak Annelies sampai ia pindah ke Betawi untuk sekolah sebagaimana digambarkan dalam awal Jejak Langkah. Lihat dua kutipan berikut:
“Bawaanku tak banyak: kopor tua, cekung dan cambung di banyak tempat, tas dan sebuah lukisan wanita dalam sampul beledu merah anggur, dibugkus lagi dengan kain blacu” (Jejak Langkah: Hlm 2)
“Bunga Akhir Abad, orang membaca keterangan bawahnya. Darahku tersirap melihat lukisan tercinta itu terjamah orang tanpa seijinku. Aku ambil belati pemberian itu dari lemari, aku lepas sarungnya, berseru..” (Jejak Langkah: Hlm 21/22)
Posisi Annelies, pada bagian ini meski tidak hadir secara langsung, tetapi sesungguhnya jejaknya masih membekas pada Minke. Lukisan Bunga Akhir Abad yang dibawa Minke sebagai bekal adalah gambar Annelies yang dilukis oleh Jean Marais. Secara tidak langsung, bayang-bayang Annelies, sebagai istri Minke yang menemaninya selama berjuang , sehingga jejak lukisan tersebut tetap disimpannya meski telah meninggal, itu bisa saja berarti, putri kesayangan Nyai Ontosoroh tersebut, masih bagian dari hidupnya, bagian dari resistensinya, yang belum tuntas sehingga gambar tersebut menjadi penyemangat.
4. Kedatangan Bunda
Bunda adalah ibu kandung dari Minke, seorang istri bupati yang sabar dan penyang. Ibu kandung Minkelah yang paling mendengar Minke meski Minke hanya sesekali bertemu dengannya. Dalam Jejak Langkah, tokoh Bunda hadir dalam suatu waktu saat menjenguk Minke yang sekolah di Betawi. Tokoh ini penting dilihat sikap resistennya melalui penggalan berikut ini:
“Apa yang menarik dari Jawa, bunda” Tanya Minke.
“Sekarang aku mengerti, mengapa hidupmu tidak begitu berbahagia, Nak. Kesalahanmu sendiri, didikan Belanda sudah lupakan asal. Kau tidak senang pada pakaianmu itu, kau tidak senang pada ibumu karena dia bukan Belanda”
“Kalau kau dengar semua kataku, bangunlah. Kalau tidak, tetaplah bersujud di bawah kakiku, biar kuulangi”
(Jejak Langkah: hlm 74/75)
“Apa guna ajaran Revolusi Prancis kemudian, kau bilang untuk pembebasan manusia dari beban yang dibikin oleh manusia lainnya. Kau masih ingat, Nak?, itu bukan sekadar menjalani. Perintah-perintah datang dari Tuhan, dari Dewa dari Raja”
(Jejak Langkah: hlm 84)
Kutipan pertama menunjukkan kekalahan Minke di depan ibunya. Ia menurut sebagai anak yang merasa bersalah pada ibunya. Ibu Minke menunjukan empatinya terhadap sang anak yang larut dalam kehidupan Belanda dan melupakan identitasnya sebagai seorang Jawa. Minke hanya bisa mengulang kata ampun karena menyadari kesalahannya. Kutipan kedua, ibu Minke menyebut dan mengeluhkan revolusi Prancis yang dianggap sebagai pembebasan manusia, hal yang diimani Minke, namun toh tetap membuatnya menderita. Tokoh ibu melihat Minke tidak bisa apa-apa.
Dua kitipan di atas menunjukan bentuk resistensi dalam hal ini perlawanan tersembunyi, yang sebenarnya dimiliki oleh ibu Minke, utamanya terhadap konteks kehidupan kolonial Belanda yang membuat anaknya larut. Sikap tokoh bunda memperlihatkan keberanian sebagai seorang perempuan pribumi, juga sebagai ibu. Kata- kata yang keluar dari mulutnnya menjadi sugesti untuk Minke dalam menyadari bahwa ia masih korban yang menderita sebagai manusia yang berada dalam lingkup Belanda.
