14 BAB II
LANDASAN TEORI A. Kemampuan Komunikasi Matematis
Komunikasi merupakan cara berbagi pemikiran serta menjelaskan pemahaman (Permata, 2015). Komunikasi dapat membantu siswa dalam membangun makna dan menjelaskan ide. Sedangkan Inah (2015) menjelaskan komunikasi yang baik dicirikan pesan yang disampaikan bisa dipahami, sehingga kita bisa memaknai pembelajaran yang efektif adalah komunikasi yang baik. Sejalan hal itu, Tinungki (2015) mengungkapkan bahwa komunikasi merupakan salah satu usaha memberikan pesan, pikiran ataupun data dari komunikator kepada komunikasi dan sebaliknya.
Komunikasi berlangsung apabila suatu tempat di sekitar sumber memberikan jawaban kepada penerima pesan dengan cara menyampaikan pesan dalam bentuk lambang, gambar, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Dalam berkomunikasi, seseorang dapat mengungkapkan menggunakan berbagai bahasa termasuk bahasa matematik.
Harold Lasswell dalam bukunya The Structure and Function of Communication in Society (Supriyanto, 2019), menyatakan bahwa komunikasi merupakan menjawab pertanyaan antara lain: “Who Says What in Which Channel To Whom With What Effect” atau “Siapa yang menginformasikan, apa yang diinformasikan, melalui apa, kepada siapa, dan apa pengaruhnya. Komponen dalam berkomunikasi meliputi, komunikator, pesan, media, komunikasi dan efek (Effendy, 2015).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi dapat diartikan sebagai suatu cara untuk mengungkapkan suatu pesan ke penerima pesan untuk memberitahu ide, atau perilaku baik langsung secara lisan maupun tak langsung melalui media. Di dalam berkomunikasi tersebut harus dipikirkan bagaimana caranya agar pesan yang diungkapkan seseorang itu dapat dimengerti oleh orang lain.
Komunikasi matematis merupakan kompetensi peserta didik dalam menyampaikan gagasan matematis baik secara tulisan maupun lisan (Rachmayani, 2014). Sedangkan menurut Khoiriyah (2016) komunikasi matematis merupakan kegiatan pengalihan pesan tentang pembelajaran matematika baik secara lisan maupun tulisan. Kegiatan seperti dialog serta memberikan penjelasan disebut dengan komunikasi lisan. Sedangkan komunikasi tulis adalah menyatakan gagasan matematis menggunakan media gambar, grafik, persamaan atau dengan bahasa peserta didik sendiri (Hodiyanto, 2017a). Komunikasi lisan adalah komunikasi yang berlangsung dalam suatu lingkungan kelas dan terjadi pemindahan informasi berisi materi matematika. Sedangkan komunikasi tulis merupakan kemampuan peserta didik dalam menyatakan materi matematika dengan gambar, grafik, persamaan aljabar ataupun bahasa sehari-hari.
Kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan peserta didik untuk mengkomunikasi informasi matematis dalam bentuk gambar, simbol, tabel untuk memecahkan permasalahan matematis atau mendiskusikan dengan seseorang (Yanuarto, 2015). Syasri dkk (2018) mengungkapkan kemampuan komunikasi matematis merupakan kompetensi siswa untuk
mengkomunikasikan materi matematis baik secara tulisan maupun lisan sehingga siswa mampu mengembangkan sendiri pemahaman yang dimiliki.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan kemampuan komunikasi matematis merupakan kemampuan yang dimiliki peserta didik untuk mengkomunikasi materi matematisnya baik secara verbal maupun nonverbal dalam mengungkapkan, menyampaikan, dan menafsirkan dalam bentuk simbol, gambar, grafik dan lainya sehingga orang lain dapat memahami.
Menurut Muhammad dkk (2018) fungsi komunikasi matematis adalah mampu mendorong peserta didik dalam mengungkapkan ide matematika menggunakan lima aspek komunikasi yaitu penggambaran, mendengar, membaca, diskusi dan menulis. Adapun indikator kemampuan komunikasi matematis menurut NCTM, (2000) dengan menggunakan indikator yang sesuai dengan masing-masing komponen komunikasi yang mampu menyatakan kemampuan komunikasi matematis siswa antara lain:
1. Mengatur serta memadukan pemikiran matematika mereka dengan komunikasi.
Peserta didik menggunakan wawasan mereka ketika mereka mempresentasikan metode yang digunakan untuk memecahkan masalah.
Pada saat siswa mencari solusi dari suau pertanyaan matematika, komunikasi dapat mendukung peserta didik mempelajari konsep matematika salah satunya menggunakan simbol matematika.
