• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata kunci: infeksi Soil Transmitted Helminthes, Kadar Eosinofil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Kata kunci: infeksi Soil Transmitted Helminthes, Kadar Eosinofil"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

PENDAHULUAN

Rumusan Masalah

Tujuan Penelitian

  • Tujuan Umum
  • Tujuan Khusus

Berdasarkan latar belakang penelitian, maka permasalahan yang ingin dicapai adalah: Bagaimana pengaruh infeksi Cacing Tanah terhadap jumlah eosinofil pada anak di SDN 50 Kampung Jambak. Cacing yang ditularkan melalui tanah merupakan penyakit yang menginfeksi manusia melalui telur atau larva dan ditularkan melalui tanah. Proses ini memakan waktu kurang lebih 2-3 bulan terhitung sejak telur matang tertelan hingga menjadi cacing dewasa (Utama, 2017).

Bagian belakangnya lebih tebal dan berisi usus dan alat kelamin. Cacing betina berukuran panjang 5 cm, badan bagian belakang berbentuk bulat tumpul dan dapat menghasilkan telur dalam sehari. Sedangkan cacing jantan berukuran 4 cm dengan bagian posterior ditekuk ke depan membentuk lingkaran (Natadisastra, 2009). Proses ini memakan waktu sekitar 30-90 hari sejak telur matang tertelan hingga menjadi cacing dewasa (Budiman 2012). Biasanya kerusakan akibat cacing berlangsung sekitar 12 jam setelah eosinofil menempel pada permukaan cacing (Kresno, 2014).

Penelitian ini merupakan penelitian analitik untuk melihat korelasi jumlah telur Cacing yang ditularkan melalui Bumi dengan jumlah eosinofil. Berdasarkan Tabel 4.1.1 diatas diketahui bahwa siswi laki-laki banyak yang tertular cacing tanah sebanyak 10 responden (72%) dan siswi banyak yang mengalami infeksi cacing tanah sebanyak 4 responden (28%). Soil Transmited Helmint (STH) merupakan kelompok cacing parasit usus golongan nematoda yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia melalui tanah yang terkontaminasi telur atau larvanya.

Hasil penghitungan sel eosinofil pada jaringan menunjukkan bahwa reaksi sel eosinofil juga berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi cacing yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel eosinofil pada jaringan. Hasil penghitungan sel eosinofil pada jaringan menunjukkan bahwa reaksi sel eosinofil juga berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi cacing yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel eosinofil pada jaringan (Sofia, 2016). Berdasarkan pembahasan pada 4.1.2 menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan Eosinofil pada anak yang terinfeksi cacing STH dengan metode Kato Katz peningkatan kadar Eosinofil dialami oleh 13 responden (65%), anak penderita cacingan yang tidak mengalami peningkatan kadar Eosinofil sebanyak 1 responden (5%).

SD Barengan, Kecamatan Teras, Boyolali pada bulan November 2014 ditemukan 35 anak (47,3%) positif cacing tanah dengan kadar eosinofil tinggi. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan mengenai pengaruh infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah terhadap jumlah eosinofil pada anak di SDN 50 Kampung Jambak, dapat disimpulkan sebagai berikut. Ada hubungan antara peningkatan kadar eosinofil dengan infeksi helminthiasis pada siswa SDN 50 Kampung Jambak.

Manfaat Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA

  • Defenisi Soil Transmitted Helminth
  • Jenis Soil Transmitted Helminth
  • Leukosit
  • Eosinofil
  • Respon Imun Leukosit Terhadap Infeksi

Cara yang paling tepat untuk mengatasi dan mencegah penularan ini adalah dengan memutus siklus hidup cacing, melakukan pengobatan massal secara berkala, penyuluhan dan peningkatan kesehatan masyarakat dan lingkungan, memasak makanan dan minuman sampai matang, menggunakan sepatu, dan buang air besar di jamban (Palgunadi, 2017). 2010). ). Di Indonesia, angka kejadian ascariasis yang tinggi mencapai 60%-90%, terutama pada anak-anak. Kurangnya penggunaan jamban keluarga menyebabkan kontaminasi tanah dengan feses, masuknya telur infeksius melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi, serta tangan yang kotor. Tanah liat dengan kelembaban tinggi dan suhu 25o-30oC merupakan kondisi yang sangat optimal bagi perkembangan telur Ascaris lumbricoides dalam bentuk infektif (Utama, 2017). Cacing betina panjangnya 20-35 cm, punggung membulat dan lurus, 1/3 bagian depan tubuhnya berbentuk cincin kapsul.

