• Tidak ada hasil yang ditemukan

KASUS BURUH CINA di TAMBANG TIMAH di BANGKA-BELITUNG (1920-1950)

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "KASUS BURUH CINA di TAMBANG TIMAH di BANGKA-BELITUNG (1920-1950)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK PROTES DAN ETNISITAS:

KASUS BURUH CINA di TAMBANG TIMAH di BANGKA-BELITUNG (1920-1950)

1

Erwiza Erman Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

ABSTRACT

The history of Chinese society during the New Order government was so politically sensitive and economically played an important role. However, during the development of the national history of Indonesia, the fate of ethnic minorities turned out rather as ‘people without history ‘, devoid of any important role in the history of the nation. By conducting a case study in the islands of Bangka-Belitung, this article tries to reveal the history of the lower classes of society who become tin miners. The article analyses the relationship between ethnicity and the political protest of the tin miners by placing it in the context of the regime change of 1920 - 1950. This article shows that at a certain time, the relation between political protest and ethnic consciousness overlapped with class consciousness. At other times, political protest is no longer solely caused by ethnic consciousness, but rather colored by class consciousness.

Keywords: political protest, etnicity, Chinese tin miners, Bangka-Belitung

PENDAHULUAN

Politik buruh baik dalam bentuk resisten maupun akomodasi, diorganisir atau tidak, tidak lagi semata-mata dipertimbangkan sebagai produk dari hubungan-hubungan sosial di dalam dunia produksi, tetapi juga harus dilihat dalam kaitan dengan aspek-aspek sosial-ekonomi dan politik di luar dunia produksi. Dengan kata lain, politik buruh adalah produk dari berbagai hubungan dengan masyarakat yang lebih luas. (Eric R.

Wolf 1982) Makalah ini mengambil kasus buruh Cina di pulau timah,

1 Artikel ini berasal dari makalah yang dipresentasilan dalam lokakarya internasional berjudul: Kedudukan Etnis Tionghoa dalam Proses Dekolonisasi di Indonesia 1930an-1960an, Padang, 19-21 Juli 2006.

Penulis berhutang budi pada peserta seminar atas semua kritik dan saran-saran mereka.

(2)

Bangka-Belitung, masyarakat Cina kelas bawah yang berperan penting dalam memproduksi timah yang dibutuhkan oleh pasar internasional, akan tetapi sejarah mereka dalam studi sejarah sosial-ekonomi Indonesia selama ini terabaikan. Walaupun demikian, nasib mereka menurut Wolf, tak ubahnya sebagai ”people without history”. Implikasi lebih jauh dari keterabaian sejarah masyarakat Cina nampak dalam buku sejarah nasional Indonesia yang sangat kecil memberikan tempat kepada perjalanan sejarah etnik ini dalam porsi yang kecil.2

Tulisan ini akan menjawab sejumlah pertanyaan. Seberapa jauh hubungan-hubungan sosial di dalam dan di luar dunia produksi memberi sumbangan yang siqnifikan terhadap politik buruh? Kapankah etnisitas dipakai sebagai alat solidaritas dalam membentuk aksi-aksi politik mereka? Jika etnisitas dipakai sebagai alat solidaritas ketika struktur sosial-politik formal dan kemudian elemen ini berpadu dengan unsur- unsur ideologi dan kelas, sebagaimana ditunjukkan dalam studi penulis mengenai politik protes buruh tambang batubara Ombilin (Erman 1999), lalu bagaimana halnya dengan buruh Cina di tambang timah Bangka-Belitung? Seberapa jauh perkembangan kondisi sosial-politik di negeri asalnya, Cina, dan pengaruhnya di Indonesia terhadap bentuk- bentuk aksi politik buruh Cina di kedua pulau itu?

Tulisan ini membatasi periode 1920-1950 sebagai objek studinya.

Pemilihan periode dimaksudkan untuk menguji pergantian rezim dan perubahan kondisi sosial-ekonomi yang menyertainya. Tahun 1920- an adalah periode dimana gerakan nasionalisme Indonesia mengalami puncaknya dengan munculnya berbagai aktivitas politik yang semakin radikal karena kehadiran organisasi politik berhaluan kiri, Sarekat Islam Merah yang kemudian berubah menjadi Partai Komunis Indonesia.

Pergantian rezim dari pemerintah kolonial Belanda ke Indonesia yang diselingi dengan periode Revolusi, telah membawa perubahan politik dan ekonomi yang berbeda dari masa sebelumnya. Periode Orde Lama ditandai dengan pembentukan banyak partai, perlawanan dari berbagai

2 Beberapa sejarawan Indonesia, antara lain Asvi Warman Adam mulai memberikan kritik terhadap

‘tiadanya tempat’ bagi penampilan sejarah masyarakat Cina di Indonesia dan sikap pemerintah Orde Baru yang ‘alergi terhadap persoalan ini. Misalnya mengenai sikap Kejaksaan Agung yang melarang buku Slamet Mulyana, karena isinya yang menyebutkan bahwa penyebar agama Islam Jawa, yaitu Wali Songo, berasal langsung dari Cina. Lihat Asvi Warman Adam, “Pembaruan Pendidikan Sejarah di Indonesia” Suara Pembaharuan 20 September 2002; Idem, Ethnic Chinese and the Teaching of History, makalah disampaikan dalam konferensi ke 7 (International Society of Chinese Overseas (ISSCO), di NTU, Singapura, 6-9 April 2010

(3)

3 Korelasi antara wilayah deposit timah Asia Tenggara, eksploitasi timah dan kaitannya dengan peranan masyarakat Cina telah penulis jelaskan secara rinci. Untuk ini lihat Erwiza Erman, Pengusaha Koelie dan Penguasa: Industri Timah di Belitung,1852-1940, (1995): Bab II; Erwiza Erman, ‘Konflik timah dalam Perspektif Sejarah’, dalam Iskandar (ed.,), Studi Konflik di Kawasan Pertambangan Timah Bangka-Belitung, Jakarta: LIPI, 2006, Bab II; Sutedjo Sujitno, Sejarah Timah Indonesia, Jakarta:

Gramedia, 1996: 10.

daerah dan menurunnya perkembangan ekonomi, terutama setelah adanya kebijakan menasionalisasikan perusahaan-perusahaan Belanda.

Apakah perkembangan sosial-ekonomi negara yang berubah dan rezim yang berganti membawa dampak pada bentuk-bentuk politik para penambang Cina di kedua pulau itu?

Bagian pertama tulisan ini membahas kaitan antara wilayah dan bentuk eksploitasi timah, kemunculan masyarakat Cina, dan perkembangannya di Pulau Bangka dan Belitung. Bagian kedua memfokuskan perhatian pada bentuk-bentuk politik protes buruh yang ditempatkan dalam konteks perubahan sosial-ekonomi yang lebih luas. Bagian ini dibagi ke dalam tiga periode. Periode pertama adalah periode sebelum tahun 1920-an, periode kedua antara 1920-1940, dan periode ketiga antara 1940-1950.

EKSPLOITASI TIMAH DAN KEMUNCULAN MASYARAKAT CINA

Dari segi geografis, persebaran deposit timah di Asia Tenggara mulai dari kawasan Thailand bagian selatan, daerah Phuket, terus ke selatan ke wilayah Perak dan Malaka di Malaysia, kemudian masuk ke wilayah pulau-pulau Sumatra dan sekitarnya. Kawasan penghasil timah ini dikenal dengan istilah The South East Asia Tin Belt atau Sabuk Timah Asia Tenggara.3 Di Indonesia, kecuali daratan Sumatra, yakni di Bangkinang, Provinsi Riau, persebaran deposit timah dilihat dari segi urutan produksinya lebih banyak berada di wilayah kepulauan Bangka, Belitung, Singkep, Karimun, dan Kundur. Dari wilayah-wilayah ini, Bangka-Belitung adalah dua pulau yang telah lama menghasilkan timah dan terbanyak dilihat dari sudut produksi.

Dari sudut pemasaran komoditas timah, sampai awal abad ke-19, lebih banyak dipasarkan di wilayah intra-Asia. Perdagangan timah kemudian bergeser dari kawasan intra-Asia ke Eropa dan Amerika seiring dengan munculnya kebutuhan tinplate untuk industri makanan dalam kaleng pada abad ke-19. Pada masa ini penggunaan timah semakin meluas dan

(4)

pergeseran pasar timah juga terjadi. Kebutuhan pasar tradisional Cina bergeser ke Inggris dan negara-negara lain di Eropa Barat, lalu menjalar ke Amerika Utara. Permintaan timah semakin meningkat bersamaan dengan berkembangnya industri makanan kaleng dan penemuan minyak bumi di negara-negara yang disebut di atas. Akibatnya, para produsen timah Asia Tenggara terpacu untuk memproduksi timah sebanyak- banyaknya.

Permintaan timah yang meningkat, baik di pasar-pasar Asia seperti di Cina dan India maupun di pasar-pasar Eropa dan Amerika, telah mendorong usaha ke arah perluasan eksploitasi timah. Di Malaysia dan Thailand, wilayah penambangan timah yang sudah dimonopoli oleh VOC, dikelola oleh tauke-tauke Cina dengan mengadakan kontrak perjanjian dengan Sultan atau raja-raja setempat. Patut dicatat bahwa sampai tahun 1914, timah yang dieksploitasi dan ditambang oleh para penambang Cina nampaknya tak tersaingi oleh perusahaan besar Inggris (Wong Lin Ken 1965). Perusahaan timah besar Inggris kalah bersaing dengan para tauke Cina dalam soal perekrutan tenaga kerja Cina dari negeri asalnya dan dalam soal produksi. Hal yang sama juga berlaku di Bangka. Timah yang dimonopoli perdagangannya oleh VOC itu ditambang sebagian besar dengan mendatangkan para penambang Cina, pada mulanya dari Batavia dan Semenanjung Malaya dan Siam, kemudian langsung dari Cina ataupun lewat Singapura dan Penang.