2. Mengkomunikasikan pemikiran matematis mereka secara teratur dan jelas kepada teman ataupun orang lain.
Pada saat siswa selesai memecahkan suatu permasalahan dari soal yang telah dikerjakan. Peserta didik mengkomunikasikan pemikiran matematis mereka kepada guru atau teman sebaya supaya hasil dari pemikiran matematis tersebut diakui benar, bukti yang diajukan harus dapat dipahami oleh guru maupun siswa lainya.
3. Menganalisis dan menilai berpikir matematis dan strategis yang digunakan orang lain.
Peserta didik dalam proses menyelesaikan permasalahan dapat dilakukan dengan cara berdiskusi dengan siswa lain. Seringkali, peserta didik yang mempunyai satu cara untuk menyelesaikan masalah dapat mengambil keuntungan dari pandangan siswa lain, yang mungkin menggunakan cara yang berbeda.
4. Memanfaatkan bahasa matematika dalam mengungkapkan informasi matematika secara tepat.
Peserta didik dalam menyelesaikan permasalahan matematika harus menggunakan simbol/istilah matematika untuk menemukan solusi dari permasalahan.
Adapun indikator kemampuan komunikasi matematis siswa antara lain (Sumarmo, 2015) :
1. Menyatakan suatu kondisi, gambar/grafik, benda nyata ke dalam bahasa, simbol, ide atau model matematika.
2. Memperjelas ide, kondisi, dan relasi secara lisan dan tulisan.
3. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika.
4. Membaca dengan paham suatu materi presentasi matematika.
5. Menyusun konjektur, menyusun pendapat, merumuskan definisi dan generalisasi.
6. Menyatakan kembali suatu uraian matematik kedalam bahasa sendiri.
Berdasarkan indikator-indikator kemampuan komunikasi matematis siswa sangat relevan dengan kompetensi dasar dalam materi teorema Pythagoras. Dari hal tersebut siswa harus mampu mengekspresikan ide matematikanya untuk menentukan penyelesaian permasalahan soal HOTS level evaluasi. Tidak hanya itu saja siswa diharapkan mampu membuat, menuliskan dalam bentuk matematika yang artinya dari kalimat matematika itu siswa dapat menyelesaikan permasalahan soal dan mengkomunikasikan hasil pekerjaannya secara logis. Berikut deskripsi indikator kemampuan komunikasi matematis pada penelitian ini merujuk pada indikator kemampuan komunikasi matematis yang diungkapkan oleh (NCTM, 2000)
Tabel 2.1 Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis Indikator Deskripsi Tulisan Deskripsi Lisan Mengatur serta
memadukan
pemikiran matematika mereka dengan komunikasi.
Kemampuan siswa dalam mencerna apa yang diketahui, ditanyakan dan proses dalam menemukan
solusi dari
permasalahan
matematika tersebut.
Kemampun siswa dalam
mengkomunikasikan secara lisa apa yang diketahui, ditanyakan dan proses dalam menemukan solusi.
Mengkomunikasikan pemikiran matematis mereka secara teratur dan jelas kepada teman ataupun orang lain.
Kemampuan siswa dalam
mengkomunikasikan hasil jawaban kepada guru atau siswa lainnya secara berurutan/teratur.
Kemampuan siswa dalam
mengkomunikasikan solusi secara lisan dari pemasalahan secara teratur dan jelas kepada teman atau orang lain.
Menganalisis dan menilai berpikir
Kemampuan siswa dalam menganalisis
Kemampuan siswa dalam menganalisis
matematis dan strategis yang digunakan orang lain.
dan mengevaluasi ide matematis orang lain dan kemampuan siswa menggali setiap informasi yang ada di dalam setiap soal.
dan mengevaluasi ide matematis orang lain dan kemampuan siswa menggali setiap informasi yang ada di dalam soal dengan komunikasi secara lisan.
Memanfaatkan bahasa matematika dalam mengungkapkan informasi matematika secara tepat.
Kemampuan siswa menggunakan
bahasa/simbol
matematika dalam menyelesaikan
masalah matematika.
Kemampuan siswa dalam
mengkomunikasikan bahasa/simbol
matematika dalam menyelesaikan
masalah matematika dengan komunikasi secara lisan.