Sedangkan cacing jantan berukuran 15-31 cm, ujung posteriornya bengkok di bagian perut, dilengkapi papila kecil dan 2 buah spekulum berukuran 2 mm (Muslim, 2009). Pada lingkungan yang sesuai yaitu tanah lembab dengan suhu 25o-30o C, telur akan berkembang menjadi telur infektif dalam waktu 3 minggu. Di trakea, larva bergerak ke faring, menyebabkan rangsangan batuk, dan ditelan kembali ke kerongkongan dan usus kecil dimana mereka berkembang menjadi cacing dewasa.

Cacingan stadium dewasa dapat menyebabkan malabsorpsi, malnutrisi terutama pada anak, anemia, nafsu makan berkurang, diare, penurunan berat badan. Diagnosis ascariasis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan feses pasien dan ditemukannya telur fertil atau larva Ascaris lumbricoides pada dahaknya. Pencegahan penyakit ascariasis dengan memutus siklus hidup cacing, pengobatan massal secara berkala, penyuluhan dan peningkatan kesehatan masyarakat dan lingkungan, memasak makanan dan minuman sampai dimasak, menggunakan alas kaki dan buang air besar di toilet (Palgunadi, 2010).

Cacing dewasa hidup di usus besar (sekum dan kolon), kadang juga ditemukan di sekum dan ileum distal. Telur-telur ini berkembang menjadi telur matang (menular) dalam waktu 3-5 minggu pada lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang teduh dan lembab dengan suhu sekitar 30o C. Diagnosis trikuriasis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan tinja pasien dan ditemukannya Trichuris trichiura infektif. . telur.

Pencegahan penyakit trikuriasis dengan memutus siklus hidup cacing, pengobatan massal secara berkala, penyuluhan dan peningkatan kesehatan masyarakat dan lingkungan, memasak makanan dan minuman sampai matang, menggunakan sepatu dan buang air besar di toilet (Palgunadi, 2010). Bentuk tubuh N.americanus biasanya menyerupai huruf S, cacing betina berukuran 9 x 0,4 mm dan cacing jantan berukuran 7 x 0,3 mm, mempunyai sepasang tubuh kitin, cacing betina dapat bertelur 9000 butir per hari. Bentuk tubuh A. duodenale menyerupai huruf C, cacing betina berukuran 10 x 0,6 mm dan cacing jantan berukuran 8 x 0,5 mm, mempunyai dua pasang gigi, cacing betina dapat bertelur 10.000 butir per hari.

Cacing stadium dewasa dapat menyedot begitu banyak cc darah inang per hari sehingga dapat menyebabkan anemia, alergi dan eosinofilia (Sumanto, 2010). f) Diagnosis dan pencegahan. Pencegahan dapat dilakukan dengan memutus siklus hidup cacing, pengobatan massal secara berkala, penyuluhan dan peningkatan kesehatan masyarakat dan lingkungan, menyiapkan makanan dan minuman sampai matang, menggunakan alas kaki dan buang air besar di jamban (Utama, 2017).

Gambar 1. Telur Ascaris Lumbricoides (Nadhiasari, 2014).
Gambar 1. Telur Ascaris Lumbricoides (Nadhiasari, 2014).

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Sedangkan bahan yang digunakan adalah feses dan larutan kato (aquadest, gliserin, dan malachite green 3%), alat yang digunakan untuk pemeriksaan darah adalah spuit, tourniquet, tabung EDTA, dan hematologi analisa. Sedangkan bahan yang digunakan adalah feses dan larutan kato (aquadest, gliserin dan malachite green 3%). Sedangkan bahan yang digunakan untuk pemeriksaan jumlah eosinofil adalah darah kapiler. Verifikasi bahwa daftar pertanyaan yang diajukan pada pengumpulan data telah diisi dengan benar dan perbaiki data yang salah sebagai persiapan untuk pemrosesan lebih lanjut.

Sebelum melakukan analisis terhadap data yang dimasukkan, perlu dilakukan pengecekan kelengkapan data untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam pengkodean atau pembacaan kode sehingga data dapat dianalisis. Penelitian ini dilakukan dengan desain cross-sectional, dimana penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kecacingan dengan kadar eosinofil, jumlah sampel yang digunakan sebanyak 20 orang sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Dari penelitian yang dilakukan terhadap 20 sampel feses dan darah Siswa/I SDN 50 Kampung Jambak, hasilnya terlihat pada tabel di bawah ini.

