• Tidak ada hasil yang ditemukan

NOVEL QOZAN “KEMBALIKAN HUTANKU” KARYA IMOGAIL ZAM ZAMI DJALALUDDIN DALAM KAJIAN EKOKRITIK (NOVEL QOZAN ”RESTORE MY FOREST” BY IMOGAIL ZAM ZAMI DJALALUDDIN IN AN ECOCRITICAL STUDY)

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "NOVEL QOZAN “KEMBALIKAN HUTANKU” KARYA IMOGAIL ZAM ZAMI DJALALUDDIN DALAM KAJIAN EKOKRITIK (NOVEL QOZAN ”RESTORE MY FOREST” BY IMOGAIL ZAM ZAMI DJALALUDDIN IN AN ECOCRITICAL STUDY)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

NOVEL QOZAN “KEMBALIKAN HUTANKU” KARYA IMOGAIL ZAM ZAMI DJALALUDDIN DALAM KAJIAN EKOKRITIK (NOVEL QOZAN ”RESTORE MY FOREST” BY IMOGAIL ZAM ZAMI

DJALALUDDIN IN AN ECOCRITICAL STUDY)

Suryanti

SMK Telkom Banjarbaru

Jalan P. Suriansyah No. 3, Loktabat Utara, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan e-mail: keziayanti1511@gmail.com

Abstract

Qozan Novel "Return My Forest" by Imogail Zam Zami Djalaluddin in Ecocritical Studies. This study aims to represent the form of the environment natural, describe exists damage of environment nature, describes the form of preserving the natural environment, describes the form of local wisdom and the role of the community in preserving the natural environment in Qozan's novel "Return My Forest" by Imogail Zam Zami Djalaluddin. The method used is descriptive method qualitative. The data source in this research is Qozan's novel "Return My Forest" by Imogail Zam Zami Djalaluddin.

Collecting data in this study using the technique of literature study. The results of this study found 81 citations of ecocritical studies, including representations of the natural environment, forms of damage to the natural environment, forms of natural environment preservation, and forms of local wisdom in Central Sulawesi. The representations of the natural environment includes the natural environment in the forest (20 citations) and the natural environment on the beach (24 citations). The manifestation of damage to the natural environment consists of 3 components, namely water, air and land, with 12 citations. The manifestation of natural environment sustainability in coastal areas is 6 citations. The form of local wisdom is in the form of customs that are attached to the indigenous people as many as 11 citations and the regional language used as everyday language as many as 8 citations.

Key words: eco-criticism, literature, novel, Qozan novel

Abstrak

Novel Qozan “Kembalikan Hutanku” Karya Imogail Zam Zami Djalaluddin dalam Kajian Ekokritik. Penelitian ini bertujuan merepresentasikan wujud lingkungan alam, mendeskripsikan wujud kerusakan lingkungan alam, mendeskripsikan wujud kelestarian lingkungan alam, mendeskripsikan wujud kearifan lokal dan peran masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan alam dalam novel Qozan “Kembalikan Hutanku” karya Imogail Zam Zami Djalaluddin. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Qozan

“Kembalikan Hutanku” karya Imogail Zam Zami Djalaluddin. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik studi pustaka. Hasil penelitian ini ditemukannya kajian ekokritik sebanyak 81 kutipan, meliputi representasi lingkungan alam, wujud kerusakan lingkungan alam, wujud kelestarian lingkungan alam, dan wujud kearifan lokal yang ada di Sulawesi Tengah. Representasi lingkungan alam meliputi lingkungan alam di hutan sebanyak 20 kutipan dan lingkungan alam di pantai sebanyak 24 kutipan. Wujud kerusakan lingkungan alam terdiri dari 3 komponen, yaitu air, udara, dan tanah sebanyak 12 kutipan. Wujud kelestarian lingkungan alam di daerah pantai sebanyak 6 kuitpan. Wujud kearifan lokal berupa adat istiadat yang melekat pada penduduk asli sebanyak 11 kutipan dan bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa sehari-hari sebanyak 8 kutipan.

Kata-kata kunci: ekokritik, sastra, novel, novel Qozan

PENDAHULUAN

(2)

Karya sastra dan alam memiliki keterkaitan satu sama lain. Hal ini dikarenakan alam sering menjadi topik utama yang dibahas dalam karya sastra. Keterkaitan alam dengan karya sastra memunculkan konsep ekologi dalam karya sastra. Ekokritik sendiri digunakan untuk suatu konsep kritik sastra yang berhubungan dengan alam dan lingkungan. Harsono (2008, hlm. 31), istilah ekokritik berasal dari bahasa Inggris ecocriticism yang merupakan bentukan dari kata ecology dan kata critic. Ekologi merupakan sebuah kajian ilmiah yang mengkaji pola hubungan, tumbuhan, hewan, dan sesama manusia serta manusia terhadap lingkungannya. Sedangkan kritik merupakan suatu bentuk dan ekspresi untuk menilai kualitas baik atau buruk dari suatu permasalahan. Croall & Rankin (dalam Harsono, 2008, hlm. 35), ekologi mencakup rangkaian ilmu alam, ilmu sosial, filsafat, dan pengetahuan menyeluruh. Sedangkan Love (2003, hlm. 1) ekokritik adalah kajian yang menghubungkan karya sastra dengan lingkungan fisik, pertumbuhan populasi, hilangnya hutan belantara dan liar, punahnya spesies dengan cepat, serta peningkatan kontaminasi udara, air, dan tanah di bumi.

Karya sastra berupa puisi, novel, dan karya sastra lainnya, kajian ekokritik sudah diperlihatkan melalui teks sastra. Pengarang menggunakan objek alam dan lingkungan sebagai media bahasa dan majas dalam karya sastranya. Ekokritik memiliki paradigma dasar bahwa setiap objek dapat dilihat dalam jaringan ekologis dan ekologi dapat dijadikan ilmu bantu dalam pendekatan kritik tersebut (Harsono, 2008, hlm. 33). Pengkajian ekologi dalam sebuah karya sastra diperlukan untuk meningkatkan dan memberi kesadaran kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga alam dan lingkungan.

Novel merupakan salah satu karya tertulis yang popular bagi penikmat sastra. Kajian ekokritik ini terdapat dalam novel Qozan “Kembalikan Hutanku” Karya Imogail Zam-Zami Djalaluddin. Novel Qozan “Kembalikan Hutanku” mengisahkan seorang anak pemberani bernama Qozan yang berjuang menghentikan para penebang pohon liar. Para penebang pohon liar ini menghancurkan hutan yang mengakibatkan bencana datang silih berganti, mulai dari banjir bandang, wabah penyakit, hingga Ayah dan Ibu Qozan meninggal tertimpa pohon yang ditebang secara liar. Penulis menemukan bahwa belum ada penelitian yang menggunakan Novel Qozan “Kembalikan Hutanku” sebagai objek kajiannya.

