• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Kebutuhan Multi Akad dalam Transaksi Ekonomi Muamalah; Analisis Maqashid Syariah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of Kebutuhan Multi Akad dalam Transaksi Ekonomi Muamalah; Analisis Maqashid Syariah"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Kebutuhan Multi Akad dalam Transaksi Ekonomi Muamalah; Analisis Maqashid Syariah

The Need for Multi-Akad in Muamalah Economic Transactions; Analysis of Maqashid Sharia

Julhaidir Purba

Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Indonesia Email: julhaidirpurbagnpara@gmail.com

Dhiauddin Tanjung

Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Indonesia Email: dhiauddintanjung@uinsu.ac.id

ABSTRACT

This research was motivated by differences of opinion among the fuqaha' about the multi-contract law. Meanwhile, the need for multi-contract in muamalah economic transactions can increase production. The study aims to determine the level of need for multi-contract in muamalah economic transactions. This research is a qualitative research, revealing meanings related to differences in fukaha views on the implementation of multi-contracts. This research is also a type of literature research with primary data in the form of data taken from several literature views of fuqaha related to multi-contract from various references such as books, journals, and secondary data from other related documents. Data collection through documentation methods from both primary and secondary data sources. This study uses the maqashid syariah approach to explore the level of multi-contract needs in muamalah economic transactions. The results of this study show that the need for multi-contract can reach the level of Hajjyah, and arrive at the orientation of maqashid which aims to maintain religion. This multi-contract is an effort to maximize profits in business and also to get rights for everyone who transacts. In addition, if it is not done, there will be many people who transact with principles that are not sharia.

Keywords: Multi contract, Economic muamalah, Maqashid sharia.

ABSTRAK

Penelitian ini dilatar belakangi dari perbedaan pendapat di kalangan fuqaha’ tentang hukum multi akad. Sementara itu, kebutuhan multi akad dalam transaksi ekonomi muamalah dapat meningkatkan produksi. Penelitian bertujuan mengetahui tingkat kebutuhan multi akad dalam transaksi ekonomi muamalah. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, mengungkap makna-makna terkait perbedaan pandangan fukaha terhadap pelaksanaan multi akad.

Penelitian ini juga merupakan jenis penelitian pustaka dengan data primer berupa data-data yang diambil dari beberapa literatur pandangan para fuqaha terkait multi akad dari berbagai referensi seperti buku, jurnal, dan data sekunder dari dokumen-dokumen lain terkait.

Pengumpulan data melalui metode dokumentasi baik dari sumber data primer maupun sekunder. Penelitian ini menggunakan pendekatan maqashid syariah untuk menggali tingkat kebutuhan multi akad dalam transaksi ekonomi muamalah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebutuhan terhadap multi akad dapat mencapai tingkat hajiyah, dan sampai pada orientasi maqashid yang bertujuan untuk menjaga Agama. Multi akad ini sebagai upaya untuk memaksimalkan keuntungan dalan bisnis dan juga untuk mendapatkan hak bagi setiap orang

(2)

yang bertransaksi. Selain itu, bila tidak dilakukan, akan banyak orang yang bertransaksi dengan prinsip yang bukan syariah.

Kata kunci: Multi akad, Ekonomi muamalah, Maqashid syariah.

PENDAHULUAN

Kebutuhan multi akad dalam sistem ekonomi modern dinilai dapat meningkatkan pengembangan produk. Namun demikian, dalam literatur hukum Islam terdapat pandangan yang tidak membolehkan multi akad dalam satu transaksi. Hal ini berdampak pada implikasi hukum transaksi yang menggunakan multi akad. Persoalan ini menarik diteliti dengan perspektif tingkat kebutuhannya dalam ekonomi modern yang tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan multi akad.

Dilihat dari latar belakang berkembangnya beberapa model akad, sebenarnya ada semangat untuk mengembangkan lembaga komersial syariah yang lebih kompetitif dibandingkan dengan lembaga komersial tradisional. Memang tidak bisa disalahkan jika pembuatan akad ganda sudah menjadi konsep dasar formalisasi transaksi berbagai lembaga keuangan dan perusahaan syariah1. Namun, larangan penerapan beberapa akad multi adalah penggabungan akad menjadi satu, bukan penerapan beberapa akad (

murakkab

). Dewan Syari’ah Nasional (DSN) sering menekankan bahwa suatu akad tidak dapat digabungkan (

mu'allaq

) dengan akad lain. Dari putusan tersebut dapat dipahami bahwa DSN secara tegas menolak akad ganda dalam bentuk “

uqud mutaqabilah

”, yaitu akad yang mengandung banyak akad atau akad yang satu dihubungkan (

mu'allaq

) dengan akad yang lain.

Penelitian dengan topik multi akad pada dasarnya telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti. Pada tahun 2018, Nurul Hamidah meneliti multi akad yang digunakan dalam perjanjian hutang piutang di Pabrik Gula Krebet Baru Malang di tinjau dari Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah serta pendapat ulama dan hukum Islam.2 Tahun 2019, Muhammad Yunus meneliti jenis transaksi yang menggunakan

hybrid

1 Burhanuddin Susanto, Tingkat penggunaan multi akad dalam fatawa Dewan Syari’ah Nasional Majlis Ulama’ Indonesia. (Al-Ahkam, Vol. 11, No. 1, Juni 2016), h. 212.

2 Hamidah, Nurul. “Perjanjian Hutang Piutang Dengan Multiakad Antara Petani Tebu Dengan Pabrik Gula Tinjauan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Studi Di Pabrik Gula Krebet Baru Malang).” Journal of Islamic Business Law; Vol 2 No 3 (2018): Journal of Islamic Business Law, Sept. 2018, http://urj.uin-malang.ac.id/index.php/jibl/article/view/661.

