• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of KONFLIK PENGUASAAN DAN PENGUSAHAAN SUMUR TUA MINYAK DAN GAS BUMI DI KABUPATEN BOJONEGORO, JAWA TIMUR

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "View of KONFLIK PENGUASAAN DAN PENGUSAHAAN SUMUR TUA MINYAK DAN GAS BUMI DI KABUPATEN BOJONEGORO, JAWA TIMUR"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

190 DOI: https://doi org/10 21776/ub arenahukum 2023 01601 10 Indonesia

https://arenahukum.ub.ac.id/index.php/arena

KONFLIK PENGUASAAN DAN PENGUSAHAAN SUMUR TUA MINYAK DAN GAS BUMI DI KABUPATEN BOJONEGORO, JAWA

TIMUR

1

Subadi

Fakultas Hukum, Universitas Merdeka Madiun Jl. Serayu No. 79 Madiun

Email: subadi@unmer-madiun.ac.id

Disubmit: 02-06-2022 | Direview: 16-08-2022 | Diterima: 11-01-2023 Abstract

The conflict of control and exploitation of old oil and gas wells in Bojonegoro Regency is a latent conflict between the people or groups of miners and Pertamina EP Asset IV Field Cepu, which is latent and difficult to resolve. This normative legal research, supported by in-depth interviews, aims to find the legal aspects of control and exploitation by the people and the multiple conflicts that occur as well as ideas for their resolution. The results show: 1) Pertamina EP's control and exploitation of old wells is based on statutory regulations, while the control and exploitation by the people is only based on customary law. 2) Differences in perception between Pertamina EP can be settled through: a) legalizing, facilitating requirements and shortening the bureaucracy for licensing upstream and downstream activities by the people;

b) reducing the ambiguity attitude of Pertamina EP which does not want to work on old wells but still hopes for the results; c) Pertamina EP, the Regional Government and Perhutani should continue to provide guidance, supervision.

Keywords: Bojonegoro; Conflict; Control and exploitation; East Java; Oil and gas; Old wells.

Abstrak

Konflik penguasaan dan pengusahaan sumur tua minyak dan gas di Kabupaten Bojonegoro, merupakan konflik laten, antara rakyat atau kelompok penambang dengan Pertamina EP Asset IV Field Cepu sulit diselesaikan. Penelitian hukum normatif yang ditunjang dengan wawancara ini bertujuan menemukan aspek hukum penguasaan dan pengusahaan oleh rakyat dan multi konflik yang terjadi serta gagasan untuk penyelesaiannya. Hasilnya: 1) Penguasaan dan pengusahaan sumur tua oleh Pertamina EP berdasarkan peraturan perundang-undangan, sedangkan penguasaan dan pengusahaan oleh rakyat hanya berdasarkan hukum adat; 2) Perbedaan persepsi antara Pertamina EP dengan rakyat yang penyelesaian dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: a) melegalkan, memudahkan persyaratan, dan memperpendek birokrasi perijinan kegiatan hulu dan hilir oleh rakyat; b) mereduksi sikap ambiguitas Pertamina EP yang tidak mau mengusahakan sumur tua namun tetap mengharap hasilnya; c) Pertamina EP, Pemda dan Perhutani seharusnya tetap melakukan pembinaan, pengawasan.

Kata kunci: Bojonegoro; Jawa Timur; Konflik; Minyak dan gas; Penguasaan dan pengusahaan;

Sumur tua.

1 Penelitian ini didanai oleh Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM), Kemendik- bud, melalui Program Penelitian Terapan Unggulan Perguruan Tinggi (PTUPT) Tahun Ang- garan 2022.

(2)

Pendahuluan

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara yang dianugerahi sumber daya alam yang berlimpah, sehingga para pendiri (the founding fathers) Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah mengamanatkan melalui Pasal 33 (3) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945), yang menyebutkan bahwa; “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Sumber daya alam yang berupa minyak dan gas bumi adalah merupakan salah satu sumber adaya alam (sumber daya agraria) yang strategis, tidak terbarukan, merupakan komoditas penting atau vital, dibutuhkan orang banyak, dan mempunyai posisi dan peranan yang strategis dalam meningkatkan perekonomian nasional. Oleh karena itu pengelolaannya harus dilakukan secara maksimal agar dapat meningkatkan kemakmuran atau kesejahteraan rakyat.

Pada masa Orde Baru, eksploitasi minyak dan gas bumi telah dilakukan secara masif dengan maksud memberikan pemasukan kepada negara yang bertujuan untuk segera dapat mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi dan lebih dari dapat mewujudkan

2 Ananda Prima Yurista dan Dian Agung Wicaksono, “Politik Hukum Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua sebagai Strategi Menuju Ketahanan Energi di Indonesia (Politics of Law in Oil Mining on Old Well as a Strategy to Energy Security in Indonesia)”, Jurnal Rechts Vinding Vol. 4 No. 2, (Agustus 2015): 311-325, doi:

10.33331/rechtsvinding.v4i2.26.

3 Lego Karjoko, I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayania and Willy Naresta Hanum, “Legal Policy of Old Wells Petroleum Mining Management Based on Social Justice in Realising Energy Sovereignty”, Sriwijaya Law Review Vol. 6, No. 2, (July 2022): 286-303, doi: 10.28946/slrev.Vol6.Iss2.17.45.

4 Pasal 1 Angka 2, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 01 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua.

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Di sisi lain eksploitasi tersebut telah mengakibatkan cadangan minyak bumi dan gas bumi di Indonesia terus menyusut dan penemuan sumber minyak baru juga semakin sulit, sedangkan kebutuhan minyak dalam negeri justru terus meningkat.2

Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah Indonesia telah melakukan langkah-langkah strategis, salah satunya dengan mengoptimalkan dan merevitalisasi sumur-sumur tua minyak bumi yang masih memiliki potensi cukup besar, yaitu 10.000 (Sepuluh ribu) barel per hari.3 Pertanyaan yang mengedepan adalah, apa yang dimaksud dengan “Sumur Tua” ? Sumur tua adalah

“sumur-sumur minyak bumi yang dibor, dieksploitasi, diusahakan sebelum tahun 1970 oleh kontraktor, pernah diproduksikan, terletak di wilayah kerja, dan masih terikat kontrak kerja sama yang berada pada lapangan yang tidak diusahakan lagi”.4

Menurut data dan informasi dari Kementerian ESDM, jumlah sumur tua minyak dan gas di Indonesia sangat banyak, yaitu 13.079 (tiga belas ribu tujuh puluh sembilan) titik lokasi kegiatan sumur tua minyak yang tersebar di seluruh wilayah negara Indonesia dan menurut perkiraan sebanyak 745 (tujuh

(3)

ratus empat puluh lima) titik lokasi kegiatan masih aktif berproduksi.5

Salah satu lokasi kegiatan sumur tua minyak bumi tersebut, berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Pertamina EP Asset IV Field Cepu6, sebanyak 550 (lima ratus lima puluh) lokasi kegiatan sumur tua minyak dan gas, berada di wilayah kerja Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Dari jumlah tersebut diperkirakan sebanyak 295 (dua ratus sembilan puluh lima) lokasi kegiatan telah dikuasai dan diusahakan oleh rakyat dan diyakini tidak memiliki izin (illegal drilling) dan tidak ada perjanjian kerjasama dengan PT. Bojonegoro Bangun Sarana (BBS) atau BUMD milik Kabupaten Bojonegoro atau dengan Pertamina EP sebagai kontraktor.7

Rakyat telah melakukan kegiatan tambang, memproduksi (menimba/menimbel), mengolah (menyuling) atau melakukan kegiatan usaha hulu seperti yang dilakukan oleh kontraktor, yaitu:

Melakukan kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh gambaran dan informasi mengenai kondisi geologi di dalam perut bumi/tanah yang menyangkut perkiraan besar/

kecilnya cadangan minyak dan gas bumi di dalam sumur tua. Selanjutnya juga melakukan

5 Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia, “13 Ribu Sumur Minyak Tua ditawarkan kepada KUD dan BUMD”, https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/13-ribu-sumur-minyak-bumi-tua-ditawarkan- kepada-kud-dan-bumd, diakses tanggal 10 September 2021.