Tujuan dari penelitian ini terbagi empat macam. Pertama, merepresentasikan wujud lingkungan alam dalam novel Qozan “Kembalikan Hutanku” karya Imogail Zam Zami Djalaluddin. Kedua, mendeskripsikan wujud kerusakan lingkungan alam dalam novel Qozan

“Kembalikan Hutanku” karya Imogail Zam Zami Djalaluddin. Ketiga, mendeskripsikan wujud kelestarian lingkungan alam dalam novel Qozan “Kembalikan Hutanku” karya Imogail Zam Zami Djalaluddin. Keempat, mendeskripsikan wujud kearifan lokal dan peran masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan alam dalam novel Qozan “Kembalikan Hutanku” karya Imogail Zam Zami Djalaluddin.

Penelitian mengenai kajian ekokritik dalam karya sastra sudah pernah dilakukan oleh Dewi (2016) yang berjudul Ekokritik dalam Sastra Indonesia: Kajian Sastra yang Memihak.

Hasil penelitian adalah Sastra Indonesiayang menggunakan ekokritik sebagai salah satu lintasan yang memungkinkan untuk mengubah masyarakat. Taqwiem dan Alfianti (2020) juga melakukan penelitian serupa yang berjudul Sampah dalam Novel Aroma Karsa Karya Dewi Lestari: Tinjauan Ekologi Sastra. Hasil penelitian ini ditemukannya permasalahan terkait sampah khususnya di tempat pembuangan sampah akhir antara lain isu tingginya produksi sampah yang melebihi kapasitas tempat pembuangan sampah akhir, anak-anak terlantar di lingkungan tempat pembuangan sampah, bau sampah yang tidak terkontrol, peredaran minuman keras dan obat-obatan terlarang. Hingga persaingan tidak sehat antartengkulak yang berujung pembunuhan. Norvia (2021) juga melakukan penelitian

(3)

mengenai ekologi dalam peribahasa dengan judul Unsur Ekologi dalam Peribahasa Banjar.

Hasil penelitian ini menemukan 3 klasifikasi, yaitu (1) peribahasa Banjar ekologi flora terdiri dari sayur-sayuran, buah-buahan, dan tanaman liar, (2) peribahasa Banjar ekologi fauna terdiri dari fauna habitat di darat dan di air, dan (3) peribahasa Banjar ekologi budaya terdiri dari tiga kategori yakni arsitektur rumah, peralatan dan perlengkapan hidup, dan sistem berpikir. Sutisna (2021) juga melakukan penelitian mengenai kajian ekokritik yang berjudul Kajian Ekokritik dalam Novel Kekal Karya Jalu Kancana. Hasil penelitian menggambarkan tentang perjuangan tokoh bernama Alit yang sedang menggaungkan program Save Ciharus untuk dapat terus mempertahankannya sebagai bagian dari upaya pelestarian lingkungandari tangan kotorsebuah korparasi yang hanya mementingkan aspek ekonomi dibandingkan dengan aspek ekologi. Fadillah, dkk (2022) melakukan hal serupa dengan judul Kajian Ekologi Sosial atas Kumpulan Puisi Langit Seperti Cangkang Telur Bebek Karya Imam Safwan. Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa lewat diksi yang sederhana, yang dekat dengan lingkungan dan masyarakat, Imam Safwan berhasil mengungkap kesenjangan sosial yang ada di lingkungan hidup masyarakat Lombok Utara dalam bentuk adanya masalah sosial, masalah kebersamaan, dan masalah kemerataan. Bagaimanakah Novel Qozan

“Kembalikan Hutanku” Karya Imogail Zam Zami Djalaluddin dalam Kajian Ekokritik?

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Ekokritik

Ekokritik berasal dari bahasa Inggris ecocriticism. Garrard (2004, hlm. 5) mengatakan bahwa ecocriticism meliputi studi tentang hubungan antara manusia dan nonmanusia, sejarah manusia dan budaya yang berkaitan dengan analisis kritis tentang manusia dan lingkungannya. Ekoritik merupakan sebuah kritik sastra yang berfokus pada permasalahan lingkungan sekitar dan populasi manusia. Dalam ekokritik, alam dijadikan pusat studi utama sebuah penelitian. Akan tetapi, adanya pembatasan hubungan, yaitu hanya hubungan antara karya sastra dan lingkungan (alam). Kesadaran pentingnya menjaga alam dan lingkungan ada dalam kajian ekokritik yang dituangkan dalam karya sastra. Hal ini senada dengan Love (2003, hlm. 2) ekokritik memberikan perhatian timbal balik hubungan antara manusia dan alam dalam karya sastra.

Ekokritik Sastra

Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan, ilmu ekologi muncul dalam berbagai bidang studi interdisipliner. Ilmu ekologi tidak hanya selalu mengkaji permasalahan alam, melainkan juga mengkaji bidang lain, yaitu sastra. Ekokritik sastra merupakan suatu perspektif dalam menafsirkan sastra dengan mempertimbangkan lingkungan sekitar. Endraswara (2016, hlm. 5) ekologi sastra merupakan ilmu ekstrinsik sastra yang mendalami masalah hubungan sastra dengan lingkungannya. Ilmu ekstrinsik sastra ini maksudnya adalah suatu ilmu pengetahuan yang letaknya berada di luar maupun tidak memiliki kaitan dengan ilmu sastra.

Endraswara (2016, hlm. 6) menambahkan bahwa fokus ekokritik sastra adalah mengeksplorasi cara-cara mengenai bagaimana membayangkan dan menggambarkan hubungan antara manusia dan lingkungan dalam segala bidang sebagai hasil budaya. Melalui kajian ekokritik sastra, pembaca sastra dapat mengembangkan imajinasinya dengan cara membayangkan hubungan antara manusia dan alam. Analisis ekokritik bersifat interdisipliner yang merambah ilmu lain, yaitu sastra, budaya, filsafat, sosiologi, psikologi, sejarah lingkungan politik dan ekonomi, dan studi keagamaan (Juliasih, 2012, hlm. 87). Kritik sastra yang berwawasan ekologi ini bermaksud memberikan penjelasan melalui pendekatan ekologi

(4)

untuk memecahkan permasalahan ekologi dalam suatu karya sastra. Ekokritik sendiri memberi fokus kepada penelitian sastra yaitu adanya hubungan antara budaya dan manusia dengan alam dan lingkungan sekitarnya.

Model-Model Ekokritik Sastra

Sukmawan (2016, hlm. 11) model kajian ekokritik sastra terbagi 2, yaitu model kajian sastra lingkungan dan model kajian etis. Model kajian ekokritik ini menjelaskan bahwa sastra, alam, dan manusia merupakan bagian yang tak terpisahkan dan diungkapkan secara ekokritik. Pesan-pesan penulis terhadap kehidupan alam dalam sastra menjangkau seluruh kehidupan di dunia. Sukmawan (2016, hlm. 12) memfokuskan model kajian ekokritik sebagai berikut.

Kajian berperspektif sastra lingkungan dapat difokuskan kepada muatan narasi pastoral dan narasi apokaliptik. Di lain pihak, Kajian berperspektif etis dapat difokuskan kepada muatan (1) sikap hormat terhadap alam, (2) sikap tanggung jawab terhadap alam, (3) sikap solidaritas terhadap alam, (4) sikap kasih sayang dan kepedulian terhadap alam, dan (5) sikap tidak mengganggu kehidupan alam dalam karya sastra.

