i
PERAN PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA
Disusun Oleh:
Kelompok 3 1B JASA KONSTRUKSI
Al IMRAN 41222032
MUH. ALIF IRHAM ILYAS 41222036
MUH. YUSUF 41222045
ANGGITA DWI ANANTA AM 41222050
FURKAN RAHMAN 41222055
RINA SABRINA 41222060
PRODI D4 JASA KONSTRUKSI JURUSAN TEKNIK SIPIL
POLITEKNIK NEGERI UJUNG PANDANG 2023
ii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Alhamdulillah, Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta`Alaa, atas limpahan rahmat dan karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Peran Pancasila Sebagai Sistem Etika”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Pendidikan Pancasila.
Makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang Pancasila sebagai sistem etika bagi para pembaca dan juga bagi penulis. Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini.
Oleh karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat membuat makalah yang lebih baik kedepannya.
Makassar, 19 Juni 2023
Kelompok 3
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ...i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI...iii
BAB I PENDAHULUAN...1
A. Latar Belakang ...1
B. Rumusan Masalah ...2
C. Tujuan Penulisan ...2
BAB II PEMBAHASAN...3
A. Tinjauan Pustaka ...3
B. Analisis Masalah...13
BAB III PENUTUP ...25
A. Kesimpulan...25
B. Saran...26
DAFTAR PUSTAKA ...27
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari S a n s e k e r t a: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, tentu saja pancasila memuat aturan- aturan dan larangan-larangan. Pancasila sarat akan nilai nilai seperti nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
Oleh karena itu, secara normatif, Pancasila dapat dijadikan acuan atas tindakan baik, dan secara filosofis dapat dijadikan sebagai perspektif kajian atas nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Nilai dan norma tersebut bersifat universal, dapat ditemukan dimanapun dan kapanpun, sehingga memberikan ciri khusus ke-Indonesia-an karena merupakan komponen yang terdapat dalam Pancasila.
Nilai, norma, dan moral adalah konsep-konsep yang saling berkaitan.
Ketiganya akan memberikan pemahaman yang saling melengkapi sebagai sistem etika dalam kaitannya dengan Pancasila. Pancasila merupakan sumber dari penjabaran segala norma, baik norma hukum, norma moral, maupun norma kenegaraan lainnya.
Nilai-nilai Pancasila tersebut kemudian dikembangkan dalam masyarakat secara praktis atau kehidupan nyata sehingga menjadi norma
yang pada akhirnya menjadi pedoman dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Namun seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, nilai- nilai, pedoman kehidupan, norma-norma, dan sistem etika Pancasila semakin terlupakan dalam kehidupan bangsa. Sehingga identitas atau ciri ke-Indonesia-an yang telah disebutkan sebelumnya semakin lama pun semakin terkikis atau bahkan menghilang. Namun masih ada upaya untuk meluruskan kembali sistem etika tersebut.
Perkembangan zaman yang semakin maju dan terbukanya akses terhadap dunia luar mengharuskan kita untuk mengupayakan pancasila sebagai sistem etika, agar kita, bangsa Indonesia, tidak kehilangan identitas kita sebagai bangsa yang bermoral, memiliki etika, dan bermartabat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang menyebabkan kasus bullying (perundungan) yang terjadi di Indonesia sangat tinggi?
2. Bagaimana implementasi nilai-nilai Pancasila dalam mengatasi kasus bullying?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang menyebabkan kasus bullying (perundungan) yang terjadi di Indonesia sangat tinggi.
2. Untuk mengetahui bagaimana implementasi nilai-nilai Pancasila dalam mengatasi kasus bullying.
BAB II PEMBAHASAN
A. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Etika
Etika merupakan cabang utama filsafat, adalah pembelajaran mengenai di mana dan bagaimana nil a i a tau kualitas menjadi standar dan penilaian m o r al . E tika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti, benar, s al a h , bai k, buruk, dan t angg u n g j awab. Etika merupakan kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada) dan dibagi menjadi dua kelompok.
Kedua kelompok etika itu adalah sebagai berikut:
a. Etika Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setaip tindakan manusia;
b. Etika Khusus, membahas prinsip prinsip tersebut di atas dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etika individual) maupun makhluk sosial (etika sosial).
Secara etimologis (asal kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos, yang artinya watak kesusilaan atau adat. Istilah ini identik dengan moral yang berasal dari bahasa Latin, mos yang jamaknya mores, yang juga berarti adat atau cara hidup. Meskipun kata etika dan moral memiliki kesamaan arti, dalam pemakaian sehari hari kata ini digunakan secara berbeda.
Moral atau moralitas digunakan untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika digunakan untuk mengkaji sistem yang ada (Zubair, 1987: 13). Dalam bahasa Arab, padanan kata etika adalah akhlak yang merupakan kata jamak khuluk yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat (Zakky, 2008: 20).