6 Pertamina EP adalah anak perusahaan PT. Pertamina, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1971 Nomor 76).

7 RRC Indonesia“Melihat Blok Migas Abu-Abu di Bojonegoro”, https://rrcindonesia.com/en/melihat-blok- migas-abu-abu-di-bojonegoro/

8 Bandingkan dengan dengan Hardiwinoto, “Analisis Deskriptif Kondisi Ekonomi Penambangan Minyak Tanah Mentah (Crude Oil) Tradisional di Kecamatan Sambong dan Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora”, Prosiding Seminar Nasional UNIMUS 2010, Semarang: Universitas Muhammadiyah, 2010. Bandingkan juga dengan Lego Karjoko, Op. Cit. hlm. 1.

kegiatan eksploitasi, yaitu dengan melakukan kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi yang berupa kegiatan pengeboran/menimba (menimbel), dan kegiatan mendukung lainnya.

Melakukan kegiatan seperti usaha hilir, yaitu mengolah minyak mentah (lantung) secara tradisional (disuling) dengan cara dimurnikan menggunakan teknologi tepat guna (TTG) untuk menghasilkan solar, kemudian mengangkutnya untuk disimpan atau menjualnya kepada pihak konsumen, pabrik-pabrik, industri baik didalam maupun diluar kabupaten lainnya.

Penguasaan dan pengusahaan sumur tua minyak dan gas oleh rakyat tersebut telah berlangsung sejak masa penjajahan Belanda akan tetapi dianggap tidak syah (illegal) dan merupakan pelanggaran hukum atau kejahatan. Di sisi lain penambang atau kelompok penambang yang bergabung atau berkerjasama dengan Pertamina EP dan BUMD, ternyata juga tidak sesuai harapan, karena tidak menguntungkan dan tidak/

belum dapat meningkatkan kesejahteraan, bahkan banyak penambang tetap miskin dan sengsara.8 Penambang atau kelompok penambang merasa sering diperlakukan tidak

(4)

adil dan mengalami kerugian karena minyak mentah dibeli dengan harga murah sehingga tidak dapat menutup beaya operasional.

Disisi lain penambang hanya diperlakukan sebagai tenaga kerja dengan upah rendah dan yang tidak ada alternatif pekerjaan lain sehingga mereka merasa telah terjebak dalam situasi memendam konflik berkepanjangan yang tidak pernah terselesaikan (bersifat latent). Sedangkan peraturan yang mengatur mengenai kegiatan sumur tua minyak dan gas belum mencerminkan prinsip keadilan sosial, masih tumpang tindih pengaturan antara Pertamina EP yang mendasarkan pada peraturan perundang-undangan dan rakyat atau kelompok penambang yang berdasarkan hukum Adat, yaitu penguasaan dan pengusahaan secara secara terus menerus dan turun temurun sejak jaman Belanda. Akhirnya menimbulkan banyak penafsiran (mult-ytafsir), perbedaan persepsi (multy-perseption), konfliktual, tidak taat asas (disorientation) dan tidak pernah ada penyelesaian sehingga menimbulkan multi konflik, dis-harmonisasi antara satu peraturan dan peraturan yang lain.9

Permasalahan penelitian ini dirumuskan, sebagai berikut: 1) Bagaimanakah aspek hukum pengelolaan (penguasaan dan pengusahaan)

9 Bandingkan dengan Willy Naresta Hanum, “Setting of Earth Oil Management in Old Wells Based on the Principle Social Justice”, Jurnal Bestuur Vol. 8, No.2, (Desember 2020):1, doi: 10.20961/

bestuur.42789.

10 Manan, Bagir, Penelitian Hukum, Jurnal Hukum, Puslitbangkum Unpad, Perdana (1), January 1999: hlm. 4.

Lihat juga, Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalah, (Jakarta: Elsam- Huma, 2004), hlm. 124-129, menyebut dengan istilah penelitian hukum positif yang dapat berupa; inventarisasi hukum positif, penemuan asas-asas hukum, dasar falsafah atau dogma/dogtrin hukum positif, menemukan hukum in concreto yang dipakai untuk menyelesaikan perkara hukum.

11 Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi, Tesis dan Disertasi Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm. 99, Lihat juga Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung:

PT. Remaja Rosda Karya, 2004), hlm. 4-8.

sumur tua minyak dan gas baik oleh negara dan oleh rakyat; 2) Apa yang menjadi akar masalah timbulnya multikonflik dan alternatif cara penyelesaian yang dapat diterapkan.

Penelitian ini bertitik tolak dari metode penelitian hukum dogmatis (normatif), yaitu penelitian terhadap kaidah hukum itu sendiri (peraturan perundang-undangan, jurisprudensi, hukum adat, hukum tidak tertulis lainnya, dan asas-asas hukum10 yang relevan untuk menelaah dan membahas data sekunder untuk penyelesaian permasalahan penguasaan dan pengusahaan sumur tua minyak dan gas.

Penelitian juga ditunjang dengan wawancara secara mendalam (in-depth interiew) dengan pakar hukum, praktisi minyak dan gas (sumur tua), Pejabat Pertamina EP, PT. Bojonegoro Bangun Sarana (BBS), Kepala Dinas atau Satker terkait, para penambang atau kelompok penambang, dan masyarakat terdekat dengan lokasi kegiatan sumur tua minyak dan gas.

Lokasi penelitian di Wilayah Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Data dan informasi yang diperoleh langsung diklasifikasikan, disistematisasi, diinterprestasikan, selanjutnya dianalisis secara kualitatif11sehingga menghasilkan kesimpulan penelitian yuridis kualitatif, sedangkan data-data yang bersifat kuantitatif lebih bersifat penunjang.

(5)

Pembahasan

A. Penguasaan dan Pengusahaan Sumur Tua Minyak

1. Penguasaan dan Pengusahaan Sumur Tua Minyak dan Gas oleh Negara

Kabupaten Bojonegoro merupakan daerah yang memiliki sumber minyak bumi sangat besar, baik berupa sumur tua maupun sumur baru, dan merupakan cabang produksi penting bagi negara, serta menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karenanya harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Sebagian dari sumber minyak tersebut terdapat sumur-sumur

12 Subadi, Heri Sumanto dan Ananda Prima Yurista, “Pengelolaan Sumur Tua Minyak dan Gas Bumi Berwawasan Lingkungan Berkelanjutan dan Berpihak Pada Rakyat,” Laporan Akhir PTUPT, Tahun Pertama, 2021. Hlm. 8.

https://simlitabmas.kemdikbud.go.id/akademik_a/Main.aspx

13 Perbedaan data mengenai jumlah sumur tua minyak dan gas yang aktif di Indonesia (khususnya di Wilayah Kerja Pertamina EP Ast IV Cepu), ternyata tidak mudah dihindari, hal ini disebabkan kondisi alam yang berpengaruh pada sumber minyak dan dikarenakan medan sangat luas dan sangat sulit untuk dijangkau.

tua minyak peninggalan jaman penjajahan Belanda yang tidak/kurang produktif, dan tersebar di beberapa desa di Kecamatan Kadewan (desa Wonocolo, Hargomulyo (Dsn. Dandangilo), Beji, Kawengan), dan Kecamatan Malo (desa Tinawun, Kedungrejo, Sukorejo, Trembes, dan desa Tanggir, dan masih banyak lokasi lain yang tersebar di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.

Sumur-sumur tua tersebut sebagian masih dikuasai dan diusahakan oleh Pertamina EP (anak perusahaan Pertamina), yaitu di lokasi Kawengan dan sebagian telah dikuasai dan diusahakan oleh rakyat, sebagaimana dapat dilihat dalam tabel, berikut:

Tabel 1. Data Sumur Tua Minyak dan Gas Wilayah Kerja Pertamina EP Aset IV Cepu di Kab. Bojonegoro, Jawa Timur12

No. Desa Lokasi Kegiatan Kategori Sejarah

Sumur Jumlah dan Status

Sumur Tua Aktif Status Penguasaan dan Pengusahaan

1 Wonocolo, Kec.

Kadewan, Kab.