(3)

Contract

pada perbankan syariah dengan perspektif fiqh muamalah.3 Tahun yang sama 2019, Muhammad Noor Sayuti mendialogkan interpretasi tentang multi akad (

hybrid Contract

) secara tekstual dan kontektual.4 Tahun 2020, Muhammad Fuad Ma’ud menganalisis

hybrid Contract

pada take over pembiayaan hunian syariah dalam perspektif hukum ekonomi Islam.5 Tahun 2020, Panji Adam dan kawan-kawan menguraikan relevansi pengembangan produk lembaga keuangan syaiah melalui kritik dan syarah hadis multi akad.6 Tahun 2022, Mita Musfa dan kawan-kawan menganalisis penerapan multi akad pada produk pembiayaan di Koperasi Mitra Dhuafa cabang Polewali.7

Hasil penelitian tersebut pada dasarnya masih menyisakan berbagai problem yang belum diteliti. Penelitian yang mengkaji perbedaan pandangan para fuqaha terkait penggunakan multi akad dalam transaksi ekonomi belum terjawab. Problem berkaitan dengan tingkat kebutuhan penggunakan multi akad dalam peningkatan produksi juga belum terselesaikan. Perspektif maqasid shariah sebagai pendekatan dalam mengkaji tingkat kebutuhan multi akad juga belum ada yang mengkaji. Selain itu, kajian tentang kontrak hybrid menginformasikan penelitian lebih lanjut. Hal itu

3 Yunus, Muhammad. “Hybrid Contract (Multi Akad) dan Implementasinya di Perbankan Syariah.” Tahkim (Jurnal Peradaban Dan Hukum Islam); Vol 2, No 1 (2019) ; 2598-1129 ; 2597- 7962, Mar. 2019, https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/tahkim/article/view/4473.

4 Sayuti, Muhammad Noor. “Kontekstualisasi Rasio Logis Hybrid Contract: Upaya Penguatan Persepsi Masyarakat Terhadap Bank Syariah.” Al-Iqtishadiyah: Ekonomi Syariah Dan Hukum Ekonomi Syariah; Vol 5, No 2 (2019): Jurnal al-Iqtishadiyah; 111-129; AL-IQTISHADIYAH:

EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM EKONOMI SYARIAH; Vol 5, No 2 (2019): Jurnal al- Iqtishadiyah; 111-129 ; 2621-0274 ; 2442-2282 ; 10.31602/Iqt.V5i2, Jan. 2020, https://ojs.uniska-bjm.ac.id/index.php/IQT/article/view/2542.

5 Mas’ud, Muhammad Fuad. “Analisis Hybrid Contract Pada Take Over Pembiayaan Hunian Syariah Dari Bank Konvensional Ke Bank Syariah Dalam Perspektif Hukum Ekonomi Islam.”

AKSY: Jurnal Ilmu Akuntansi dan Bisnis Syariah; Vol 2, No 1 (2020): AKSY : Jurnal Ilmu Akuntansi Dan Bisnis Syariah; 81-89 ; 2655-9420, Feb. 2020, http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/aksy/article/view/7863.

6 Adam, Panji, et al. “Kritik Dan Syarah Hadis Multi Akad Serta Relevansinya Terhadap Pengembangan Produk Lembaga Keuangan Syariah Dalam Fatwa DSN-MUI.” Jurnal Iqtisaduna;

Vol. 6 No. 2 (2020); 104-120 ; Jurnal Iqtisaduna; Vol 6 No 2 (2020); 104-120 ; 2550-0295 ;

2460-805X, Dec. 2020, https://journal.uin-

alauddin.ac.id/index.php/Iqtisaduna/article/view/18288.

7 Musfa, Mita, et al. “Analisa Penerapan Multi Akad Pada Produk Pembiayaan Dalam Perspektif Fiqih Muamalah (Studi Kasus Koperasi Mitra Dhuafa Cabang Polewali).” Journal Peqguruang:

Conference Series; Vol 4, No 1 (2022): Peqguruang, Volume 4, No.1, Mei 2022; 161-164 ; 2686-

3472 ; 10.35329/Jp.V4i1, May 2022, https://journal.lppm-

unasman.ac.id/index.php/peqguruang/article/view/2287.

(4)

karena tidak ada penelitian ilmiah yang berhenti pada satu titik, namun terus berkembang dan bervariasi8. Beberapa problem tersebut menjadi dasar dan latar belakang peneliti untuk melakukan kajian lanjut.

Berdasarkan problematika yang teridentifikasi tersebut, penelitian ini berfokus pada analisis tingkat kebutuhan multi akad dalam transaksi ekonomi muamalah.

Penelitian di fokuskan dengan perspektif maqashid syariah sebagai pendekatan.

Perspektif ini digunakan untuk mengetahui sejauhmana tingkat kebutuhan multi akad dalam pengembangan produk. Penelitian ini berkontribusi dalam aspek keilmuan.

Penelitian ini memberikan wacana berkaitan dengan aplikasi multi akad yang telah banyak dilakukan oleh berbagai pelaku ekonomi muamalah.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, mengungkap makna-makna terkait perbedaan pandangan fukaha terhadap pelaksanaan multi akad. Dilihat dari tujuan penelitian, dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau doktrinal. Disebut kajian hukum doktrinal karena kajian ini hanya menitikberatkan pada hukum-hukum dan asas-asas tertulis. Penelitian ini juga merupakan jenis penelitian pustaka dengan data primer berupa data-data yang diambil dari beberapa literatur pandangan para fuqaha terkait multi akad dari berbagai referensi seperti buku, jurnal, dan data sekunder dari dokumen-dokumen lain terkait.

Pengumpulan data melalui metode dokumentasi baik dari sumber data primer maupun sekunder. Penelitian ini menggunakan pendekatan maqashid syariah untuk menggali tingkat kebutuhan multi akad dalam transaksi ekonomi muamalah.

TERMINOLOGI PENGERTIAN MULTI AKAD

Akad ganda (

'uqud mukhtalithah

) memiliki arti yang sama dengan akad murakkab9, yaitu. kontrak digabung menjadi satu kontrak yang membawa akibat hukum dari satu kontrak. Dengan kata lain, akad yang terdiri dari penggabungan beberapa akad yang berbeda menjadi satu akad. Akad Mukhtalith juga digunakan

8 Haryono, Dinamika dan solusi pengembangan multi akad (hybrid contract) sebagai basis produk perbankan syariah. (Ad-Deenar, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam)

9 Al-Fairuz al-Abadi, Al-Qamus al-Muhith, h. 117

(5)

untuk menyebut akad murakkab. Keduanya memiliki arti yang sama, hanya berbeda pada kedalaman maknanya. Kata makambak lebih tepat dan spesifik daripada mukhtalit untuk beberapa akad yang mungkin memiliki arti lain. Baik akad murakkab maupun mukhtalith dimaksudkan untuk menyatakan penggabungan beberapa akad menjadi satu akad dan mempunyai akibat hukum yang sama terhadap pokok akad tersebut.

