• Tidak ada hasil yang ditemukan

KHUTBAH IDUL FITRI 2023

N/A
N/A
gLen

Academic year: 2023

Membagikan " KHUTBAH IDUL FITRI 2023"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

KHUTBAH I

ALLOHU AKBAR 9 X. ALLOHU AKBAR KABĪRO WAL-HAMDU LI-LAHI KATSIRO WA SUBHANAL- LAHI BUKROTAW-WASHILA, LA ILAHA ILLOL-LOHU WAL-LOHU AKBAR, ALLOHU AKBAR WA LIL-LAHIL-HAMD.

ALHAMDULILLAHILLADZI ANZALA ‘ALA ‘ABDIHIL KITAAB, AZH-HAROL HAQQO BILHAQQI WA AKHZAL AHZAAB WA ATAMMA NUUROHU WA JA’ALA KAIDAL KAAFIRIINA FII TABAAB,

WA ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLOHUL ‘AZIIZUL WAHHAAB, AL-MULKU FAUQO KULLIL MULUUK WA ROBBUL ARBAAB, GHOFIRUDZ DZANBI WA QOBILUT TAUBI SYADIIDUL ‘IQOOB, WA ASYHADU ANNA SAYYIDANAA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA ROSUULUHUL MUSTAGHFIRUT TAWWAAB, ALLOHUMMA SHOLLI WA SALLIM WA BAARIK ‘ALAIHI WA ‘ALAL AALI WAL ASH- HAAB.

WA BA’DU. FAYA ‘IBADAL-LAH USHĪKUM WA IYYAYA NAFSI BITAQWALLOH FAQOD FAZAL MUTTAQUN.

WA QOLAL-LAHU SUBHANAHU WA TA’ALA, A’UDZU BIL-LAHI MINASYSYAITHONIR-RAJĪM:

YA AYUHANNAS QOD JA’AKUM BURHANUM MIRROBIQUM WA ANZALNA ILAIQUM NURRON MUBIN, FA AMALADZINA AMANU BILLAHI WATHOSHOMUW BIH FASAYUD KHILUHUM FI ROHMATIM MINHU WA FADLIW WA YADIHIM ILAIHI SIROTHOM MUSTAQIM

WA QOLA FI AYATIN UKHRO:

WALLADZINA YAQULUNA ROBBANA HAB LANA MIN AZWAJINA WA DZURRIYYATINA QURROTA A’YUN WAJ’ALNA LIL-MUTTAQINA IMAMA.

ALLOHU AKBAR, ALLOHU AKBAR, ALLOHU AKBAR.

Lebaran atau momen Idul Fitri hampir selalu diwarnai dengan gegap gempita kegembiraan umat Islam di berbagai penjuru. Gema takbir dikumandangkan di malam harinya, kadang disertai sejumlah aksi pawai. Pada pagi harinya pun mayoritas dari mereka mengenakan pakaian serba baru, makan makanan khas dan istimewa, serta bersiap bepergian untuk silaturahim ke sanak kerabat hingga berkunjung ke beberapa wahana liburan yang menarik. Umat Islam merayakan sebuah momen yang mereka sebut-sebut sebagai “hari kemenangan”. Tapi kemenangan atas apa? Jamaah shalat Idul Fitri hafidhakumullah, Idul Fitri tiba ketika umat Islam menjalankan ibadah wajib puasa Ramadhan selama satu bulan penuh. Sepanjang bulan suci tersebut, mereka menahan lapar, haus, hubungan seks, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga matahari terbenam. Secara bahasa, shaum (puasa) memang bersinonim dengan imsâk yang artinya menahan. Ramadhan merupakan arena kita berlatih menahan diri dari segala macam godaan material yang bisa membuat kita lupa diri. Proses latihan tersebut diwujudkan dalam bentuk larangan terhadap hal-hal yang sebelumnya halal, seperti makan dan minum. Inilah proses penempaan diri. Targetnya: bila manusia menahan diri dari yang halal-halal saja mampu, apalagi menahan diri dari yang haram-haram. Puasa itu ibarat pekan ujian nasional bagi siswa

(2)

sekolah. Selama seminggu itu para murid digembleng untuk belajar lebih serius, mengurangi jam bermain, dan menghindari hal-hal lain yang bisa mengganggu hasil ujian tersebut. Ramadhan tentu lebih dari sekadar latihan. Ia wahana penempaan diri sekaligus saat-saat dilimpahkannya rahmat (rahmah), ampunan (maghfirah), dan pembebasan dari api neraka (itqun minan nâr).