Secara keseluruhan, etika membahas mengenai tingkah laku, watak, dan segala sesuatu perbuatan manusia yang dibutuhkan dan dinilai dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Aliran Etika dan Karakteristik
Dalam kajian etika dikenal tiga teori/aliran besar, yaitu deontologi, teleologi dan keutamaan. Setiap aliran memiliki sudut pandang sendiri- sendiri dalam menilai apakah suatu perbuatan dikatakan baik atau buruk.
Berikut adalah ketiga aliran tersebut:
a. Etika Deontologi
Etika deontologi memandang bahwa tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika deontologi tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut, baik atau buruk. Kebaikan adalah ketika seseorang melaksanakan apa yang sudah menjadi kewajibannya.
Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Immanuel Kant (1734-1804). Kant menolak akibat suatu tindakan sebagai dasar untuk menilai tindakan tersebut karena akibat tadi tidak menjamin universalitas dan konsistensi dalam bertindak dan menilai suatu tindakan (Keraf, 2002: 9).
Kewajiban moral sebagai manifestasi dari hukum moral adalah sesuatu yang sudah tertanam dalam setiap diri pribadi manusia yang bersifat universal. Manusia dalam dirinya secara kategoris sudah dibekali pemahaman tentang suatu tindakan itu baik atau buruk, dan keharusan untuk melakukan kebaikan dan tidak melakukan keburukan harus dilakukan sebagai perintah tanpa syarat (imperatif kategoris).
Kewajiban moral untuk tidak melakukan korupsi, misalnya, merupakan tindakan tanpa syarat yang harus dilakukan oleh setiap orang. Bukan karena hasil atau adanya tujuan-tujuan tertentu yang akan diraih, namun karena secara moral setiap orang sudah memahami bahwa korupsi adalah tindakan yang dinilai buruk oleh siapapun.
Etika deontologi menekankan bahwa kebijakan/tindakan harus didasari oleh motivasi dan kemauan baik dari dalam diri, tanpa mengharapkan pamrih apapun dari tindakan yang dilakukan (Kuswanjono, 2008: 7).
Ukuran kebaikan dalam etika deontologi adalah kewajiban, kemauan baik, kerja keras dan otonomi bebas. Setiap tindakan dikatakan baik apabila dilaksanakan karena didasari oleh kewajiban moral dan demi kewajiban moral itu. Tindakan itu baik bila didasari oleh kemauan baik dan kerja keras dan sungguh-sungguh untuk melakukan perbuatan itu, dan tindakan yang baik adalah didasarkan atas otonomi bebasnya tanpa ada paksaan dari luar.
b. Etika Teleologi
Pandangan etika teleologi berkebalikan dengan etika deontologi, yaitu bahwa baik buruk suatu tindakan dilihat berdasarkan tujuan atau akibat dari perbuatan itu. Etika teleologi membantu kesulitan etika deontologi ketika menjawab apabila dihadapkan pada situasi konkrit ketika dihadapkan pada dua atau lebih kewajiban yang bertentangan satu dengan yang lain.
Jawaban yang diberikan oleh etika teleologi bersifat situasional yaitu memilih mana yang membawa akibat baik meskipun harus melanggar kewajiban, nilai norma yang lain.
Ketika bencana sedang terjadi situasi biasanya chaos. Dalam keadaan seperti ini maka memenuhi kewajiban sering sulit dilakukan.
Contoh sederhana kewajiban mengenakan helm bagi pengendara motor tidak dapat dipenuhi karena lebih fokus pada satu tujuan yaitu mencari keselamatan.
Kewajiban membayar pajak dan hutang juga sulit dipenuhi karena kehilangan seluruh harta benda. Dalam keadaan demikian etika teleologi perlu dipertimbangkan yaitu demi akibat baik, beberapa kewajiban mendapat toleransi tidak dipenuhi.
Persoalan yang kemudian muncul adalah akibat yang baik itu, baik menurut siapa? Apakah baik menurut pelaku atau menurut orang lain? Atas pertanyaan ini, etika teleologi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu egoisme etis dan utilitarianisme
1) Egoisme etis memandang bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang berakibat baik untuk pelakunya. Secara moral setiap orang dibenarkan mengejar kebahagiaan untuk dirinya dan dianggap salah atau buruk apabila membiarkan dirinya sengsara dan dirugikan.
2) Utilitarianisme menilai bahwa baik buruknya suatu perbuatan tergantung bagaimana akibatnya terhadap banyak orang.
Tindakan dikatakan baik apabila mendatangkan kemanfaatan yang besar dan memberikan kemanfaatan bagi sebanyak mungkin orang. Etika utilitarianisme ini tidak terpaku pada nilai atau norma yang ada karena pandangan nilai dan norma sangat mungkin memiliki keragaman.