JENIS-JENIS MULTI AKAD

1. Akad Bersyarat (al-'Uqud al-Mutaqabilah)

Al-Mutaqabilah secara harfiah berarti berkumpul. Dikatakan bahwa sesuatu harus dihadapi ketika keduanya bertentangan. Meskipun al-'uqud al-mutaqabilah mengacu pada beberapa akad berupa akad kedua yang bersesuaian dengan akad pertama, dengan kesempurnaan akad pertama bergantung pada kesempurnaan akad kedua melalui proses timbal balik. Dengan kata lain, satu kontrak tergantung pada kontrak lain.

2. Akad yang terkumpul (al-'Uqud al-Mujtami'ah)

Al-'uqud al-mujtami'ah adalah akad ganda yang digabungkan menjadi satu akad. Dua atau lebih kontrak digabungkan menjadi satu kontrak. Misalnya, "Saya akan menjual rumah ini kepada Anda dan menyewakan Anda rumah lain selama sebulan seharga lima ratus ribu". Bahwa akad mujtami'ah berganda dapat timbul dari penggabungan dua akad yang berbeda akibat hukumnya menjadi satu akad untuk dua benda dengan satu harga, dua akad yang berbeda akibat hukumnya menjadi satu akad untuk dua benda dengan dua harga, atau dua akad menjadi satu akad. hukum yang berbeda untuk satu benda dengan satu muatan, baik secara bersamaan atau pada waktu yang berbeda.

3. Akad berlawanan (al-'Uqud al-Mutanaqidhah wa al-Mutadhadah wa al- Mutanafiyah)

Ketiga ungkapan al-mutanaqidhah, al-mutadhadah, al-mutanafiyah memiliki kesamaan yaitu ketiganya mengandung makna perbedaan. Namun ketiga istilah ini memiliki konotasi yang berbeda. Mutanaqidhah mengandung makna yang berlawanan, seperti misalnya seseorang mengatakan sesuatu kemudian mengatakan kebalikan dari yang pertama. Ada yang bilang ada yang benar, lalu ada yang bilang ada yang salah.

(6)

Kata-kata orang ini disebut mutanaqidha dan saling bertentangan. Disebut mutanâqidah, karena yang satu dengan yang lainnya tidak mendukung yang lain, tetapi malah merusaknya.

4. Akad yang Berbeda (al-'Uqud al-Mukhtalifah)

Akad ganda yang bersifat mukhtalifah adalah dua akad atau lebih yang memiliki akibat hukum yang berbeda antara kedua akad atau sebagian akad. Sama halnya dengan perbedaan akibat hukum perjanjian jual beli dan perjanjian sewa, perjanjian sewa pasti memiliki klausul waktu, sedangkan untuk jual beli berlaku sebaliknya.

Contoh lainnya adalah akad ijarah dan salam. Dalam hal salam, harga sewa kilat harus diumumkan pada saat penandatanganan akad (fi al-majlis), tetapi dalam ijârah, harga sewa tidak boleh diumumkan pada saat akad ditandatangani. Perbedaan antara akad mukhtalifah dan mutanaqidhah, mutadhadah dan mutanafiyah adalah adanya akad masing-masing. Meskipun kata mukhtalifah lebih umum dan dapat mencakup tiga jenis lainnya, mukhtalifah meskipun berbeda tetap ditemukan dalam syariat. Adapun kategori ketiga yang berbeda, melibatkan kontrak yang saling eksklusif antara kontrak di dalamnya. Menurut para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa mutanâqidhah, mutadhadah dan mutanâfiyah adalah akad yang tidak dapat digabungkan menjadi satu akad. Namun, pendapat para ulama dalam ketiga bentuk akad ganda tersebut tidak seragam.

5. Akad sejenis (al-'Uqud al-Mutajanisah)

Al-'uqud al-murakkabah al-mutajanisah adalah akad yang dapat digabungkan menjadi satu akad tanpa mempengaruhi hukum dan akibat hukumnya. Jenis multi kontrak ini dapat terdiri dari satu jenis kontrak (misalnya perjanjian jual beli) atau beberapa jenis (misalnya jual dan sewa). Jenis akad ganda ini juga dapat dibentuk oleh dua akad dengan hak yang sama atau berbeda10.

Transaksi dengan beberapa akad antara lain al-'uqud ghairu al-musamah, yaitu.

kontrak modern yang tidak ada atau bahkan tidak dapat dijelaskan dalam buku-buku Turat. Multi contract sendiri dibuat untuk memenuhi kebutuhan pasar, meningkatkan profit, meminimalisir resiko dan lainnya. Sebenarnya akad ganda dapat diberlakukan selama tidak ada dasar yang melarangnya, juga maqashidnya harus jelas sehingga

10 Hasanudin. 28 Mei 2009, Multi Akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia. (Ciputat: UIN Syahid) h. 7.

(7)

tidak ada pihak yang dirugikan atau dirugikan, agar akad berganda dapat dilaksanakan harus memperhatikan unsur-unsur yang terkandung dalam akad tersebut. . Menurut kesepakatan. syariah Dalam fikih sendiri terdapat penyimpangan yang berbeda dari wasiat dasar yang diberikan pada akad tambahan, yaitu. hal-hal yang seharusnya dilarang dalam akad, tetapi diperbolehkan dalam akad tambahan, adalah urfi dan dikukuhkan menurut pendapat para ahli. oleh Dewan Pengawas Syariah, berdasarkan aturan, yaitu sesuai dengan prinsip-prinsip kontrak, yang menyelesaikan, berbagai hal yang dilarang ditoleransi, yang tidak dapat dibiarkan sendiri. Berikut adalah beberapa akad bank syariah:

a. Akad ijarah Muntahiya bi al-tamlik (IMBT), yang terbagi atas akad ijarah, akad wa`d dan tamlik atau akad bai atau akad tambahan.

b. Akad musyarakah mutanaqishah merupakan gabungan antara akad musyarakah atau syirkah “inan, wad untuk bai” dan akad bai atau akad ijarah.

c. Akad murabahah li al-amir bi al-syira' adalah gabungan antara wa'd, wakalah dan jual beli.

d. Produk gadai emas merupakan gabungan dari akad qardh, rahni dan ijarah.

e. Tabungan haji merupakan gabungan dari akad qardh dan rahni.