Aktivitas ibadah sunnah diganjar senilai ibadah wajib, sementara ibadah wajib membuahkan pahala berlipat-lipat. Selayak siswa sekolah yang mendapatkan rapor selepas melewati masa- masa krusial ujian, demikian pula orang-orang yang berpuasa. Setelah melewati momen-momen penting sebulan penuh, umat Islam pun berhak mendapatkan hasilnya. Apa hasil itu? Jawabannya tak lain adalah predikat “takwa”, sebagaimana terdapat di al-Baqarah ayat 183:

“Ya Ayyuhaladina amanu kutiba alaikum mushiyam kama kutiba ‘alaladzina min qoblikum la ‘alakum tatakum”

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."

Takwa merupakan standar paling tinggi tingkat kemuliaan manusia. Seberapa tinggi derajat mulia manusia tergantung pada seberapa tinggi takwanya. Inna akromakum ‘indallohi atqokum.

Dalam konteks puasa Ramadhan, tentu takwa tak bisa digapai dengan sebatas menahan lapar dan dahaga. Ada yang lebih substansial yang perlu ditahan, yakni tergantungnya manusia kepada hal-hal selain Allah, termasuk hawa nafsu. Orang yang berpuasa dengan sungguh-sungguh akan mencegah dirinya dari segala macam perbuatan tercela semacam mengubar syahwat, berbohong, bergunjing, merendahkan orang lain, riya’, menyakiti pihak lain, dan lain sebagainya.

Tanpa itu, puasa kita mungkin sah secara fiqih, tapi belum tentu berharga di mata Allah subhanahu wata’ala. Rasulullah sendiri pernah bersabda “Banyak orang yang berpuasa, namun ia tak mendapatkan apa pun dari puasanya selain rasa lapar saja.” (HR Imam Ahmad)

Jamaah shalat Idul Fitri hafidhokumullah,

Karena puasa sudah kita lewati dan tak ada jaminan kita bakal bertemu Ramadhan lagi, pertanyaan yang lebih relevan bukan saja “kemenangan atas apa yang sedang kita Idul Fitri?”

tapi juga “apa tanda-tanda kita telah mencapai kemenangan?”. Jangan-jangan kita seperti yang disabdakan Nabi, termasuk golongan yang sekadar mendapatkan lapar dan dahaga, tanpa pahala? Jika standar capaian tertinggi puasa adalah takwa, maka tanda-tanda bahwa kita sukses melewati Ramadhan pun tak lepas dari ciri-ciri muttaqîn (orang-orang yang bertakwa). Semakin tinggi kualitas takwa kita, indikasi semakin tinggi pula kesuksean kita berpuasa. Demikian juga sebaliknya, semakin hilang kualitas takwa dalam diri kita, pertanda semakin gagal kita sepanjang Ramadhan. Lantas, apa saja ciri-ciri orang bertakwa? Ada beberapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan ciri-ciri orang takwa. Salah satu ayatnya terdapat dalam Surat Ali Imran ayat 133- 134

Wa sari'u ila magfirotim mir robbikum wa jannatin 'arḍuhas-samawatu wal-arḍu u'iddat lil-muttaqīn; Alladżina yunfiqụna fis-sarro`i waḍ-ḍarro`i wal-kaẓiminal- ghoiẓo wal-'afina 'anin-nas, wollohu yuḥibbul-muḥsinin

(3)

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa; (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) pada saat sarro’ (senang) dan pada saat dlorro’ (susah), dan orang- orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang- orang yang berbuat kebajikan.”

Jamaah shalat Idul Fitri hafidhakumullah,

Ayat tersebut memaparkan tiga sifat yang menjadi ciri orang bertakwa. Pertama, gemar menyedekahkan sebagian hartanya dalam kondisi senang ataupun sulit. Orang bertakwa tidak akan sibuk hanya memikirkan diri sendiri. Ia mesti memiliki jiwa sosial, menaruh empati kepada sesama, serta rela berkorban untuk orang lain dalam setiap keadaan. Bahkan, ia tidak hanya suka memberi kepada orang yang dicintainya, tapi juga kepada orang-orang memang membutuhkan.