Etika utilitarianisme ini menjawab pertanyaan etika egoisme, bahwa kemanfaatan banyak oranglah yang lebih diutamakan. Kemanfaatan diri diperbolehkan sewajarnya, karena kemanfaatan itu harus dibagi kepada yang lain. Utilitarianisme, meskipun demikian, juga memiliki kekurangan.
c. Etika Keutamaan
Etika ini tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak juga mendasarkan pada penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum moral universal, tetapi pada pengembangan karakter moral pada diri setiap orang. Orang tidak hanya melakukan tindakan yang baik, melainkan menjadi orang yang baik. Karakter moral ini
dibangun dengan cara meneladani perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh para tokoh besar.
Internalisasi ini dapat dibangun melalui cerita, sejarah yang di dalamnya mengandung nilai-nilai keutamaan agar dihayati dan ditiru oleh masyarakatnya. Kelemahan etika ini adalah ketika terjadi dalam masyarakat yang majemuk, maka tokoh-tokoh yang dijadikan panutan juga beragam sehingga konsep keutamaan menjadi sangat beragam pula, dan keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan benturan sosial.
Kelemahan etika keutamaan dapat diatasi dengan cara mengarahkan keteladanan tidak pada figur tokoh, tetapi pada perbuatan baik yang dilakukan oleh tokoh itu sendiri, sehingga akan ditemukan prinsip-prinsip umum tentang karakter yang bermoral itu seperti apa.
3. Etika Pancasila
Etika Pancasila tidak memposisikan secara berbeda atau bertentangan dengan aliran-aliran besar etika yang mendasarkan pada kewajiban, tujuan tindakan dan pengembangan karakter moral, namun justru merangkum dari aliran-aliran besar tersebut. Etika Pancasila adalah etika yang mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan.
Suatu perbuatan dikatakan baik bukan hanya apabila tidak bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, namun juga sesuai dan
mempertinggi nilai-nilai Pancasila tersebut. Nilai-nilai Pancasila meskipun merupakan kristalisasi nilai yang hidup dalam realitas sosial, keagamaan, maupun adat kebudayaan bangsa Indonesia, namun sebenarnya nilai-nilai Pancasila juga bersifat universal dapat diterima oleh siapapun dan kapanpun.
Etika Pancasila berbicara tentang nilai-nilai yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Nilai yang pertama adalah Ketuhanan. Secara hirarkis nilai ini bisa dikatakan sebagai nilai yang tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak. Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari nilai ini.
Suatu perbuatan dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaidah dan hukum Tuhan. Pandangan demikian secara empiris bisa dibuktikan bahwa setiap perbuatan yang melanggar nilai, kaidah dan hukum Tuhan, baik itu kaitannya dengan hubungan antara manusia maupun alam pasti akan berdampak buruk.
Nilai yang kedua adalah Kemanusiaan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Prinsip pokok dalam nilai kemanusiaan Pancasila adalah keadilan dan keadaban. Keadilan mensyaratkan keseimbangan antara lahir dan batin, jasmani dan rohani, individu dan sosial, makhluk bebas mandiri dan makhluk Tuhan yang terikat hukum-hukum Tuhan.
Nilai yang ketiga adalah Persatuan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila dapat memperkuat persatuan dan kesatuan. Sikap egois dan menang sendiri merupakan perbuatan buruk, demikian pula sikap
yang memecah belah persatuan. Sangat mungkin seseorang seakan- akan mendasarkan perbuatannya atas nama agama (sila ke-1), namun apabila perbuatan tersebut dapat memecah persatuan dan kesatuan maka menurut pandangan etika Pancasila bukan merupakan perbuatan baik.
Nilai yang keempat adalah Kerakyatan. Dalam kaitan dengan kerakyatan ini terkandung nilai lain yang sangat penting yaitu nilai hikmat/kebijaksanaan dan permusyawaratan. Kata hikmat/kebijaksanaan berorientasi pada tindakan yang mengandung nilai kebaikan tertinggi.
Atas nama mencari kebaikan, pandangan minoritas belum tentu kalah dibanding mayoritas. Pelajaran yang sangat baik misalnya peristiwa penghapusan tujuh kata dalam sila pertama Piagam Jakarta.
Sebagian besar anggota PPKI menyetujui tujuh kata tersebut, namun memperhatikan kelompok yang sedikit (dari wilayah Timur) yang secara argumentatif dan realistis bisa diterima, maka pandangan minoritas
“dimenangkan” atas pandangan mayoritas.