5. Bertemu dengan Mei
Dalam menjalani sekolah, Minke bertemu dengan Ang San Mei. Wanita Tionghoa yang seorang aktivis pergerakan revolusi China yang melarikan diri ke Hindia Belanda.
Kehadiran tokoh Mei cukup penting dalam kehidupan Minke. Terlebih, ketika Minke mempersunting Mei menjadi istrinya. Di isnilah dilihat sikap resistensi Mei yang bisa cermati lewat kutipan berikut ini.
“Jangan salah artikan kebebasan dalam semboyan Revolusi Prancis itu. Orang Prancis sendiri juga banyak menyalah tafsirkan jadi bebas merampok, danbebas tak berkewajiban pada siapaun, walhasil sewenang wenang tanpa batas. Kebesaran hanya untuk diri sendiri
441 | Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Volume 23 Issue 2, October 2023, 1-10
di negeri sendiri. Semua terpelejar Pribumi Asia dalam kebebasannya mempunyai kewajiban kewajiban tak terbatas buat kebangkitan bangsanya masing masing”
(Jejak Langkah : hlm 102)
“Apabila sahabat mendapatkan kebebasan”, Mei memulai, “apakah yang akan sahabat lakukan?”
“Ia mengatakan yang ada di sekelilingnya adalah penderitaan karena kebodohan, ketidaktahuan, di atasnya kepandaian ilmu pengetahuan, kekuasaan berlebihan, yang justru membikin dan mempertahankan penderitaan.”
(Jejak Langkah: hlm 147)
Kehadiran tokoh Mei sebagaimana diperkenalan di awal ia adalah seorang aktivis pergerakan revolusi China, telah menunjukan ia adalah seorang yang resisten. Resisten yang terbuka atau public transcript tentu saja. Namun, dalam Jejak Langkah, Mei hadir dalam situasi yang kurang berdaya. Ia sakit sakitan. Namun, ambisinya untuk melawan masih membara. Hal tersebut berdasarkan kutipan kutipan di atas sehingga melihatnya dari apa yang disebut hidden transcript atau perlawanan tersembunyi.
Kutipan pertama jelas menunjukan sikap resisten seorang Mei, yang mengeluhkan soal Revolusi Prancis, yang diimani oleh Minke, suaminya. Bahwa bangsa Prancis juga justru sewenang wenang dalam kebebesannya. Mei mempertegas bahwa terpelajar pribumi Asia mempunyai kewajiban tak terbatas buat kebangkitan bangsanya masing masing. Hal ini sangat jelas sikap keberanian atau resisten seorang Mei untuk mensugesti Minke, suaminya yang adalah seorang terpelajar pribumi.
Kutipan kedua menunjukan kesadarn Mei akan persoalan di sekitar yang justru memanfaatkan kepandaian dan kekuasaan untuk melanggengkan penderitaan. Kesadaran inilah yang membuat Mei bergairah dengan beberapa kalimat sebelumnya yang ia ucapkan terhadap Minke. Ini adalah bentuk hidden transcript dari tokoh Ang San Mei.
6. Surat dari Mama
Annelies Mellema yang punya kepribadian tangguh. Dalam Jejak Langkah, Nyai Ontosoroh kembali dihadirkan dengan surat yang dikirim ke Minke.
“Pekerjaan jadi lebih banyak? pertanda baik. Ambil tenaga lagi. Layani semua gugatan yang membutuhkan keadilan. Hanya pada kau mereka berani mempercayakan perkaranya. Kehormatan untukmu, Nyo”
(Jejak Langkah: hlm 300)
Beberapa waktu kemudian, Minke bertemu dengan Mama.