Bojonegoro

Sumur tua

Peninggalan Jaman Belanda

K u r a n g / l e b i h terdapat 550 Lokasi Kegiatan

Status Aktif)13

Hanya dikenal sbg sumur minyak Wonocolo

255 Lokasi berijin atau ada kerjasama (Legal) dengan Pertamina, BUMD dan KUD.295 Lokasi tidak berijin atau tidak ada kerjasama (Illegal)

2

Hargo Mulyo (Dsn.

Dandangilo), Kec.

Kadewan, Kab.

Bojonegoro

3 Beji, Kec. Kadewan, Kab. Bojonegoro

4 Kadewan, Kec.

Kadewan, Kab.

Bojonegoro

Tidak ada Sumur Minyak

Desa Kadewan tidak memiliki sumur minyak

Rakyat Ds. Kadewan yang mendoninasi menguasaan dan pengusahakan sumur tua migas di lokasi Wonocolo dan Hargomulyo (Dsn.

Dandangilo).

(6)

Lanjutan Tabel 1. Data Sumur Tua Minyak dan Gas Wilayah Kerja Pertamina EP Aset IV Cepu di Kab. Bojonegoro, Jawa Timur

No. Desa Lokasi Kegiatan Kategori Sejarah

Sumur Jumlah dan Status

Sumur Tua Aktif Status Penguasaan dan Pengusahaan

5 Kawengan, Kec.

Kadewan, Kab.

Bojonegoro

Sumur tua

Peninggalan Jaman Belanda

Ratusan sumur tua minyak

Dikelola oleh Pertamina EP Ast IV Cepu, sejak tahun 1945 menggunakan teknologi

“Sumur Angguk”.

6 Malo, Kec. Malo, Kab. Bojonegoro

Sumur tua

Peninggalan Jaman Belanda

Di Kec. Malo, hanya 5 desa yang ada sumur tua minyak K u r a n g / l e b i h terdapat 31 Lokasi Kegiatan yang status aktif)

Beberapa sumur minyak terkesan mangkrak tidak produktif.

18 Sumur berijin atau ada kerjasama dengan Pertamina, BUMD (Legal) dan berada di tanah Hak Pengelolaan Perum Perhutani).

13 Tidak berijin atau tidak ada kerjasama dengan Pertamina, BUMD (Illegal) Terdapat beberapa sumur tua yang menyatu dengan tempat tinggal dan berada di atas tanah “Hak Milik”

rakyat (cetak tebal).14 Di desa Tinawun (dsn.

Ledok) sumur tua minyak terkesan mangkrak tidak terurus.

Penambang banyak yang beralih profesi jadi buruh tani, kerja serabutan, dan lain-lain.

7 K e d u n g r e j o , Kec. Malo, Kab.

Bojonegoro

Sumur tua

Peninggalan Jaman Belanda

8 Tinawun, Kec. Malo, Kab. Bojonegoro

Sumur tua

Peninggalan Jaman Belanda

9 Trembes, Kec.Malo, Kab. Bojonegoro

Sumur tua

Peninggalan Jaman Belanda

10 Sukorejo, Kec.

Malo, Kabupaten Bojonegoro

Sumur tua

Peninggalan Jaman Belanda

Sumber: Data lapangan yang telah diolah, 2021.

14 Subadi, “Land Procurement for Upstream Oil and Gas Business Activities in Indonesia”, Brawijaya Law Journal Vol. 8, No.1, (2021): 36-53, doi: http://dx.doi.org/10.21776 /ub.blj.2021.008.01.03.

Sumur-sumur tua sebagaimana tergambar dalam tabel tersebut, secara filosofis merupakan milik bangsa Indonesia yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan wajib disyukuri dan dikelola secara baik untuk kepentingan bangsa dan negara.

Sumur-sumur tua minyak dan gas bumi tersebut merupakan sumber daya alam yang tidak mungkin dapat diperbarui, memiliki nilai komoditas ekonomi strategis, komoditas eksport, dan vital dalam meningkatkan kekuatan perekonomian nasional. Oleh

karena itu pengelolaannya harus dilakukan secara maksimal dan optimal agar dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Upaya mengoptimalkan produksi minyak bumi sebagaimana tersebut dalam tabel tersebut, pengelolaannnya diserahkan untuk diusahakan kepada Pertamina EP Field Aset IV Cepu di Kabupaten Bojonegoro dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi sumur tua dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat sekitarnya.

(7)

Landasan yuridis penguasaan dan pengusahaan sumur tua minyak dan gas oleh negara cq Pertamina EP Field Aset IV Cepu, adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pasal 33 ayat (2), menyebutkan;

“Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.

Selanjutnya ayat (3), menyebutkan;

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat”.

Esensi dari ketentuan Pasal tersebut adalah sebagai norma dasar, ideologi kerja (ideology working) yang mengandung filosofis bahwa semua sektor-sektor produksi yang bersifat vital/penting dan dibutuhkan orang banyak, maka harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Bertitik tolak dari landasan filosofis dan ideologis tersebut, dan dalam hubungannya dengan penguasaan dan pengusahaan atas sumur tua, telah diatur lebih lanjut dalam undang-undang beserta perubahannya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi dan secara operasional telah diatur dalam beberapa peraturan yang lebih rendah.

b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001

15 Pasal 4 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136). Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk

tentang Minyak dan Gas Bumi (UU No.

22 Tahun 2001).

Pasal 33 (2) dan (3) UUD 1945, selanjutnya telah ditafsirkan secara otentik dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2001, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5, yang memberikan wewenang kepada Negara, yaitu;

“Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi”.

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang tersebut, pada intinya menjelaskan,: 1) Bahwa oleh karena minyak dan gas bumi merupakan salah satu sumber daya alam (agraria) yang bersifat strategis, tidak dapat diperbarui dan merupakan kekayaan nasional di wilayah hukum (yurisdiksi) pertambangan negara Indonesia, maka harus dikuasai oleh negara; 2) Selanjutnya atas dasar penguasaan oleh negara sebagaimana tersebut dalam ayat (1) wajib diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan; 3) Sebagai pemegang kuasa pertambangan Pemerintah berwenang membentuk Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 23.15

Pasal 4 tersebut, selanjutnya dipertegas lagi dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1), secara garis besar dijelaskan, bahwa; ”Kegiatan Usaha Hulu dan

(8)

Kegiatan Usaha Hilir dapat dilaksanakan oleh: (a) badan usaha milik negara; (b) badan usaha milik daerah; (c) koperasi, usaha kecil; dan (d) badan usaha swasta.

Dengan kata lain, maka berdasarkan amanat Undang-Undang No. 22 Tahun 2001, bahwa sangat jelas hanya Badan Usaha Milik Negara (BUMN), koperasi, usaha kecil dan badan usaha swasta yang diberikan kesempatan untuk melakukan pengelolaan minyak dan gas bumi”.16

Selanjutnya masih dalam kerangka mempertegas klausul Pasal 4 Ayat (1), maka dalam Penjelasan Umum, dijelaskan, bahwa; “Berdasarkan jiwa Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis yang terkandung di dalam bumi wilayah hukum pertambangan Indonesia, merupakan kekayaan milik bangsa Indonesia harus dikuasai oleh negara.

Penguasaan tersebut dimaksudkan agar dapat bermanfaat untuk meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia secara optimal. Oleh karenanya, perseorangan, masyarakat, para pelaku usaha, meskipun memiliki hak atas sebidang tanah mereka hanya berhak atas permukaan atau kulit buminya dan tidak memiliki hak untuk menguasai ataupun memiliki, mengusahakan minyak dan gas

melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi.