(NCTM, 2000)
B. Higher Order Thinking (HOTS) Level Evaluasi a. Pengertian HOTS
Thomas dan Thorne (dalam Retnawati, 2018) mendefinisikan Higher Order Thinking Skill (HOTS) yaitu meminta seseorang untuk berfikir dalam mengerjakan suatu hal akan data yang dihadapinya, meliputi memahami, menyimpulkan, menghubungkan dengan data lain dan menerapkannya dalam mencari pemecahan dari sesuatu permasalahan. Kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS) terjadi ketika seseorang mendapatkan pemahaman baru dan menyimpannya di dalam memori, kemudian pemahaman tersebut berkaitan dengan pemahaman lama untuk menggapai tujuan tertentu (Abosalem, 2016). Hal tersebut sejalan dengan Hassan dkk. (2016) yang menyatakan bahwa HOTS terjadi dikala seseorang memperoleh data baru, menyimpannya,
mengendalikan, dan mengaitkan dengan pengetahuan sebelumnya lalu menciptakan pemecahan dari suatu permasalahan.
Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud Higher Order Thinking Skill (HOTS) adalah berpikir tingkat tinggi yang tidak hanya mengingat sesuatu data atau mendeskripsikan kembali, melainkan menuntut seseorang untuk memahami, menyimpulkan, menghubungkan dengan data lain dan menerapkannya saat mencari pemecahan dari suatu permasalahan.
b. Level Kognitif
Pada kurikulum 2013 soal tes yang berbasis berpikir tingkat tinggi mulai dikembangkan karena kurikullum 2012 menuntut peserta didik untuk tidak hanya mampu menyelesaikan soal-soal tingkat rendah, tetapi peserta didik wajib bisa bernalar dan menggunakan simbol matematis untuk menyelesaikan permasalahan tingkat tinggi yang ditemui sehari- hari. Soal dengan berbasis berpikir tingkat tinggi adalah jenis soal yang dapat melatih siswa untuk berpikir tingkat analisis, evaluasi, dan mencipta (Suryapuspitarini, 2018)
Soal berbasis Higher Order Thinking Skill (HOTS) digunakan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan berpikir tingkat tinggi, yaitu kemampuan berpikir yang tidak sekedar hanya mengingat, mengungkapkan kembali atau hanya merujuk. Namun soal-soal yang berjenis HOTS bukan berarti jenis soal yang sulit daripada soal lainya.
Anderson dan Krathwohl (dalam Krathwohl, 2002) mengelompokkan beberapa dimensi proses berpikir sebagai berikut:
a. Mengingat (Remember-C1) b. Memahami (Understand-C2) c. Menerapkan (Apply-C3) d. Menganalisis (Analyse-C4) e. Mengevaluasi (Evaluate-C5) f. Mencipta (Create-C6)
Soal-soal berbasis HOTS biasanya untuk mengetahui kemampuan pada ranah (analyze-C4), (evaluate-C-5), (create-C6). Ranah (analyze- C4) peserta didik dituntut untuk menyeleksi elemen atau bagian-bagian, menegaskan, memecahkan, serta mengkreasikan arti yang tersirat. Pada ranah (evaluate-C5) peserta didik dituntut untuk mampu mengasumsikan, menyimpulkan, memprediksi, dan menguji mendukung ataupun menyangga. Selanjutnya pada ranah (create-C6) peserta didik dituntut untuk dapat mencipta, mengkategorikan, mengoreksi, , mengkreasikan, memperbaiki, serta mengubah.
c. Level Evaluasi
Soal yang melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi yaitu soal yang melatih kemampuan yang bukan hanya sekedar untuk melatih mengingat, menyatakan ulang, serta merujuk tanpa mengetahui prosesnya. Soal HOTS mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi menurut dimensi proses kognitif dalam Taksonomi Bloom yaitu meliputi kemampuan menganalisis, kemampuan mengevaluasi, serta kemampuan mencipta. Menurut krathwohl (dalam Aisyah, 2009) salah satu indikator
kemampuan berpikir tinggi adalah kemampuan mengevaluasi yang meliputi 3 deskriptor antara lain:.
1. Memberi penilaian terhadap penyelesaian dengan standar yang cocok.
2. Membuat hipotesis, mengkritik dan melakukan pengujian.
3. Menerima atau menolak suatu pernyataan berdasarkan kriteria yang ada.
Kemampuan mengevaluasi merupakan kemampuan untuk menetapkan tentang sesuatu berlandaskan standar yang telah ditentukan (Krathwohl, 2002). Menurut Krathwohl (dalam Wahyuningsih dkk., 2019) kata kerja operasional yang tergolong dalam kemampuan mengevaluasi adalah mengecek, membuktikan, mengkritik, menyimpulkan, mendukung, memvalidasikan, dan membandingkan.
Dari beberapa indikator-indikator keterampilan HOTS (Higher Order Thinking Skill), pada penelitian ini peneliti menggunakan indikator untuk mengukur kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan soal HOTS khususnya level mengevaluasi pada soal matematika