“Begini, sudah lama aku dengar dan aku baca ada sebuah negeri di mana semua sama di depan hukum. Tidak seperti di Hindia ini. Kata dongeng itu juga: negeri itu memahsyurkan, menjunjung dan memuliakan kebebasan, persamaan dan persaudaraan.
Kau tahu juga itu. Aku ingin melihat negeri dongeng itu dalam kenyataan. Apakah benar ada di atas bumi manusia keindahan seperti itu?”
“Tentu Mama tahu imprealisme Prancis sama jahatnya dengan imprealisme manapun. Prancis juga suka terus menghkhianati revolusinya sendiri. Tetapi aku tak ingin merusak suasana”
(Jejak Langkah:309)
Kutipan pertama menunjukan sifat Nyai Ontosoroh yang sejak awal sudah mempercayai Minke bahwa ia bisa mengatasi seluruh persoalan yang dialami bangsanya.
Pernyataan tersebut tentu berdasar pengalaman bersama Minke saat berjuang. Nyai sesungguhnya masih punya hasrat melawan namun kehidupannya sudah berubah bahkan sudah jauh dari Minke. Jadi, pernyataaannya hanyalah hidden transcript atau perlawanan tersembunyi
Begitupun dengan kutipan berikutnya, menunjukan lagi perjuangan Nyai Ontosoroh yang selalu mengharapkan sebuah negara yang memahsyurkan, menjunjung dan emuliakan kebebasan, persamaan dan persaudaraan, masa yang ingin dicapai namun masih musykil atau hanyalah dongeng. Ia bahkan ikut mengeluhkan revolusi Prancis yang dikhianati bangsanya sendiri. Artinya, bagi Nyai,imprealisme akan selalu ada bila tak dilawan dengan sungguh. Nyai menunjukan resistensinya sebagai sugesti untuk Minke, yang telah dianggap anak kandungnya.
443 | Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Volume 23 Issue 2, October 2023, 1-10
7. Menikah dengan Princes
Tokoh perempuan berikutnya dalam Jejak Langkah adalah Prinses Van Kasiruta, merupakan putri raja Maluku yang terusir dari kerjaannya. Prinses dan ayahnya awalnya menghubungi Minke untuk membantunya dalam hal advokasi, karena kemahirannya menulis, namun tak berselang lama berkenalan, Minke jatuh cinta pada Prinses dan melamarnya. Kehadiran Prinses setelah ditinggalkan oleh Ang San Mei, cukup membahagiakan baginya. Mereka bisa saling bertukar pikiran dan Ontosoroh menunjukan resistensinya dengan sikap yang berani sebagai perempuan, sebagai ibu yang masih menganggap Minke anak dengan nasehat politisnya sebagai sugesti untuk Minke. Kedua, adalah ibu kandung Minke sendiri yang hanya ditemuinya sesekali waktu. Namun, ibu Minke adalah pribadi Jawa yang konsisten, setia terhadap kebudayaannya, hal itu sebagai kekuatan untuk tidak larut dalam kehidupan Belanda, satu cara resisten yang terus diajarkan terhadap Minke. Ketiga adalah Ang San Mei, putri Tionghoa yang seorang aktivis, namun terbuang dari negaranya. Pertemuannya dengan Minke memberinya ruang untuk berbicara, mengajukan pemikiran, dan itu diserap oleh Minke dalam menjalani hidup di tengah kondisi yang serba timpang. Keempat adalah Prinses, seorang putri kerajaan Maluku, yang sama kuatnya, ia ikut membantu Minke dalam banyak hal, untuk sekian pekerjaannya. Pikirannya juga maju sehingga turut mendukug Minke.
Kehadiran tokoh tokoh ini menjadi sugesti buat Minke. Mereka hadir dengan posisi hidden transcript atau perlawanan tersembunyi. Lewat gagasan, pemikiran, dan kesetiaanaya dengan minke, ia menunjukan resistensi yang dimaskud. Melawan dengan pelan tetapi terus siaga dengan situasi yang menimpa. Perlawanan inilah yang dimungkinkan dalam Jejak Langkah.