Nilai yang kelima adalah Keadilan. Apabila dalam sila kedua disebutkan kata adil, maka kata tersebut lebih dilihat dalam konteks manusia selaku individu. Adapun nilai keadilan pada sila kelima lebih diarahkan pada konteks sosial. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan prinsip keadilan masyarakat banyak. Menurut Kohlberg (1995: 37), keadilan merupakan kebajikan utama bagi setiap pribadi dan masyarakat. Keadilan mengandaikan sesama sebagai partner yang bebas dan sama derajatnya dengan orang lain.
Nilai Kemanusiaan, menghasilkan nilai kesusilaan, tolong menolong, penghargaan, penghormatan, kerjasama, dan lain-lain. Nilai Persatuan menghasilkan nilai cinta tanah air, pengorbanan dan lain-lain.
Nilai Kerakyatan menghasilkan nilai menghargai perbedaan, kesetaraan, dan lain-lain Nilai Keadilan menghasilkan nilai kepedulian, kesejajaran ekonomi, kemajuan bersama dan lain-lain.
Etika keutamaan lebih dominan karena etika Pancasila tercermin dalam empat tabiat saleh, yaitu kebijaksanaan, kesederhanaan, keteguhan, dan keadilan. Kebijaksanaan artinya melaksanakan suatu tindakan yang didorong oleh kehendak yang tertuju pada kebaikan serta atas dasar kesatuan akal-rasa-kehendak yang berupa kepercayaan yang tertuju pada kenyataan mutlak (Tuhan) dengan memelihara nilai-nilai hidup kemanusiaan dan nilai-nilai hidup religius.
Kesederhaan artinya membatasi diri dalam arti tidak melampaui batas dalam hal kenikmatan. Keteguhan artinya membatasi diri dalam arti tidak melampaui batas dalam menghindari penderitaan. Keadilan artinya memberikan sebagai rasa wajib kepada diri sendiri dan manusia lain, serta terhadap Tuhan terkait dengan segala sesuatu yang telah menjadi haknya (Mudhofir, 2009: 386).
4. Urgensi Pancasila Sebagai Sistem Etika
Pentingnya Pancasila sebagai sistem etika terkait dengan problem yang dihadapi bangsa Indonesia sebagai berikut. Pertama, banyaknya kasus korupsi yang melanda negara Indonesia sehingga dapat melemahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua, masih terjadinya aksi terorisme yang mengatasnamakan agama sehingga dapat merusak semangat toleransi dalam kehidupan antar umat beragama, dan meluluhlantakkan semangat persatuan atau mengancam disintegrasi bangsa.
Ketiga, masih terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kehidupan bernegara, seperti: kasus penyerbuan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan Yogyakarta, pada tahun 2013 yang lalu.
Keempat, kesenjangan antara kelompok masyarakat kaya dan miskin masih menandai kehidupan masyarakat Indonesia. Kelima, ketidakadilan hukum yang masih mewarnai proses peradilan di Indonesia, seperti putusan bebas bersyarat atas pengedar narkoba asal Australia Schapell Corby.
Keenam, banyaknya orang kaya yang tidak bersedia membayar pajak dengan benar, seperti kasus penggelapan pajak oleh perusahaan, kasus panama papers yang menghindari atau mengurangi pembayaran pajak.
Semuanya itu memperlihatkan pentingnya dan mendesaknya peran dan kedudukan Pancasila sebagai sistem etika karena dapat menjadi tuntunan atau sebagai Leading Principle bagi warga negara untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Etika Pancasila diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebab berisikan tuntunan nilai-nilai moral yang hidup.
B. Analisis Masalah
1. Tingginya Kasus Bullying (perundungan) di Indonesia
Selama periode 2016-2020 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPA I ) telah menerima aduan dari 480 anak yang menjadi korban bullying di sekolahnya. Tahun 2015, WHO melalui Global School- Based Student Health (GSHS) melakukan survey. Survey tersebut menyimpulkan bahwa 21 persen atau sekitar 18 juta anak usia 13-15 tahun mengalami bullying dalam satu bulan terakhir.
Survey GSHS juga menggambarkan 25 persen dari kasus tersebut berupa pertengkaran fisik, 36 persen dialami oleh anak laki-laki dilaporkan lebih tinggi daripada anak perempuan yang hanya 13 persen. Laporan tersebut lebih lanjut menggambarkan bahwa dampak dari bullying tersebut menyebabkan 1 dari 20 atau 20,9 persen remaja di Indonesia memiliki keinginan untuk bunuh diri.
Juga dilaporkan bahwa bullying dapat memberikan dampak jangka panjang maupun jangka pendek berupa gangguan kesehatan mental dan gangguan fungsi sosial. Data lain berasal dari penelitian PISA tahun 2018 menyimpulkan bahwa 41 persen pelajar berusia 15 tahun di Indonesia pernah mengalami bullying, setidaknya beberapa kali dalam sebulan.