16 Pasal 9 ayat (1).

17 M. Irhas Effendi, Sudarmoyo, dan Sayoga Heru P, “Optimalisasi Pengusahaan Sumur Minyak Tua dalam Rangka Peningkatan Produksi Minyak Nasional dan Kesejahteraan Masyarakat”, Jurnal Mineral Energi dan Lingkungan (JMEL) Vol. 1 No. 2, (2017).

18 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Perkara No. 001-021-022/PUU-I/2003, Dimuat dalam BNRI No. 102 Tahun 2004, Selasa, tanggal 21 Desember 2004. Lihat juga Putusan Mahkamah Konstitusi

yang terkandung didalamnya.17

Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi (UU No. 22 Tahun 2001), telah beberapa kali dirubah melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi Rapublik Indonesia, salah satunya menganai “hak menguasai negara” telah mengalami perkembangan sebagaimana tercantum dalam ”Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 002lPUU- 112003, tanggal 21 Desember 2004 (Berita Negara Republik lndonesia Nomor I Tahun 2005)”. Dalam pertimbangan hukum Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut, “hak menguasai negara” secara jelas telah ditafsirkan, ”bahwa seluruh rakyat Indonesia secara kolektif telah dikonstruksikan oleh UUD 1945 untuk memberikan mandat dan wewenang kepada negara untuk mengeluarkan kebijakan (beleid) dan melakukan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk mencapai tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.18

Masih dalam kerangka pelaksanaan fungsi Negara yang dilakukan oleh Pemerintah dibagi menjadi beberapa fungsi, yaitu; 1) Fungsi mengurus

(9)

(bestuursdaad), yaitu kewenangan Pemerintah untuk menerbitkan atau mencabut perijinan (vergunning), konsesi (consessie), lisensi (licentie);

2) Fungsi mengatur (regelendaad), yaitu; kewenangan Pemerintah di bidang legislasi yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama-sama dengan Pemerintah, dan kewenangan regulasi oleh Pemerintah;

3) Fungsi pengelolaan (beheersdaad), yaitu; kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah dalam mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau keterlibatan langsung dalam manajemen BUMN atau BHMN sebagai instrumen kelembagaan dan dalam mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan agar digunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat; 4) Fungsi pengawasan (toezichthoudensdaad), yaitu; kwenangan Pemerintah untuk mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan alam benar- benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.19

c. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 01 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak BUMN pada

Republik Indonesia, Perkara No. 002/PUU-I/2003, Dimuat dalam BNRI No. 01 Tahun 2005, Selasa tanggal 04 Januari 2005.

19 Ibid., Lihat juga, Sabungan Sibarani, “State Control over Natural Resources Oil and Gas in Indonesia”, Brawijaya Law Journal Vol. 5, No. 2, (2018): 217-232. doi: http://dx.doi.org/10.21776/ub.blj. 2018. 005.02.06.

20 Pasal 2, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 01 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua.

Sumur Tua.

Bahwa dalam rangka mengoptimalkan produksi minyak bumi dalam suatu wilayah kerja yang di dalamnya terdapat sumur tua dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi sumur tua, maka Pertamina sebagai represtasi otoritas Pemerintah sekaligus sebagai Kontraktor memiliki keniscayaan untuk mengusahakan, memproduksikan, melakukan penatakelolaan sumur tua yang masih aktif dengan tetap mempertimbangankan aspek teknis dan kalkulasi (perhitungan) ekonomis.

Tetap dalam kerangka optimalisasi dan tercapainya tujuan tersebut, maka Pertamina EP juga berkewajiban mengikutsertakan partisipasi masyarakat sekitarnya.20

Berdasarkan beberapa peraturan sebagaimana telah diuraikan tersebut, penguasaan dan pengusahaan sumur tua minyak dan gas di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur oleh Pertamina EP Field Aset IV Cepu sangat jelas syah dan konstitusional.

2. Penguasaan dan Pengusahaan Sumur Tua Migas oleh Rakyat Ketentuan Pasal 4, beserta Penjelasan Umum Pasal 4 (1), dan Pasal 9 (1) UU No. 22 Tahun 2001, dijelaskan; “Rakyat tidak boleh

(10)

menguasai dan mengusahakan (melakukan kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir) sumur tua minyak dan gas”. Namun dalam kenyataan, rakyat telah menguasai dan mengusahakan kurang/lebih sebanyak 295 (dua ratus sembilan puluh lima) lokasi sumur tua minyak dan gas di banyak lokasi kegiatan di Wilayah Kerja Pertamina EP Field Aset IV Cepu di Kabupaten Bojonegoro dan banyak lagi di kabupaten lain di Indonesia.

Keberadaan sumur tua migas wilayah kerja Pertamina EP Asset IV Field Cepu di Kabupaten Bojonegoro, sebagian besar merupakan sumur tua peninggalan jaman penjajahan Belanda yang terpusat di desa Wonocolo, Hargomulyo (dusun Dandangilo), Beji, kecamatan Kadewan dan desa Trembes, Tinawun, Sukorejo, Kedungrejo, Tanggir Kecamatan Malo, Banyu Urip, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.

Secara historis, penambangan minyak dan gas rakyat Bojonegoro (Wonocolo) tidak bisa terlepas dari sejarah perminyakan di Blok Cepu21, Kabupaten Blora, Jawa Tengah yang ditemukan oleh ilmuwan Belanda Andrian M. Stoop pada tahun 1880 yang kemudian dilakukan pengeboran untuk pertama kali secara tradisional pada tahun 1883.22

21 Blok Cepu tidak tunduk pada wilayah admistratif pemerintah daerah akan tetapi meliputi wilayah Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, dan Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Sebelum penemuan cadangan minyak di wilayah Kabupaten Bojonegoro dan Tuban, Cepu hanya difungsikan sebagai wahana pendidikan bidang perminyakan yang sekarang dikenal Akademi Minyak dan Gas atau Poli Teknik Minyak dan Gas di Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

22 Siti Nur Fatimah and Bain Wasino, “Nasionalisasi Tambang Minyak di Cepu dan Pengelolaannya Tahun 1950- 1966”, Journal of Indonesian History Vol. 5, No. 1, (2016); 52-61.

23 Fahmi Rochmaningrum, “Perkembangan Tambang Minyak Blok Cepu dan engaruhnya terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Ledok Tahun 1960-2004”, Journal of Indonesian History Vol. 1, No. 2, (2012):

92-99. URL: http://lib.unnes.ac.id/id/eprint/19920, lihat juga Chaeruddin, 100 Tahun Perminyakan di Cepu, (Cepu: Pusat Pengembangan Tenaga Perminyakan dan Gas Bumi, 1994), hlm. 20.

24 Wawancara dengan Bapak Jamin (tokoh penambang), tanggal 19 Oktober 2021.

Sedangkan sumur minyak di Wonocolo dimulai pengeboran 1884 atau satu tahun setelah pengeboran di Cepu. Sumur minyak dan gas di Wonocolo dikenal sebagai sumur minyak dangkal dengan rata-rata kedalaman hanya 200-400 meter.23

Belanda memulai penambangan di Wonocolo pada tahun 1884, menggunakan banyak tenaga kerja penduduk setempat untuk menjalankan penambangan yang dilakukan secara tradisional. Dari sini akhirnya rakyat dapat belajar dan menguasai cara-cara penambangan, mulai tehnik menambang sampai pada penyulingan dan dilakukan secara turun-temurun sampai sekarang.24

Pada tahun 1928 Belanda membuka dan pindah lokasi penambangan baru yang lebih luas di wilayah Kawengan yang pada perkembangan selanjutnya (sampai sekarang) diusahakan oleh Pertamina EP sebagai kuasa pertambangan minyak dan gas wakil pemerintah yang ditunjuk berdasarkan wewenang Negara Indonesia. Sedangkan sumur-umur minyak di Wonocolo yang ditinggalkan Belanda untuk selanjutnya dilanjutkan oleh warga setempat (rakyat desa Wonocolo) dengan modal pengalaman dan keahlian yang diajarkan oleh Belanda