Singapura sebagai pusat tenaga kerja Cina, tidak hanya untuk kawasan Sumatera dan bagian lain Indonesia, untuk kawasan pertambangan timah dan perkebunan di Malaya, tetapi juga berperan sebagai tempat penyaluran tenaga kerja yang akan dikirim ke berbagai tempat yang membutuhkan, seperti ke Australia dan Amerika. Rekrutmen tenaga kerja pada mulanya dilakukan oleh Sultan Palembang dan kemudian oleh Inggris pada masa pemerintahannya yang singkat di Bangka dan selanjutnya oleh agen-agen perekrut yang dibayar oleh perusahaan timah negara yang disebut Banka Tin Winning pada masa pemerintahan kolonial Belanda.(Erman 1995:Bab III; Somers 1992).

Di pulau Belitung, Billiton Maatschappij, sebuah perusahaan timah swasta milik ariktorat Belanda, memulai eksploitasinya pada tahun 1852 dan kemudian berubah menjadi perusahaan patungan atau disebut Gemeenschappelijk Billiton Maatschappij, yang telah mengandalkan tenaga kerjanya dari Cina. Meskipun sistem dan cara-cara perekrutan

(5)

buruh Cina untuk tambang timah Belitung mengikuti pola yang sama dengan di Bangka, tetapi ada perbedaaannya, yaitu sistem rekrutmen yang lebih menggunakan ikatan kekerabatan.(Erman 1995:Bab III).

Sistem yang disebut terakhir telah memperlancar arus migrasi orang- orang Cina ke Belitung. Kondisi ini berbeda dengan di Bangka. Pulau ini selalu mengalami kesulitan tenaga kerja karena reputasi Bangka yang tidak baik dalam pandangan masyarakat Cina di negeri asal.

Berbagai penyelewengan dalam sistem perekrutan dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para mandor tambang serta kondisi kerja yang tidak memuaskan menjadi faktor-faktor penyebabnya.

Eskploitasi penambangan timah telah menciptakan dua kategori masyarakat Cina di Bangka-Belitung. Kategori pertama adalah masyarakat penambang Cina yang tergabung dalam sistem organisasi kongsi atau yang berada langsung di bawah kontrol Belanda. Kelompok pertama ini sebetulnya lebih menumpukan mata pencaharian mereka pada penambangan timah. Pada masa-masa krisis timah, mereka beralih pekerjaan sebagai petani lada.(Erman 2004) Kategori kedua adalah masyarakat Cina yang berada di luar tambang atau dalam laporan- laporan pejabat Belanda disebut masyarakat Cina partikelir. Pada umumnya kelompok ini tinggal di kampung-kampung Cina, terdiri dari para pedagang, tukang, atau petani, guru yang sama sekali terpisah dari masyarakat penambang Cina. Walaupun demikian, kehadiran mereka sebetulnya secara tak langsung berkaitan dengan eksploitasi timah.

Para pedagang, misalnya, adalah mereka yang memasok barang-barang kebutuhan pokok masyarakat tambang atau menjadi pemasok untuk berbagai kebutuhan pokok orang-orang Eropa yang bekerja di tambang.

Kelompok kedua ini boleh jadi berasal dari para penambang timah yang telah menyelesaikan kontraknya dengan perusahaan tambang timah.

Onderafdeling Eropa Pribumi Cina Timur Asing Total

Pangkal Pinang 283 30.404 21.179 84 51.950

Sungailiat 111 17.279 16.761 76 34.227

Muntok 312 21.713 9.138 173 31.336

Bangka Utara 217 11.131 24.072 76 35.496

Bangka Selatan 77 27.055 7.990 128 35.250

Total 1000 107.582 79.140 637 228.259

Tabel 1

Jumlah Penduduk di Karesidenan Bangka (1930).

Sumber: Volkstelling 1930.

(6)

Masyarakat Cina partikelir ini berada di bawah kepala sendiri, baik untuk tingkat kampung, distrik maupun karesidenan. Kedua kategori ini selalu dipisahkan dalam laporan-laporan statistik kependudukan yang dibuat oleh para pejabat Belanda di Bangka dan Belitung.

Eksploitasi timah dan kedatangan buruh Cina dan masyarakat Cina partikelir nampak telah memengaruhi komposisi penduduk di Bangka dan Belitung. Misalnya di Bangka, jumlah orang-orang Cina

Tabel 1 di bawah ini memperlihatkan jumlah penduduk Karesidenan Bangka pada tahun 1930. Mayoritas orang Cina tinggal di daerah sekitar tambang, pusat pemerintahan, dan perdagangan, seperti Pangkal Pinang, di daerah Jebus, Bangka Utara, dan Sungailiat. Di Bangka Utara jumlah orang Cina jumlah mereka bahkan dua kali lipat (24.072 orang) dari jumlah pribumi atau orang-orang Bangka sendiri(11.131 orang, table 1). Jumlah ini belum termasuk orang-orang Cina yang bekerja di dalam tambang (lihat Tabel 2).

Jumlah tenaga kerja Cina yang bekerja di dalam tambang-tambang yang bertebaran di seluruh pulau Bangka pada tahun 1920 mencapai 19.718 orang. Pada tahun 1930, jumlahnya naik sedikit menjadi 19.952 orang, akan tetapi turun drastis, sampai angka 11.560 pada tahun 1932. Meskipun berfluktuasi, angka-angkanya terus menurun sampai tahun 1936. Depresi ekonomi 1930-an, di mana pembatasan produksi diberlakukan, maka perusahaan timah negara di Bangka banyak yang diberhentikan. Beberapa wilayah penambangan ditutup dan para penambang Cina dipulangkan ke negerinya atau menetap di Bangka,

Tahun Eropa Buruh Cina

1920 141 19.718

1930 217 19.952

1932 199 11.560

1933 178 7.118

1934 131 5.273

1935 120 6.086

1936 121 9.871

1937 151 15.479

1938 172 16.404

Tabel 2

Jumlah Tenaga Kerja di Bangka Tin Winning, Bangka, 1920,1930-1938

Sumber: Indisch Verslag, 1934: 253; Indisch Verslag, 1941: 313.

(7)

menjadi orang Cina partikelir yang tinggal umumnya di dekat lokasi penambangan. Ketika pembatasan produksi dicabut karena harga timah mulai meningkat, rekrutmen buruh-buruh Cina mulai kembali dilakukan baik dari Bangka sendiri maupun langsung dari Cina.

Pada kasus Belitung, jumlah penduduk Cina partikelir adalah 28.990 orang pada tahun 1920 dan sedikit mengalami penurunan, menjadi 28,716 orang pada tahun 1930.( Volkstelling, 1930, Vol.VII). Jumlah penambang Cina adalah sebesar 21.336 orang pada tahun 1920, dan kemudian turun menjadi 17.881 orang pada tahun 1930 karena Depresi ekonomi. Angka ini turun lebih drastis lagi menjadi 10.797 orang pada tahun 1931, dan jumlahnya semakin menciut menjadi 3.835 pada tahun 1932.4 Penurunan drastis jumlah penambang dan non-penambang Cina pada masa Depresi ekonomi yang sekaligus pada masa turunnya harga timah di pasar internasional, telah berdampak pada perubahan demografis Cina di Belitung. Belitung menjadi sepi. Banyak toko-toko tutup. Sebagian besar para penambang Cina yang diberhentikan dikirim kembali ke negeri asal, dan yang bukan penambang justru mencari tempat lain yang lebih menguntungkan. Ini adalah ciri khas wilayah pertambangan yang merupakan sebuah daerah yang perkembangan demografi dan sosial-ekonominya bergantung pada fluktuasi harga komoditas tambang.

Berbeda halnya dengan Bangka. Depresi ekonomi dunia yang menjatuhkan harga timah membawa implikasi yang berbeda dalam perkembangan demografis Cina di Bangka dan Belitung. Depresi ekonomi yang melanda Belitung telah berakibat pada sepinya pulau itu, karena kembalinya orang-orang Cina ke negerinya. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Misalnya, tidak adanya mata pencaharian alternatif yang dibolehkan perusahaan selain menambang. Kebijaksanaan perusahaan Billiton untuk tidak menyediakan lapangan kerja non- tambang disebabkan oleh tidak adanya rasa khawatir akan pengerahan tenaga kerja yang hampir tidak mengalami stagnasi seperti yang terjadi di Bangka.(Erman 1995:55-57; Somers 1991:1-20). Sebaliknya di Bangka, perusahaan timah negara, Banka Tin Winning memang membiarkan para kepala tambang Cina dan penambang membuka

4 Angka-angka ini dapat dilihat dari laporan tahun perusahaan yang dibuat dalam Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch-Indié, (49), 1920:192; Billiton Maatschappij Verslag, seri laporan, 1926- 1932.

(8)

dan mengerjakan kebun-kebun lada, khususnya ketika harga timah turun. Inilah salah satu usaha untuk mengatasi krisis timah dan krisis kekurangan tenaga kerja yang berkali-kali dialami oleh perusahaan timah negara Bangka (Erman 2004).