Olweus (1999) mendefinisikan bullying sebagai masalah psikososial dengan menghina dan merendahkan orang lain secara berulang-ulang dengan dampak negatif terhadap pelaku dan korban bullying di mana pelaku mempunyai kekuatan yang lebih dibandingkan korban. Terdapat banyak definisi mengenai bullying, terutama yang terjadi
dalam konteks lain seperti di rumah, tempat kerja, masyarakat, komunitas virtual.
Bullying merupakan perilaku agresif yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok terhadap orang-orang atau kelompok lain yang dilakukan secara berulang-ulang dengan cara menyakiti secara fisik maupun mental (Prasetyo, 2011). Tindakan bullying dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu bullying fisik, bullying verbal, dan bullying mental atau psikologis (Nusantara, 2008 p.2).
Bullying fisik terjadi ketika seseorang disakiti atau dirugikan pada anggota tubuhnya, bullying verbal merupakan tindakan kekerasan melalui ucapan, bullying mental/psikologis merupakan tindakan kekerasan yang mengakibatkan korban mengalami sakit secara mental.
Setiap anak sejak lahir memiliki hak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, seperti yang telah tercantum dalam Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28B ayat (2) yang berbunyi
“setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan bullying yaitu: faktor individu (biologis dan temperamen), faktor keluarga, teman sebaya, sekolah dan media.
a. Jenis-jenis bullying (perundungan)
Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2005) mengelompokkan bullying (perundungan) kedalam 6 kelompok, yaitu:
1) Kontak fisik langsung, merupakan jenis bullying yang kasat mata,siapa saja dapat melihat tindakan bullying ini karena terjadi sentuhan fisik antar pelaku dengan korban, contoh tindakan memukul, mendorong, menggigit, menjambak, mencubit, mencakar, merusak barang orang lain juga termasuk tindakan bullying;
2) Kontak verbal langsung, jenis bullying ini juga dapat terdeteksi karena terdengar oleh kita, contoh tindakan bullying ini yaitu, memaki, menghina, menuduh, memfitnah, mempermalukan di depan umum, menyebar gosip;
3) Perilaku nonverbal langsung, perilaku bullying ini dapat terlihat dan terdengar oleh kita jika kita awas dalam menghadapinya. Contoh tindakan bullying ini yaitu melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan;
4) Perilaku nonverbal tidak langsung, contoh perilaku bullying ini yaitu, mendiamkan seseorang, mengucilkan dan mengabaikan;
5) Cyber bullying, tindakan menyakiti orang lain dari sarana elektronik, contoh perilakunya, mengomentari postingan korban dengan menghina, menyebarkan video intimidasi, pencemaran nama baik lewat sosmed;
6) Pelecehan seksual, tindakan ini dikategorikan perilaku agresi fisik atau verbal.
b. Faktor penyebab bullying (perundungan)
Menurut Ariesto (2009), faktor-faktor penyebab terjadinya perundungan antara lain:
1) Keluarga
Pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang bermasalah: orang tua yang sering menghukum anaknya secara berlebihan, atau situasi rumah yang penuh stress, agresi, dan permusuhan. Anak akan mempelajari perilaku bullying ketika mengamati konflik-konflik yang terjadi pada orang tua mereka, dan kemudian menirunya terhadap teman-temannya.
Jika tidak ada konsekuensi yang tegas dari lingkungan terhadap perilaku coba-cobanya itu, ia akan belajar bahwa “mereka yang memiliki kekuatan diperbolehkan untuk berperilaku agresif, dan perilaku agresif itu dapat meningkatkan status dan kekuasaan seseorang”.
2) Sekolah
Pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying ini.
Akibatnya, anak-anak sebagai pelaku perundungan akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi terhadap anak lain.
Perundungan berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah sering memberikan masukan negatif pada siswanya, misalnya berupa hukuman yang tidak membangun sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan menghormati antar sesama anggota sekolah.
3) Faktor Kelompok Sebaya
Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan teman di sekitar rumah, kadang kala terdorong untuk melakukan perundungan. Pada remaja perilaku perundungan umumnya terjadi karena pengaruh teman kelompok (peer group).
Sebagian besar (61.7%) subjek penelitian mengaku lingkungan sekolah merupakan lingkungan pertemanan yang paling mempengaruhi. Selain itu, sebagian besar (71.8%) subjek mengaku memiliki geng atau teman akrab di sekolah.
Sebagian besar subjek penelitian beralasan melakukan perilaku bullying Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.3 No.1 (2014) karena mengikuti teman dalam kelompok yang terlebih dahulu melakukan bullying (17%) dan agar diterima oleh kelompok (5.3%).
Hal ini dikarenakan remaja mengalami masa pencarian identitas yang berkaitan dengan penerimaan teman sebaya.