Hubungan Sastra dengan Lingkungan

Rafiek (2017, hlm. 3) mengatakan sastra sebagai istilah umum yang biasanya merupakan karya-karya yang termasuk genre-genre utama: epic, drama, lirik, novel, cerita pendek, ode.

Sastra dan lingkungan memiliki peran dalam kehidupan masyarakat dan keduanya saling berhubungan satu sama lain. Sastra berisi kehidupan sehari-sehari yang diambil pengarang berdasarkan kenyataan yang ada. Isinya pun meniru apa yang ada di alam dan apa yang dilakukan oleh manusia. Melalui sastra, perilaku manusia dan keadaan sosial di masyarakat bisa berubah. Setiap teks sastra menyampaikan pesan, baik pesan moral maupun pesan agama. Pesan ini bertujuan untuk mengatur perilaku manusia dalam menjalani kehidupan.

Hal inilah yang menyebabkan sastra dan lingkungan memiliki hubungan. Sastra memiliki sebuah struktur yang koheren dan terpadu terkait lingkungan sosial, alam, dan zaman yang bersangkutan (Sugiarti, 2017, hlm. 389). Pendapat tersebut menunjukkan bahwa lingkungan budaya dan karya sastra memiliki hubungan yang erat dalam memberikan suatu pelajaran yang berharga dan bermanfaat terkait lingkungan sekitar. Lingkungan budaya menghadirkan berbagai problematika lingkungan dalam masyarakat yang saling berinteraksi satu sama lain.

Karya sastra bertema lingkungan lahir dari seorang sastrawan yang menempatkan alam dan lingkungan sekitar sebagai sumber inspirasinya. Sastrawan akan memfokuskan penggambaran alam dan lingkungan secara estetis dalam teks sastranya. Oleh karena itu, keadaan alam dan lingkungan yang ada masyarakat, tidak hanya dipahami sebagai latar tempat dan suasana dalam karya sastra, tetapi juga dijadikan aspek yang ikut serta membangun estetika sebuah karya sastra itu sendiri. Dalam sajian karya sastra bertema alam, lingkungan yang akan ditampilkan penulis biasanya meliputi kerusakan lingkungan alam, kelestarian lingkungan alam, kearifan lokal, dan hukum adat yang ada di masyarakat.

Novel

Novel merupakan karya fiksi yang dibangun oleh unsur-unsur pembangun, yakni unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik (Nurgiyantoro, 2010, hlm. 10). Unsur intrinsik novel diantaranya tema, latar, alur, tokoh, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat. Sedangkan unsur ekstrinsik novel diantaranya latar belakang penulis, nilai dalam cerita, keadaan lingkungan pengarang, dan lainnya. Dalam novel, sastra yang disajikan berbentuk naratif dan

(5)

tokoh-tokoh yang terlibat mengalami konflik. Novel berkaitan erat dengan kehidupan manusia beserta problematikanya. Penulis biasanya menggunakan objek alam dan lingkungan untuk menambah kesan nyata dalam karyanya. Ada banyak novel yang menggunakan alam dan lingkungan sebagai objeknya, salah satunya adalah novel Qozan: Kembalikan Hutanku karya Imogail Zam Zami Djalaluddin.

METODE

Pendekatan penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif.

Margono (2009, hlm. 35) penelitian kualitatif lebih banyak pada pembentukan teori substansi berdasarkan dari konsep-konsep yang timbul dari data empiris. Jenis penelitian ekokritik sastra digunakan penulis dalam penelitian ini. Ekokritik sastra adalah jenis penelitian yang menafsirkan sastra dengan mempertimbangkan keadaan lingkungan. Endraswara (2016, hlm.

48) menyatakan bahwa esensi kritik sastra adalah memberikan pertimbangan bobot pada karya sastra. Melalui pendekatan ekokritik, penulis akan lebih mudah menganalisis kritik ekologi yang tercermin melalui representasi lingkungan alam, wujud kerusakan lingkungan alam, wujud kelestarian lingkungan alam, serta wujud kearifan lokal dan peran masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan alam yang terdapat dalam novel Qozan “Kembalikan Hutanku” karya Imogail Zam Zami Qomaluddin.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif.

Aminuddin (2006, hlm. 16) mengatakan metode kualitatif selalu bersifat deskriptif artinya data yang dianalisis berbentuk deskripsi fenomena, tidak berupa angka-angka atau koefisien tentang variabel. Data dalam penelitian ini berupa kata-kata, kalimat, dialog, atau narasi yang sesuai dengan kategori penelitian yang dilakukan. Sedangkan sumber data dalam penelitian ini adalah novel Qozan “Kembalikan Hutanku” karya Imogail Zam Zami Djalaluddin. Novel ini terbit pada 2011 oleh Republika Penerbit. Novel Qozan “Kembalikan Hutanku” karya Imogail Zam Zami Djalaluddin memiliki tebal 350 halaman. Sampul depan novel ini berwarna putih kecoklatan dan di bagian belakang terdapat cuplikan sinopsis cerita.

Dalam mengkaji karya sastra, peneliti melakukan pembacaan berulang-ulang terhadap novel yang diteliti (Rafiek, 2013). Pembacaan yang berulang-ulang ini diperlukan dalam rangka menemukan data-data yang berkaitan dengan masalah-masalah yang diteliti. Hal itu agar tidak ada data penelitian yang terlewatkan dalam pengkajian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Representasi Lingkungan Alam dalam Novel Qozan “Kembalikan Hutanku”

Ada 20 kutipan yang menggambarkan representasi lingkungan alam di hutan dan ada 24 kutipan yang menggambarkan representasi lingkungan alam di pantai. Pengarang menggunakan diksi yang tepat dan bahasa yang mudah dipahami, sehingga pembaca mudah berimajimasi membayangkan lingkungan alam sesuai dengan representasi yang telah digambarkan. Selain itu, diksi yang digunakan juga menambah kesan bahwa kata-kata dalam sastra itu indah dan bermakna konotasi.

Representasi Lingkungan Alam di Hutan

Pengarang menggambarkan berbagai keadaan di hutan melalui kutipan-kutipan dalam Novel Qozan “Kembalikan Hutanku”. Penggambaran keadaan di hutan mulai dari suasana pagi hingga malam, aktivitas anak-anak hutan saat bermain, segala aktivitas hewan-hewan di hutan, segala hal yang ada di hutan, dan segala kerusakan alam di hutan.

Kutipan 1

(6)

Tenggelam ke dasar lautan, nun jauh di garis khatulistiwa. Cahayanya menyapu dan memberi warna pada langit di ufuk barat merah membara. Langit laksana terbakar sebagian. (Novel Qozan “Kembalikan Hutanku” halaman 1)

Kutipan 1 mempresentasikan keadaan alam yang telah memasuki waktu senja di pedalaman rimba Sulawesi Tengah. Keadaan matahari tenggelam digambarkan pengarang dengan begitu apik, serta penempatan diksi yang tepat pada setiap kalimat. Hal ini terlihat melalui diksi yang dihadirkan pengarang seperti, tenggelam ke dasar lautan, warna merah membara pada langit di ufuk barat, dan langit laksana terbakar sebagian. Ada 3 penggambaran yang dihadirkan pengarang untuk menunjukkan suasana senja dalam novel.