Pada umumnya orang Cina yang datang ke Bangka dan Belitung berasal dari suku Hakka. Walaupun demikian, masih ada sejumlah kecil orang-orang Cina yang berasal dari suku lain, seperti Hokkien, Tio Chu, Kwong Fu, dan sebagainya. Misalnya, di Belitung, dari 31.604 pada tahun 1930, 23.367 adalah dari suku Hakka, 2.230 dari Teo Chu, 1.786 dari Hokkien, 1.232 dari Kwong Fu dan sisanya, yaitu 2.989 dari berbagai suku. Volkstelling, 1930, Vol VII: 291 Meskipun suku Hakka adalah suku dominan, pertanyaan masih muncul: seberapa jauhkah perbedaan suku ini mempengaruhi hubungan-hubungan sosial di dalam masyarakat penambang dan yang bukan penambang Cina?

POLITIK PROTES, ETNISITAS, DAN KONTEKS

Politik dalam tulisan ini diartikan secara luas. Politik adalah siapa mendapatkan apa dan bagaimana cara memperolehnya. Dalam hubungan ini pertanyaannya adalah apa yang telah diperoleh buruh dan bagaimana mereka memperolehnya? Boleh jadi buruh memperoleh sesuatu dari kolega sesama kerja atau sesama suku atau dari atasannya, baik dari kelompok, kepala tambang maupun kepala kongsi. Karena itu, politik buruh yang dimaksudkan di sini adalah hasil hubungan- hubungan sosial di dalam dan antara buruh dan atasan. Politik buruh itu juga tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sosial-ekonomi dan politik negara dalam konteks yang luas. Dengan membagi ke dalam tiga periode, yakni periode sebelum 1920-an;1920-an-1930an; dan 1940-1950-an, uraian di bawah ini akan melihat bentuk-bentuk politik protes buruh dan kaitannya dengan etnisitas (buruh Cina dan non-Cina) dalam konteks perubahan rezim dan proses dekolonisasi.

Periode sebelum 1920-an

Pada periode ini, politik buruh sebetulnya belum terorganisasi ke dalam organisasi formal seperti serikat sekerja. Politik protes buruh diarahkan kepada para mandor, kepala tambang, dan pada dominasi pemerintah kolonial yang mulai mengontrol eksploitasi timah secara langsung

(9)

sejak tahun 1850-an. Seterusnya, politik protes buruh juga diarahkan ke buruh yang lain dan merupakan refleksi dari konflik yang berlapis, mulai dari konflik antar-etnik, antar-masyarakat atau perkumpulan rahasia Cina, sampai ke konflik kepentingan antara letnan dan pedagang Cina, antara satu tambang dengan tambang yang lain. Di sini etnisitas dan perkumpulan rahasia adalah dua aspek yang digunakan sebagai alat solidaritas.

Pada masyarakat tambang di Bangka, perkumpulan rahasia dipakai sebagai alat solidaritas para penambang dalam melakukan protes atas penyalahgunaan kekuasaan oleh mandor, kepala tambang dan juga dominasi kekuasaan kolonial yang semakin kuat sejak pertengahan abad ke-19. Patut dicatat juga bahwa solidaritas antar etnik semakin kuat antara penambang Cina dengan orang-orang Melayu Bangka yang tergabung dalam gerakan perlawanan Depati Bahrin dan Depati Amir, ketika kedua etnik ini dirugikan dengan sistem monopoli dalam eksploitasi dan pemasaran timah oleh pemerintah Belanda.(Erman 2004:

2009: Bab III) Politik protes yang digerakkan oleh perkumpulan rahasia itu bermuara pada pembakaran rumah-rumah kongsi, pembunuhan para kepala tambang dan pejabat Eropa yang telah berkolaborasi mengambil keuntungan dari bisnis eksploitasi timah, baik langsung ataupun tidak langsung.

Insiden pertama di Koba, terjadi pada tahun 1899 berakhir dengan pembunuhan kepala tambang dan pembakaran rumah-rumah kongsi.

Pemimpinnya adalah seorang penambang yang baru datang dari Cina yang dapat membaca dan menulis dan anggota perkumpulan rahasia di Bangka dan juga di Cina.(Somers 1991:140-141) Kedua adalah pemberontakan Liu Ngie (1899), yang diekspressikan dalam bentuk insiden-insiden yang relatif kecil, dipimpin oleh Liu Ngie, seorang penambang Cina yang melarikan diri dari tambang Mentok dan muncul dengan 30 perampok di Sungailiat. Anggotanya ini bertambah menjadi 100 orang, Pada bulan November 1899 mereka menyerang rumah- rumah kongsi, membunuh enam orang, dan melukai seorang mandor Eropa. Sejak itu, berbagai bentuk kekerasaan meluas ke enam distrik tambang di Bangka. Liu kemudian ditangkap dan dihukum gantung di Mentok pada tahun 1900. Liu ini nampaknya telah berperan sebagai penyalur keresahaan para penambang Cina atas penyalahgunaan kekuasaan dan tekanan-tekanan yang dilakukan oleh atasan terhadap

(10)

para penambang baik dalam pemenuhan kebutuhan materi, makanan, candu, wanita, dan tekanan-tekanan non-ekonomi lainnya.

Kasus yang terjadi di kalangan masyarakat Cina tambang timah di Belitung juga memiliki beberapa kemiripan dengan di Bangka. Politik protes buruh penambang yang berdimensi horizontal, menggunakan perkumpulan rahasia dan etnisitas sebagai alat proteksi dan alat untuk membentuk solidaritas. Kondisi ini nampaknya terjadi ketika para penambang belum memiliki organisasi-organisasi formal seperti serikat sekerja yang dapat menyalurkan berbagai aksi protes mereka. Konflik terjadi antara dua kelompok etnis dan perkumpulan rahasia yang berbeda, yakni antara suku Hopho dan Kheh, antara Ngie Foek Foei dan Tjhiong Pak Kon dan juga sekaligus konflik kepentingan antara elit Cina Letnan dan pedagang Cina di Belitung dengan para pedagang Cina dari Singapura, antara pemilik satu tambang dengan tambang lain, dalam soal perebutan tenaga kerja kuli serta persaingan dalam monopoli candu dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya untuk penambang.

Konflik itu berawal dari peristiwa barongan, yaitu yang terjadi ketika masyarakat penambang Cina di tambang Bengkuang, Merak, Tongkeng, Garumedang, dan Batu Besi yang semuanya terletak di distrik tambang Manggar.(Erman 1995:121-130). Konflik horizontal yang terjadi pada tahun 1911 bertepatan dengan perayaan hari raya Cina. Pada perayaan itu masing-masing suku membawa barongan untuk dipersembahkan di hadapan toapekong. Barongan yang dibawa oleh orang Hopho dianggap salah oleh orang-orang Kheh. Penghinaan ini membawa kemarahan bagi kelompok Hopho dan mereka pergi ke tambang Bengkuang mencari pendukung untuk menyerang orang- orang Kheh. Salah seorang dari suku Kheh di tambang itu dibunuh oleh orang Hopho. Kasus pembunuhan ini meluas dan kemudian berujung pada konflik antarsuku, lalu menyebar ke distrik-distrik tambang yang lain. Perkelahian massal ini membawa korban yang lebih banyak di kedua pihak. Sebanyak 12 orang dari suku Kheh meninggal dan 8 orang suku Hopho meninggal, belum termasuk mereka yang terluka. Rumah- rumah kongsi Cina di tambang dibakar. Konflik ini kemudian berakhir dengan damai setelah wakil-wakil yang terdiri dari kepala tambang, letnan, kepala kampung Cina, dan pedagang dari kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikannya. Dari kasus ini juga dapat diketahui bahwa politik buruh penambang Cina juga tidak bisa dilepaskan dari komunitasnya sendiri.

(11)

Apa yang diperlihatkan dalam politik protes penambang Cina di atas adalah masyarakat rahasia Cina sebagai sebuah organisasi sosial yang pada umumnya berada di luar dunia produksi telah memasuki dunia produksi, memunculkan solidaritas di kalangan buruh Cina. Aksi- aksi protes tidak semata-mata diarahkan dalam konteks hubungan kerja dalam dunia produksi, tetapi juga merefleksikan konflik sosial horizontal antar sub-etnik yang berlapis dengan konflik ekonomi.

Periode 1920-1930

Dalam sejarah perburuhan Indonesia, periode tahun 1920-an adalah suatu periode saat politik protes buruh di Hindia-Belanda memperlihatkan intensitasnya yang tinggi. Kondisi ini terjadi ketika negara memberikan kelonggaran kepada berbagai organisasi politik dan sosial untuk beraktivitas. Kontrol negara yang agak lemah ini terjadi sampai meletusnya pemberontakan komunis 1926/1927. Pada saat ini pula, peranan organisasi formal seperti serikat pekerja dan partai politik, terutama PKI menjadi penting dalam memobilisasi massa buruh. Buruh- buruh yang terhimpun ke dalam berbagai serikat buruh berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, melakukan protes dan pemogokan di tempat kerja. Sifatnya lebih terorganisasi, seperti digambarkan oleh beberapa studi antara lain oleh Razif dan Rasyid mengenai buruh pelabuhan Tanjung Periuk dan Makassar. (Razif 2005; Asba 2005).

Politik protes buruh ini pada umumnya bersamaan waktunya dengan mencuatnya semangat nasionalisme Indonesia, menaiknya kegiatan partai politik seperti Sarekat Islam dan Partai Komunis Indonesia, serta memburuknya situasi perekonomian yang ditandai dengan resesi. Pada pihak lain, politik protes buruh di berbagai kota Indonesia juga tidak terlepas dari kebijakan pemerintah kolonial yang agak longgar, yang memberikan ruang kepada orang-orang Indonesia untuk mendirikan berbagai serikat sekerja, yang pada umumnya berafiliasi dengan Serikat Islam Merah.

