Indonesia mengalami krisis ekonomi pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto pada akhir tahun 1997, yang mengakibatkan kontraksi ekonomi yang parah pada tahun 1998-99 (berdasarkan data BPS, kemiskinan tercatat sebesar 24,2% pada tahun 1998). Namun jika kita menengok pada akhir tahun 1997, prestasi ekonomi lah yang menjadi legitimasi masa kepemimpinannya, seperti pengentasan kemiskinan dan peningkatan indikator kesejahteraan. Namun kedua fenomena atau peristiwa ekonomi tersebut masih belum sepenuhnya dipahami dan sering disalahartikan oleh pihak-pihak yang mendukung atau menentang pemerintahan Presiden Soeharto.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meninjau beberapa bukti terkait kemiskinan dan distribusi pendapatan serta mendiskusikan implikasi kebijakan dari bukti tersebut. Dan dengan mengacu pada beberapa temuan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terhadap kondisi perekonomian di Indonesia pada periode tersebut. Pada bagian deskriptif, penulis juga menggunakan analisis Social Accounting Matrix (SAM) untuk melihat sektor mana saja yang menjadi sumber pendapatan petani yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok (petani kecil/miskin, petani menengah, dan petani besar/kaya).
Penelitian ini juga menggunakan Analisis Inferensial untuk menjelaskan variasi kemiskinan pedesaan yang terjadi di Indonesia. Alat analisis yang digunakan adalah regresi Ordinary Least Square (OLS) dengan menggunakan data cross-sectional antar provinsi pada tahun 1993. Analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor penentu yang signifikan terhadap variasi kemiskinan pedesaan menurut provinsi.
PENELITIAN INI MENEMUKAN PRODUKTIVITAS PERTANIAN PER HEKTAR DAN KELAPARAN LAHAN PERTANIAN MASIH MENJADI FAKTOR.
PENELITIAN INI MENEMUKAN BAHWA PRODUKTIVITAS PERTANIAN PER HEKTAR DAN LUAS LAHAN PERTANIAN MASIH MENJADI FAKTOR
IMPLIKASI KEBIJAKAN DARI TEMUAN INI ADALAH BAHWA PENEKANAN LEBIH LANJUT PADA PEMBANGUNAN PEDESAAN DAN PERTANIAN
DATA PENELITIAN
Koefisien gini atau Rasio Gini menurut wilayah pedesaan dan perkotaan di Indonesia tahun 1964-1996
Periode pencatatan data pada tahun 1964-1980 adalah dua tahun, kemudian pada tahun 1981-196 periode pencatatan adalah 3 tahun. Data tersebut berasal dari publikasi BPS tahun 1997 yang berjudul Pengeluaran Konsumsi Penduduk Indonesia 1996. Sundrum yang berjudul Model Pengeluaran Konsumen tahun 1973, publikasi BPS tahun 1990 yang berjudul Ibukota Provinsi di Pulau Jawa dan artikel Arsenio M.
DATA YANG DIGUNAKAN DALAM ARTIKEL INI ADALAH DATA SEKUNDER
PADA ANALISIS DESKRIPTIF, DATA-DATA YANG DIGUNAKAN DIANTARANYA;
- Jumlah penduduk miskin dan Persentase penduduk miskin menurut wilayah pedesaan dan perkotaan di Indonesia tahun 1970 dan 1976-
- Garis Kemiskinan BPS tahun 1970 dan 1976-1996
- Estimasi persentase penduduk miskin relatif yang digambarkan oleh proporsi 50% dan 33% penduduk terbawah yang konsumsinya kurang
- Proporsi PDRB, Jumlah penduduk, dan penduduk miskin, serta tingkat kemiskinan menurut beberapa provinsi di Indonesia tahun 1996
- Estimasi persentase penduduk miskin relatif yang digambarkan oleh proporsi 50% penduduk terbawah yang konsumsinya kurang dari rata-
- Penghasilan Bulanan Pekerja Berdasarkan Tingkat Pendidikan tahun 1976, 1986, dan 1996
Jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin menurut perdesaan dan perkotaan di Indonesia pada tahun 1970 dan 1976- perdesaan dan perkotaan di Indonesia pada tahun 1970 dan 1976-1996. Penduduk dikategorikan miskin bila mempunyai rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Publikasi BPS Indonesia Tahun 1994 dengan Judul Penduduk Miskin dan Desa Tertinggal 1993: Metodologi dan Analisis, Lampiran Pidato Kenegaraan tanggal 15 Agustus 1998 di Departemen Penerangan tahun 1998.
Estimasi persentase penduduk relatif miskin digambarkan dengan persentase 50% dan 33% penduduk miskin yang konsumsinya lebih rendah dibandingkan porsi 50% dan 33% penduduk miskin yang konsumsinya lebih rendah dari rata-rata pengeluaran konsumsi. per kapita menurut wilayah. Data tersebut merupakan data tahunan yang diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahap Keempat (Oktober 1969-April 1970) dan Survei Sosial Ekonomi Nasional: Belanja Konsumsi. Sumber datanya dari Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahap Keempat (Oktober 1969-April 1970) dan publikasi BPS tahun 1997 yang berjudul Pengeluaran Konsumsi Penduduk Indonesia 1996.