4. SIMPULAN
Karya sastra selalu menjadi arena untuk memuat wacana ideologis yang ditampilkan oleh pengarang melalui tokoh –tokoh dalam cerita. Perempuan, acapkalimenjadi korban kuasa negara dan budaya. Kuasa tersebut mendiskriminasi perempuan untuk tidak ikut ambil peran. Mereka seringkali jadi objek untuk laki –laki. Konstruksi ini yang terus diimani sebagian besar masyarakat Indonesia.
Karya sastra hadir untuk membaca atau mengkritik situasi ini. Situasi yang dalam masyarakat kita disebut dengan patriarki. Budaya partiarki (Arivia: 2004). merupakan perwujudan dari perbedaan gender yang melahirkan ketidakadilan gender baik melalui mitos-mitos, sosialisasi, kultur, dan kebijakan pemerintah telah melahirkan hukum yang tidak adil bagi perempuan. Dipertegas oleh Nawal El Saadawi (2001) bahwa budaya patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial (Saadawi, 2001).
yang punya arena resisten atau dalam perlawanan. Meski, masih terhitung hidden transcript atau perlawanan tersembunyi menurut Scott, namun setidaknya mereka punya posisi, tidak berada pada posisi yang tertindas. Mereka bisa meluapkan pilihan dan ikut andil dalam resistensi yang dilakukan oleh laki laki.
Jejak Langkah sebagai novel ketiga dari Tetralogi Pulau Buru menghadirkan empat tokoh perempuan yang punya daya resisten dalam mendukung tokoh Minke. Mereka adalah Nyai Ontosoroh, Ibu Minke, Angsan Mei dan Prinses Van Kasiruta. Nyai Ontosoroh adalah ibu kandung Annelis Mellema , bekas istri Minke yang menemaninya dalam perjuangan. Nyai Ontosoroh menunjukan resistensinya dengan sikap yang berani sebagai perempuan, sebagai ibu yang masih menganggap Minke anak dengan nasehat politisnya sebagai sugesti untuk Minke. Kedua, adalah ibu kandung Minke sendiri yang hanya ditemuinya sesekali waktu. Namun, ibu Minke adalah pribadi Jawa yang konsisten, setia terhadap kebudayaannya, hal itu sebagai kekuatan untuk tidak larut dalam kehidupan Belanda, satu cara resisten yang terus diajarkan terhadap Minke. Ketiga adalah Ang San Mei, putri Tionghoa yang seorang aktivis, namun terbuang dari negaranya. Pertemuannya dengan Minke memberinya ruang untuk berbicara, mengajukan pemikiran, dan itu diserap oleh Minke dalam menjalani hidup di tengah kondisi yang serba timpang. Keempat adalah Prinses, seorang putri kerajaan Maluku, yang sama kuatnya, ia ikut membantu Minke dalam banyak hal, untuk sekian pekerjaannya. Pikirannya juga maju sehingga turut mendukug Minke.
5. CATATATAN PENULIS
Penulisan ini murni disusun dengan baik untuk mengkaji salah satu karya Pramoedya Ananta Toer dan tanpa ada usaha yang lain untuk melakukan plagiat.
6. REFERENSI
Arivia, G. 2004. Filsafat Bersperskpektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan Ratna, Nyoman Kutha. 2008. POSTKOLONIALISME INDONESIA; Relevansi
SastraYogyakarta: Pustaka Pelajar
Scott, James C. 2000. Senjatanya Orang- Orang Yang Kalah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sutrisno, Mudji, Putranto. 2005. Teori-Teori Kebudayaan . Yogyakarta:
Kanisius
Toer, Prameodya Ananta. 2006. Jejak Langkah. Jakarta. Lentera Dipantara Saadawi, N. (2001). Perempuan Dalam Budaya Patriarki. Yogyakarta: Pustaka Pelajar