Dalam beberapa kasus, misalnya, politik pemogokan buruh itu adalah ekspresi dari konflik kelas dan munculnya nasionalisme pada saat yang bersamaan. Slogan nasionalisme dan kelas yang dipropagandakan oleh para pemimpin PKI nampak menjadi alat pengikat. Pertama, propaganda itu menyatukan berbagai kelompok etnik yang berbeda dan melampaui berbagai herarkhi sosial dalam komunitas buruh seperti halnya ditemukan di tambang batubara Ombilin.(Erman 1999: 224) Kedua, politik protes dan pemogokan buruh adalah manifestasi dari

(12)

keinginan berbagai pihak untuk mencapai kepentingan sendiri-sendiri, baik dari pihak buruh, pemimpin partai politik, maupun serikat sekerja dan bahkan kadang-kadang dari berbagai kelas sosial dari komunitas di luar tempat kerja. Ketiga, politik buruh juga ekspresi dari berbagai kelompok yang berbeda dengan kepentingan yang berbeda-beda pula yang kadang-kadang berkontradiktif satu sama lain.

Kemudian, bagaimana halnya dengan politik penambang Cina dalam periode ini? Nampaknya perkembangan politik Indonesia dan Bangka- Belitung pada periode ini tidak terlalu memberi pengaruh yang siqnifikan terhadap politik radikalisasi politik di kalangan para penambang Cina di Bangka Belitung. Tak ada serikat sekerja seperti ditemukan di tambang-tambang lain, seperti batubara di Ombilin-Sawahlunto, Bukit Asam, dan tambang-tambang emas di Bengkulu. Politik protes buruh tambang Cina terhadap berbagai bentuk eksploitasi mandor dan kepala tambang atau terhadap kondisi yang tidak aman di dalam tambang bermuara pada politik penolakan kerja yang meningkat di Belitung, misalnya, dari 4,2 % pada tahun 1919 menjadi 5,7% pada tahun 1922, dan kemudian mengalami penurunan menjadi 2,9% pada tahun 1927.5 Jika dilihat dari konteks politik lokal, Bangka-Belitung memperlihatkan perkembangan partai-partai politik dan pembentukan serikat sekerja yang agak lamban dibanding daerah-daerah lain. Politik protes buruh Cina tidak bisa jika tidak dikaitkan dengan perkembangan politik di Cina dan pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara dan Indonesia.

Perkembangan partai politik di Bangka, seperti Partai Serikat Islam Indonesia dan Gerindo misalnya memiliki anggotanya di dalam masyarakat tambang non-Cina yang jumlahnya sangat kecil dan tidak memperlihatkan aktivitasnya yang menjolok.6 Karena itu, para pejabat Belanda menyatakan tidak perlu ada ketakutan akan aksi-aksi politik radikal di Bangka sebagaimana dengan tempat-tempat lain di Indonesia pada tahun-tahun menjelang pemberontakan komunis tahun 1926/1927.

Setelah pemberontakan komunis, geliat politik penambang Cina justru menjadi semakin nampak. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari perkembangan politik di negeri asal, yang memperlihatkan kepada kita betapa batas spasial yang jauh tidak membawa keterbatasan ideologi memperjuangkan nasib mereka di negeri perantauan. Ini nampak

5 ARA, MvK, Mairapport, 1928, no.1165x.

6 ARA, MvK, Politieke Verslag fische no. 392, Mr, 226 geh/40).

(13)

7 Dari beberapa artikel yang ditulis redakturnya, antara lain misalnya mengenai keadaan ekonomi Bangka, membeberkan betapa Bangka tertinggal jauh dibanding Jawa dan beberapa tempat di Sumatra, baik dalam soal ekonomi, pendidikan, dan posisi perempuan. Pengarang tidak hanya membuat perbandingan Bangka dengan daerah-daerah lain yang dipandang lebih maju, akan tetapi juga membandingkan dengan orang Cina yang tinggal di Bangka sendiri. Karena itu, pengarang mengajak pembacanya untuk melihat betapa orang Melayu Bangka jauh ketinggalan dalam soal pendidikan dibanding dengan orang- orang Cina Bangka yang begitu tinggi animonya untuk sekolah. Walaupun demikian, kritik terhadap perlakuan Kepala kongsi Cina terhadap buruh-buruh Cina sendiri juga mendapat perhatian di kalangan wartawan Soeara Bangka yang terbit di kota Blinyu. Penulois telah menjelaskan ini di dalam makalah lain, ‘Between Pepper and Tin: Experience of Crisis in Bangka (1929-2003)’, makalah dipresentasikan dalam workshop berjudul: Comparative and Social History of Crisis in Indonesia, diselenggarakan oleh KNAW-KITLV, Leiden, Desember 2003 (in press).

dari aktivitas Guomindang di Cina dan pengaruhnya di berbagai daerah tambang, khususnya di bagian utara Bangka, seperti Blinyu, Pangkalpinang, Baturusa, Sungailiat, dan Mentok. Nasionalisme Cina ini berkembang di daerah Sungailiat dan mengambil bentuk aksi memboikot barang-barang Jepang. Setelah dipengaruhi oleh Partai Komunis Cina, Guomindang yang memiliki berbagai cabangnya di sejumlah kota di pulau itu, di sekolah-sekolah Cina dan juga di pers lokal Bangka.

Penyebaran ideologi perjuangan dan peranan pers lokal dalam menyebarkan ideologi itu membawa kontribusi yang sangat siknifikan dalam mempengaruhi iklim politik di Bangka-Belitung yang semua dikatakan ’aman’ dan tidak akan membahayakan hegemoni kekuasaan menurut versi para pejabat Belanda. Pelita Bangka yang terbit pada tahun 1928 dan berumur hanya satu tahun (1929) di kota Sungailiat, Soeara Bangka, surat kabar bulanan yang terbit pertama kali di kota Blinyu awalnya pada tahun 1927 dan terhenti karena masalah keuangan, dan muncul kembali pada tahun 1929. Penyoeloeh terbit di kota Pangkal Pinang pada tahun 1930. Pada umumnya, surat-surat kabar lokal ini dipimpin oleh kelas menengah Bangka, yang tinggal di kota-kota. Pengelolanya dan penyandang dananya adalah orang-orang Cina kaya dan orang-orang Melayu Bangka. Dilihat dari motto dan isi beritanya, dapat dikatakan bahwa surat-surat kabar lokal ini sebagai awal munculnya nasionalisme lokal di Bangka yang digerakkan dari kota, baik oleh orang Cina maupun oleh orang-orang Melayu Bangka.

Surat kabar Penjoeloeh memiliki motto: ”berani karena benar membela rakyat dari sebagai bangsa, penghinaan dan penindasan”. Suara Bangka memiliki motto ”menoentoet keadilan kebenaran, persamaan untuk kemajuan dan keselamatan umumnya”. Moto dari beberapa surat kabar ini dapat dilihat sebagai contoh cermin rasa nasionalisme lokal Bangka ketika itu.7

(14)

Tampaknya tak ada persinggungan antara perkembangan partai-partai politik di kota Pangkal Pinang dengan pembentukan serikat buruh di tambang timah. Pembentukan dan perkembangan partai-partai politik yang dijelaskan di atas adalah representasi dari etnik Melayu Bangka dan Indonesia lainnya. Tidak ada serikat buruh dan juga tidak ada Partai Komunis Indonesia di dalam komunitas buruh tambang timah. Tentu saja hal ini bisa dimengerti melihat status dan latar belakang etnik komunitas buruh tambang timah yang umumnya Cina dan berstatus sebagai orang asing yang memperoleh izin tinggal selama kontrak mereka dengan perusahaan timah negara kolonial di Bangka.

Komunitas penambang Cina dan bentuk-bentuk politiknya mempunyai hubungan erat dengan perkembangan politik komunitas Cina di luar tambang dan berorientasi ke pergerakan politik di negeri leluhurnya.

Gerakan nasionalisme di bawah partai Guomindang yang sedang berkembang di Cina juga ditemukan di kalangan masyarakat Cina di Hindia-Belanda, dan memiliki jaringan-jaringan luas di berbagai kota, termasuk di Bangka. Di kota-kota tambang di Bangka, seperti juga di kota Tanjung Pandan, Belitung8, peranan intelektual Cina, khususnya guru- guru Cina yang didatangkan ke Bangka untuk menjadi tenaga pengajar di sekolah-sekolah Cina di Bangka, memainkan peranan penting dalam memobilisasi massa di kalangan buruh-buruh Cina di Bangka dan Belitung.9 Kaum intelektual Cina ini memiliki jaringan antara satu kota dengan kota lain di Bangka-Belitung dan dengan berbagai kota lainnya di luar Bangka, di mana mayoritas Cina, antara lain seperti di Batavia, Bagan Siapi-api, Tanjung Pinang, Tanjung Pandan, Pontianak, bahkan dengan masyarakat Cina di Malaysia. Di sini terlihat bahwa lokalitas, tampak tak memiliki arti apa-apa jika dilihat kaitannya dengan jaringan intelektual Cina dan gerakan politiknya di Bangka. Politik buruh Cina dalam bentuk protes sehari-hari telah muncul susul-menyusul dari satu kota dengan kota lain di Bangka-Belitung dan begitu juga di tempat lain dalam waktu yang hampir bersamaan, suatu kondisi yang tak pernah dibayangkan oleh para pejabat kolonial Belanda sebelumnya.