Dalam konteks Ramadhan dan Idul Fitri, sifat takwa pertama ini sebenarnya sudah mulai didorong oleh Islam melalui ajaran zakat fitrah, santunan anak yatim, amal sedekah dan jariyah. Amal jariyah dengan harta merupakan simbol bahwa “rapor kelulusan” puasa harus ditandai dengan mengorbankan sebagian kekayaan kita dan menaruh kepedulian kepada mereka yang lemah.

Ayat tersebut menggunakan fi’il mudhori’ yunfiquna yang bermakna aktivitas itu berlangsung konstan/terus-menerus. Dari sini, dapat dipahami bahwa zakat fitrah, santunan anak yatim, amal sedekah dan jariyah hanyalah awal atau “pancingan” bagi segenap kepedulian sosial tanpa henti pada bulan-bulan berikutnya.

Ciri kedua orang bertakwa adalah mampu menahan amarah. Marah merupakan gejala manusiawi.

Tapi orang-orang yang bertakwa tidak akan mengumbar marah begitu saja. Al-kadhim (orang yang menahan) serumpun kata dengan al-kadhimah (termos). Kedua-duanya mempunyai fungsi membendung: yang pertama membendung amarah, yang kedua membendung air panas. Selayak termos, orang bertakwa semestinya mampu menyembunyikan panas di dadanya sehingg orang- orang di sekitarnya tidak tahu bahwa ia sedang marah. Bisa jadi ia tetap marah, namun ketakwaan mencegahnya melampiaskan itu karena tahu mudarat yang bakal ditimbulkan. Termos hanya menuangkan air panas pada saat yang jelas maslahatnya dan betul-betul dibutuhkan.

Patutlah pada kesempatan lebaran ini, umat Islam mengontrol emosinya sebaik mungkin.

Mencegah amarah menguasai dirinya, dan bersikap kepada orang-orang pernah membuatnya marah secara wajar dan biasa-biasa saja. Ramadhan semestinya telah melatih orang untuk berlapang dada, bijak sana, dan tetap sejuk menghadapi situasi sepanas apa pun.

Ciri ketiga orang bertakwa adalah memaafkan kesalahan orang lain. Sepanjang Ramadhan, umat Islam paling dianjurkan memperbanyak permohonan maaf kepada Allah dengan membaca:

Allohumma innaka afuwun tuhibbul afwa fa’fuani

“Wahai Tuhan, Engkau Maha Pengampun, menyukai orang yang minta ampunan, ampunilah aku.” Kata ‘afw (maaf) diulang tiga kali dalam kalimat tersebut, menunjukkan bahwa manusia memohon dengan sangat serius ampunan dari Allah SWT. Memohon ampun merupakan bukti kerendahan diri di hadapan-Nya sebagai hamba yang banyak kesalahan dan tak suci. Cara ini, bila dipraktikkan dengan penuh pengahayatan, sebenarnya melatih orang selama Ramadhan tentang pentingnya maaf. Bila diri kita sendiri saja tak mungkin suci dari kesalahan, alasan apa yang kita tidak mau memaafkan kesalahan orang lain? Maaf merupakan sesuatu yang singkat

(4)

namun bisa terasa sangat berat karena persoalan ego, gengsi, dan unsur-unsur nafsu lainnya.

Amatlah arif ulama-ulama di Tanah Air yang menciptakan tradisi bersilaturahim dan saling memaafkan di momen lebaran. Sempurnalah, ketika kita usai membersihkan diri dari kesalahan- kesalahan kepada Allah, selanjutnya kita saling memaafkan kesalahan masing-masing di antara manusia. Sudah berapa kali puasa kita lewati sepanjang kita hidup? Sudahkah ciri-ciri sukses Ramadhan tersebut melekat dalam diri kita? Wallahu a’lam bish shawab.

Barokallohu li wa lakum fiil qur’anil adzim wa nafa’ani wa iyya’kum bima fihi minal ayati wa dzikril hakim, wa taqobbal minni wa minkum tilaa watahu innahu huwasyami’ul adzim

(DUDUK SEBENTAR)

KHUTBAH II ALLĀHU AKBAR 7 X.