Dari penelitian yang dilakukan terhadap sampel tinja anak yang terinfeksi cacing, salah satu faktor yang memperparah penyakit kecacingan juga dipengaruhi oleh buruknya sanitasi lingkungan di sekitar penderita, sehingga penderita akan terus mengalami paparan yang menyebabkan sistem pertahanan tubuh terus-menerus memproduksinya. seperti eosinofil dan antibodi, terutama IgE. Reaksi inflamasi akibat infeksi cacing akan menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe I dimana reaksi tersebut mempunyai manifestasi klinis seperti “benjolan”, kemerahan, gatal dan poliedema. Dari penelitian yang dilakukan terhadap sampel feses anak yang terinfeksi cacingan, salah satu faktor yang memperparah penyakit cacingan juga dipengaruhi oleh buruknya sanitasi lingkungan di sekitar penderitanya, sehingga penderita akan tetap mengalami paparan yang menyebabkan tubuhnya mengalami dehidrasi.

Reaksi inflamasi akibat infeksi cacing akan menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe I dimana reaksi tersebut mempunyai manifestasi klinis seperti “benjolan”, kemerahan, gatal dan poliedema (Sofia, 2016). Peningkatan jumlah eosinofil dalam darah anak yang terinfeksi cacing disebabkan oleh perubahan respon eosinofil, yaitu respon imunologi yang sangat responsif terhadap rangsangan imunogenik yang dikeluarkan oleh cacing. Massa mukosa mengalami degranulasi dan melepaskan histamin dan bebas serotonin. , yang berfungsi sebagai mediator inflamasi Granul sel mast juga mengalami degranulasi, mengandung kalikrein yang menghasilkan kinin, bersama dengan mediator inflamasi Granul sel mast juga mengandung kalikrein yang menghasilkan kinin, serta mediator inflamasi yang mempunyai kekuatan sebagai agen vasoaktif. Salah satu kerja antigen-antibodi adalah mengaktifkan produksi kemoatraktan terhadap sel eosinofil. Seiring dengan pelepasan zat vasoaktif oleh sel mast, kemoatraktan seperti eosinophil chemotactic factor anaphylaxis (ECF-A) juga dilepaskan untuk memobilisasi sel eosinofil ke area invasi cacing. Mobilisasi dan aktivasi sel eosinofil meningkatkan kemampuannya dalam membunuh parasit. atau menghancurkan dan meningkatkan aktivitas fisiologis tubuh melawan parasit cacing melalui pelepasan IgE.

Telur cacing Ascaris lumbricoides pada tinja dan kuku balita serta di tanah di Kecamatan Paseh, Bandung, Jawa Barat. 2014 Faktor Risiko Infeksi Cacing Tambang pada Anak Sekolah (Studi Kasus Kontrol di Desa Rejosari Karangawen Demak).

Populasi Sampel

  • Populasi
  • Sampel
  • Besar Sampel
  • Kriteria Sampel

Variabel Penelitian

Defenisi Operasional

Kerjasama antara antigen, antibodi, substansi granula sel eosinofilik dan granula sel mast mukosa akan menimbulkan respon inflamasi tipe I yang menghambat invasi cacing ke dalam jaringan. Bagi orang tua dan wali siswa di sekolah terus mengajarkan pola hidup bersih dan sehat agar siswa dapat terhindar dari penyakit cacingan yang dapat mengganggu tumbuh kembang anak. Arimaswati, dkk 2020 (Identifikasi Jenis Cacing Cacing Tanah (Sth) Pada Kotoran Pekerja Pengangkut Sampah Kota Kendari Dengan Metode Modifikasi Harada Mori dan Metode Modifikasi Kato Katz.

Gambar 3.2 Kerangka Operasional Telur Cacing
Gambar 3.2 Kerangka Operasional Telur Cacing

Bahan dan Alat Penelitian

Analisa Data

Prosedur Penelitian

HASIL PENELITIAN

Pembahasaan

KESIMPULAN SARAN

Saran

Telur Ascaris Lumbricoides

Gambar

Gambar 2. Cacing Dewasa Ascaris Lumbricoides (Nadhiasari, 2014).
Gambar 1. Telur Ascaris Lumbricoides (Nadhiasari, 2014).
Gambar 3. Siklus Hidup Ascaris Lumbricoides (Budiman, 2012).
Gambar 4. Telur Cacing Trichuris Trichiura (Nadhiasari, 2014).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menindaklanjuti surat Direktur Sumber Daya, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi nomor: 0190/E4/DT.04.02/2023 tanggal 15 Januari 2023 perihal