Keadilan Retributif dalam Perjanjian Lama
Keadilan retributif merupakan pokok penting dalam studi biblika karena Alkitab kaya dengan kisah-kisah ini. Tidak ada jalan keluar yang sederhana dan tuntas untuk menjawab problem keadilan retributif. Namun, untuk menembus stagnasi pada keadilan retributif sebaiknya persoalan ini ditempatkan ke dalam misteri ilahi antara pencipta dan ciptaan sehingga keadilan Allah tidak kehilangan arti. Dalam PL ada pola dominan yang berlaku tentang berkat dan kutuk.1 Dalam Kejadian 7-9 kita dapat memahami hubungan antara kejahatan manusia dengan keputusan Allah untuk menghabisi ciptaan-Nya sendiri. Meskipun kejahatan manusia dipersoalkan, namun mahluk dan ciptaan lain yang tidak tahu-menahu perbuatan manusia turut di hukum (Kej 6:6). Di tengah kisah penghukuman itu, Allah meluputkan Nuh dari malapetaka karena Nuh seorang yang
1 Yohanes Krismantyo Susanta, Mengenal Dunia Perjanjian Lama: Suatu Pengantar (Surakarta: Kekata Publisher, 2018).
benar dan hidup bergaul dengan Allah (Kej 6:9). Kisah Nuh menguatkan pola dominan bahwa yang jahat patut mendapat hukuman dan kutuk tetapi yang benar akan mendapat berkat dan keselamatan. Pola motif etis ini sering disebut keadilan retributif (Tjen, 2010, h. 15-17).
Dalam perspektif Deuteronomis, pertistiwa penderitaan, kutuk dan hukuman secara tegas dihubungkan dengan ketidaktaatan dengan Tuhan (Ulangan 11:26-28; 30:15-20). Dalam Ulangan 28: 1-47 terlihat ketaatan Israel Raya membawa berkat atas buah kandungan, hasil bumi, iklim, dan segala yang dikerjakannya berhasil. Sebaliknya ketidaktaan kepada Allah membawa kutuk berupa berbagai penyakit, bencana alam, kekalahan dalam perang, kegagalan dalam usaha dan panen, dan penderitaan diberbagai aspek kehidupan. Ketidaktaatan berakhir dengan runtuhnya kerajaan Israel dan Yehuda dan pembuangan (2 Raj 17:6-20). Dalam masa pembuangan itu terjadi krisis teologi dalam kehidupan umat Israel. Dalam penyesalan dosa mereka berbaik dan berseru kepada Tuhan agar membebaskan dari pembuangan. Dalam masa pembuangan inilah umat Tuhan dapat berefleksi tentang iman, relasi pencipta dan ciptaan, juga berkat dan kutuk
Persoalan Keadilan Retributif
Adapun persoalannya apakah wajar dosa generasi terdahulu ditanggung oleh generasi kini yang tidak turut melakukannya. Dan hal ini dijadikan dalih oleh generasi berikutnya untuk lepas tangan, Yehezkiel menekankan tanggung jawab setiap orang atas ulah sendiri. Dalam Yeh 18:5-20 “kesalahan anak tidak dapat ditanggung anaknya dan kesalahan anak tidak dapat ditanggung ayahnya”. Tetapi di sisi lain Yeremia mempertanyakan keadilan Tuhan dalam penghukuman (Yer 12:1). Hal serupa di alami oleh Ayub sebagai orang yang saleh dan jujur (Ayub 1:1, 22) tetapi tidak luput dari penderitaan. Ada dilema teologis yang mendasar tentang keadilan retributif walaupun kisah Ayub ditutup dengan akhir yang baik (Tjen, 2010, h. 21-23).
Kontradiksi tersebut dapat menggoyahkan keyakinan akan integritas Allah dan integritas moral orang yang hidup benar (Mzm 73:13-14). Di sinilah misteri dari keadilan Allah yang sulit dipahami oleh manusia. Ayub dan Pengkhotbah2 terbentur pada misteri yang tidak terpecahkan mengenai keadilan Allah dan kontradiksi yang terjadi dalam kehidupan nyata. Mereka memang
2 Yohanes Krismantyo Susanta, “Memahami Kesia-Sian Dalam Kitab Pengkhotbah,” DUNAMIS: Jurnal Penelitian Teologi Dan Pendidikan Kristiani 2, no. 1 (November 4, 2017): 75, https://doi.org/10.30648/dun.v2i1.124.
tidak menyangkal keberadaan Allah tetapi tidak berhenti pada penjelasan sederhana dan tuntas yang disediakan dalam struktur moral yang sudah mapan.