(11)

dan bahkan setelah ditinggal ke Kawengan, masih terdapat beberapa sumur yang tetap berproduksi karena dibantu peralatan dari Belanda.25

Setelah Belanda dikalahkan oleh Jepang akhirnya sumur-sumur minyak di desa Wonocolo, mulai tahun 1942 dikuasai Jepang, namun rakyat desa Wonocolo tetap sebagai penambang. Desa Wonocolo merupakan basis tentara gerilya dan Kepala Desa Wonocolo ikut bertanggung jawab atas kebutuhan pokok para gerilyawan, sedangkan tanah desa Wonocolo merupakan tanah tandus. Soemowijoyo alias Saridjan selaku Kepala Desa Wonocolo berinisiatif mengajukan permohonan pengesahan atas lahan pertanian minyak yang telah dikelola rakyat desa Wonocolo disyahkan dan akhirnya dikeluarkan “Legitimatie- Bewijs” atau “Dokumen Pengesahan Lahan Pertanian Minyak Desa Wonocolo” oleh Pemerintah Penjajahan Jepang.26

Berdasarkan atas fakta sejarah, yaitu penguasaan dan pengusahaan sumur tua minyak dan gas yang dilakukan sejak masa penjajahan Belanda, penjajahan Jepang dan turun-temurun serta didukung beberapa dokumen yang ada, maka rakyat sangat yakin bahwa penguasaan dan pengusahaan atas sumur tua minyak dan gas adalah syah dan tidak melanggar hukum apapun.27

Berpuluh-puluh tahun masyarakat setempat

25 M. Nur Kholis, “Pertambangan Minyak Rakyat: Perspektif Hukum Ekonomi Islam dan Hukum Positif (Studi Kasus di Ds. Wonocolo Kec. Kedewan Kab. Bojonegoro Prov. Jawa Timur)”, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah), hlm. 66-78.

26 Artikel Sejarah tentang Sejarah Pengelolaan Sumber Tani Minyak Wonocolo: Artikel Sejarah Ditulis Berdasar Kondisi Tempo Dulu Dan Sebenar-Benarnya Berdasar Sumber Soemowijoyo Alias Saridjan).

27 Wawancara dengan Bapak Suyitno (tokoh penambang), tanggal 19 Oktober 2021.

menimba (menimbel) dan menggantungkan hidup pada sumur-sumur peninggalan Belanda tersebut tentu tidak mudah untuk melepaskan atau beralih profesi ke bidang lainnya.

Awalnya masyarakat seda Wonocolo tidak/

kurang tertarik untuk mengusahakan sumur tua minyak, apalagi ketika harga minyak mentah (lantung) terlalu rendah, masyarakat lebih tertarik untuk mengambil, mencabut pipa-pipa baja sumur tua yang dipasang pada jaman Belanda, selanjutnya dijual karena dianggap lebih menguntungkan dan dianggap barang tak bertuan (tidak ada pemiliknya).

Namun pada saat harga jual minyak mentah (lantung) naik atau melambung tinggi, mahal dan ada kebebasan mengolah (pembiaran menyuling), mereka para penambang berlomba-lomba mencari dan menemukan kembali sumur tua yang sudah tidak ada pipanya untuk dibor atau diusahakan kembali. Sumur-sumur minyak tua tersebut, ternyata sulit atau tidak mudah ditemukan kembali, dan bahkan harus mengeluarkan beaya yang cukup besar. Padahal berdasarkan data dan informasi yang tergambar pada peta peninggalan Belanda khusunya di desa Wonocolo terdapat sekitar 200 (dua ratus) titik sumur minyak tua, namun yang berhasil ditemukan kembali hanya sejumlah 59 (lima puluh sembilan) titik sumur. Terakhir jumlah sumur tersebut telah bertambah menjadi

(12)

93 (sembilan puluh tiga) sumur, baik lama maupun hasil pengeboran baru.28

Perkembangan selanjutnya masyarakat desa Wonocolo dan desa-desa minyak yang lain, telah menganggap bahwa pengusahaan tambang minyak sebagai mata pencaharian pokok untuk sekedar mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hal ini telah berlangsung sejak lama dan turun temurun, mereka mewariskan sumur minyak tersebut kepada anak dan cucunya.29

Kondisi dan situasi sumur tua minyak kadang sangat sulit untuk diprediksi bahkan sering dianggap miterius dan sangat tergantung pada alam, maka pada saat sumur sudah mengering mereka para pera penambang akan meninggalkan dan mencari sumur lain (baik lama atau baru) untuk mereka mencabut, memperbaiki, membersihkan, menganti pipa yang rusak), mengebor ulang, pindah lapisan (memperdalam) dan atau mengebor baru dan biayai dari awal yang membutuhkan beaya sangat besar. Tidak jarang sumur yang baru mereka temukan, usahakan tidak sesuai dengan diharapkan, dan bahkan telah gagal tidak menghasilkan minyak karena telah lama ditinggalkan karena telah kering.

Pemegang otoritas di bidang perminyakan yang ditunjuk oleh Negara, Pertamina sendiri tidak merambah ke sumur-sumur minyak tua di lokasi desa Wonocolo, Hargomulyo dan Beji. Hal ini dikarenakan biaya untuk memperbaiki tidak sebanding dengan

28 M. Nur Kholis, Pertambangan Minyak Rakyat, Op. Cit, hlm. 12.

29 Wawancara dengan Bapak Sutino (tokoh penambang), tanggal 20 Oktober 2021.

30 Ibid., dan Wawancara dengan Bapak Sutino (tokoh penambang), tanggal 20 Oktober 2021.

minyak mentah (lantung) yang dihasilkan.

Pengalaman Pertamina di lapangan telah beberapa kali mencoba mengebor sumur di lokasi desa Wonocolo, namun hasilnya tidak sesuai harapan, dan telah mengalami kerugian besar, padahal pengeboran telah menggunakan teknologi dan peralatan yang bagus dan modern.

Masyarakat terus berusaha untuk mendapatkan hasil dan keuntungan yang besar, maka sjak tahun 2006, para penambang mengolah, menyuling sendiri minyak mentah (lantung) yang dihasilkan. Sebenarnya sejak dahulu beberepa penambang telah mengolah atau menyuling sendiri, meskipun dengan cara sembunyi-sembunyi, dan dilakukan dalam sekala kecil untuk sekedar mencukupi biaya operasional atau untuk dipakai sebagai bahan bakar di tambangnya sendiri. Namun ketika PT. Pertamina membeli minyak mentah dengan harga rendah, sedangkan permintaan meningkatkan harga minyak mentah (lantung) melalui koperasi tidak dipenuhi, akhirnya para penambang nekat mengolah, memurnikan, menyuling sendiri secara besar-besaran dan terang-terangan.30

Petugas keamanan akhirnya menangkap, menahan para penambang yang melakukan penyulingan atau pengolahan, menyita alat- alat dan minyak hasil sulingan (solar dan minyak tanah). Petugas juga melakukan penjagaan dan penghadangan sampai ke dalam (tengah-tengah) hutan yang dicurigai

(13)

sebagai jalur pengiriman, pengangkutan antara desa Wonocolo, Hargomulyo sampai dengan Cepu yang berjarak kurang lebih 15 (Lima belas) Km. Penghadangan juga dilakukan pada jalur-jalur tikus yang digunakan oleh para pengirim, pengangkut (perengkek) minyak hasil sulingan dengan cara tradisional (dipikul) melewati tengah hutan, namun tetap diketahuai, ditangkap, disita dan diproses sesuai hukum yang berlaku.31