8 Penulis telah menjelaskan hubungan politik pemogokan timah dengan gerakan nasiolisme Cina di tambang timah di Belitung secara detil, lihat Erwiza Erman, Kesenjangan Buruh dan Majikan…,, 1995:

Bab IV

9 ARA-MvK, Politieke Verslag, Mr 1203/1929).

(15)

Sulit diketahui pengaruh Guomindang dan peranan intelektual Cina di kalangan orang-orang Cina yang bekerja di tambang-tambang timah di kota Pangkal Pinang. Apakah buruh-buruh timah yang dikenal dengan pekerja parit itu juga menyusun kekuatan untuk melepaskan diri dari rezim kolonial dan dari para atasannya yang menyalahgunakan kekuasaan, juga tak ada informasi yang tersedia untuk ini. Walaupun demikian, organisasi buruh multietnik yang muncul setelah Perang Dunia Kedua dan setelah Indonesia merdeka, menemukan dasar gerakannya pada pengaruh Guomindang tahun 1920an sebagaimana dijelaskan oleh Mary Somers (Somers 1991:160-161). Sejumlah insiden yang terjadi antara tahun 1920-an dan 1930-an nampak memberi petunjuk akan eksistensi perjuangan buruh dan solidaritasnya di Bangka-Belitung meskipun insiden-insiden itu cenderung berskala kecil dan oleh Belanda selalu dikaitkan dengan peranan masyarakat rahasia Cina.

Pengaruh langsung Guomindang, peranan intelektual Cina, dan cara- cara mereka menyusup ke tambang atau ke rumah-rumah kongsi Cina, sulit ditelusuri, baik untuk tambang-tambang yang bertebaran di Bangka maupun di Belitung. Insiden-insiden kecil yang merupakan ekspresi politik buruh tambang timah Cina ini telah dianggap membahayakan hegemoni negara yang lagi goyah setelah diuji dengan pemberontakan komunis sebelumnya. Karena itu, tidaklah mengherankan, bila rekaman mengenai politik resistensi masyarakat Cina di seluruh Hindia-Belanda dan masyarakat tambang Cina di kedua pulau itu tidak luput dari pengamatan agen-agen polisi rahasia. Politik resistensi ini terjadi pada periode menaiknya nasionalisme Cina dan pengaruhnya di Indonesia dan Bangka-Belitung khususnya dan bersamaan pula waktunya ketika pasar timah internasional mulai dilanda gelombang besar, Depresi ekonomi dunia 1929. Gelombang besar Depresi ini telah membawa akibat pada pembatasan produksi dan penghentian sejumlah tenaga kerja Cina. Akibatnya sejumlah tambang tutup. Pengangguran bertambah.

Di Belitung, Depresi ini –sebagaimana dijelaskan dalam bagian awal uraian—telah membawa pengaruh pada pengurangan penduduk secara dramatis.

Berikut ini akan dijelaskan insiden-insiden kecil itu di Bangka dan Belitung. Dari contoh-contoh berikut ini nampak adanya hubungan yang begitu kabur antara dunia produksi dan dunia luar yang lebih luas yang melampaui batas-batas spasial dan bahkan negara. Ada

(16)

titik yang mempertemukan keresahan-keresahan yang terdapat di dalam masyarakat penambang Cina terhadap atasan mereka, mandor atau kepala tambang yang sedang mencari kesempatan dengan para pemimpin partai yang mencoba mencari pengikut. Karena itu ada semacam interrelasi antara dunia tambang timah dengan dunia di luar tambang, antara penambang Cina dengan dunia sosial-politik yang lebih luas. Ketika ini, etnisitas nampaknya tidak lagi dipakai sebagai alat solidaritas, tidak ada lagi konflik antar etnik Cina yang tergabung dalam masyarakat rahasia mereka sebagaimana terjadi sebelumnya. Walaupun demikian, masihkah perkumpulan rahasia Cina yang memainkan peranan dalam meradikalkan politik buruh Cina juga cerminan dari persaingan antar etnik? Pertanyaan semacam ini belum bisa dijawab.

Walaupun demikian, solidaritas antar etnik muncul, antara orang- orang Cina dan orang-orang Melayu Bangka di luar tambang, tampak dalam menggunakan pers-pers lokal untuk memperjuangkan kehidupan mereka.

Kelompok intelektual Cina pada skala lokal adalah agen perubahan.

Dalam kasus di Bangka, para guru menyusup melalui masyarakat rahasia Cina, Sam Tiam Foei, sebuah organisasi sosial yang dalam realitasnya memiliki tujuan ganda dan mampu menggerakkan massa di kalangan buruh-buruh tambang. Antara 1929 dan 1930, bermunculan insiden-insiden kekerasan yang tampaknya tidak terorganisasi, dan sporadis di kalangan buruh-buruh Cina di beberapa kota di Bangka.

Insiden-insiden yang berbentuk protes buruh dalam penolakan kerja, pemogokan, dan bahkan penyerangan kepada majikan atau para kepala tambang Cina, susul-menyusul dari satu kota ke kota lain di Bangka.

Tidak diketahui berapa banyak buruh Cina yang menjadi anggotanya.

Di kota Blinju, misalnya, tepatnya di kampung Lumut, perkumpulan itu disebut Fa Siong Lauw Ngian Foei dengan pimpinannya Tjhin Djit Lie, mandor tambang no. 29 dan bendaharanya Tjong Ngi Hon, pemilik kebun lada. Di Sungailiat, pemimpinnya adalah pemilik pabrik genteng. Narasi tentang politik protes buruh dan kaitannya dengan intelektual Cina, masyarakat rahasia, dan gerakan rahasia Guomindang akan dijelaskan dalam uraian berikut.

10 ARA- MvK, Mr 724x/1929 dalam Verbaal 11-9-1929 lt no. 18.

(17)

12 ARA, MvK, Mr 813x/1929, in Verbaal 10-3-1930 Lt.L.5.

11 Dengan keputusan pemerintah 24 Agustus 1929, no.2x, kartu izin tinggal untuk kedua pemimpin yang tinggal di Pangkal Pinang ditarik. Koh Tjhiong dihukum pada bulan Juli 1929 selama tiga bulan karena mendirikan dan memperluas perkumpulan rahasia Cina. Meskipun tak ada informasi mengenai peranan Sam Tiam Foei di kalangan perkumpulan tukang jahit Cina di kota ini, akan tetapi ada indikasi kuat ke arah itu. Sebab setelah pemogokan buruh timah, Agustus 1929, dibentuk pula Perkumpulan Tukang Jahit Baju Cina, Loe Piang Khioe bulan Oktober 1929 di Pangkal Pinang. Tujuannya adalah menuntut peningkatan upah kepada majikan.

13 ARA, MvK, Mr 257x/1930 dalam Verbaal 26-5-1931 lt.v.9.

Pada 25 Juni 1929 kuli kontrak Cina di kota Pangkal Pinang melakukan mogok kerja. Mereka menolak bekerja di bawah perintah kepala tambang, Lim Tjhin Kong. Ketika kepala tambang mencoba untuk berunding, seorang kuli Tjia Sin Pat memukulnya dengan cangkul, dan kemudian diikuti oleh kuli-kuli Cina lain yang semakin banyak jumlahnya dan mengancam Kepala tambang dengan cangkul. Kepala tambang melakukan tembakan peringatan, tetapi tak mereka indahkan.

Akhirnya kepala tambang Lim Tjhin Kong menembak Tjia Sin Pat.10 Dari hasil penelitian Belanda ternyata peranan Sam Tian Foei yang diketuai oleh Tjhin Tet Sin dan Koh Tjhiong Po11 tidak dapat diabaikan dalam pemogokan itu. Bahkan, dokumen-dokumen yang mereka edarkan, ditemukan di kalangan kuli-kuli tambang Cina di kota itu.12 Berdasar sebuah laporan yang diterima dari Pangkal Pinang, ternyata Sam Tiam Foei semakin lama semakin banyak daerah propagandanya, mulai dari Blinyu pindah ke Pangkal Pinang dan Sungailiat. Pada Januari dan Februari 1930, terjadi enam kali pemogokan di Pangkal Pinang.

Pada tanggal 4 Februari 1930, delapan orang kuli kontrak yang bekerja di salah sebuah tambang di Pangkal Pinang menolak bekerja, dan ini diperintahkan oleh pengurus tambang. Pada tanggal 5 dan 10 Januari 1930 sejumlah kuli kontrak Cina di dua tambang di kota yang sama mogok kerja. Pemogokan itu sebagai protes kerja terhadap tugas harian yang dianggap terlalu berat diberikan oleh kepala kelompok kerja.13 Setelah dilakukan penyelidikan, ternyata pemogokan itu dimotori oleh lima orang yang masuk dalam perkumpulan rahasia. Dua di antaranya yang paling gigih adalah Tjong Fong dan Mgoei Khian. Mereka juga ditahan.

Walaupun para penggerak pemogokan ditahan, aksi-aksi protes yang lebih radikal muncul kemudian. Pada 21 Januari 1930, di sebuah tambang yang terletak kurang lebih 15 km dari kota Pangkal Pinang,

(18)

120 orang kuli Cina, bersenjata tongkat, pacul, dan kampak menyerang rumah kongsi. Jendela, pintu, dan barang-barang perabotan rumah kongsi dihancurkan. Mereka ingin membalas dendam kepada kepala tambang. Ketika polisi datang, mereka justru menyerang dan ketika polisi memberikan tembakan peringatan, mereka melarikan diri.

Sebanyak 22 orang kuli Cina ditahan, termasuk penggeraknya. Setelah diadakan penelitian, ternyata seorang guru sekolah Cina swasta yang tinggal dekat tambang ikut ambil bagian, mendorong munculnya kerusuhan ini. Di rumah guru ini ditemukan pamflet-pamflet.

