Judul: “Cinta yang Menyala dalam Dendam”
Namanya Alira. Sejak kecil, ia hidup dalam rumah besar berisi aturan-aturan kaku dan cinta yang dingin. Kedua orang tuanya, terutama sang ayah, adalah orang terpandang dan perfeksionis. Semua harus sesuai rencana, tak boleh keliru. Dari cara berbicara, berpakaian, hingga siapa yang boleh menjadi temannya, semua ditentukan.
Alira tumbuh seperti bunga dalam kaca—indah tapi tak bebas.
Saat usianya dua puluh dua, ia bertemu Reno, seorang pria sederhana yang bekerja sebagai teknisi di bengkel kecil dekat kampus tempat Alira mengajar musik privat. Reno ramah, bersahaja, dan membuat Alira tertawa dengan cara yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Mereka jatuh cinta.
Namun ketika orang tuanya tahu, semuanya berubah jadi badai. "Dia miskin!" bentak sang ayah.
"Kau tidak tahu siapa dia, dan aku tidak akan biarkan anakku dinodai laki-laki kelas bawah!" Alira menangis. Ibunya pun ikut membujuk, namun dengan cara yang sama dinginnya: “Ayahmu hanya ingin yang terbaik.”
Tapi untuk pertama kalinya, Alira memilih memberontak. Ia pergi dari rumah, tinggal di rumah kontrakan kecil bersama Reno. Hidup mereka sederhana, namun penuh tawa. Alira merasa bahagia meski dengan segalanya yang terbatas.
Lalu kabar buruk itu datang.
Sebuah kecelakaan mobil di luar kota. Kedua orang tuanya meninggal di tempat. Tak ada yang tahu persis penyebabnya. Rem blong, kata laporan polisi. Dunia Alira runtuh. Meski mereka tidak dekat, mereka tetap orang tuanya. Dan kini, ia satu-satunya ahli waris tunggal dari seluruh harta warisan orang tuanya—termasuk rumah besar tempat ia dikurung dulu.
Reno mendukung Alira kembali ke rumah itu. Mereka menikah secara sederhana, dan Reno pun ikut tinggal di rumah besar peninggalan orang tuanya. Beberapa bulan berlalu. Tapi seiring waktu, Reno berubah. Ia lebih pendiam, lebih sering mengurung diri, dan mulai berbicara tentang masa lalu.
Sampai pada suatu malam, Alira merasa tubuhnya lemas setelah meminum teh yang disuguhkan suaminya.
“Kenapa… Reno…?” ucapnya lemah di lantai kamar.
Reno duduk di hadapannya, wajahnya datar.
“Karena kau perlu tahu sebelum mati,” katanya.
Alira menatap dengan mata membelalak.
“Ayahmu,” lanjut Reno, “menjebak ayahku dengan tuduhan korupsi. Mereka bekerja di kantor yang sama. Ayahku tak pernah bersalah. Tapi ia dipenjara. Ibuku tak tahan malu, dia bunuh diri.
Aku sendirian… seperti kau sekarang.”
Napas Alira tercekat. Dunia berputar.
“Jadi aku mendekatimu. Membuatmu jatuh cinta. Kupastikan kau keluar dari rumah, agar lebih mudah menyingkirkan mereka.”
Air mata mengalir di wajah Alira. “Cinta… semua ini… bohong?”
Reno menatapnya sejenak, lalu berkata, “Awalnya ya. Tapi setelah itu… aku tak tahu lagi.
Mungkin ada yang nyata. Tapi dendam lebih kuat.”
Beberapa menit kemudian, Alira mengembuskan napas terakhir di pelukan laki-laki yang ia pilih melawan dunia—dan ternyata, dunia memang harus dilawan, tapi bukan dengan cinta yang beracun.