Pengalaman pahit tersebut tidak mengakibatkan lunturnya semangat para penambang untuk terus melanjutkan mengolah (menyuling) sendiri, meskipun pada akhirnya ada beberapa penambang yang harus berhadapan dengan perkara pidana dan telah dipenjara. Masyarakat tetap bergeming dan tidak berhenti menyuling, karena para penambang sudah membangun kesepakatan untuk mengusahakan minyak secara kelompok. Kerjasama dan kerukunan para penambang ternyata sangat kompak dan terlihat dengan jelas ketika ada temannya sedang menghadap kasus pidana, mereka secara suka rela menghimpun dana, iuran untuk membiayai rumah tangganya dan kalau perlu untuk menebus temannya yang sedang ditahan pihak penegak hukum. Upaya lain, mereka juga tidak segan-segan melakukan demo atau unjuk rasa ke Pertamina EP, agar menaikkan harga jual atau membiarkan mereka mengolah, menyuling sendiri minyak mentah (lantung) yang dihasilkan dan akhirnya masih berjalan sampai sekarang.32

31 Ibid., dan Wawancara dengan Bapak Sukir (tokoh penambang), tanggal 21 Oktober 2021.

32 Ibid. Wawancara dengan Bapak Sodik (Penyuling minyak mentah), tanggal 21 Oktober 2021.

Disisi lain kegiatan sumur tua di desa Wonocolo dan Hargomulyo (Dsn. Dandangilo) tersebut telah melibatkan masyarakat yang cukup besar sebagai tenaga kerja, yaitu kurang/

lebih 2.500 (dua ribu lima ratus) penambang, baik sebagai penimbel, penyuling, pengangkut, pengepul, penyedia kayu bahan bakar dan lain-lain. Anehnya jumlah tenaga kerja yang cukup besar tersebut dan gaung sebagai desa minyak, ternyata dari aspek ekonomi tidak berbanding lurus dengan kemakmuran rakyat dan jauh dari kata sejahtera atau makmur.

Artinya di masa penjajahan Belanda para penambang telah miskin, namun setelah merdeka dan mendapatkan “Legitimatie- Bewijs” atau “Dokumen Pengesahan Lahan Pertanian Minyak Desa Wonocolo”, masih tetap belum/tidak sejahtera. Hal ini jelas tidak sesuai dengan cita-cita para pendiri (the founding fathers) Negara Kesatuan Republik Indonesia dan masalah ini tidak pernah ada jalan keluar solusinya dan belum pernah diselesaikan baik secara non-litigasi maupun litigasi di pengadilan.

B. Konflik Penguasaan dan Pengusahaan Sumur Tua Minyak dan Gas

Landasan hukum yang dipegang teguh oleh masing-masing pihak, yaitu Pertamina EP dan rakyat/kelompok penambang di satu sisi, telah memperkuat persepsi masing-masing, bahwa penguasaan dan pengusahaan sumur tua minyak dan gas oleh Pertamina EP adalah

(14)

syah menurut undang-undang. Di sisi lain rakyat juga berpendapat bahwa penguasaan dan pengusahaan sumur tua minyak dan gas menurut hukum adat juga syah dan legal serta tidak melanggar hukum apapun. perbedaan persepsi atau pandangan ini tidak/belum pernah diselesaikan baik secara non-litigasi maupun litigasi di pengadilan.

Bertitik tolak dari Pasal 1 angka 2, Permen ESDM No. 01 Tahun 2008, sangat jelas, bahwa; sumur tua minyak dan gas tersebut memang sudah tidak diusahakan lagi oleh kontraktor lagi (Pertamina EP). Menurut catatan sejarah dan melihat kenyataan di lapangan, bahwa sumur-sumur tua minyak di Wonocolo, Dandangilo dan Beji, sejak ditinggal oleh Belanda tidak pernah diambil alih oleh Pertamina EP dan hanya mengambil alih sumur-sumur tua di desa Kawengan.

Pertamina EP sudah beberapa kali mencoba memperbaiki sumur-sumur tua tersebut namun telah gagal, dikarenakan biayanya terlalu tinggi dan tidak sebanding dengan hasil minyak yang diharapkan.33

Akhirnya telah menyebabkan timbulnya konflik34 berkepanjangan dan bersifat laten, antara lain; sikap saling curiga, marjinalisasi, penangkapan, penahanan, penghadangan, penyitaan minyak tanah, solar, dan lain-lain.

Situasi dan kondisi ini akan terus terulang dan berpontesi menimbulkan caos atau

33 Wawancara dengan Bapak Sodik (Penyuling minyak mentah), tanggal 21 Oktober 2021.

34 Anis Siti Hartati dan Marita, “The Performance of Miners in Old Oil Wells in Coal Potential Area (Study:

Traditional Oil Miners in Wonocolo, Bojonegoro, Indonesia)”, International Journal of Social Science and Humanity Vol. 7, No. 12, (December 2017): 762-766, doi: 10.18178/ijssh.2017.7.12.922

35 Subadi, “Desentralisasi Penguasaan dan Pendayagunaan Tanah Kawasan Hutan di Jawa: Antara Harapan dan Kenyataan”, Mimbar Hukum Vol. 23, No. 1, (Februari 2011): 132-149, doi: 10.22146/jmh.16205.

36 Ibid

kerusuhan, anarkis, penjarahan dan lain-lain yang berdampak pada kerugian lebih besar pada Negara utamanya Pertamina, BUMD dan pemerintah daerah. Seharusnya Pertamina bisa belajar dari kasus penjarahan yang terjadi di Kawasan Perhutani, Kawasan perkebunan di PTP Jawa Timur dan lain-lain pada masa reformasi. Suatu saat kesabaran masyarakat pasti akan mencapai puncak kesabaran dan

“puncak kesabaran itu sendiri adalah ketidaksabaran”. Pada saat itulah masyarakat kadang hanya menunggu moment atau saat yang tepat untuk berbuat diluar kesabaran.35

Situasi dan kondisi yang serba tidak jelas tersebut, telah berimplikasi atau justru akibat dari beberapa konflik, antara lain36:

1. Konflik kepentingan (Conflict of interest) Pertamina sebagai kontraktor sekaligus representasi dari hak menguasai negara yang bernaung dibawah Kementerian ESDM, dan Kementerian BUMN baik sebagai bapak kandung atau bapak angkat, tentu memiliki kepentingan atas penguasaan atas minyak dan gas, yaitu; sekurang-kurangnya harus dapat mewujudkan tujuan, antara lain:

a) harus dapat menjamin efisiensi dan efektivitas tersedianya minyak bumi dan gas baik sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri; b) harus mampu menumbuhkembangkan kemampuan

(15)

nasional untuk lebih meningkatkan daya saing bangsa di tingkat regional, dan internasional; c) dan yang lebih penting harus dapat meningkatkan pendapatan negara, memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional, dan mengembangkan atau memperkuat posisi industri dan perdagangan Indonesia.

Di sisi lain Pemerintah daerah Kabupaten Bojonegoro sebagai pemilik wilayah, telah memandang sumur tua minyak dan gas sebagai sumber pendapatan daerah, maka wajib ikut andil dalam penguasahaan dengan membentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yaitu PT. Bojonegoro Bangun Sarana (BBS) yang berkerjasama dengan Pertamina.