f. Istishna Parallel, yaitu gabungan antara istishna dan wakalah yang dikontrakkan.

g. Mudharabah muqayyadah, yaitu gabungan akad mudharabah dan akad sebagai obyek mudharabah.

h. Produk multi level marketing yaitu kombinasi akad bai, jualah dan samsara11. Berdasarkan perjanjian tersebut ditegaskan bahwa kewajiban dan hak para pihak yang bersepakat harus mendapatkan haknya tanpa tirani. Berdasarkan nash Al- Qur'an dan Hadits dijelaskan bahwa ada beberapa akad antara lain transaksi, raan dan lain-lain yang dijelaskan rukun akad, syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan hukumnya. Kontrak yang dijelaskan berisi teks dan buku besar yang digunakan untuk jual beli, karena sesuai dengan keinginan masyarakat. Akad yang disebutkan dalam nash dan kitab Turatsite menjadi akad jual beli, karena disesuaikan dengan keinginan masyarakat pada masa itu. Jika masyarakat sekarang membutuhkan pengaturan akhir

11 M. Ziqri Anhar Nst, Teori Maqashid Syariah dan Penerapannya dalam Perbankan Syariah.

(Jurnal Ekonomi & Ekonomi Syariah, Vol. 5, No. 1, Januari 2022)

(8)

untuk memenuhi kebutuhannya, maka ini berarti diperbolehkan, tetapi tidak menyimpang dari membagi hal-hal menurut prinsip atau tsaqabit dalam masalah muamalah yang jelas, yaitu wudhuh, kebenaran dan tidak melakukan kesalahan dalam kaidah fikih.

Isu kontrak hybrid berkembang dari teori bahwa Syariah tidak memungkinkan kesimpulan dari dua kontrak dalam satu transaksi kontrak (dua dalam satu). Padahal, larangan

two in one

hanya dibatasi tiga kasus saja menurut hadits Nabi Muhammad tentang larangan penggunaan hybrid contract. Ketiga hadits tersebut memuat tiga larangan, pertama larangan bay'i dan salaf, kedua larangan bai'atain fi bai'atin, dan ketiga larangan shafqatain fi shafqatin12. Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan hukum beberapa perjanjian, terutama tentang hak asal-usul. Pembedaan tersebut menyangkut apakah beberapa akad sah dan diperbolehkan atau batal dan dilarang. Dalam hal ini, para ilmuwan memiliki dua pendapat; aktifkan dan nonaktifkan.

Sebagian besar ulama Hanafiyah, sebagian Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanbali berpendapat bahwa hukum akad ganda adalah sah dan diperbolehkan menurut hukum Islam. Promissor berpendapat bahwa hak akad yang semula boleh dan sah, tidak dilarang dan batal, selama tidak ada dasar hukum untuk mengingkari atau membatalkannya13.

MAQASHID SYARIAH

Maqashid al syari’ah didefinisikan oleh Muhammad Thahir Ibn Asyur adalah:

]

"

نأ قم هقفلا يف ءاضقلاو عيرشتلا هيلع فقوتي ام ءاقتسلا يدبلأا عجرملا يه ةعيرشلا دصا

ةضماغ تسيلو .هميمص نم اهنكلو ،يملاسلإا عرشلا نع ايجراخ اًردصم تسيل اهنأو ،يملاسلإا لا يذلا يعيبطلا نوناقلا ضومغ وه ام ىلع ىتح رثؤت دصاقملا نأو .دروم لاو دح هل فرعي

هيلع صوصنم ءاضتقلاا دنع

[

Maqashid syariah adalah latar belakang yang absolut untuk membenarkan apa yang menjadi landasan pensyari’atan dan penentuan Hukum pada Fikih Islam. Maqashid itu bukanlah unsur eksternal dari syari’at Islam, melainkan

12 Ali Amin Ishfandiyar, Analisis Fikih Muamalah Tentang Hybrid Contract Model dan Penerapannya Pada Lembaga Keuangan Syariah. (Jurnal Penelitian Vol. 10, No. 2, November 2013, h. 205).

13 Nasih Hammad, Al Uqud Al Murakkabah Fi Al Fiqih Al Islamy. (Syiria: Dar Al Qalam, thn 2005), h. 11-12.

(9)

hakikat dari syariat itu sendiri. Dan Maqashid itu juga bukan teori yang sukar difahami dalam redaksi undang-undang yang terkadang tidak dikenal batasan Istilahnya dan juga tempat datangnya. Dan Maqashid itu akan memberikan pengaruh bahkan sampai pada hukum yang tekstual ketika diterapkan.14

Maqashid Syari'ah dalam pengertian maqashid al-syari' meliputi empat aspek:

keempatnya adalah: 1) Tujuan awal Syariat adalah untuk kemaslahatan orang di dunia dan di akhirat; 2) Syariat adalah sesuatu yang harus dipahami; 3) Syariat sebagai hukum taqlif yang harus diikuti; dan 4) Syariah bertujuan untuk membawa orang di bawah perlindungan hukum.

Aspek pertama berkaitan dengan isi dan sifat maqashid al-shari'ah. Aspek lain terkait dengan ruang lingkup bahasa untuk memahami syariah dan mencapai manfaat yang terkandung di dalamnya. Aspek ketiga berkaitan dengan penerapan aturan syariah untuk menciptakan keuntungan. Ini juga mengacu pada kemampuan seseorang untuk menerapkannya. Aspek terakhir mengacu pada ketaatan manusia sebagai mukallaf di bawah dan melawan hukum Allah. Atau lebih tegasnya, sisi tujuan syariat adalah berusaha membebaskan manusia dari batas nafsu.

Aspek kedua, ketiga dan keempat pada dasarnya mendukung aspek pertama sebagai aspek utama. Namun, sebelum membahas aspek pertama sebagai aspek utama, terlebih dahulu dijelaskan tiga aspek terakhir yang menurut al-Syatiby saling terkait dan merupakan rincian dari aspek pertama. Aspek pertama sebagai aspek utama dapat dilaksanakan dengan menerapkan ajakan atau paksaan hukum kepada hamba sebagai aspek ketiga. Seseorang tidak dapat membuat Taklif tanpa memahami pengucapan dan dimensi makna sebagai aspek yang lain. Memahami dan menerapkan anjuran ini dapat membawa manusia di bawah perlindungan hukum Tuhan, bebas dari batas nafsu sebagai aspek keempat.