ALLĀHU AKBAR ‘ADADA MAN SHĀMA WA AFTHAR, ALLĀHU AKBAR ‘ADADA MAN THALABAL-

‘AFWA MIR-RABBIHI WAL-‘ITQA MINAN-NĀR.

ALLOHU AKBAR KABĪRO WAL-HAMDU LI-LĀHI KATSĪRO WA SUBHĀNAL-LĀHI BUKROTAW- WASHĪLĀ, LĀ ILĀHA ILLAL-LĀHU WAL-LOHU AKBAR, ALLOHU AKBAR WA LIL-LĀHIL-HAMD.

AL-HAMDU LIL-LĀHI MU’ĪDIL-JUMA’I WAL-A’YĀD, ROFI’IS-SAB’ISY-SYIDĀD, WA JĀMI’IN- NĀSI LIYAUMIN LĀ ROIBA FĪHI, INNAL-LOHA LĀ YUKHLIFUL MĪ’ĀD.

WA ASYHADU AN LĀ ILĀHA ILLAL-LĀH WAHDAHU LĀ SYARĪKA LAHU WA LĀ ANDĀD WA ASYHADU ANNA SAYYIDANĀ MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASŪLUHUL-LADZĪ SYARRA’ASY-SYARĀ’I’A WA SANNAL-A’YĀD.

ALLOHUMMA SHOLLI WA SALLIM ‘ALA ‘ABDIKA WA ROSULIKA MUHAMMADIN WA ‘ALĀ ĀLIHI WA SHOHBIHIL-BARORATIL-AMJĀD.

ALLĀHU AKBAR ALLĀHU AKBAR, LĀ ILĀHA ILLAL-LĀHU WAL-LĀHU AKBAR, ALLĀHU AKBAR WA LIL-LĀHIL-HAMD.

AMMĀ BA’DU, FAYĀ ‘IBADAL-LAH USHĪKUM WA IYYĀYA NAFSĪ, BITAQWAL-LOH FAQOD FAZAL- MUTTAQŪN.

WA’LAMŪ ANNAL-LĀHA AMARAKUM BI’AMRIN BADA’A FĪHI BINAFSIH, WA TSANNĀ

BIMALĀ’IKATIHIL-MUSABBIHATI BIQUDSIH, WA TSALLATSA BIKUM AYYUHAL-MU’MINŪN.

(5)

FAQOLA JALLA MIN QO’ILIN ‘ALĪMĀ: A’ŪDZU BIL-LĀHI MINASY-SYATHONIRROJĪM: INNAL- LOHA WA MALA’IKATAHU YUSHOLLUNA ‘ALAN-NABIY, YĀ’AYYUHALLADZĪNA ĀMANŪ SHOLLŪ

‘ALAIHI WA SALLIMŪ TASLĪMĀ.

ALLOHUMMA SHOLLI WA SALLIM ‘ALĀN-NABIYYIL KARĪM, SAYYIDINĀ MUHAMMADIN WA ‘ALĀ ĀLIHI WA ASHHĀBIHI AJMA’ĪN.

(MARI KITA TENGADAHKAN TANGAN KITA DI PAGI YANG MULIA DAN MUSTAJAB, KITA RENDAHKAN DIRI KITA DIHADAPAN SANG PEMILIK KEHIDUPAN, KITA TANGGALKAN PREDIKAT- PREDIKAT DUNIA YANG MELEKAT PADA DIRI KITA)

BISMILLAHIROHMANIR ROHIM

ALLĀHUMMAG-FIR LIL-MUSLIMĪN WAL-MUSLIMAT WAL-MU’MININ WAL MU’MINAT AL- AHYA’I MINHUM WAL-AMWAT.

YA ALLAH, AMPUNILAH KAUM MUSLIMIN DAN MUSLIMAT SERTA MUKMININ DAN MUKMINAT, BAIK YANG MASIH HIDUP MAUPUN YANG SUDAH MENINGGAL DUNIA.

ALLOHUMMA NAWWIR ‘ALA AHLIL-QUBURI QUBUROHUM.