Pemikiran tersebut dilatarbelakangi oleh hal-hal sebagai berikut; Pertama;

melihat sumur tua minyak dan gas sebagai potensi ekonomi yang perlu digarap secara serius untuk peningkatan pendapatan asli daerah (PAD); Kedua;

filosofi penguasaan dan pengusahaan minyak dan gas untuk meningkatkan perekonomian masyarakat di sekitar sumur tua; Ketiga; keinganan mengikut- sertakan masyarakat sekitar dalam wadah Koperasi Unit Desa (KUD)37, BUMD untuk mengusahakan sumur tua;

Keempat; melihat pencemaran, air, tanah dan udara dan perusakan lingkungan di

37 Haryanti, D.M, “Koperasi dan Pemerataan Pembangunan”. Research & Policy Insight, FEB. UI, No. 3, (2016):

1-4. doi: https://doi.org/10.20961/bestuur.v8i2.42789

38 Rintayati, Peduk, “Persepsi Dampak Penambangan Minyak Tradisional Terhadap Kondisi Lingkungan Hidup di Daerah Cepu (Survei pada Masyarakat desa Ledok Kecamatan Sambong, Kabupaten Blora)”, Makalah Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Saintek II. (Semarang: 2000).

lokasi kegiatan sumur tua minyak dan gas yang sangat memprihatinkan, maka Pemerintah Daerah merasa berhak dan sekaligus kewajiban untuk melakukan langkah-langkah penyelamatan sedangkan Pertamina cenderung tidak/

kurang proaktif.38

2. Konflik norma hukum (Conflict of norm) antara perundang-undangan minyak dan gas dengan hukum Adat

Sebagaimana telah diuraikan dalam bagian terdahulu, bahwa penguasaan dan pengusahaan sumur tua minyak dan gas oleh Pertamina menurut hukum tertulis adalah jelas syah dan di sisi lain rakyat juga memiliki persepsi atau pendapat bahwa penguasaan dan pengusahaan sumur tua minyak dan gas menurut hukum adat juga syah dan tidak melanggar hukum apapun.

Situasi ini telah membimbing kedua belah pihak pada situasi konflik norma hukum (conflic of norm) dan hanya putusan pengadilan yang dapat memberikan jalan keluarnya.

Kembali pada persoalan konflik norma hukum dalam penguasaan dan pengusahaan sumur tua minyak yaitu antara ketentuan perundang-undangan dan hukum adat, secara teoritis seharusnya dikembalikan (reorientation) kepada asas-asas hukum umum (universal) yang relevan, yaitu; ”Ketentuan

(16)

perundang-undangan (hukum) yang baru mengesampingkan ketentuan perundang- undangan (hukum) yang lama (Asas lex posteriori derogato lexgi priori”)39. Namun hal ini tidak bisa serta merta akan ditaati oleh penambang atau kelompok penambang tanpa ada penyelesaian yang dianggap adil, yaitu melalui putusan pengadilan yang telah inkracht.

Hak para penambang yang telah menguasai dan mengusahakan atas sumur tua minyak sejak tahun 1884 dan diserahkan oleh Belanda pada tahun 1928 (setelah pindah ke lokasi Kawengan) dan hanya berdasarkan hukum tidak tertulis atau hukum adat. Pada tahun 1942 mendapatkan pengesahan oleh pemerintah penjajahan Jepang, maka tidak bisa serta merta diretool atau dikesampingkan begitu saja. Mereka harus mendapatkan penyelesaian dengan baik dan adil terutama penguasaan dan pengusahaan sumur tua yang berada di atas tanah hak miliknya sendiri.40

3. Konflik antara ekonomi (Conflict of economic)

Penguasaan dan pengusahaan sumur tua minyak dan gas dalam bentuk kerjasama dengan Pertamina EP dengan rakyat/kelompok penambang, sesungguhnya merupakan hal yang sangat aneh. Hal ini disebabkan karena

39 Subadi, Loc. Cit.

40 Ibid.

41 Wawancara dengan Bapak Sodik (Penyuling minyak mentah), tanggal 22 Oktober 2021.

42 Subadi, “Desentralisasi Penguasaan dan Pendayagunaan, Op. Cit. hlm. 144.

Pertamina EP sebagai kontraktor sudah tidak mengusahakan dan bahkan telah ditinggalkan. Disisi lain rakyat telah berharap besar akan ada perbaikan kesejahteraan, akan tetapi kenyataan rakyat penambang sering dikecewakan karena rendahnya harga jual minyak yang dibeli oleh Pertamina.41 Situasi inilah yang telah memaksa rakyat kembali pada kegiatan lama yaitu menguasai dan mengusahakan sumur tua minyak dan gas secara illegal.

Mencermati uraian tersebut, dapat disimpulkan menjadi 2 (dua) fakta riil yang kontradiktif dan bertentangan dengan tujuan pennatakelolaan sumur tua minyak, yaitu: 1) Sifat yang mendua (ambiguity)42 Pertamina EP, menurut Permen ESDM N0. 01 TH.

2008, secara garis besar ditegaskan, bahwa; ”Merupakan sebuah kewajiban atau keharusan bagi kontraktor untuk melibatkan paranserta masyarakat sekitar dalam pengusahaan tambang minyak pada sumur tua” dan harus berorientasi pada tujuan utamanya yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.

Fakta dilapangan menunjukan bahwa masyarakat sekitar tetap miskin dan sengsara atau telah berbanding terbalik dengan tujuan dalam undang-undang;

2) Pertamina EP tidak konsisten

(17)

(inconsistency), sebagai kontraktor sudah tidak mau mengusahakan dan bahkan telah meninggalkan sumur tua, namun setelah diusahakan oleh rakyat justru tetap meminta hasilnya dengan cara membeli minyak mentah (lantung) dengan harga yang murah.

Masalah ideologi pembangunan ekonomi di Indonesia sudah sangat jelas, yaitu “ekonomi kerakyatan, anti penjajahan, dan anti kapitalisme.

Pemerintah harus mampu melindungi seluruh bangsa dan tumpah darah Indonesia dengan cara mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan dalam sistem mekanisme ekonomi dirumuskan, bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”.

Selanjutnya dalam Pasal 34 (4) UUD 1945 (Perubahan keempat) secara garis besar menjelaskan, bahwa: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi, berorientasi pada prinsip kebersamaan, prinsip efisiensi, berkeadilan, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Sungguh merupakan sebuah pemaksaan belaka untuk terus mempersandingkan antara ideologi feodal-kapitalistik warisan penjajah Belanda yang masih kental dianut

PT. Pertamina dengan sosial-ekonomi kerakyatan yang melingkupi masyarakat sekitar sumur tua minyak dan gas, artinya kemakmuran atau kesejahteraan rakyat sekitar sumur tua minyak akan semakin jauh dari kenyataan dan akan menjadi methos belaka. Hal ini sekaligus menunjukan cermin kegagalan menegakan supremasi asas utama hukum di Indonesia.

4. Konflik Hukum dengan Politik Praktis Pesta demokrasi enam tahunan, yaitu pemilihan Kepala Desa (Pilkades), dan 5 (lima) tahunan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati dan 5 (lima) tahunan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang selalu edentik dengan kepentingan politik praktis. Penguasaan dan pengusahaan sumur tua minyak dan gas akan selalu menarik menjadi alat propaganda dan issue politik. Situasi dan kondisi masyarakat (khususnya penambang atau kelompok penambang) yang sudah damai pasti akan terusik kembali atau terdampak. Jumlah penambang yang cukup besar, jelas akan menjadi sasaran penting bagi kontestan tertentu untuk menggalang masa.

Disinilah permasalahan penguasaan dan pengusahaan sumur tua yang secara konstitusional telah syah dan sesuai kebijakan pemerintah dipaksa berbenturan dengan kepentingan politik praktis. Misalnya pemutusan hubungan kerjasama dengan semua Koperasi Unit

(18)

Desa (KUD) dengan penambang atau kelompok penambang yang berakibat merugikan penambang.

Simpulan

Simpulan penelitian: 1) Penguasaan dan pengusahaan sumur tua minyak dan gas oleh PT.

Pertamina EP menurut peraturan perundang- undangan, adalah konstitusional, dan sah menurut hukum, sedangkan penguasaan dan pengusahaan oleh rakyat hanya berdasarkan hukum adat atau hukum tidak tertulis, yaitu penguasaan secara terus-menerus dan turun- temurun sejak jaman Belanda yang diperkuat pengesahan oleh pemerintah penjajahan Jepang dan belum pernah diselesaikan baik secara non-litigasi maupun litigasi di pengadilan.

Maka penguasaan dan pengusahaan sumur tua oleh rakyat tersebut dapt dianggap syah, legal atau sekurang-kurangnya quasi legal; 2) Konflik yang terjadi antara Pertamina EP dengan rakyat/kelompok penambang disebabkan karena perbedaan pandangan/persepsi, disatu sisi Pertamina EP berpendapat bahwa penguasaan dan pengusahaan sumur tua oleh

rakyat adalah illegal tanpa melihat fakta sejarah dan belum pernah ada putusan pengadilan.