Sehubungan dengan tujuan terciptanya syariat yang bermanfaat bagi manusia di dunia dan selanjutnya dapat diwujudkan sebagai aspek yang mendasar. Dalam pembagian maqashid al-shari'ah, aspek pertama sebagai aspek utama menjadi fokus analisis. Karena aspek pertama berkaitan dengan realitas penerapan hukum syariat

14 Thahir Ibn Asyur, Maqashid Syari’ah Al Islamiyah wa makarimiha, (Lebanon, Dar al Kitab Al Mishri, tt), h. 51.

(10)

Allah. Fakta atau tujuan awal dari penerapan syariat harus menentukan kapan unsur- unsur dasar itu dapat dibangun dan dipertahankan. Lima unsur pohon itu adalah agama, jiwa, keturunan, akal dan kekayaan. Untuk menetapkan dan memelihara lima unsur dasar tersebut, terdapat tiga tingkatan tujuan maqashid atau syari'ah, yaitu:

1. Maqashid al-daruriyaat.

2. Maqashid al-hajiyaat 3. Maqashid al-Tahsiniyat15.

Kegagalan dalam memahami aspek Daruriyaat dapat membahayakan kehidupan seseorang di dunia dan akhirat. Mengabaikan aspek hajiyaat tidak merugikan keberadaan lima unsur pokok, tetapi menimbulkan kesulitan bagi umat seperti mulatto dalam pelaksanaannya. Sementara itu, pengabaian aspek tahsiniyat mengarah pada upaya mempertahankan lima unsur dasar yang tidak sempurna.

Misalnya, dengan tetap menjaga unsur agama, aspek daruriyaat meliputi pendirian salat. Shalat termasuk daruriyat, kewajiban menghadap kiblat termasuk hajiyaat, dan menutup aurat termasuk tahsiniyat. Jika kita menganalisisnya lebih jauh, mencoba mencapai pelestarian sempurna dari lima elemen dasar, tiga tingkat maqashid teratas tidak dapat dibedakan satu sama lain. Nampaknya tingkatan hajiyaat adalah pemenuhan tingkatan daruriyaat. Tingkat tahsiniyat merupakan penyempurnaan dari tingkat hajiyaat. Pada saat yang sama, daruriyaat merupakan subyek hajiyaat dan tahsiniyat16.

Imam al-Ghazali menulis bahwa kebutuhan manusia yang paling utama mencakup tiga hal penting, yaitu dharury, hajy dan tahsiny. Yang pertama adalah pemenuhan kebutuhan dasar, yang meliputi lima hal penting,

hifdz ad-din

(pemeliharaan agama),

hifdz annafs

(pemeliharaan jiwa),

hifdz al-aql

(pelestarian akal),

hifdz al-mal

(pemeliharaan harta),

hifdz al-irdl

(untuk menjaga kehormatan) Eliwarti Maliki Mengembangkan konsep sebagai bentuk serangan daripada alat pertahanan. Secara rinci, ia menulis sebagai berikut:

a) Hifdz ad-din (pemeliharaan agama) menjadi haq attadayyun (hak beragama), yaitu hak untuk beribadah dan mengamalkan ajaran agama. Hak ini tidak hanya tentang menjaga kesucian agama, tetapi juga tentang mendirikan ibadah dan

15 Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Kairo : Mustafa Muhammad, t.th), h. 8 19

16 Ibid., h. 11

(11)

menciptakan model hubungan manusia yang sehat untuk praktik agama, baik antar agama lain maupun dengan agama yang berbeda. Dengan demikian, secara tidak langsung hak tersebut digunakan untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi terwujudnya kebhinekaan.17

b) Hifdz an-nafs (penjaga jiwa) menjadi haq alhayat (hak untuk hidup). Hak ini bukan hanya sarana untuk membela diri. Hak ini harus bertujuan untuk menciptakan kualitas hidup yang lebih baik bagi dirinya dan masyarakat. Hak untuk hidup harus bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup seseorang secara keseluruhan, bukan sebagian.

c) Hifdz al-aql (pelestarian akal), yaitu haq al-ta'lim (hak atas pendidikan) Menghormati akal tidak hanya tentang kemampuan akal untuk gila atau mabuk. Arah menjaga akal budi adalah terwujudnya hak intelektual setiap individu dalam masyarakat. Ini termasuk pencurian hak cipta, karya, dan kreasi seseorang.

Perlindungan terhadap ini termasuk dalam kategori akal protektif, yang menjamin keamanan karya intelektual.

d) Hifdz al-mal (pemeliharaan harta), yaitu haq al-amal (hak untuk bekerja). Itu tidak diartikan hanya sebagai upaya untuk melindungi properti dari campur tangan orang lain. Hak ini juga dapat diartikan sebagai hak seseorang untuk memperoleh harta secara sah dengan bekerja. Secara garis besar, hak ini memberikan seseorang hak untuk membuka lapangan kerja bagi orang lain. Sehingga setiap orang dapat menikmati kepemilikan dalam hidupnya untuk memiliki kualitas hidup yang sejahtera.

e) Hifdz al-irdl (pemeliharaan kehormatan) menjadi haq al-intirom al-insan (hak atas kehormatan manusia). Ini bukan hanya upaya untuk melindungi kehormatan diri dan keluarga dari tuduhan dan fitnah orang lain. Melestarikan peristiwa dan budaya merupakan bagian terpenting dalam menjaga kehormatan dan martabat masyarakat.

Dalam konteks yang lebih luas, pelestarian harkat dan martabat bangsa termasuk dalam perdebatan tentang hak menjaga kehormatan. Dari uraian di atas, jelaslah bahwa pelaksanaan hak darury tidak hanya untuk melindungi setiap individu.

17 Ahmad Al-Raisuniy, Nadhariyah maqashid inda Al imam Al Syatibiy (Dar al- Alamiyah Li Al kutub Al Islamiy, cet. 2, 1992), J. 1, h. 3.

(12)

Sebaliknya, itu adalah upaya mencekik yang harus dihargai untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia, agama, ekonomi, sosial, spiritual dan budaya18.