YA ALLAH, TERANGILAH PARA AHLI KUBUR DI DALAM KUBURAN MEREKA ALLOHUMMA-GFIR LIL-AHYA’I WA YASSIR LAHUM UMUROHUM.

YA ALLAH, AMPUNILAH ORANG-ORANG YANG MASIH HIDUP DAN MUDAHKANLAH BAGI MEREKA SEGALA URUSAN MEREKA.

ALLOHUMMA TUB ‘ALAT-TA’IBIN WA-GFIR DZUNUBAL-MUDZNIBIN. WAQDHID-DAINA ‘ANIL- MADININ. WARDHO MARDHOL-MUSLIMIN. WAKTUBI-SHSHIHHATA WAL ‘AFIYATA WAS- SALAMATA WAT-TAUFIQA WALHIDAYATA LANA WA LIKAFFATIL-MUSLIMIN.

YA ALLAH, TERIMALAH TAUBAT ORANG-ORANG YANG BERTAUBAT, DAN AMPUNILAH DOSA- DOSA ORANG-ORANG YANG BERDOSA. TUNAIKANLAH HUTANG-HUTANG ORANG-ORANG YANG BERHUTANG. RIDOILAH ORANG-ORANG SAKIT DARI KAUM MUSLIMIN. SERTA BERIKANLAH KESEHATAN, KEAFIATAN, KESELAMATAN, TAUFIQ, DAN HIDAYAH KEPADA KAMI DAN KAUM MUSLIMIN SEMUANYA.

YA ALLAH, JAUHKANLAH DARI KAMI MUSIBAH BERUPA KEKURANGAN PANGAN, MENJALARNYA WABAH, BERKEMBANGNYA ZINA, TERJADINYA GONCANGAN- GONCANGAN, BERBAGAI UJIAN DAN COBAAN YANG BURUK, BAIK YANG TAMPAK MAUPUN YANG TERSEMBUNYI, DARI NEGERI KAMI INI SECARA KHUSUS DAN DARI SELURUH NEGERI KAUM MUSLIMIN PADA UMUMNYA, YA RABBAL ALAMIN.

ROBBANA ATINA FID-DUNYA HASANAH WA FIL-AKHIRATI HASANAH WA QINA ‘ADZABANNAR.

(6)

YA RABB, BERILAH KAMI KEBAHAGIAAN DI DUNIA DAN KEBAHAGIAAN DI AKHIRAT SERTA JAGALAH KAMI DARI AZAB NERAKA.

WA SHOLLOL-LOHU ‘ALA NABIYYINA MUHAMMADIN WA ‘ALA ALIHI WA SHOHBIHI WA BAROKA WA SALLAM WAL-HAMDU LIL-LAHI RABBIL-‘ALAMIN.

Referensi

Dokumen terkait

bersabda,”hari jumat adalah sayyidul ayyam (hari utama) disisi Allah, lebih utama dari hari idul Fitri atau Idul Adha, ada.. kejadian tentang keutamaan hari

(HR. Tentu saja hal tersebut tidak berarti cukup dengan menyebarkan salam semata, melainkan harus disertai juga dengan beribadah yang khusyu kepada Allah dan

TRADISI KENDURI SEBAGAI SIMBOL SEDEKAH PERAYAAN LEBARAN

Oleh karena itu, selepas kita melaksanakan shalat Iedul Fithri ini, marilah kita kembali ke rumah masing-masing dengan suasana gembira untuk saling memaafkan. Bersimpuhlah kita

Hasil penelitian mengenai pandangan masyarakat tentang laranagn melakukan akad perkawinan antar „Idul fitri dan „Idul adha dapat disimpulkan bahwa : Bahwa

Artinya: “Dari Abu Sa‘id al-Khudri (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Nabi Muhammad saw selalu keluar pada hari Idul Fitri dan hari Idul Adlha menuju lapangan, lalu hal pertama yang

Bahkan sebelum pelaksanaan shalat Idul Adha, sehari sebelumnya, 9 Dzulhijah, ketika saudara-saudara kita sedang berkumpul di Arafah, melakukan wukuf untuk mendekatkan diri kepada

Khotbah Idul Fitri 1443 H "Menjawab Pendidikan Spiritual Ramadan Pasca Hari