Konflik penguasaan telah berimplikasi pada beberapa konflik, antara lain: a) konflik norma hukum (conflict of norm) antara Hukum Adat dengan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi; b) konflik kepentingan (coflict of interest) antara kepentingan meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan meningkatkan Pendapat Asli Daerah (PAD); c) konflik ekonomi (conflik of economic) kerakyatan dengan ekonomi kapitalis; e) konflik hukum dengan politik praktis. Penyelesaian konflik dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: a) memudahkan dan memperpendek birokrasi perijinan, pengusahaan dan perniagaan minyak dan gas; b) mereduksi sikap ambiguitas PT. Pertamina EP dan atau BUMD yang tidak mau mengusahakan sumur tua namun tetap meminta hasilnya; c) Melegalkan penguasaan dan pengusahaan sumur tua agar dapat melakukan pembinaan, pengawasan, utamanya pengelolaan lingkungan hidup di lokasi kegiatan sumur tua.

DAFTAR PUSTAKA Buku

Arsip Desa Wonocolo. “Artikel Sejarah tentang Sejarah Pengelolaan Sumber Tani Minyak Wonocolo: Artikel Sejarah Ditulis Berdasar Kondisi Tempo Dulu dan Sebenar-Benarnya Berdasar Sumber Soemowijoyo alias Saridjan)”.

Bojonegoro (Wonocolo): Arsip Daerah,

1950.

Chaeruddin. “100 Tahun Perminyakan di Cepu”. Blora (Cepu): Pusat Pengembangan Tenaga Perminyakan dan Gas Bumi, 1994.

Hadikusuma, Hilman. “Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi, Tesis dan Disertasi Ilmu Hukum”. Bandung:

(19)

Mandar Maju, 1995.

J. Moleong, Lexy.“Metode Penelitian Kualitatif”. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2004.

Kotarumalos, Nur Aisyah. “Menuju Ketahanan Energi Indonesia: Belajar dari Negara Lain”. Jakarta: Cakra Studi Global dan Strategis, 2009.

Subadi, Heri Sumanto dan Ananda Prima Yurista. “Pengelolaan Sumur Tua Minyak dan Gas Bumi Berwawasan Lingkungan Berkelanjutan dan Berpihak pada Rakyat”. Buku Laporan Akhir PTUPT, Tahun Pertama, 2021.

https://simlitabmas.kemdikbud. go.id / akademika /Main.aspx.

Wignjosoebroto, Soetandyo. “Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalah”. Jakarta: Elsam-Huma, 2002.

Jurnal

Fatimah, Siti Nur and Bain Wasino.

“Nasionalisasi Tambang Minyak di Cepu dan Pengelolaannya Tahun 1950- 1966”. Journal of Indonesian History Vol. 5, No. 1, (2016): 52-61.

Haryanti, D.M. “Koperasi dan Pemerataan Pembangunan”. Research & Policy Insight FEB. UI, No. 3, (2016): 1-4.

doi: https://doi.org/10.20961/bestuur.

v8i2.42789

Hartati, Anis Siti and Marita. “The Performance of Miners in Old Oil Wells in Coal Potential Area (Study: Traditional Oil Miners in Wonocolo, Bojonegoro, Indonesia)”.

International Journal of Social Science and Humanity Vol. 7, No.

12, (December 2017): 762-766. doi:

10.18178/ijssh.2017.7.12.922.

Karjoko, Lego, I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayania and Willy Naresta Hanum. “Legal Policy of Old Wells Petroleum Mining Management Based on Social Justice in Realising Energy Sovereignty”. Sriwijaya Law Review Vol. 6, No. 2, (July 2022): 286-303. doi:

10.28946/slrev.Vol6.Iss2.1745.

Manan, Bagir, “Penelitian Hukum”. Jurnal Hukum Puslitbangkum Unpad, Bandung Vol. 1, No. 1, (January 1999).

Naresta Hanum, Willy. “Setting of Earth Oil Management in Old Wells Based on the Principle Social Justice”. Jurnal Bestuur Vol. 8, No.

2, (December 2020): 70-83. doi:

0710.20961/bestuur.v8i2.42789.

Prima Yurista, Ananda dan Dian Agung Wicaksono. “Politik Hukum Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua sebagai Strategi Menuju Ketahanan Energi di Indonesia (Politics of Law in Oil Mining on Old Well as a Strategy to Energy Security in Indonesia)”. Jurnal Rechts Vinding Vol. 4 No. 2, (Agustus 2015): 311-325. doi: 10.33331/

rechtsvinding.v4i2.26.

Sibarani, Sabungan, “State Control over Natural Resources Oil and Gas in Indonesia”, Brawijaya Law Journal Vol. 5, No. 2, (2018). 217-232. doi: http://dx.doi.

(20)

org/10.21776/ub.blj.2018.005.02.06.

Subadi, “Desentralisasi Penguasaan dan Pendayagunaan Tanah Kawasan Hutan di Jawa: Antara Harapan dan Kenyataan”. Mimbar Hukum Vol. 23, No. 1, (Februari 2011): 132-149. doi:

10.22146/jmh.16205.

Subadi, “Land Procurement for Upstream Oil and Gas Business Activities in Indonesia”, Brawijaya Law Journal Vol.

8, No.1, (2021), 36-53. doi: http://dx.doi.

org/10.21776 /ub.blj.2021.008.01.03.

Effendi, M. Irhas, Sudarmoyo, dan Sayoga Heru P. “Optimalisasi Pengusahaan Sumur Minyak Tua dalam Rangka Peningkatan Produksi Minyak Nasional dan Kesejahteraan Masyarakat”. Jurnal Mineral Energi dan Lingkungan (JMEL) Vol. 1 No. 2, (2017): 16-25.

Rochmaningrum, Fahmi. “Perkembangan Tambang Minyak Blok Cepu dan Pengaruhnya terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Ledok Tahun 1960- 2004”. Journal of Indonesian History Vol. No. 2, (2012).

Makalah

Hardiwinoto, “Analisis Deskriptif Kondisi Ekonomi Penambangan Minyak Tanah Mentah (Crude Oil) Tradisional di Kecamatan Sambong dan Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora”, Prosiding Seminar Nasional UNIMUS 2010, Semarang: Universitas Muhammadiyah, (2010).

Rintayati, Peduk, “Persepsi Dampak

Penambangan Minyak Tradisional Terhadap Kondisi Lingkungan Hidup di Daerah Cepu (Survei pada Masyarakat desa Ledok Kecamatan Sambong, Kabupaten Blora)”, Makalah Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Saintek II. (Semarang: 2000).

Peraturan Perundang-undangan dan Putusan Pengadilan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1971 Nomor 76).

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136).

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 01 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua.

Putusan Mahkamah Konstitusi, Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, Dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2004, Terbit Hari, Selasa tanggal 21 Desember 2004.

Putusan Mahkamah Konstitusi, Perkara Nomor 002/PUU-I/2003, Dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2005, Selasa tanggal 04 Januari 2005.

(21)

Surat Kabar

Jawa Pos, 27 Maret 2015.

Naskah Internet

Kementerian Energy dan Sumber Daya Mineral. “13 ribu Sumur Minyak Tua ditawarkan kepada KUD dan BUMD”.

https://www.esdm.go.id/id/media- center/arsip-berita/13-ribu-sumur- minyak-bumi-tua-ditawarkan-kepada- kud-dan-bumd. Diakses 10 September 2021.

Rrcindonesia. “Blok Migas Abu-Abu” di Bojonegoro”. https://rrcindonesia.com/

en/melihat-blok-migas-abu-abu-di- bojonegoro/

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan yang sering terjadi dalam pelaksanaan perkawinan antara Suku Anak Dalam dengan Suku Jawa, menurut wawancara penulis dengan tokoh pemuda adalah : “Apabila ada orang tua