Kedua, hajiy (kebutuhan sekunder) adalah kebutuhan seseorang untuk mempermudah, memperluas dan menggantikan ketegangan dan kepenatan dalam hidup. Dalam beberapa kajian fiqh-ushul fiqh, gambarannya adalah ritual yang tegak.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penafsiran ini harus dimaknai lebih terkait dengan kebutuhan sosial. Ekonomi, sosial, politik, dan lain-lain adalah berbagai beban hidup yang sebenarnya membutuhkan ruang dan kenyamanan dari teks-teks agama.

Dengan demikian, maqashid as-syariah tidak pernah kehilangan konteksnya dalam kehidupan nyata masyarakat. Sudah selayaknya penelitian ini difokuskan pada pemecahan masalah dan kasus sosial di masyarakat.

Ketiga, tahsiny (kebutuhan tersier), yaitu kebutuhan yang timbul dari harga diri, standar dan pengaturan hidup. Gambaran ini mengacu pada kebutuhan manusia akan keindahan dalam berpenampilan. Dalam kajian ushul-fiqh, gambaran ini biasanya berkaitan dengan mengisi pakaian, kendaraan, dan makanan tambahan. Kajian ini tidak salah, namun jika dikaitkan dengan realitas kehidupan, makna di atas tidak dibenarkan. Kekeringan, kelaparan, penggundulan hutan, banjir, tanah longsor, peringatan global dan peristiwa lainnya dapat diklasifikasikan sebagai memenuhi kebutuhan orang yang kelaparan dan lain-lain. Sebagai catatan, penulis mengutip KH.

Sahal Mahfuzd sebagai berikut:

Munculnya qaul-qaul ulama terdahulu disadari sebagai sebuah hasil ijtihad mereka yang tidak lepas dari konteks social budaya yang mengitarinya. Maka dengan sedirinya pendapat tersebut tidak menjadi absolute, tidak berlaku abadi dan tidak universal. Dengan demikian menetapkan hukum atas berbagai peristiwa yang muncul saat ini berdasarkan qaul ulama terdahulu adalah merupakan pengingkaran terhadap prinsipprinsip syari’ah itu sendiri dan dengan sendirinya pula kaidah Ushul Fiqh yang mengatakan al-Islam solihun likulli izaman wal makan terkubur begitu saja. Mashlahah sebagai tujuan syari’ah berorientasi pada pemeliharaan terhadap lima hal, yaitu memelihara

18 Syamsuddin Al Fannari, Fushul al badai’ fi Ushul al Syarai’, (Beirut Libanon, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, cet. 1, 2006), j. 2, h. 434.

(13)

agama, jiwa, akal, harta dan keturunan, tanpa terpeliharanya kelima hal tersebut, maka tidak akan tercapai mashlahah secara sempurna.

KEBUTUHAN MULTI AKAD DALAM PERSPEKTIF MAQASID AL-SHARIAH

Maqashid syariah yang di dalamnya ditentukan akad ganda adalah penjelasan tentang hak dan kewajiban para pihak yang membuat akad sehingga masing-masing pihak mendapatkan haknya tanpa kezaliman. Beberapa akad seperti jual beli, Rahn dan lain-lain disebutkan dalam nash Al-Qur'an dan Hadits yang menjelaskan tentang rukun, syarat dan ketentuan hukum akad tersebut. Perjanjian dan pasar yang disebutkan dalam teks adalah peristiwa yang muncul sesuai dengan keinginan masyarakat saat itu. Jika masyarakat sekarang menuntut akad baru untuk memenuhi kebutuhannya, berarti diperbolehkan selama tidak melanggar tsawab (asas) dalam urusan muamalat, termasuk wudhuh (jelas), adil, dan tidak melanggar syariat ketentuan dari fikih19.

Ulama Jumhur juga menegaskan bahwa jika setiap unsur akad yang muncul dalam beberapa akad adalah sah, maka gabungan dari semua akad juga sah (qiyas al- majmu` `ala ahadiha). Untuk itu Hanabilah dan Syafi’iyah membolehkan akad ganda, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu al-Qayyim: “Pada prinsipnya setiap perjanjian dan syarat yang disepakati dalam suatu akad adalah sah menurut hukum, kecuali perjanjian dan syarat yang dilarang dalam syariat.

Dilihat dari tujuannya, memang didapati bahwa multi akad ini tidak mengandung unsur yang apabila ditinggalkan dapat menyebabkan ketidak stabilan perekonomian atau bahkan sampai pada hilangnya nyawa, akal atau bahkan harta, melainkan hanya untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalisir kerugian.

Namun, bila tidak diterapkan, akan ada peninggalan prinsip muamalah syar’iyah secara keseluruhan yang berdampak kepada perbuatan meninggalkan agama Islam. Karena, di masa sekarang ini berkembangnya akad yang dalam jumlah yang banyak menuntut prinsip muamalah dalam konsep fikih Islam mampu memerikan jawaban serta solusi terhadapnya.

19 Toha Andiko, Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam, (Yogyakarta, Samudera Biru, Cet. 1, t 2018), h. 112.

(14)

Apalagi bila dilihat dari latarbelakang terjadinya multi akad ini untuk relevansi muamalah dalam terapannya di era milenial sekarang ini. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa multi akad ini tidak terlalu menyentuh pada prinsip menjaga jiwa, karena tanpa multi akad ini suatu transaksi tetap dapat menghasilkan keuntungan atau kemanfaatan bagi kedua belah pihak yang bertransaksi walaupun tidak menggunakan multi akad. Namun, di sisi lain dapat menyentuh pada aspek menjaga agama karena sangat berpotensi pada prinsip muamalah syar’iyah yang akan ditinggalkan umat bila tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Seperti dalam akad

ijarah muntahiah bi al tamlik

, misalkan. Barang yang disewakan akan tetap dalam fungsinya memberikan kepuasan bagi kedua belah pihak.

Bagi si penyewa akan mendapatkan fungsinya seperti mobil yang disewakan, dan bagi pemilik mobil yang menyewakan akan mendapat manfaat berupa uang sewa yang ia terima dari si penyewa. Keduanya akan tetap pada prinsip yang sama, tetap mendapatkan keuntungan dan manfaat walaupun tidak dilakukan janji untuk memiliki mobil yang disewakan itu sampai akhir di masa biaya sewanya sudah mencapai harganya.