Pembaca seakan ikut larut dalam suasana yang dihadirkan oleh pengarang dalam setiap rangkaian kata yang tersusun. Imajinasi yang tercipta berdasarkan rangkaian kata membuat pembaca semakin memahami keadaan alam yang ingin ditunjukkan oleh pengarang.

Kutipan 2

Belajar berenang di sungai dekat air terjun di wilayah permukiman kesukuannya, belajar memanah bersama anak-anak yang lain, berkejaran di lembah-lembah dan di atas gunung, atau mencari telur ayam hutan untuk direbus dan dimakan bersama. (Novel Qozan “Kembalikan Hutanku” halaman 145)

Kutipan 2 mempresentasikan kegiatan anak-anak hutan belantara saat bermain di sungai dan di lembah. Pengarang menggambarkan keadaan anak-anak hutan yang menyatu dengan kondisi alam melalui berbagai kegiatan, mulai dari kegiatan berenang, memanah, bermain kejar-kejaran, hinga berburu telur ayam hutan. Pengarang menggambarkan semua kegiatan ini dengan bahasa yang mudah dipahami, sehingga pembaca seakan melihat langsung semua kegiatan tersebut. Hal ini dapat dilihat melalui kalimat “belajar berenang di sungai dekat air terjun, belajar memanah bersama, berkejaran di lembah-lembah dan di atas gunung, dan mencari telur ayam hutan.” Melalui kegiatan anak-anak hutan ini, pengarang ingin menggambarkan lingkungan hutan yang terdiri dari sungai dan air terjun, serta lembah gunung yang indah. Diksi yang digunakan pengarang sudah tepat untuk menggambarkan aktivitas anak-anak yang tinggal di hutan belantara. Selain itu, pembaca juga seakan ikut merasakan bagaimana keadaan alam di sana melalui aktivitas yang dilakukan anak-anak tersebut.

Kutipan 3

Burung dengan nyanyiannya melompat dari satu dahan ke dahan lain, lalu terbang menukik ke dalam keremangan hutan. Lalu ada ayam hutan yang bernyanyi di kejauhan sana. Entah apa yang diinginkannya. Kita tidak pernah tahu. Yang jelas, dia terus berteriak menurut apa yang telah digariskan padanya. Monyet-monyet liar bergelantungan di pepohonan, mencari buah-buahan dari satu pohon ke pohon yang lain. (Novel Qozan “Kembalikan Hutanku” halaman 20)

Kutipan 3 mempresentasikan aktivitas hewan-hewan liar yang ada di hutan belantara.

Pengarang menggambarkan kebiasaan hewan-hewan liar tersebut dengan bahasa yang mudah dipahami dan kegiatan hewan liar pada umumnya, sehingga pembaca seakan ikut melihat aktivitas hewan-hewan tersebut. Hal ini digambarkan pengarang melalui beberapa aktivitas seperti, burung dengan nyanyiannya melompat dari satu dahan ke dahan lain, ayam hutan yang bernyanyi di kejauhan sana, dan monyet-monyet liar bergelantungan di pepohonan,

(7)

mencari buah-buahan dari satu pohon ke pohon yang lain. Penggambaran 3 aktivitas hewan oleh pengarang ini sudah cukup menampilkan aktivitas hewan yang ada di hutan belantara.

Aktivitas yang lumrah terjadi pada setiap hutan. Diksi yang digunakan pengarang juga sudah tepat untuk menggambarkan aktivitas hewan-hewan liar di hutan belantara. Selain itu, pembaca juga seakan ikut melihat aktivitas-aktivitas tersebut, sehingga imajinasi yang mereka miliki semakin berkembang.

Kutipan 4

Ia melewati jalan yang berbatu menuju sungai. Konon, tidak akan ada yang dapat melihatnya karena dilindungi oleh rimbunan pohon beringin yang sangat besar.

(Novel Qozan “Kembalikan Hutanku” halaman 24)

Kutipan 4 mempresentasikan keadaan alam di hutan belantara yang penuh dengan pepohonan besar, jalan yang berbatu, dan sungai sebagai tempat sumber air. Hal ini digambarkan pengarang melalui kalimat “Ia melewati jalan yang berbatu menuju sungai.

Konon, tidak akan ada yang dapat melihatnya karena dilindungi oleh rimbunan pohon beringin yang sangat besar.” Perjalanan tokoh utama Qozan dalam novel digunakan pengarang untuk mempresentasikan keadaan hutan dengan bahasa yang mudah dipahami dan disertai penjelasan secara langsung. Hal ini memudahkan pembaca berimajinasi membayangkan perjalanan tokoh utama melewati jalan yang dipenuhi pohon-pohon besar dan berbatu. Selain itu, diksi yang digunakan pengarang juga membuat pembaca seakan melihat keadaan alam di hutan belantara yang dipenuhi rimbunan pohon-pohon besar dan jalan-jalan yang berbatu.

Kutipan 5

Apabila kita melihat dari sisi selatan gunung itu, akan tampak bulatan penuh matahari merah yang dipermainkan ranting-ranting kayu yang bergerak ditiup angina sepoi-sepoi. Dipinggirannya, ada tanah yang sudah tampak botak, tak berumput. Tertimpa oleh pohon yang roboh beberapa masa yang lalu. (Novel Qozan “Kembalikan Hutanku” halaman 2)

Kutipan 5 mempresentasikan keadaan hutan belantara yang sudah mulai rusak akibat keegoisan dan keserakahan manusia. Pengarang menggambarkan hutan yang tampak gundul karena tidak adanya pohon, sehingga cahaya matahari begitu jelas dan terik menyinari masuk ke dalam hutan. Hal ini digambarkan pengarang melalui kalimat akan tampak bulatan penuh matahari merah yang dipermainkan ranting-ranting kayu yang bergerak ditiup angin sepoi- sepoi. Selain itu, pengarang juga menggambarkan hutan yang tampak gundul dengan kalimat tertimpa oleh pohon yang roboh beberapa masa yang lalu. Hutan yang layak tentu tidak akan nampak seperti yang telah digambarkan pengarang, pepohonan masih rimbun sehingga cahaya matahari tidak mudah masuk ke dalam, udara juga akan terasa sejuk saat siang hari dan dingin menusuk saat malam hari, dan pohon-pohon juga tidak akan ada yang berserakan akibat penebangan pohon secara liar. Diksi yang digunakan pengarang untuk menggambarkan kerusakan ini sudah tepat, sehingga pembaca dapat berimajinasi membayangkan keadaan hutan yang mulai gundul.

Representasi Lingkungan Alam di Pantai

Pengarang menggambarkan berbagai keadaan di pantai melalui kutipan-kutipan dalam Novel Qozan “Kembalikan Hutanku”. Penggambaran keadaan di pantai mulai dari suasana

(8)

pagi hingga malam, aktivitas anak-anak pantai, hewan-hewan yang ada di pantai, dan keindahan yang ada di pantai.