Keikutsertaan dalam kelompok membuat individu merasa diterima (Erikson, sifat dalam Santrock, 2003)
4) Kondisi lingkungan sosial
Kondisi lingkungan sosial dapat pula menjadi penyebab timbulnya perilaku bullying. Salah satu faktor lingkungan sosial yang menyebabkan tindakan bullying adalah kemiskinan. Mereka yang hidup dalam kemiskinan akan berbuat apa saja demi memenuhi
kebutuhan hidupnya, sehingga tidak heran jika di lingkungan sekolah sering terjadi pemalakan antar siswanya.
5) Tayangan televisi dan media cetak
Televisi dan media cetak membentuk pola perilaku bullying dari segi tayangan yang mereka tampilkan. Survey yang dilakukan kompas (Saripah, 2006) memperlihatkan bahwa 56,9% anak meniru adegan adegan film yang ditontonnya, umumnya mereka meniru geraknya (64%) dan kata-katanya (43%).
c. Dampak bullying (perundungan) 1) Pelaku Bullying
Dampak negatif untuk pelaku tindakan bullying akan menimbulkan watak yang keras dan meningkatnya kepercayaan diri yang terlalu tinggi, merasa memiliki kekuasaan sehingga nantinya para pelaku tidak memiliki empati kepada orang lain dan tingkat emosional yang tinggi ketika apa yang diinginkannya tidak tercapai.
Dengan demikian mereka menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan mereka. Tindakan bullying dapat berpengaruh dalam kehidupan pelaku sendiri, seperti pelaku dapat dijauhi, dibenci, susah mendapatkan teman, bahkan dalam jangka panjangnya pelaku bullying dapat mengarah dan terlibat dalam tindakan-tindakan kriminal serta sulit untuk beradaptasi dengan teman-teman kerja karena sulit untuk mengontrol dirinya.
Dengan demikian para pelaku bullying akan merasa diasingkan oleh orang-orang disekitarnya akibat ulahnya sendiri,
sehingga nantinya para pelaku tersebut menjadi menyesal atas perbuatan yang pernah dilakukannya pada masa lalu.
2) Korban Bullying
Selain berdampak negatif bagi pelaku bullying, para korban tentunya juga mendapatkan dampak yang negatif dan mungkin lebih parah lagi. Terdapat kasus tindakan atau percobaan bunuh diri dikalangan remaja akibat bullying. Tentunya bukan hanya percobaan bunuh diri yang menjadi dampak negatif dari bullying. Banyak korban bullying yang hidup dengan menahan luka batin dan kemungkinan besar akan menderita depresi dan kurang percaya diri dalam masa dewasanya nanti.
Dengan kata lain, nantinya korban akan terus menerus mengingat semua perlakuan yang pernah dialaminya pada masa lalu, sehingga dapat menyimpan rasa sakit hati, kecewa dan dendam kepada pelaku bullying tersebut. Jika hal ini didiamkan dan masih dianggap remeh, bukan tidak mungkin akan berdampak buruk bagi psikologis dari korban itu sendiri.
d. Cara mengatasi dampak bullying 1) Pencegahan
Langkah pertama adalah dengan melakukan pencegahan.
Pencegahan bullying perlu dilakukan secara menyeluruh, melalui sang anak, keluarga, sekolah, hingga lingkungan masyarakat.
a) Pencegahan Melalui Anak
Pencegahan melalui anak bisa dilakukan dengan cara memberi pengetahuan tentang apa itu bullying dan pastikan anak mampu melawan tindakan bullying jika terjadi kepadanya. Selain itu, edukasi anak agar bisa memberikan bantuan ketika melihat tindakan bullying terjadi.
Misalnya dengan melerai/mendamaikan, mendukung korban agar kembali percaya diri, hingga melaporkan tindakan bullying kepada pihak sekolah, orang tua, dan tokoh masyarakat.
b) Pencegahan Melalui Keluarga
Orang tua perlu meningkatkan ketahanan keluarga, menerapkan hidup harmonis, dan memperkuat pola pengasuhan anak. Lakukan dengan cara tanamkan nilai-nilai keagamaan pada anak, memupuk rasa percaya diri hingga keberanian anak, mengajarkan etika, hingga mendampingi konsumsi internet dan bahan bacaan anak.
c) Pencegahan Melalui Sekolah
Pihak sekolah juga wajib untuk membangun lingkungan sekolah yang aman, nyaman, dan anti bullying. Ini bisa dimulai dengan menerapkan komunikasi efektif antara guru dan murid, melakukan pertemuan berkala dengan orang tua murid, hingga menyediakan bantuan kepada murid yang menjadi korban bullying.
d) Pencegahan Melalui Masyarakat
Lingkungan masyarakat juga berperan penting terhadap kondisi seseorang. Jadi, sebisa mungkin memilih dan membangun lingkungan masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak serta melawan keras tindakan bullying.