Di sisi lain dari akad ijarah ini adalah mempermudah umat muslim untuk memiliki sesuatu yang dia inginkan dengan cara tidak mempersulit dirinya sendiri. Bila dalam akad bai’ bi al taqsith si pembeli akan memiliki kewajiban membayar utangnya setiap bulan, maka dalam transaksi ini akan lebih mudah. Di lain itu, cara ini akan membuka cakrawala berfikir yang lebih jernih dalam mindset umat muslim, yaitu berusaha untuk memiliki bukan hanya menikmati sesaat.

Dalam akad syirkah mutanaqishah, misalnya. Di masa sekarang ini sudah banyak orang yang membeli rumah sebagai kebutuhan utamanya untuk menjadi pengganti sewa rumah mereka membeli rumah dengan akad KPR. Namun, tidak semua akadnya bersih dari riba. Maka syirkah mutanaqishah ini akan menjadi solusi bagi masyarakat yang menginginkan rumah dengan sistem pembayaran kredit dan tidak lari dari prinsip syariah. Dalam terapannya, syirkah mutanaqishah ini akan berkongsi dengan customer pembeli rumah, setiap dari pihak bank ataupun customer memiliki bagian yang disebut sahm. seiring berjalannya waktu, maka bagian pihak bank akan berkurang dan semakin habis, sementara rumah akan menjadi milik sempurna bagi customer. Walaupun dalam akadnya ditemui kerja yang berulang dan

(15)

semakin banyak, setidaknya customer akan selamat dari jeratan riba. Maka akan ditemukan dua kemaslahatan dalam transaksi ini. Yang pertama untuk menjaga agar masyarakat tetap selalu bertransaksi dalam konsep syariah, apalagi diketahui di masa sekarang ini lebih banyak masyarakat yang lebih tergiur kepada segala akad di lembaga konvensional daripada syariah. Sedagnkan maslahat yang kedua menjadi pembanding dan untuk selalu mendukung lembaga keuangan syariah agar tetap mampu tumbuh konsisten serta bersaing dengan lembaga konvensional. Apalagi diketahui banyak orang yang tidak terlalu yakin dengan Bank Syariah dan malah langsung berpindah ke Bank konvensional.

Dalam terapannya yang diharapkan dapat menjadi jawaban bagi segala permasalahan kontemporer, sehingga sistem Islam dapat selalu dikatakan membawa rahmat bagi seluruh alam, maka maqashid syariah dituntut agar selalu dapat memberikan jawaban terhadap masalah dan kasus yang selalu ada seiring berjalannya masa. Selain itu, syariat juga dituntut agar mampu jalan beriringan dengan kebutuhan umat di era milenial ini sebagai solusi dalam bermuamalah bagi masyarakat. Yang apabila syariah tidak mampu menerapkan itu, maka masyarakat akan berlari dari muamalah yang berbasis pada konsep halal dan syar’i kepada muamalah yang berbasis kepada kedzalimanan dan menguntungkan diri sendiri. Dan ini tidak jauh dari prinsip menjaga agama di mana kita ketahui bila agama tidak lagi dipedomani oleh penganutnya maka itu sudah menjadi kebutuhan yang sangat pokok dan primer, maka terapan kebutuhan ini masuk dan sampai pada batas level dharuriyat, yang apabila ditinggalkan maka akan hilanglah agama dari hati umat Islam.

Model implementasi fiqh muamalah dalam beberapa akad lebih bersifat formal, karena lebih banyak menggunakan pedoman formal rukun Akkadia dalam desainnya.

Jika ditemukan sebuah hadis yang melarang pembuatan akad ganda, maka secara kasuistis ditentukan berdasarkan apa yang disebutkan dalam hadis tersebut, tanpa mencoba menjelaskan tujuan di balik larangan tersebut, sebagaimana ditegaskan oleh para pendukung teori akad ganda20.

Hingga saat ini, DSN menggunakan pendekatan modifikasi akad dalam mengeluarkan fatwa produk muamalah kepada lembaga dan perusahaan keuangan

20 Ali Murtadha, Model Aplikasi Fiqh muamalah pada Formulasi Hybrid Contract. (Al Ahkam, Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. 23, No. 2, Oktober 2013), h. 139.

(16)

syariah. DSN menerapkan konsep akad yang berbeda dalam fatwanya, baik akad tunggal maupun ganda, yang semuanya menunjukkan betapa pentingnya kebutuhan masyarakat terhadap akad inovatif modern. Inovasi yang diterapkan DSN tidak lain adalah untuk menjamin kepastian hukum atas produk yang digunakan oleh lembaga keuangan dan perusahaan syariah dalam kegiatan usahanya. Pada tahun 2017, DSN telah mengeluarkan 107 fatwa sejauh ini21.

Diharapkan inovasi model multi akad ini mampu memenuhi kebutuhan keuangan masyarakat dan bersaing dengan produk lembaga keuangan dan komersial tradisional serta meyakinkan masyarakat untuk menggunakan akad yang berbasis syariah. secara ekonomi dan sosial lebih menguntungkan. Dari 107 fatwa DSN, sekitar 11 fatwa tampaknya termasuk dalam kategori hasil ijtihad istinbath untuk mengeluarkan undang-undang untuk menjawab berbagai masalah ekonomi melalui pendekatan syariah. Fatwa yang mengukuhkan akad Mu'amalah ada sekitar 96 fatwa22.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kebutuhan akan kontrak yang berlipat ganda itu penting. Kesimpulan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan:1) argumentasi yang digunakan pada pernyataan pertama memiliki kedudukan yang kuat dan kejelasan makna; 2) kesesuaian dengan tujuan syariah (maqashid syariah), yaitu kesederhanaan muamalah, meringankan beban dan membuka peluang inovasi; dan 3) diperbarui dengan kebutuhan waktu dan orang untuk transaksi dan kontrak modern.

KESIMPULAN

Dari pemarapan yang ada di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat kita ambil dalam penelitian ini, yaitu: tujuan utama dari dibuatnya multi akad adalah untuk menjelaskan hak dan kewajiban setiap orang yang melakukan transaksi, memberikan peluang berinovasi dalam bermuamalah dan relevansinya dengan perkembangan zaman. Kebutuhan multi akad dilihat dari analisis maqashid syariah lebih mengarah kepada kebutuhan yang bersifat

hajiyah

(sekunder). Kebutuhan ini berorientasi kepada peningkatan produksi, karena apabila tidak diterapkan dalam kajian fikih muamalah,

21 http://www.dsnmui.or.id/ diakses pada tanggal 2 Maret 2017, pukul 20.52 wib.