Meskipun para pemimpin pemogokan dan penyerangan kepada kepala tambang dan rumah kongsi sudah ditahan dan bahkan dicabut izin tinggalnya, hal itu tidaklah menyurutkan/melemahkan gerakan protes tersebut. Pada tanggal 16 Februari 1930, di dalam tambang no.3 di Pangkal Pinang, sekelompok buruh kontrak memprotes kerja yang diperintahkan oleh pemimpin mereka. Tiga hari kemudian, 19 Februari 1930, Ng Lian Tjoeng, pemimpin utama Sam Tiam Foei sudah dapat ditahan Belanda. Belanda mengharapkan bahwa dengan menangkap mereka, keamanan akan pulih. Ternyata harapan Belanda ini pun sia- sia karena pada 23 Februari 1930, di tambang yang pekerjanya pernah mogok pada tanggal 4 Februari 1930, mereka kembali melakukan pemogokan. Beberapa orang kuli kontrak menolak pekerjaan yang diperintahkan kepala kelompok mereka. Hal ini kemudian membawa aksi-aksi pemogokan dan penyerangan yang meluas terhadap polisi.14 Pada bulan Agustus dan September 1930, terjadi lagi kerusuhan di Pangkal Pinang dengan maksud mengintimidasi pemerintah Belanda dan kepala tambang. Pada dasarnya semua protes buruh itu dapat dipadamkan oleh pemerintah.

Gejala serupa juga terjadi di Belitung. Radikalisasi politik buruh di pulau ini tidak bisa dilepaskan juga dari peranan intelektual Cina, para guru sekolah-sekolah Cina yang berhasil menyusup ke tambang dengan berbagai cara. Misalnya, pada bulan September 1928, di bawah pimpinan guru Tjhin Piang Joen, 1000 orang buruh mengancam kepala tambang dan staf perusahaan Eropa, di daerah tambang Klappa Kampit.

Mereka membawa senjata tajam dan mengancam, serta menempelkan beberapa plakat di beberapa tambang di daerah Klappa Kampit. Plakat

14 ARA, MvK, Mr 577x/1930.

(19)

15 ARNAS-RI, Arsip Binnenlandsch-Bestuur, Laporan Direktur BB kepada Gubernur Jenderal, Weltevreden, 7 Maret 1929 no.BG x 12/2/3/1929.

itu berisi beberapa pernyataan antara lain seperti ”bersatulah buruh di seluruh dunia untuk menegakkan haknya”, ”Belanda telah menghisap daerah kuli Cina”. Ada 17 tuntutan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari mereka yang dipampangkan di tambang Lacet, di Klappa Kampit. Berikut petikan beberapa tuntutan buruh Cina kepada perusahaan mengenai masalah kesehatan, sakit, dan kematian.

...”Orang yang sudah mati untuk satu orang minta ganti rugi f 4000, akan kirim kembali sama ahli warisnya dan di luar mesti bikin satu peringatan di mana kuburnya, sebagaimana yang patut. Orang yang luka mesti tanggungjawab sampai baik, kalau ada sakit apa-apa minta dikasih dalam 1 bulan ½ pikul beras dan wang sayur f.25. Piara dia sampai mati, seperti ia mau pulang ke negeri Cina, semua onkost dan gaji mesti kasi sama dia. Orang luka, kalau sudah baik tidak boleh kirim ke Singapura, mesti kirim kembali ke numpangnya. Orang kerja di dalam parit, ada sakit, biar ada utang atau wang panjar, mesti kasih pinjam f 2.50. Onkost auto anak kuli tidak tanggung. Orang kuli kerja di dalam parit, makanan mesti bersih, yang mana busuk tidak boleh kasih keluar...’(ARA-MvK, Mailrapport, 1928, no.1010x).

Dilihat dari tuntutan-tuntutan di atas, diketahui ”penerjemahan” ideologi nasionalisme Cina ke dalam tuntutan-tuntutan buruh yang berkaitan dengan kebutuhan mereka sehari-hari dan berkaitan pula dengan cara perusahaan memperlakukan mereka sebelumnya. Apakah tuntutan itu dikabulkan? Sayangnya tak ada informasi lebih lanjut untuk melihat seberapa jauh tuntutan itu dikabulkan. Walaupun demikian, ada hal penting yang patut dicatat di sini,n yaitu komentar pejabat kolonial yang mengatakan bahwa pemogokan kuli-kuli Cina itu berkaitan dengan mentalitas mereka yang sedang berubah yang dipengaruhi oleh gerakan politik di negeri asalnya.15

Para pemimpin dan guru-guru yang menjadi penggerak pemogokan ditangkap dan dicabut izin tinggal mereka dan kemudian dikirim kembali ke Cina. Walaupun demikian, pada periode berikutnya, perjuangan buruh-buruh tambang Cina periode setelah kemerdekaan juga didasarkan pada periode ini.

(20)

PERIODE 1940-1950: SERIKAT BURUH MULTIETNIK DAN POLITIK PROTES

Dengan tidak mengabaikan masa pendudukan Jepang yang singkat dan informasi yang langka tentang periode ini, uraian politik buruh dan kaitannya dengan etnisitas akan lebih banyak memberikan perhatian pada era Revolusi Indonesia.

Jika sebelum perang, organisasi sosial politik yang didirikan di kota- kota di Bangka terbagi ke dalam dua kelompok etnik, Cina dan bukan Cina, maka setelah kemerdekaan dan hari-hari yang mengikuti Revolusi Indonesia kemudian, organisasi sosial politik yang memiliki elemen- elemen perkotaan dan multietnik muncul, baik antara orang Cina dengan orang-orang Melayu Bangka maupun campuran antar etnik Indonesia sendiri. Di dalam tambang, elemen-elemen serikat buruh multietnik ini muncul seiring dengan perubahan dalam komposisi tenaga kerja seperti terlihat dalam tabel berikut.

Kategori Tenaga Kerja Indonesia Cina

Buruh tambang 1,387 4,004

Staf administrasi 30 569

Buruh reguler lainnya 1,278 3,384

Buruh harian (langkung) 3,952 9,435

Tabel 3

Komposisi Tenaga Kerja di Tambang Timah Bangka Masa Revolusi

Sumber: ARA, MvK, Rapportage Indonesia, no.546.

Dilihat dari segi kota, perbedaannya adalah bahwa aksi-aksi buruh yang lebih militan ditemukan di Sungailiat, Blinyu, dan Mentok dibanding kota Pangkal Pinang sendiri. Perbedaan dalam sifat gerakan ini boleh jadi disebabkan oleh tempat kedudukan Residen Belanda di Bangka dan tentera KNIL Belanda lebih terpusat di ibukota Karesidenan di Pangkal Pinang. Pangkal Pinang kemudian juga berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan konferensi negara-negara federal bentukan Van Mook. Kontrol pemerintah yang kuat itu barangkali berpengaruh terhadap bentuk-bentuk aksi buruh di Pangkal Pinang.

Bagian ini akan melihat perkembangan organisasi sosial politik di Bangka dan Pangkal Pinang serta organisasi buruh multietnik. Keterlibatan buruh Indonesia dalam pekerjaan timah sudah dimulai setelah Perang Dunia Kedua, ketika perusahaan dihadapkan pada kekurangan tenaga kerja yang direkrut dari Cina. Sayangnya, data mengenai komposisi

(21)

tenaga kerja Indonesia dan Cina tidak diperoleh. Walaupun demikian, sebagai gambaran umum komposisi tenaga kerja di tambang timah untuk seluruh Bangka dapat diambil sebagai perbandingan (Tabel 3).

Ada beberapa perubahan yang menyolok mengenai perkembangan organisasi sosial politik di Bangka sejak kemerdekaan. Perubahan itu juga berkaitan dengan komposisi tenaga kerja yang juga berubah di tambang timah Bangka, yaitu orang-orang Indonesia mulai banyak mengambil posisi sebagai buruh tambang, staf administrasi, buruh regular, dan buruh harian. Terjadi penambahan jumlah buruh Indonesia, baik orang Melayu Bangka maupun dari berbagai kelompok etnik lain di Bangka, Hal itu bersamaan dengan banyaknya buruh-buruh Cina yang dikembalikan ke Cina dan bergesernya pekerjaan mereka dari tambang ke yang bukan tambang pada masa pendudukan Jepang.

Merasa terancam untuk menjadi romusha masa pendudukan Jepang dan kondisi kerja yang menyedihkan, banyak buruh Cina meninggalkan tambang dan menjadi petani lada di daerah pedalaman atau memburuh pada petani-petani Melayu Bangka. Setelah kemerdekaan dan masa revolusi, tidak banyak orang-orang Cina yang kembali ke tambang.

Mereka beralih pekerjaan sebagai tukang, petani, dan para pedagang di kota-kota. Karena itu, orang-orang Bangka dan orang Indonesia lainnya mulai masuk atau bekerja sebagai buruh di tambang-tambang.

Dengan bergesernya komposisi buruh, kehidupan partai-partai politik dan serikat sekerja bermula pula. Sebagian partai politik yang ada setelah kemerdekaan adalah lanjutan dari masa sebelum perang seperti PSII dan sebagian lagi dibentuk sesudah kemerdekaan, antara lain seperti Masyumi, PSI, NU dan PNI dan PKI. Sayangnya, belum ada informasi yang cukup detil untuk melihat perkembangan partai-partai politik ini dalam masyarakat tambang pada masa kemerdekaan ini.