Kutipan 6

Matahari perlahan turun di ufuk barat. Merah membara membakar langit barat dan mencairkan lautan laksana darah yang terhampar luas menjadi sebuah samudra darah yang mahaluas. (Novel Qozan “Kembalikan Hutanku” halaman 89)

Kutipan 6 mempresentasikan indahnya keadaan senja di pantai. Pengarang menggunakan diksi yang sangat bagus untuk menggambarkan keadaan ini. Matahari terbenam digambarkan pengarang melalui kalimat “matahari perlahan turun di ufuk barat. ”Warna lautan yang seakan berubah saat senja digambarkan pengarang melalui kalimat “merah membara membakar langit barat dan mencairkan lautan laksana darah yang terhampar luas menjadi sebuah samudra darah yang mahaluas. ”Pengarang menggunakan diksi “darah” untuk menunjukkan warna merah di lautan akibat cahaya matahari yang mulai meredup. Beberapa diksi yang digunakan pengarang membuat pembaca mengembangkan daya imajinasinya untuk membayangkan suasana senja yang indah di pesisir pantai.

Kutipan 7

Lalu, tampaklah apa yang sedang dibakar oleh si remaja itu. Beberapa ekor ikan yang ditusukkan dengan kayu kecil dan panjang dipanggang di atas bara api, lalu diputar-putar sampai matang untuk disantap. (Novel Qozan “Kembalikan Hutanku” halaman 52)

Kutipan 7 mempresentasikan aktivitas yang sering dilakukan anak pantai pada umumnya, salah satunya adalah membakar ikan hasil tangkapan di laut. Pengarang menggunakan diksi yang tepat dan bahasa yang mudah dipahami ketika menggambarkan aktivitas anak-anak pantai. Hal ini digambarkan pengarang melalui kalimat “beberapa ekor ikan yang ditusukkan dengan kayu kecil dan panjang dipanggang di atas bara api. Pengarang menggambarkan aktivitas anak pantai ini untuk menunjukkan bahwa laut merupakan penghasil ikan terbesar di muka bumi. Berbagai jenis ikan dapat ditemukan di lautan, mulai dari kecil sampai yang sangat besar. Pembaca juga dapat membayangkan sendiri aktivitas yang dilakukan oleh anak pantai ini.

Kutipan 8

Ada burung elang yang terbang menukik sambil membawa seekor ikan. Elang itu terbang menuju salah satu pohon yang besar di sebelah selatan. Ada juga anak penyu yang berenang menjauhi bibir pantai. (Novel Qozan “Kembalikan Hutanku” halaman 50)

Kutipan 8 mempresentasikan aktivitas hewan-hewan yang ada di pantai. Pengarang menggambarkan 2 jenis hewan yang pasti ada di setiap pantai, yaitu elang dan penyu.

Pengarang menggambarkan aktivitas hewan pantai ini dengan bahasa yang mudah dipahami, sehingga pembaca dapat membayangkan sendiri seakan melihat secara langsung. Elang merupakan hewan yang selalu terbang di pantai, mereka menangkap ikan-ikan yang muncul

(9)

di permukaan di laut. Hal ini digambarkan pengarang melalui kalimat “ada burung elang yang terbang menukik sambil membawa seekor ikan. ”Sedangkan penyu adalah hewan yang habitatnya di pantai. Penyu mengubur telur-telurnya di pasir pantai sampai menetas. Setelah menetas, tukik (anak penyu) akan berjalan menuju bibir pantai sampai akhirnya berenang di lautan. Beberapa dari tukik yang berenang juga akan menjadi makanan elang. Hal ini digambarkan pengarang melalui kalimat “ada juga anak penyu yang berenang menjauhi bibir pantai. ”Pembaca dapat mengembangkan imajinasinya melalui pemaparan pengarang jelas dan mudah dimengerti.

Kutipan 9

Ia melihat langit putih dan bersih. Ada awan yang menggantung lembut laksana sutra. Ada pancaran cahaya yang masuk dalam matanya dari sisi kiri. (Novel Qozan “Kembalikan Hutanku” halaman 48)

Kutipan 9 mempresentasikan keadaan alam terbuka yang luas disertai terangnya cahaya matahari. Pengarang menggambarkan keadaan alam di pantai melalui pandangan tokoh utama, Qozan. Pengarang menggunakan diksi yang tepat sehingga menambah kesan indahnya pemandangan alam di pantai. Penggambaran ini melalui kalimat “ada awan yang menggantung lembut laksana sutra.” Pengarang menggunakan bahasa yang mudah dipahami sehingga pembaca seakan ikut berada di pantai yang luas dan ikut merasakan cahaya matahari yang ada di segala penjuru.

Representasi lingkungan alam yang ditampilkan pengarang dalam novel ini yaitu lingkungan di hutan dan lingkungan di pantai. Namun, representasi kedua lingkungan yang dihadirkan pengarang dalam novel ini tidak seimbang dan tidak sesuai dengan judul yang dihadirkan. Representasi lingkungan alam di hutan yang dihadirkan pengarang hanya 20 kutipan, sedangkan representasi lingkungan alam di pantai sebanyak 24 kutipan. Pengarang lebih banyak menghadirkan representasi lingkungan alam di pantai daripada di hutan. Hal ini tidak sesuai dengan judul yang telah diberikan pengarang yang lebih menjurus ke lingkungan hutan. Pengarang seharusnya lebih banyak menghadirkan representasi lingkungan alam di hutan, sedangkan representasi lingkungan alam di pantai tidak perlu terlalu banyak.

Wujud Kerusakan Lingkungan Alam dalam Novel Qozan “Kembalikan Hutanku”

Kerusakan lingkungan alam dalam Novel Qozan “Kembalikan Hutanku” terdiri dari 3 komponen, yaitu air, udara, dan tanah. Pengarang menggambarkan wujud kerusakan lingkungan alam melalui 12 kutipan dalam Novel Qozan “Kembalikan Hutanku”.

Wujud Kerusakan Lingkungan Air dalam Novel Qozan “Kembalikan Hutanku”

Kutipan 10

Kemudian, ada wabah penyakit yang datang menyerang anak-anak serta wanita- wanita yang sedang hamil, tetapi ditinggal pergi oleh suami mereka, yaitu para penebang pohon yang laknat itu. (Novel Qozan “Kembalikan Hutanku” halaman 103)

Kutipan 10 menunjukkan adanya kerusakan alam di lingkungan air. Kerusakan alam ini ada di wilayah hutan belantara. Secara tersirat, pengarang menunjukkan wujud kerusakan ini melalui wabah penyakit yang menyerang anak-anak di hutan belantara. Hal ini terlihat melalui kalimat “ada wabah penyakit yang datang menyerang anak-anak.” Wabah penyakit biasanya menyebar lewat air minum yang tercemar. Air yang tercemar, tidak baik dikonsumsi

(10)

oleh makhluk hidup karena akan menimbulkan berbagai penyakit. Anak-anak memiliki daya tahan tubuh yang rendah, sehingga mudah sekali terserang penyakit. Pengarang ingin menunjukkan kepada pembaca betapa berbahayanya lingkungan air yang rusak. Melalui gambaran ini diharapkan pembaca akan lebih bisa menjaga lingkungan sekitarnya.

Kutipan 10 juga menunjukkan akibat yang harus dirasakan dari sikap beberapa pihak yang tidak menghargai dan menjaga lingkungan alam. Hal ini terlihat dari penderitaan warga suku pedalaman yang harus menderita dan terjangkit berbagai penyakit aneh. Sikap semena- mena dan tak bertanggungjawab para penebang pohon liar demi menguntungkan diri sendiri tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi terhadap warga sekitar. Perilaku para penebang pohon liar ini menunjukkan perilaku yang tidak bermoral dan tidak bersolidaritas terhadap lingkungan.