22 Burhanuddin Susanto, Tingkat penggunaan multi akad dalam fatawa Dewan Syari’ah Nasional Majlis Ulama’ Indonesia. (Al-Ahkam, Vol. 11, No. 1, Juni 2016), h. 216.

(17)

maka Islam terkesan tidak memberikan solusi bagi perkembangan praktik bermuamalah dalam ekonomi Islam.

REFERENSI

Ali Amin Ishfandiyar,

Analisis Fikih Muamalah Tentang Hybrid Contract Model dan Penerapannya Pada Lembaga Keuangan Syariah

. (Jurnal Penelitian Vol. 10, No.

2, November 2013, h. 205).

Ali Murtadha,

Model Aplikasi Fiqh muamalah pada Formulasi Hybrid Contract

. (Al Ahkam, Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. 23, No. 2, Oktober 2013)

Al-Syatibi,

Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah

, (Kairo : Mustafa Muhammad, t.th).

Ahmad Al-Raisuniy,

Nadhariyah maqashid inda Al imam Al Syatibiy

(Dar al- Alamiyah Li Al kutub Al Islamiy, cet. 2, 1992.

Burhanuddin Susanto,

Tingkat penggunaan multi akad dalam fatawa Dewan Syari’ah Nasional Majlis Ulama’ Indonesia

. (Al-Ahkam, Vol. 11, No. 1, Juni 2016).

Majlis Ulama’ Indonesia

. (Al-Ahkam, Vol. 11, No. 1, Juni 2016) Al-Fairuz al-Abadi, Al-Qamus al-Muhith.

Hasanudin. 28 Mei 2009, Multi Akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia. (Ciputat: UIN Syahid).

Haryono,

Dinamika dan solusi pengembangan multi akad (hybrid contract) sebagai basis produk perbankan syariah

. (Ad-Deenar, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam) M. Ziqri Anhar Nst, Teori Maqashid Syariah dan Penerapannya dalam Perbankan

Syariah. (Jurnal Ekonomi & Ekonomi Syariah, Vol. 5, No. 1, Januari 2022).

Muhammad Yunus, “Hybrid Contract (Multi Akad) dan Implementasinya di Perbankan Syariah.” Tahkim (Jurnal Peradaban Dan Hukum Islam); Vol 2, No 1 (2019) ;

2598-1129 ; 2597-7962, Mar. 2019,

https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/tahkim/article/view/4473.

Muhammad Noor Sayuti, “Kontekstualisasi Rasio Logis Hybrid Contract: Upaya Penguatan Persepsi Masyarakat Terhadap Bank Syariah.” Al-Iqtishadiyah:

Ekonomi Syariah Dan Hukum Ekonomi Syariah; Vol 5, No 2 (2019): Jurnal al- Iqtishadiyah; 111-129; AL-IQTISHADIYAH: EKONOMI SYARIAH DAN HUKUM EKONOMI SYARIAH; Vol 5, No 2 (2019): Jurnal al-Iqtishadiyah; 111-129 ; 2621- 0274 ; 2442-2282 ; 10.31602/Iqt.V5i2, Jan. 2020, https://ojs.uniska- bjm.ac.id/index.php/IQT/article/view/2542.

Muhammad Fuad Mas’ud, “Analisis Hybrid Contract Pada Take Over Pembiayaan Hunian Syariah Dari Bank Konvensional Ke Bank Syariah Dalam Perspektif Hukum Ekonomi Islam.” AKSY: Jurnal Ilmu Akuntansi dan Bisnis Syariah; Vol 2, No 1 (2020): AKSY : Jurnal Ilmu Akuntansi Dan Bisnis Syariah; 81-89 ; 2655- 9420, Feb. 2020, http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/aksy/article/view/7863.

(18)

Mita Musfa, et al. “Analisa Penerapan Multi Akad Pada Produk Pembiayaan Dalam Perspektif Fiqih Muamalah (Studi Kasus Koperasi Mitra Dhuafa Cabang Polewali).” Journal Peqguruang: Conference Series; Vol 4, No 1 (2022):

Peqguruang, Volume 4, No.1, Mei 2022; 161-164 ; 2686-3472 ; 10.35329/Jp.V4i1, May 2022, https://journal.lppm- unasman.ac.id/index.php/peqguruang/article/view/2287.

Nasih Hammad,

Al Uqud Al Murakkabah Fi Al Fiqih Al Islamy

. (Syiria: Dar Al Qalam, thn 2005).

Nurul Hamidah, “Perjanjian Hutang Piutang Dengan Multiakad Antara Petani Tebu Dengan Pabrik Gula Tinjauan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Studi Di Pabrik Gula Krebet Baru Malang).” Journal of Islamic Business Law; Vol 2 No 3 (2018): Journal of Islamic Business Law, Sept. 2018, http://urj.uin- malang.ac.id/index.php/jibl/article/view/661.

Panji Adam, et al. “Kritik Dan Syarah Hadis Multi Akad Serta Relevansinya Terhadap Pengembangan Produk Lembaga Keuangan Syariah Dalam Fatwa DSN-MUI.”

Jurnal Iqtisaduna; Vol. 6 No. 2 (2020); 104-120 ; Jurnal Iqtisaduna; Vol 6 No 2 (2020); 104-120 ; 2550-0295 ; 2460-805X, Dec. 2020, https://journal.uin- alauddin.ac.id/index.php/Iqtisaduna/article/view/18288.

Syamsuddin Al Fannari,

Fushul al badai’ fi Ushul al Syarai’

, (Beirut Libanon, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, cet. 1, 2006).

Toha Andiko, Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam, (Yogyakarta, Samudera Biru, Cet. 1, t 2018).

Thahir Ibn Asyur,

Maqashid Syari’ah Al Islamiyah wa makarimiha

, (Lebanon, Dar al Kitab Al Mishri, tt).

http://www.dsnmui.or.id/ diakses pada tanggal 2 Maret 2017, pukul 20.52 wib.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun hasil dari penelitian: Analisis akad pendapatan obyek wisata Aryakibansland Majalengka perspektif kompilasi hukum ekonomi syariah yang kini menjadi objek

Hadi Wijaya, ‘Mekanisme Transaksi Jual Beli Produk Minuman Dengan Menggunakan Vending machine Dalam Perspektif Fiqh Muamalah’ (2018) 2 (1) Mutawasith: Jurnal