Apakah partai-partai itu memiliki serikat-serikat buruh di setiap kota dan di dalam masyarakat tambang dan bagaimana komposisinya dan latar belakang para anggotanya, juga belum dapat diketahui. Selain partai-partai politik yang disebutkan di atas, ada dua organisasi sosial yang dibentuk di Pangkal Pinang, yaitu Serikat Rakyat Indonesia (SRI) yang dibentuk pada November 1946 dan Kebaktian Rakyat Indonesia Bangka (KRIB) yang dibentuk dalam Februari 1948. Para anggota SRI adalah orang-orang Indonesia, non-Bangka, yang mula-mula bertujuan sosial-ekonomi, tetapi mengarah ke politik. Mereka memperlihatkan

(22)

sikapnya yang prorepublik dan berhubungan erat dengan SRI itu.

(Somers 1991:195) Lima anggota SRI ditahan karena cendrung melakukan aksi-aksi kekerasan. Kebaktian Rakyat Indonesia Bangka resminya bermaksud menjadi lebih “sosial”, menyatukan semua orang Indonesia, mengembangkan kesadaran sosial dan nasional, dan ingin mendirikan sebuah negara demokratis, dengan partisipasi yang kuat dari para pimpinan yang pro-Republik dan SRI akan menyarankan bahwa organisasi republiken seperti itu. Pada Desember 1948, KRIB mendirikan sebuah partai, Serikat Nasional Indonesia (Seni, Indonesian National Union). ARA, MvK, Rapportage Indonesia, no.540.

(ARA, MvK, Rapportage Indonesia, no.540). The KRIB and SRI menghendaki anggota-anggotanya bergabung dengan Seni yang juga menyerap unsur-unsur Partindo yang ada sebelum perang. (ARA, MvK, Rapportage Indonesia, no.540). Sulit diketahui perkembangan organisasi sosial ini di kalangan masyarakat tambang sulit diketahui.

Yang jelas adalah bahwa pembentukan partai-partai politik juga diiringi pembentukan serikat-serikat buruh. Tidak berbeda halnya dengan di kota-kota lain di Indonesia, pendirian partai-partai politik diikuti pembentukan berbagai serikat buruh yang berafiliasi dengannya. Di Pangkal Pinang mulanya dibentuk Serikat Kaum Buruh (SKB) pada tahun 1946. Awal 1947, sekitar 75% anggotanya adalah buruh Indonesia dan Cina. (ARA-MvK, Rapportage Indonesia, no. 546)

SKB ini memiliki cabang-cabangnya di kota-kota di Bangka seperti Pangkal Pinang, Blinyu, and Sungai Liat. Di Pangkal Pinang, Serikat Kaum Buruh dipimpin oleh orang-orang yang berlatar belakang multietnik, seperti Hie Jat Sen, Loe Djat Men, dan Daniali Abdullah.16 Walaupun demikian, jika dilihat dari susunan pengurusnya, maka nampaknya etnik Cina lebih dominan dibanding dengan orang Indonesia.

Serikat Buruh tambang bergabung dengan serikat-serikat buruh yang lain yang segera dibentuk di Pangkal Pinang. Ada sekitar 112 orang wakil dari berbagai serikat buruh di kota yang mendirikan Serikat Kaum

16 Dalam bulan Januari 1948, anggota SKB mengadakan pertemuan untuk memilih pengurus baru. Hee Jat Sun tetap memegang posisi sebagai ketua dan Daniati Abdullah, sebagai wakil, sementara Loe Djat Men digantikan oleh Tjhang Sin Pong. Anggota-anggotanya terdiri dari Loe Djat Men, A.A. Rani, Djong A. Djoeng, Kon Ten Khoy, Djoeng Nam Fong, Ismail Zan, Iswarin, Lo Khin Fo, Jong Hon Tjin, Boet Te Kie, Tjao Sak Lioeng, Abang Balia, Thoe Tet Foeng, Madalia, Pauw Tek Kian, Mok A San, Tjauw Foe Tjhin, Bong Khin New, Boen Kap Sin, Martoredjo, Tay Nam Tjoen, Tjhin Tjin Fo, Oesman Sjahab, Jauw Ten Njoen, Soen Sak Joeng, Lie Boei Kong. Lihat Pembangunan Bangka, 1-1-1948.

(23)

Buruh Pangkal Pinang.( Pembangunan Bangka, 18 November 1946).

Mereka menerbitkan sebuah majalah, Suara Buruh yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Tionghoa.(Pembangunan Bangka, 2 December 1946). Munculnya SKB ini semata-mata disebabkan adanya kontak-kontak yang erat antara orang Cina di Bangka dengan para pemimpin organisasi Cina modern di Cina, Malaysia, dan Singapura.

Dalam kaitan ini, lagi-lagi kita menemukan bukti bahwa jaringan antara Pangkal Pinang atau kota-kota kecil di Bangka dengan kota-kota lain di luar Indonesia justru semakin tak terelakkan. Pada bulan Oktober 1946, dua calon SKB dipilih sebagai wakil organisasi ini di Bangka Raad.

(ARA, MvK, Rapportage Indonesia, no. 539)

SKB adalah serikat buruh yang jauh lebih aktif daripada organisasi sosial lain. Kontak-kontaknya dengan organisasi-organisasi buruh di Jakarta, Yogyakarta, dan Tanjung Enim dapat dikatakan begitu intensif.

Pada April 1947, lima anggota SKB menghadiri sebuah kongres buruh di kota tambang batubara, Tanjung Enim di Sumatera Selatan. Beberapa delegasi buruh dikirim juga ke Yogyakarta atau ke Bukittinggi. Seorang delegasi dari Sungailiat menyatakan diri bergabung dengan SOBSI (Sarekat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dalam konferensi buruh di Tanjung Enim. (ARA, MvK, Rapportage Indonesia, no. 539).

Meskipun kota Pangkal Pinang adalah tempat mengambil inisiatif untuk menggabungkan berbagai serikat buruh ke dalam sebuah satu wadah, politik protes buruh tidak terlalu menggema di sini. Aktivitas politik buruh tambang di Pangkal Pinang tidak memperlihatkan sikapnya yang radikal seperti ditemukan di kota-kota Sungailiat, Blinyu, dan Mentok.

Tidak seperti pada tahun 1930-an, saat politik protes buruh dalam bentuk terbuka, baik diorganisir atau tidak, di kalangan buruh-buruh timah di kota Pangkal Pinang hampir tidak ada, sedangkan politik protes buruh tambang di Mentok, Sungailiat dalam bentuk pemogokan.

Ancaman-ancaman pemogokan mewarnai bulan-bulan pertama setelah kemerdekaan dan kemudian berlanjut sampai Februari 1947. (ARA, MvK, Rapportage Indonesia, no. 539).

Penjelasan untuk hal ini sebenarnya mungkin bisa dicari berkaitan dengan posisi Pangkal Pinang sebagai tempat kedudukan pemerintah Belanda yang kembali ke Bangka dan kontrol militernya yang lebih kuat di kota itu dibanding kota-kota kecil lainnya. Usaha-usaha Belanda mengontrol perkembangan partai-partai politik yang prorepublik, susul-

(24)

menyusul dengan adanya konferensi Pangkal Pinang, pembentukan Bangka Raad dan program-program Belanda ke arah terbentuknya negara Bangka-Belitung dan Riau, semuanya menjadikan kota ini berada di bawah kendalinya yang kuat. Tambang dan pengelolaannya oleh Belanda sejak masa Jepang, juga sudah berpindah dari Mentok ke Pangkal Pinang; para manajer Belanda yang kembali ke Bangka tinggal di Pangkal Pinang. Di kota ini, pergerakan kelompok-kelompok yang pro republiken hampir menghilang. Bahkan, Residen Bangka pertama, Mas Syarif, mendukung ke arah pembentukan negara Bangka- Belitung dan Riau. Sementara itu, kota-kota Sungailiat dan Mentok adalah kota-kota tempat para pemimpin yang pro republiken dengan wilayah tambang yang luas dan jumlah buruh tambang yang lebih besar dibanding di Pangkal Pinang memperlihatkan politik protes dengan intensitas yang tinggi dan keras. Patut disebut bahwa para pemimpin republik yang diasingkan ke Bangka ditempatkan di kota Mentok. Di sini pula aktivitas-aktivitas para pemimpin politik yang pro republik lebih banyak dan lebih berani.

Politik protes buruh timah di kota-kota Sungailiat dan Mentok pertama ditandai dengan pemogokan besar pada bulan Februari 1947 yang melibatkan sekitar 1,300 buruh. (ARA, MvK, Rapportage Indonesia, no. 539, 540). Dalam pemogokan tersebut masalah ekonomi menjadi tuntutan para buruh, yang tidak hanya terdiri dari buruh kasar, juga staf dari kalangan menengah. Makanan yang didistribusikan oleh perusahaan timah yang telah dikelola Belanda tidak cukup dan itu pun berlangsung singkat. Sementara itu, pihak perusahaan terus-menerus berusaha untuk meningkatkan produksi timah dengan menekan buruh. Pasokan makanan yang terbatas untuk buruh ini disebabkan terputusnya hubungan dengan Jawa. Hanya Palembang dan Kalimantan Barat, dua daerah yang berada di bawah kontrol pemerintah Belanda, dan daerah yang berdekatan dengan Bangka, yang mampu memasok bahan-bahan makanan, terutama beras yang dibutuhkan untuk penduduk kota. Jumlah pasokan pun terbatas. Harga bahan-bahan makanan terus-menerus meningkat, karena sulit diperoleh, terutama di kota-kota yang dikuasai Belanda seperti Pangkal Pinang. Karena itu, para manajer Belanda yang mengelola tambang timah, terutama di Pangkal Pinang tidak bisa berbuat banyak untuk mensuplai bahan- bahan makanan, karena mereka sendiri juga mengalami kesulitan memperoleh bahan-bahan makanan itu. Walaupun demikian, protes tidak muncul di Pangkal Pinang, tetapi di kota Mentok dan Sungailiat, pada bulan April 1949, sejumlah besar buruh melakukan pemogokan.