2) Rehabilitasi
Selanjutnya, ada tindakan rehabilitasi. Ini merupakan pendekatan pemulihan yang dilakukan kepada korban dan pelaku bullying. Langkah ini dilakukan dengan tujuan agar korban dan pelaku bisa kembali bertindak seperti yang seharusnya, sesuai norma dan aturan yang berlaku.
Langkah ini juga merupakan proses intervensi yang memberikan gambaran jelas kepada pelaku bahwa tingkah laku bullying adalah tindakan yang tidak bisa dibiarkan berlaku di sekolah dan di lingkungan masyarakat manapun. Program pendekatan pemulihan sosial ini mempunyai nilai utama yaitu penghormatan, pertimbangan dan partisipasi.
Prinsip yang digunakan adalah:
a) Mengharapkan yang terbaik dari orang lain;
b) Bertanggungjawab terhadap tingkah laku dan menghargai perasaan orang lain;
c) Bertanggungjawab atas apa yang telah dilakukan;
d) Peduli kepada orang lain.
2. Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Mengatasi Bullying
Sebagai negara yang menganut Pancasila sebagai dasar negara, bully tentu telah melanggar nilai-nilai dari Pancasila. Menurut ahli, bully melanggar makna yang indah dan baik dari Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika (Iriani, Budiono, dan Wahidin, 2020). Dilihat dari sila pertama, agama apapun selalu mengedepankan kasih sayang dan kelembutan serta menolak kekerasan dalam bentuk apapun.
Dari sila kedua, bully adalah tindakan yang tidak menunjukan kemanusiaan yang adil dan beradab sama sekali. Merujuk sila ketiga, bully malah memecah-belah sesama bangsa Indonesia yang seharusnya menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan. Sementara itu melihat sila keempat, bully melanggar kaidah aturan yang telah disepakati bersama dalam bentuk Undang-Undang (contoh: UU No. 23 Tahun 2002) maupun peraturan dari sekolah.
Terakhir, mengamati sila kelima, bully menyalahi keadilan sosial yang sama dari setiap orang. Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara Indonesia sebenarnya telah memberikan solusi-solusi dari permasalahan-permasalahan tersebut. Sebagai nilai luhur yang diambil dari kebudayaan bangsa, Pancasila sejatinya adalah "sosok ideal" bagi seluruh bangsa Indonesia. Setiap nilai dari sila-silanya memiliki solusi yang tepat untuk berbagai macam permasalahan bangsa Indonesia, termasuk bully.
Implementasi nilai-nilai Pancasila terhadap kasus bullying:
a. Sila pertama telah menyatakan bahwa setiap bangsa Indonesia harus menganut agama dan percaya kepada Tuhan YME. Setiap agama selalu mengarahkan kepada kebaikan dan ketentraman. Pengajaran dari setiap agama yang diakui Indonesia setuju bahwa kekerasan fisik dan mental adalah hal yang tidak dibenarkan serta merupakan suatu perbuatan dosa. Apabila seluruh bangsa Indonesia benar-benar memercayai tuhan dan menganut agama, maka kasus bully adalah hal yang seharusnya telah selesai sejak lama.
b. Sila Kedua, mengharuskan bangsa Indonesia untuk "memanusiakan manusia". Maksudnya, setiap bangsa Indonesia harus bisa memperlakukan orang lain layaknya manusia, yaitu dengan sikap saling menghormati, saling menghargai, tidak saling bermusuhan, dan berbuat baik kepada sesama. Karena bully dapat dikatakan 180 derajat kebalikan dari hal tersebut, maka dengan memahami dan mengamalkan sila kedua, bully dapat berhenti dengan sendirinya.
c. Sila ketiga menuntut seluruh bangsa Indonesia untuk bersatu padu dalam membangun dan mengisi kehidupan. Bangsa Indonesia memiliki sejarah yang panjang mengenai persatuan yang membangun bangsa dan perpecahan yang menghancurkannya. Oleh karenanya, sudah sangat jelas tindakan-tindakan yang memecahkan persatuan bangsa seperti bully harus dihentikan. Penerapan masyarakat yang bersatu dan saling bekerjasama yang akan terus membangun dan menjaga keberlangsungan Indonesia.
d. Sila Keempat mewajibkan bangsa Indonesia mengikuti pemimpin yang adil dan bijaksana beserta dengan aturan yang mengikutinya.
Pemimpin-pemimpin dengan wawasan yang luas tentunya akan membuat suatu regulasi atau aturan mengenai bully dan seringkali mereka melarang keras adanya bully. Sebagai bagian dari mufakat akan aturan dan kepemimpinan, maka secara bertahap bully akan memudar bersama dengan penegasan aturan pelarangan bully tersebut.
e. Sila kelima menyeru kepada bangsa Indonesia untuk dapat saling berlaku adil kepada sesama bangsa. Sifat dan rasa keadilan yang tinggi akan mencegah bangsa Indonesia untuk menjauhi hal-hal yang menghancurkan keadilan itu sendiri. Tidak terkecuali bully, yang dari setiap aspek bisa dikatakan sebagai suatu tindakan yang tidak adil.