Wujud Kerusakan Lingkungan Udara dalam Novel Qozan “Kembalikan Hutanku”

Kutipan 11

Berputar-putar di antara kepulan asap hitam, tempat titik kebakaran hutan menembus yang tak tampak di mata, dari rimba raya dunia ke rimba dunia khayalan. (Novel Qozan “Kembalikan Hutanku” halaman 3)

Kutipan 11 menunjukkan adanya kerusakan lingkungan udara di hutan belantara.

Pengarang menggambarkan udara di hutan yang penuh dengan kepulan asap hitam. Asap hitam ini berasal dari pembakaran yang dilakukan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Udara di hutan yang seharusnya sejuk karena dipenuhi pohon-pohon, sekarang berubah menjadi sesak karena udara dipenuhi dengan asap sisa pembakaran. Hal ini terlihat melalui kalimat “berputar-putar di antara kepulan asap hitam.” Udara yang dipenuhi asap hitam tentu akan mengganggu pernapasan, bahkan bisa menyebabkan berbagai penyakit.

Ketika peran pohon yang seharusnya menghasilkan oksigen untuk makhluk hidup, tetapi malah berubah menghasilkan kepulan asap hitam yang menyebabkan berbagai penyakit.

Pengarang ingin menunjukkan betapa berbahayanya lingkungan alam yang rusak agar pembaca lebih bisa menjaga lingkungan sekitarnya.

Kutipan 11 juga menunjukkan akibat yang harus dirasakan dari sikap beberapa pihak yang tidak menghargai dan menjaga lingkungan alam. Hal ini terlihat dari banyaknya kepulan asap hitam yang menyelimuti udara di hutan. Asap hitam sisa pembakaran yang dilakukan orang-orang tak bertanggungjawab dan hanya memikirkan keuntungan sendiri mengakibatkan polusi udara dan tentu akan mengganggu pernapasan orang yang menghirupnya. Perilaku orang-orang ini menunjukkan perilaku yang tidak bermoral dan tidak bersolidaritas terhadap lingkungan serta sesama makhluk hidup.

Wujud Kerusakan Lingkungan Tanah dalam Novel Qozan “Kembalikan Hutanku”

Kutipan 12

Sudah terlalu banyak bencana yang menimpa kita. Panen gagal, warga tertimpa wabah penyakit, dan banjir yang terus menghancurkan kebun kita. (Novel Qozan

“Kembalikan Hutanku” halaman 4)

Kutipan 12 menunjukkan adanya kerusakan lingkungan tanah di hutan belantara.

Pengarang menunjukkan adanya panen yang gagal dan banjir di hutan sebagai akibat rusaknya lingkungan tanah. Ketika ekosistem tanah rusak, berbagai bencana akan muncul.

(11)

Panen yang gagal akibat tanah yang sangat kering saat musim kemarau. Tanah kering saat musim kemarau karena tidak adanya pohon yang memadai sebagai penyimpan air saat hujan turun. Banjir di hutan merupakan sesuatu yang langka karena hutan merupakan tempat penyerapan air terbesar. Banjir terjadi karena tidak memadainya penyerapan air di tanah, pohon-pohon yang ada tidak cukup menyerap air hujan. Wujud kerusakan lingkungan tanah terlihat melalui kalimat “Panen gagal, warga tertimpa wabah penyakit, dan banjir yang terus menghancurkan kebun kita.” Melalui wujud kerusakan di lingkungan tanah ini, pengarang ingin menyadarkan pembaca betapa merugikannya ketika lingkungan alam mulai rusak.

Selain itu, pembaca diharapkan dapat lebih menjaga lingkungan sekitarnya.

Kutipan 12 juga menunjukkan akibat yang harus dirasakan dari sikap beberapa pihak yang tidak menghargai dan menjaga lingkungan alam. Hal ini terlihat dari berbagai bencana yang datang silih berganti menghampiri warga suku pedalaman, mulai dari bencana banjir, wabah penyakit, sampai panen yang gagal. Tanpa mereka sadari, sikap semena-mena dan tak bertanggungjawab terhadap alam menimbulkan dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar. Perilaku orang-orang ini menunjukkan perilaku yang tidak bermoral dan tidak bersolidaritas terhadap lingkungan.

Wujud Kelestarian Lingkungan Alam dalam Novel Qozan “Kembalikan Hutanku”

Wujud Kelestarian Lingkungan Alam dalam Novel Qozan “Kembalikan Hutanku”

hanya ditemukan sebanyak 6 kutipan pada lingkungan pesisir pantai. Sedangkan di lingkungan alam hutan tidak ditemukan. Wujud kelestarian lingkungan di pesisir pantai melalui peran anak-anak dalam menanam pohon ketapang untuk mencegah abrasi.

Kutipan 13

Menanam pohon-pohon ketapang agar masyarakat sadar dan tidak lagi menebangi pohon-pohon itu untuk dijadikan kayu bakar atau hal-hal yang tidak terlalu penting. (Novel Qozan “Kembalikan Hutanku” halaman 78)

Kutipan 13 menunjukkan bentuk kelestarian lingkungan di pesisir pantai dengan cara melakukan penanaman pohon ketapang. Tujuan dari penanaman ini untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya pohon ketapang di pesisir pantai. Melalui gerakan ini, anak-anak berusaha menyadarkan masyarakat sekitar pantai untuk ikut andil dalam kegiatan menanam pohon. Pengarang menggambarkan kelestarian lingkungan di pesisr pantai melalui kalimat

menanam pohon-pohon ketapang agar masyarakat sadar dan tidak lagi menebangi pohon- pohon itu.” Pengarang ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa pohon ketapang memiliki peran penting dalam melestarikan lingkungan sekitar pantai. Selain itu, secara tidak langsung pengarang mengajak pembaca untuk melakukan hal serupa yang dilakukan anak- anak pantai dalam novel tersebut.

Kutipan 13 juga menunjukkan perilaku beberapa pihak yang peduli terhadap lingkungan.

Hal ini terlihat melalui kegiatan yang dilakukan anak-anak pantai saat menanam pohon ketapang. Perilaku anak-anak yang peduli terhadap kelestarian lingkungan ini patut diteladani oleh masyarakat, serta akan lebih baik jika diajarkan sejak dini kepada anak-anak. Perilaku anak-anak pantai ini menunjukkan perilaku yang mencintai dan menyayangi lingkungan.