Data ini diperoleh dari Lampiran Pidato Kenegaraan Departemen Penerangan tanggal 15 Agustus 1998 dan publikasi BPS tahun 1997 yang berjudul Produk Domestik Regional Bruto Provinsi-Provinsi di Indonesia Menurut Asal Industri, 1993–96. Proporsi PDB, jumlah penduduk dan penduduk miskin, serta tingkat kemiskinan menurut berbagai provinsi di Indonesia pada tahun 1996. % penduduk terendah yang konsumsinya kurang dari rata-rata pengeluaran konsumsi per kapita menurut wilayah pedesaan dan perkotaan di Indonesia pada tahun 1987 dan 1996.
Data tersebut berasal dari publikasi BPS tahun 1988 yang berjudul Indikator Standar Hidup Pekerja tahun 1986 dan publikasi BPS tahun 1997 yang berjudul Pengeluaran Konsumsi Penduduk. 4. Nilai tambah per hektar sektor pertanian bagi petani kecil di setiap provinsi 5. Peningkatan angkatan kerja pertanian di setiap provinsi. 6. Persentase nilai tambah sektor pertanian petani kecil (Pertanian Rakyat) yang berasal dari subsektor tanaman pangan masing-masing provinsi.
Data tersebut berasal dari Publikasi BPS tahun 1994 dengan judul Penduduk Miskin dan Perdesaan Tertinggal 1993: Metodologi dan Analisis, Publikasi BPS tahun 1997 dengan judul Domestik Regional Bruto.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Negara-negara tenggara lainnya yang memiliki data yang dapat diandalkan; pada kenyataannya, PDB riil per per kapita diperkirakan hanya 535 dolar AS (harga tahun 1985) pada tahun 1966. Data survei rumah tangga yang dikumpulkan antara bulan November 1964 dan Februari 1965 menunjukkan bahwa di sebagian besar wilayah di Jawa, lebih dari separuh penduduk pedesaan berada di bawah garis kemiskinan yang ditentukan oleh harga gabah. (20 kg per penduduk per bulan). Di luar Pulau Jawa, rata-rata angka kemiskinan lebih rendah, meskipun di Bali, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Barat tidak jauh berbeda dengan Pulau Jawa (Booth 1988).
DAMPAK KEBIJAKAN STABILISASI VS
KETIMPANGAN PENDAPATAN
Kebijakan stabilisasi yang dilakukan Soeharto dan tim ekonominya pada tahun 1966 hingga 1969 sangat berhasil. Pada tahun 1964-65, ketika inflasi dan dislokasi ekonomi mencapai puncaknya, koefisien Gini pengeluaran konsumsi di wilayah perkotaan di Jawa (tidak termasuk Jakarta) hanya 0,3; pada tahun 1967 turun sedikit menjadi 0,29. Di wilayah perkotaan di Pulau Jawa, persentase penduduk miskin sebesar 26%, sedangkan di luar Pulau Jawa sebesar 21% di perkotaan dan 15% di perdesaan.
PERTUMBUHAN DAN EKUITAS
SELAMA TAHUN 1970-an
PADA PERTENGAHAN 1970-AN, TERDAPAT PERDEBATAN YANG CUKUP SENGIT TENTANG DAMPAK DISTRIBUSI BOOMING MINYAK, TERUTAMA DI WILAYAH
KEBIJAKAN PENYESUAIAN STRUKTURAL DAN
PENURUNAN KEMISKINAN, 1981-87
KEMBALINYA
PERTUMBUHAN
YANG CEPAT, 1987- 96
SELAMA PERIODE 1981-87, TERJADI DEVALUASI NILAI MATA UANG YANG BERDAMPAK PADA PENINGKATAN
DIBARENGI KEBIJAKAN PENGURANGAN BEA MASUK DAN REFORMASI PERPAJAKAN
Meningkatnya ketimpangan, terutama di perkotaan, mengurangi dampak pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan angka kemiskinan.
PERUBAHAN PERTUKARAN
ANTARA PERTUMBUHAN DAN PEMERATAAN Di INDONESIA
HASIL ANALISIS
Hasil analisis menunjukkan bahwa perbedaan tingkat pendidikan yang dominan terdapat pada tingkat sekolah menengah dan pendidikan tinggi, khususnya kalangan
ASPEK TERKAIT PENDIDIKAN DAN KETIMPANGAN EKONOMI DI INDONESIA
Upaya untuk meningkatkan pendidikan harus mencakup peningkatan akses terhadap pendidikan dasar, tabungan pendidikan tinggi, dan insentif. Biaya pendidikan tinggi yang tinggi dapat menghambat akses anak-anak dari keluarga miskin terhadap pendidikan tinggi.
KESIMPULAN
FURTHER RESEARCH
THANKYOU