Judul: “Kotak Surat yang Tak Pernah Dibuka”
Di sebuah rumah tua berwarna hijau pudar, tinggal seorang pria tua bernama Pak Bram. Usianya lebih dari tujuh puluh, namun tiap pagi ia masih menyapu halaman dan menyiram bunga mawar yang tumbuh liar di pagar rumahnya. Hidupnya sepi, tapi rapi. Seperti seseorang yang terbiasa menunggu.
Di depan rumahnya, berdiri sebuah kotak surat kayu yang sudah usang, warnanya hampir hilang ditelan hujan dan panas. Orang-orang kampung heran kenapa Pak Bram tak pernah menggantinya.
Bahkan, mereka jarang melihat kotak itu dibuka.
Suatu hari, seorang anak kecil yang tinggal tak jauh, Dina, bertanya polos, “Pak, kenapa kotak suratnya gak pernah dibuka?”
Pak Bram tersenyum, tapi matanya jauh. “Karena aku masih menunggu surat yang pernah dijanjikan.”
Dina tidak mengerti, tapi ia mengangguk sopan.
Waktu terus berlalu. Pak Bram tetap menunggu, dan kotak surat itu tetap tertutup. Hingga suatu pagi, para tetangga melihat rumah itu sepi, tak seperti biasanya. Mereka mengetuk pintu, lalu mendobrak karena tak ada jawaban. Di dalam, Pak Bram ditemukan sudah tak bernyawa di kursi tuanya, sebuah buku lusuh di pangkuannya, dan sebuah foto hitam-putih yang terselip di halaman tengah.
Foto seorang perempuan muda, tersenyum di taman bunga.
Saat membersihkan rumah itu, warga akhirnya membuka kotak surat yang legendaris itu. Di dalamnya hanya ada satu surat, masih tersegel, usang oleh waktu. Di bagian belakang, tertulis nama pengirim: “Laras.”
Tak ada yang tahu siapa Laras. Tapi dalam buku harian Pak Bram yang ditemukan kemudian, halaman terakhir tertulis:
“Ia bilang akan menulis saat tiba di Belanda. Hanya satu surat, katanya. Dan aku berjanji akan menunggu. Aku tak tahu apakah ia lupa, atau sengaja tak menulis. Tapi aku tetap berharap. Karena beberapa cinta tak ingin pergi. Ia hanya ingin ditunggu, meski sampai mati.”