Wujud Kearifan Lokal dan Peran Masyarakat dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan Alam dalam Novel Qozan “Kembalikan Hutanku”

Kearifan lokal yang ada dalam Novel Qozan “Kembalikan Hutanku” berupa adat istiadat suku Kaili yang tinggal di hutan dan bahasa daerah yang digunakan orang-orang yang tinggal

(12)

di hutan maupun di pantai. Adat istiadat yang dilakukan Suku Kaili menunjukkan bahwa bentuk kearifan lokal yang mereka percayai bertujuan untuk melestarikan hutan agar terhindar dari berbagai bencana. Adat istiadat ini berupa nyanyian dadendate, diadakannya upacara nompakoni, penghormatan kepada totua-totua di hutan pedalaman, mempercayai adanya puenggayu dan puesaluna, dan mempercayai adanya pue langit. Sedangkan bahasa daerah yang mereka gunakan adalah bahasa Kaili, Sulawesi Tengah. Bahasa daerah ini digunakan oleh suku Kaili Qori sebagai bahasa kesukuan mereka. Bahasa Kaili, tidak hanya digunakan dan diketahui oleh suku hutan pedalaman, namun juga digunakan dan diketahui oleh orang-orang yang tinggal di pesisir pantai yang ada di Sulawesi Tengah.

Wujud kearifan lokal berupa adat istiadat yang ada di hutan pedalaman digambarkan pengarang melalui 11 kutipan, sedangkan kearifan lokal berupa penggunaan bahasa daerah digambarkan pengarang melalui 8 kutipan.

Wujud Kearifan Lokal Berupa Adat Istiadat Kutipan 14

Perlahan, di dalam kegelapan rimba raya, terdengarlah nyanyian dadendate yang syahdu, ngilu, dan menyayat sepi. Nyanyian itu diiringi oleh pukulan kolintang, sebuah alat musik yang dibuat dari kayu kering sebesar lengan orang dewaasa yang dibelah dua dan diletakkan di atas dua potongan kayu yang melintang.

(Novel Qozan “Kembalikan Hutanku” halaman 2)

Kutipan 14 menunjukkan bentuk kearifan lokal suku Kaili Qori yang mendiami hutan di Sulawesi Tengah. Salah satu kearifan lokal suku di sana adalah melakukan nyanyian dadendate. Dadendate merupakan nyanyian khas suku Kaili Qori yang bertujuan untuk melakukan persembahan kepada para dewa yang mereka percayai. Warga suku Kaili Qori melakukan ini untuk menyelamatkan hutan mereka dari penebangan yang terus dilakukan.

Mereka memercayai bahwa kerusakan yang terjadi selama ini karena kemarahan para makhluk penunggu hutan. Salah satu peran mereka dalam upaya melestarikan hutan dengan melakukan nyanyian dadendate, sesuai dengan kearifan lokal yang mereka percayai. Hal ini terlihat melalui kalimat “Perlahan, di dalam kegelapan rimba raya, terdengarlah nyanyian dadendate yang syahdu, ngilu, dan menyayat sepi.”

Kutipan 15

“Tidak! Kita tetap harus melakukan upacara Nompakoni agar kampung dan hutan kita ini bebas dari marabahaya!” Bentak Kepala Suku Kaili di tengah rapat para pemuka adat. (Novel Qozan “Kembalikan Hutanku” halaman 3)

Kutipan 15 menunjukkan bentuk kearifan lokal suku Kaili Qori yang mendiami hutan di Sulawesi Tengah. Salah satu kearifan lokal suku di sana adalah melakukan upacara Nompakoni. Upacara Nompakoni merupakan upacara menyembah dewa dan roh nenek moyang dalam kepercayaan suku Kaili Qori. Tujuan dari upacara adalah untuk meminta kepada dewa dan roh nenek moyang agar menghentikan segala kerusakan yang terjadi di hutan. Kepala suku Kaili meyakini bahwa upacara Nompakoni dapat menghentikan aktivitas para penebang pohon di hutan mereka. Salah satu peran mereka dalam upaya melestarikan hutan dengan melakukan upacara Nompakoni, sesuai dengan kearifan lokal yang mereka

(13)

percayai. Hal ini terlihat melalui kalimat “Tidak! Kita tetap harus melakukan upacara Nompakoni agar kampung dan hutan kita ini bebas dari marabahaya!”

Kutipan 16

“Menurut totua-totua, apa yang mesti kita lakukan? Sudah terlalu banyak bencana yang menimpa kita.” Kata tokoh lain yang ada di sudut ruangan. (Novel Qozan “Kembalikan Hutanku” halaman 4)

Kutipan 16 menunjukkan penggunaan bahasa daerah suku Kaili, yaitu sebutan kepada orang-orang yang dituakan dalam suku mereka dikenal dengan istilah totua-totua. Suku Kaili mengadakan rapat antara totua-totua dan tokoh-tokoh lainnya untuk mencari jalan keluar atas permasalahan yang merusak hutan mereka. Berdasarkan kearifan lokal yang mereka percayai, dalam rapat mereka akan meminta pendapat totua-totua untuk menyelesaikan permasalahan yang menimpa hutan mereka. Hal ini terlihat melalui kalimat “Menurut totua-totua, apa yang mesti kita lakukan?”

Kutipan 17

Puenggayu dan puesaluna telah marah kepada kita sehingga mengirim tikus untuk menghancurkan tanaman pertanian kita. (Novel Qozan “Kembalikan Hutanku” halaman 6)

Kutipan 17 menunjukkan bentuk kearifan lokal suku Kaili Qori yang mendiami hutan di Sulawesi Tengah. Salah satu kearifan lokal suku di sana adalah mempercayai adanya puenggayu dan puesaluna. Puenggayu adalah penunggu hutan, roh makhluk halus yang mendiami hutan yang dipercaya dapat memberi rezeki dan kesehatan dalam kepercayaan suku Kaili. Sedangkan puesaluna adalah penunggu lembah, roh makhluk halus yang mendiami lembah yang dipercaya dapat memberi rezeki dan kesehatan dalam kepercayaan suku Kaili. Mereka memercayai bahwa segala bencana yang menimpa mereka akibat kerusakan hutan dikarenakan kemarahan puenggayu dan puesaluna. Hal ini terlihat melalui kalimat “Puenggayu dan puesaluna telah marah kepada kita sehingga mengirim tikus untuk menghancurkan tanaman pertanian kita.” Oleh karena itu, untuk meredakan amarah puenggayu dan puesaluna, suku Kaili berencana melakukan berbagai acara adat sesuai dengan kearifan lokal yang mereka percayai.

Kutipan 18

“Lihatlah, akhir-akhir ini, di gunung sana. Langit merah itu bertanda pue langit sudah sangat marah kepada kita. (Novel Qozan “Kembalikan Hutanku” halaman 11)

Kutipan 18 menunjukkan bentuk kearifan lokal suku Kaili Qori yang mendiami hutan di Sulawesi Tengah. Salah satu kearifan lokal suku di sana adalah mempercayai adanya pue langit. Pue langit adalah penunggu langit, dewa tertinggi dalam kepercayaan suku Kaili Qori.

Mereka mempercayai bahwa langit di hutan yang tampak merah menandakan kemarahan pue langit terhadap suku mereka, sehingga berbagai bencana datang menimpa hutan. Hal ini terlihat melalui kalimat “Langit merah itu bertanda pue langit sudah sangat marah kepada kita.”

Wujud Kearifan Lokal Berupa Penggunaan Bahasa Daerah

(14)

Kutipan 19

Totua adat, berifa? Mamala sakodi majorita,” kata sang Kepala Suku dengan penuh wibawa kepada si dukun adat. (Novel Qozan “Kembalikan Hutanku”

halaman 10)

Kutipan 19 menunjukkan penggunaan bahasa daerah suku Kaili. Totua adat, berifa?