Apabila rasa keadilan bangsa Indonesia dapat tumbuh dan terus berkembang, maka bangsa Indonesia akan tidak terpikir sedikitpun bahwa bully layak dilakukan.
Tentunya solusi-solusi ini perlu waktu untuk diterapkan. Mendidik para pelaku dan korban agar dapat berubah mengaplikasikan suatu sistem yang lebih baik tidaklah semudah membalik telapak tangan.
Mendidik karakteristik banyak orang agar dapat menerapkan nilai Pancasila yang baik dan luhur memerlukan waktu yang lama.
Tetapi, kita harus menggunakan nilai-nilai Pancasila ini untuk segera memecah bully yang ada sekarang. Karena apabila tidak segera diselesaikan, maka masalah ini akan terus berlanjut dan berkembang.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tingginya Kasus Bullying (perundungan) di Indonesia
Selama periode 2016-2020 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPA I ) telah menerima aduan dari 480 anak yang menjadi korban bullying di sekolahnya. Tahun 2015, WHO melalui Global School- Based Student Health (GSHS) melakukan survey. Survey tersebut menyimpulkan bahwa 21 persen atau sekitar 18 juta anak usia 13-15 tahun mengalami bullying dalam satu bulan terakhir.
Bullying adalah suatu tindakan negatif yang dilakukan secara berulang-ulang dimana tindakan tersebut sengaja dilakukan dengan tujuan untuk melukai dan membuat seseorang merasa tidak nyaman.
2. Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Mengatasi Bullying
Bullying melanggar nilai Pancasila khususnya sila ke-2, dimana sila tersebut mengandung dimensi humanis, artinya menjadikan manusia lebih manusiawi yaitu upaya meningkatkan kualitas kemanusiaan dalam pergaulan.
Dilihat dari sila pertama, agama apapun selalu mengedepankan kasih sayang dan kelembutan serta menolak kekerasan dalam bentuk apapun. Dari sila kedua, bully adalah tindakan yang tidak menunjukan kemanusiaan yang adil dan beradab sama sekali. Merujuk sila ketiga, bully malah memecah-belah sesama bangsa Indonesia yang seharusnya menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan.
Sementara itu melihat sila keempat, bully melanggar kaidah aturan yang telah disepakati bersama dalam bentuk Undang-Undang (contoh: UU No. 23 Tahun 2002) maupun peraturan dari sekolah.
Terakhir, mengamati sila kelima, bully menyalahi keadilan sosial yang sama dari setiap orang.
B. Saran
Seharusnya hukum di Negara Indonesia dapat diperbaharui lagi terkait dengan bullying (perundungan) di kalangan anak, sebab perundungan dibagi menjadi dua yaitu perundungan fisik dan perundungan non-fisik yang dimana pembuktian dasar dalam penegakan hukum terkait hal tersebut masih kurang sehingga menjadi terhambat dalam menyelesaikan perkara perundungan.
Apabila hukum diperbaharui ataupun ditambahkan maka dapat dijamin bahwa penegakan hukum beserta perlindungan hukum akan berjalan dengan selayaknya sesuai dengan kepastian mengurangi tingkat tindakan bullying (perundungan) yang menyebabkan hal fatal yakni bunuh diri maupun kerusakan mental dikalangan penerus bangsa.
Adapun nantinya penulis akan segera melakukan perbaikan susunan makalah itu dengan menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan kritik yang bisa membangun dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Darmayanti, K. K. H., Kurniawati, F., & Situmorang, D. D. B. (2019). Bullying di sekolah: Pengertian, dampak, pembagian dan cara menanggulanginya.
PEDAGOGIA, 17(1), 55-66.
Laili, Silvia Nur. 2021. Peran Pancasila dalam Mengatur Sistem Etika di Indonesia. (online). h tt p s :// www . k o m p a s ia n a . c o m . Diakses pada tanggal 8 Juni 2023 Pukul 19.15 WITA.
Nugraha, Rana gustian. 2022. Perilaku bullying yang menyimpang dari nilai Pancasila pada siswa sekolah. Universitas Pendidikan Indonesia, Sumedang.
Syamsudin, M. dkk. 2009. Pendidikan Pancasila: Menempatkan Pancasila dalam Konteks KeIslaman dan KeIndonesiaan cetakan 1.
Yogyakarta: Total Media.
Yolan, Sikin. Negara-negara dengan Kasus Bullying Tertinggi, Indonesia di Urutan Ke-2. (online). www . u ni q po s t. c o m . Diakses pada tanggal 31 Mei 2023 Pukul 13.23 WITA.