Manusia yang Bertanggungjawab
Dalam menjawab persoalan keadilan retributif kita perlu mengingat bahwa Allah
memiliki hak prerogatif. Dalam kemahakuasaan Allah yang tak terhingga rencana-Nya, manusia benar yang mendapat penderitaan hanya dapat menerima dengan sabar tanpa menyalahkan orang lain dan mempertanyakan Tuhan. Hal yang lebih utama adalah pertanggungjawaban total
manusia terhadap Allah, yang serupa dengan memikul salib (Mat 10:38,16:24). Ketaatan manusia bukanlah belenggu tetapi merupakan penyerahan sepenuh hati pada kehendak Allah yang sempurna. Hal ini bukanlah suatu proses yang membatasi tetapi dipandang sebagai proses yang paling baik bagi manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Singgih, 2009, 200-1)
Demikian juga tanggungjawab manusia secara sosial. Manusia diciptakan bukan untuk hidup secara individual tanpa mempedulikan orang diluar dirinya. Oleh karena itu, sikap dan tindakan seseorang harus memperhitungkan tanggung jawabnya dalam masyarakat. (Gutrie, 152) Ada tiga unsur penting dalam menentukan tanggung jawab etika seseorang atas tindakannya.
Pertama, unsur afektif dari tindakan moral artinya perwujudan cinta kasih seorang Kristen tidak hanya menggunakan kata dan perasaan tetapi harus disertai perbuatan nyata yang membuahkan kebaikan bagi semua orang. Kedua, unsur pengetahuan sebagai dasar pertanggung jawaban manusia secara moral. Ketiga, unsur kehendak yang memberikan makna tindakan apakah sebuah tindakan lebih menguntungkan diri atau merugikan orang lain.
Keadilan Retributif
Prerogative Allah→ manusia dalam segala aspek kehidupannya
➔ Kebaikan→Kebaikan individu
➔ Kejahatan→penghukuman individu
➔ Kebaikan→kebaikan secara umum (dampak sosial)
➔ Kejahatan→ tidak boleh berdampak secara sosial
Dilema
➔ Kebaikan→ berdampak penderitaan individu dan sosial→ ada penyelesaian Baik
➔ Kejahatan→berdampak kebahagiaan individu dan sosial→ada penyelesaian dari perilaku yang dilakukan (akibat)
Refleksi
Prinsip tabur tuai dalam Alkitab sebagai prinsip alamiah kehidupan acapkali tertanam dalam pemikiran dan menjadi dasar seseorang untuk menanggapi kehidupan ini.
Jika manusia terjebak secara mutlak dalam penerapan prinsip ini, maka penyempitan makna kehidupan bisa jadi tidak terhindarkan. Kehidupan bukan semata-mata berbicara tentang bagaimana seorang manusia berprilaku baik dan buruk lalu kemudian kita merasakan akibatnya karena makna kehidupan lebih dari pada itu.
Kehidupan adalah anugerah Allah, dan hidup di dalam anugerah Allah berarti menjadi rekan sekerja Allah untuk berkarya membagikan kasih melalui kehidupan itu sendiri. Dengan
demikian dasar kehidupan seseorang harusnya melampaui prinsip tabur tuai tersebut. Bersikap baik dan buruk dalam menyikapi kehidupan kemudian jangan didasarkan hanya pada motivasi
“apa akibat yang akan kita dapatkan nanti”, namun lebih dalam pada kesadaran bahwa manusia menjadi bagian dalam rencana Allah untuk menghadirkan kasih tersebut. Anugerah kehidupan yang diberikan Allah adalah hal yang berharga, karena itu manusia harusnya menyikapi anugrah dalam kehidupan dengan bertanggung jawab penuh pada apa yang mereka lakukan.
Menyikapi hidup dengan bertanggung jawab adalah landasan etis yang harus
diterapkan dalam kehidupan setiap manusia. Dengan demikian seharusnya manusia pun akan berusaha untuk menjalankan kehidupannya dengan benar, meskipun dia tahu akibat yang dia terima mungkin saja tidak menyenangkan. Dalam makalah dijelaskan bagaimana Yohanes dan Stefanus harus menanggung akibat yang tidak tanggung-tanggung, yaitu kematian, karena mengisi kehidupannya dengan memberitakan Kerajaan Allah. Namun demikian, ditengah proses yang penuh dengan penderitaan karena kebenaran tersebut mereka tetap setia, karena mereka bertanggug jawab untuk anugerah kehidupan yang sudah Allah berikan.