Mamala sakodi majorita bermakna Orang Tua Adat, bagaimana? Mohon izinnya untuk saya bicara. Percakapan antara Kepala Suku dan tokoh-tokoh lainnya dalam sebuah rapat.

Berdasarkan kearifan lokal yang mereka percayai, ketika hendak memberikan pendapat dalam rapat, mereka meminta izin dulu kepada yang lebih tua sebagai sosok yang dihormati.

Hal ini terlihat melalui kalimat ““Totua adat, berifa? Mamala sakodi majorita,” kata sang Kepala Suku dengan penuh wibawa kepada si dukun adat.”

Kutipan 20

Melihat Qozan berdiam diri, Rizal mengambil keputusan untuk betanya, “Teman, jangan marah, ya, roa sei dako riava asalana.” (Novel Qozan “Kembalikan Hutanku” halaman 61)

Kutipan 20 menunjukkan penggunaan bahasa daerah suku Kaili. Roa sei dako riava asalana berarti teman dari mana asalnya. Bahasa daerah ini digunakan Rizal untuk bertanya kepada Qozan yang dianggap tidak bisa berbahasa Indonesia. Bahasa daerah suku Kaili tidak hanya diketahui oleh orang-orang yang tinggal di hutan pedalaman, tetapi orang-rang yang tinggal di pesisir pantai juga mengetahui bahasa daerah wilayah mereka. Bedanya, orang- orang di pantai selain bisa menggunakan bahasa daerah, mereka juga bisa menggunakan bahasa nasional, bahasa Indonesia. Temuan ini memperkuat pernyataan Rafiek (2012).

Rafiek (2012) menyatakan bahwa kearifan lokal berkaitan dengan kekayaan nilai-nilai budaya, adat dan tradisi, norma, dan kelestarian alam. Temuan penelitian ini berimplikasi bahwa kearifan lokal bisa juga ditemukan dalam novel. Selama ini kearifan lokal lebih banyak dikaji dalam sastra lisan (Rafiek, 2015).

KESIMPULAN

Peneliti menemukan kajian ekokritik dalam Novel Qozan “Kembalikan Hutanku” Karya Imogail Zam Zami Djalaluddin sebanyak 81 kutipan. Kajian ekokritik dalam novel ini meliputi representasi lingkungan alam, wujud kerusakan lingkungan alam, wujud kelestarian lingkungan alam, dan wujud kearifan lokal yang ada di Sulawesi Tengah. Representasi lingkungan alam yang ditampilkan pengarang dalam novel ini yaitu lingkungan di hutan dan lingkungan di pantai. Representasi lingkungan alam dalam novel ini menggunakan diksi yang tepat dan bahasa yang mudah dipahami, sehingga pembaca dapat berimajinasi dan ikut larut dalam suasana yang digambarkan oleh pengarang. Sedangkan wujud kerusakan lingkungan alam hanya sedikit dihadirkan oleh pengarang, meski sudah sesuai dengan dengan judul yang diberikan pengarang. Wujud kerusakan lingkungan alam yang dihadirkan pengarang terdiri dari 3 komponen, yaitu air, udara, dan tanah. Kerusakan lingkungan alam yang terjadi dalam Novel Qozan “Kembalikan Hutanku” diakibatkan oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab.

Wujud kelestarian lingkungan alam yang dihadirkan pengarang belum sesuai dengan judul novel karena hanya ada wujud kelestarian lingkungan alam di pantai, sedangkan

(15)

kelestarian lingkungan alam di hutan tidak ada sama sekali. Bentuk kearifan lokal yang dihadirkan pengarang berupa kearifan lokal yang ada di Sulawesi Tengah, yaitu adat istiadat yang melekat pada penduduk asli dan bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa sehari- hari. Pengarang menunjukkan bentuk kearifan lokal yang dipercayai masyarakat sebagai upaya melestarikan lingkungan alam mereka yang mulai rusak.

DAFTAR RUJUKAN

Aminuddin. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. PT Asdi Mahasatya.

Dewi, N. (2016). Ekokritik dalam Sastra Indonesia: Kajian Sastra yang Memihak. Jurnal Bahasa dan Sastra. 15(1), 19-37. https://doi.org/10.14421/ajbs.2016.15102.

Endraswara, S. (2016). Ekokritik Sastra Konsep, Teori, dan Terapan. Morfalingua.

Fadilah, N., Mahyudi, J., Khairussibyan, M., & Efendi, M. (2022). Kajian Ekologi Sosial atas Kumpulan Puisi Langit Seperti Cangkang Telur Bebek Karya Imam Safwan. Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya. 12(1), 51-65.

https://ejurnal.ung.ac.id/index.php/JBSP/article/view/13051.

Garrad, G. (2004). Ecocriticism. Routledge.

Harsono, S. (2008). Jurnal Ekokritik “Kritik Sastra Berwawasan Lingkungan”. Undip.

Juliasih. (2012). Manusia dan Lingkungan dalam Novel Life in the Iron Milis Karya Rebecca Hardings Davis, Jurnal Litera, 11(1), 83-97. https://doi.org/10.21831/ltr.v11i1.1149.

Love, G. A. (2003). Practical Ecocriticism, Literatur, Biology, and the Environment.

University of Virginia Press.

Margono, S. (2009). Metodologi Penelitian Pendidikan: Komponen MKDK. Rineka Cipta.

Norvia. (2021). Unsur Ekologi dalam Peribahasa Banjar. Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya. 11(1), 46-66. http://dx.doi.org/10.20527/jbsp.v11i1.10562.

Nurgiyantoro, B. (2010). Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Gadjah Mada University Press.

Rafiek, M. (2012). Kearifan Lokal dalam Hikayat Raja Banjar. International Journal of the Malay World and Civilisation (Iman) 30(1), 67-104.

https://core.ac.uk/download/pdf/11494362.pdf.

Rafiek, M. (2013). Pengkajian Sastra, Kajian Praktis. Refika Aditama.

Rafiek, M. (2015). Teori Sastra, Kajian Teori dan Praktik. Refika Aditama.

Rafiek, M. (2017). Teori Sastra: Dari Kelisanan sampai Perfilman. Pustaka Pelajar.

(16)

Sugiarti, S. (2017). Ekologi Budaya dalam Sastra. Universitas Muhammadiyah Malang.

Sukmawan, S. (2016). Ekokritik Sastra: Menanggap Sasmita Arcadia. TIM UB Press.

Sutisna, A. R. (2012). Kajian Ekokritik dalam Novel Kekal Karya Jalu Kancana. Jurnal Hasil

Penelitian Bahasa dan Sastra, 17(2), 185-194.

https://doi.org/10.26499/und.v17i2.3459.

Taqwiem, A & Alfianti, D. (2020). Sampah dalam Novel Aroma Karsa Karya Dewi Lestari:

Tinjauan Ekologi Sastra, Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya, 10(1), 1-11.

http://ppjp.ulm.ac.id/journal/index.php/jbsp/article/view /8392/6142.

Referensi

Dokumen terkait

Didaktika Religia Volume 6 No 1/ 2018 According to Amin, Islamic studies integration - interconnection is the study of Islamic sciences, both the object of discussion and