(25)

(Somers 1991:191) Pemogokan menuntut upah yang lebih tinggi muncul di kalangan buruh timah di kedua kota itu dan dimobilisasi oleh Serikat Kaum Buruh. Misalnya, Serikat Kaum Buruh di Sungailiat telah menghimpun 200 buruh untuk melakukan pemogokan terhadap perusahaan. Pemogokan berlangsung selama tiga minggu. Pemogokan ini berhasil karena pemerintah Belanda menyetujui tuntutan mereka dalam hal peningkatan upah buruh dan tunjangan sosial lainnya.

(ARA, MvK, Rapportage Indonesia, no. 540)

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa di era Revolusi Indonesia, di mana organisasi formal partai politik dan serikat sekerja sudah dibentuk, maka solidaritas berdasarkan etnisitas menjadi menurun. Baik partai politik maupun Serikat Sekerja yang berafiliasi dengannya telah menjadi wadah menampung berbagai keluhan yang melampaui batas etnik. Walaupun demikian, pembentukan Serikat sekerja multi etnik ini berjalan sejajar dengan perubahan komposisi tenaga kerja, di mana selain tenaga kerja Cina yang semakin menurun jumlahnya, tenaga kerja Indonesia dari berbagai etnik mulai banyak masuk, menggantikan tenaga kerja Cina yang pulang ke negerinya atau pergi ke tempat lain. Pembentukan serikat sekerja multi etnik telah memperkuat solidaritas yang pada gilirannya membawa kepada politik protes buruh tambang melalui tindakan pemogokan. Solidaritas antar etnik ini muncul barangkali ada kaitannya dengan hubungan-hubungan sosial antara penambang Cina dengan masyarakat setempat di luar tambang yang mulai intensif khususnya pada masa pendudukan Jepang.

Para penambang Cina keluar dari kantong-kantong produksi, menjalin kontak dengan penduduk setempat dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam masa-masa sulit.

CATATAN AKHIR

Trajektori politik protes buruh Cina di kedua tambang timah Bangka- Belitung periode 1920-1950 sudah dijelaskan. Sebagai suatu tindakan kolektif, hubungan antara politik protes dan kesadaran etnik pada masyarakat Cina tampaknya mengalami fluktuasi dan muncul dalam ruang yang tidak hampa. Artinya politik protes terjadi dalam situasi proses dekolonisasi sudah bermula. Politik protes melalui berbagai bentuk dan gaya, baik lewat pemogokan, penolakan kerja, maupun lewat sejumlah insiden-insiden kecil dalam skala mikro telah dirangsang

(26)

pada awalnya lewat kesadaran etnik/sub etnik yang tergabung dalam masyarakat rahasia.

Pada tahap kemudian, ketika politik formal dalam bentuk organisasi sosial-politik dan ketika gerakan nasionalisme Hindia-Belanda dan negeri Cina muncul dan memberi ransangan yang lebih kuat pada usaha untuk melakukan politik protes yang lebih luas, maka di sini, peranan kelas menengah, yakni intelektual Cina yang berada di luar dunia produksi menjadi penting. Pada saat ini pula, kesadaran etnik mulai menyurut, tenggelam ke bawah permukaan, dan kesadaran kelas menyeruak ke permukaan.

Ketika Indonesia telah mencapai kemerdekaanya dan ketika berbagai organisasi sosial politik diberi peluang oleh negara Orde Lama untuk berkembang, maka politik protes multi etnik, menyatukan para penambang Cina dan kelompok etnik lainnya muncul ke permukaan.

Politik protes multi-etnik ini terjadi bersamaan dengan komposisi penambang yang berubah dari sudut etnik di era Indonesia merdeka.

Aksi-aksi kolektif dalam bentuk pemogokan-pemogokan betul-betul diperkuat oleh kesadaran kelas yang kuat terhadap Belanda yang datang kembali ke Bangka-Belitung pada masa Revolusi. Dari seluruh trajektori politik protes dan etnisitas yang dijelaskan di atas tampak perkembangan sosial-budaya dan politik di luar dunia produksi memainkan peranan penting dalam menentukan berbagai bentuk protes. Kondisi ini tidaklah tipikal untuk buruh Cina yang bekerja di kedua pulau timah itu, tetapi juga ditemukan dalam sejarah perburuhan yang lain baik pada periode kolonial maupun periode post kolonial sebagaimana ditunjukkan oleh Ann Laura Stoler(1995) Ratna Saptari (2007) dalam studi mereka masing-masing.

KEPUSTAKAAN Laporan

ARA, MvK, Mailrapport, 1928, no.1165x.

ARA- MvK, Mailrapport 724x/1929 dalam Verbaal 11-9-1929 lt no. 18.

ARA, MvK, Mailrapport 813x/1929, in Verbaal 10-3-1930 Lt.L.5.

ARA, MvK, Mailrapport 257x/1930 dalam Verbaal 26-5-1931 lt.v.9.

ARA, MvK, Mailrapport 577x/1930.

ARA, MvK, Politieke Verslag fische no. 392, Mailrapport, 226 geheim/40.

ARA-MvK, Politieke Verslag, Mailrapport, 1203/1929).

(27)

ARNAS-RI, Arsip Binnenlandsch-Bestuur, Laporan Direktur BB kepada Gubernur Jenderal, Weltevreden, 7 Maret 1929 no.BG x 12/2/3/1929.

ARA, MvK, Rapportage Indonesia, no. 539.

ARA, MvK, Rapportage Indonesia, no. 540.

ARA-MvK, Rapportage Indonesia, no. 546.

Buku

Billiton Maatschappij Verslag, seri laporan, 1926-1932.

Erman, Erwiza 1995. Pengusaha Koelie dan Penguasa: Industri Timah di Belitung,1852-1940. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

_____.1999. Miners, Managers and the State; A Sosio-political History of the Ombilin Coalmines, West Sumatra, 1892-1996. PhD dissertation Amsterdam:

University of Amsterdam.

_____.2004. ‘Between Pepper and Tin: Experience of Crisis in Bangka, 1930-2003’, makalah dipresentasikan di lokakarya berjudul ‘Comparative and Social History of Crisis in Indonesia’, diadakan oleh KITLV, Leiden, Desember 2004.

______.2009. Dari Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap: Menguak Sejarah Timah di Bangka Belitung. Jogyakarta: Ombak.

Heidhuis, Mary Somer F. 1991. “Company Island: A Note on the History of Belitung, dalam Indonesia 51(April 1991). Hal .2-20.

______.1992. Bangka Tin and Mentok Pepper; Chinese Settlement on an Indonesian Island. Singapore: ISEAS.

Iskandar M. (ed.,), 2006. Studi Konflik di Kawasan Pertambangan Timah Bangka- Belitung, Jakarta: LIPI.

Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch-Indié, (49), 1920:192;

Pembangunan Bangka, 18 November 1946.

Pembangunan Bangka, 2 December 1946.

Pembangunan Bangka, 1 Januari 1948.

Saptari, Ratna. 2007.“Menulis tentang sebuah pemogokan buruh di Tangerang:Kaitan antara dimensi ‘publik’ dan ‘privat’, dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed.), hal.277-312, Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta.

Stoler, Ann Laura. 1995. Capitalism and Confrontation in Sumatra’s plantation belt,1870-1979 (Edisi kedua). Ann Arbor: Univ. of Michigan Press.

Sujitno, Sutedjo, 1996. Sejarah Timah Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1996.

Razif, 2005. ‘Buruh Pelabuhan dan Kampung Buruh di Tanjung Priok, 1930-1965’

makalah ini disampaikan dalam Workshop Buruh Perkotaan: Kontinuitas dan Perubahan di Indonesia, 1930-1965, diselenggarakan oleh NIOD yang bekerjasama LIPI, Jakarta, Hotel Bidarakara, 22- 23 Juli 2005.

Volkstelling, 1930, Vol.VII.

Wolf, Eric R. 1982. Europe and the People Without History. Berkeley/Los Angeles/

(28)

London: University of California Press.

Wong Lin Ken. 1965. The Malayan Tin Industry to 1914, Tucson: The University of Arizona Press.

Makalah

Asba, Rasyid A. 2005. ‘Buruh Pelabuhan Makassar: Peran Mandor dan Munculnya Organisasi Buruh’.Makalah ini disampaikan dalam Lokakarya Buruh Perkotaan:

Kontinuitas dan Perubahan di Indonesia, 1930-1965, diselenggarakan oleh NIOD yang bekerjasama LIPI, Jakarta, Hotel Bidarakara, 22- 23 Juli 2005.

____. 2010. Ethnic Chinese and the Teaching of History, makalah disampaikan dalam konferensi ke 7 (International Society of Chinese Overseas(ISSCO), di NTU, Singapura, 6-9 April 2010.

______. 2004. “Menyigi Sejarah Perjuangan Bangka: Depati Bahrin dan Depati Amir”, makalah dipresentasikan dalam seminar Depati Amir Pahlawan Nasional, Pangkal Pinang, hotel Bumi Asih, 22 Agustus 2004;

Surat Kabar

Asvi Warman Adam. 2002. “Pembaruan Pendidikan Sejarah di Indonesia” Suara Pembaharuan 20 September 2002; Idem,

Referensi

Dokumen terkait

Ensiklo Dolanan is a game created with the concept of encyclopedia by presenting information along with illustrations of images and augmented reality to add insight as