• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONFLIK SOSIAL DAN KEJAHATAN

N/A
N/A
Vincenzo Rachmaninoff

Academic year: 2024

Membagikan "KONFLIK SOSIAL DAN KEJAHATAN"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

P

ada modul terdahulu Anda telah mempelajari berbagai aspek yang berkaitan dengan kejahatan dan penjahat. Begitu juga dengan perkembangan konsep- konsep dan teori-teori hingga saat ini. Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan dalam ruang lingkup dan aspek kajian terhadap kejahatan dan penjahat, akan tetapi terdapat satu kesamaan pandangan bahwa kejahatan dapat disebabkan oleh berbagai faktor (multiple causation).

Modul ini membahas tentang kaitan konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat sebagai pencetus lahirnya kejahatan. Konflik sebagai salah satu aspek dari masyarakat merupakan suatu unsur yang dapat secara positif mempengaruhi terjadinya perubahan- perubahan akan tetapi di sisi lain konflik tersebut juga dapat mengakibatkan munculnya kejahatan-kejahatan yang destruktif.

Setelah mempelajari modul ini Anda diharapkan dapat menjelaskan kembali dan membandingkan berbagai teori Konflik Kebudayaan dari Sellin, Vold, Dahrendorf dan Turk; serta teori Konflik Kelas Sosial dari Quinney, Chambliss dan Seidman;

kemudian diharapkan dapat menjelaskan dan menganalisis hubungan antara kecenderungan konflik sosial dengan kejahatan.

KONFLIK SOSIAL DAN KEJAHATAN

Pendahuluan M O D U L

9

(2)

T

erdapat beberapa teori konflik kebudayaan yang dapat menjelaskan kaitan antara konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat dengan kejahatan yang timbul. Teori-teori tersebut antara lain dikemukakan oleh:

Sellin: Konflik Norma Tingkah Laku

Pada tahun 1993, Sellin menulis buku tentang Konflik Kebudayaan yang didasarkan pada konflik norma tingkah laku, di mana ia berpendapat bahwa setiap budaya menanamkan norma budayanya sendiri (aturan tingkah laku) dan menginternalisasikan norma tersebut dalam diri anggota budaya itu. Norma yang dipelajari oleh setiap individu, dengan demikian, diatur oleh budaya di mana individu berada. Sellin berpendapat bahwa dalam sebuah masyarakat homogen yang sehat, hal ini dilakukan dalam jalur hukum dan ditegakkan oleh anggota-anggota masyarakat itu, mereka menerima norma itu sebagai suatu hal yang benar. Bila hal ini tidak terjadi, maka konflik budaya akan muncul, menurut Sellin, terdapat dua bentuk konflik yakni

"primary dan secondary conflict".

Primary conflict adalah konflik yang timbul di antara dua budaya yang berbeda.

Ia berpendapat bahwa konflik tersebut dapat timbul dalam tiga situasi, yakni:

1. Apabila dua masyarakat ada dalam "closed proximity", maka kemungkinan ada

"border conflict".

2. Apabila satu kelompok berpindah ke dalam wilayah lainnya, atau setidaknya di mana suatu masyarakat budaya menggunakan kekuasannya untuk memperluas norma legal mereka untuk mencakup wilayah budaya lainnya.

3. Apabila anggota satu budaya berimigrasi atau berpindah ke dalam wilayah budaya lainnya, di mana mereka akan dipaksa menerima norma budaya tuan rumah itu.

Dalam rangka menjelaskan masalah kejahatan, maka analisis "primary culture conflict" sebagian besar digunakan untuk melihat masalah yang timbul karena adanya imigrasi.

Secondary conflict adalah konflik yang timbul dalam satu budaya, khususnya ketika budaya itu mengembangkan subkebudayaan masing-masing dengan norma tingkah lakunya sendiri. Hukum biasanya akan mewakili aturan atau norma budaya dominan. Norma kelompok lain (sub kebudayaan) seringkali tidak hanya berbeda tetapi berlawanan dengan norma dominan, sehingga dapat merupakan norma

Teori Konflik Kebudayaan

Kegiatan Belajar 1

(3)

kriminal di bawah hukum itu. Dengan individu hidup dalam norma tingkah laku subkebudayaan macam itu, mereka dapat melanggar hukum (criminal rules) dari budaya dominan.

Perlu diketahui bahwa tidak serupa dengan teori subculture dari Cohen (1955) atau teori dari Cloward dan Ohlin (1960), teori konflik norma tingkah laku dari Sellin, tidak timbul untuk mempertanyakan nilai kelas menengah atau kelas atas, atau mewakili berbagai cara untuk mencapai "culture goals" kelas menengah dan atas, namun agaknya secara instrinsik norma itu mewakili berbagai nilai dan norma.

Vold: Konflik Kelompok Kepentingan

Sebagaimana secondary conflict dari Sellin, ide-ide Vold didasarkan pada konflik dalam sebuah budaya. Namun selain subkebudayaan, Vold melihat konflik antara kelompok kepentingan yang ada dalam budaya yang sama (Vold, 1958).

Vold berpendapat bahwa pada hakikatnya orang mempunyai sifat group oriented dan mereka yang mempunyai kepentingan yang sama bersatu membentuk sebuah kelompok dalam upaya mendorong kepentingan mereka ini dalam arena politik, berbeda dengan subkebudayaan, hal ini agaknya bersifat sementara, hanya ada dan tetap ada selama dikehendaki untuk mencapai tujuan yang diharapkan mereka.

Anggota-anggota budaya itu secara besama menunjukkan kepercayaan atas tujuan yang diharapkan, namun menjadi lebih dekat dengan kelompok karena mereka bekerja dengan anggota-anggota lain untuk pencapaian tujuan itu. Anggota-anggota budaya itu secara psikologis menjadi semakin bergantung pada kelompok, khususnya karena mereka menanamkan lebih banyak waktu dan upaya mereka di dalam kelompok itu. Apabila tujuan tercapai, maka anggota-anggota kelompok itu agaknya akan menghilangkan kesetiaan mereka terhadap kelompok, dan kelompok itu dapat bubar. Teori Vold, dengan demikian, berasal dari perspektif sosial-psikologi.

Ide sentral dari Teori Vold adalah bahwa berbagai kelompok mempunyai berbagai kepentingan dan seringkali bertentangan sehingga dapat menimbulkan konflik. Ketika kelompok mempunyai kepentingan yang sama, maka acapkali konflik ini terselesaikan melalui kompromi yang memberikan stabilitas kepada sebuah masyarakat. Ketika kelompok ini mempunyai kekuatan yang berbeda, satu kelompok dapat menang dengan menggunakan kekuasaan penuh Negara untuk melaksanakan kepentingan kelompok itu. Ketika hal tersebut melibatkan hukum pidana, maka kelompok dominan didukung oleh Polisi, pengacara dan pengadilan guna melindungi kepentingannya untuk menghadapi kepentingan kelompok yang secara politis lebih lemah. Anggota kelompok yang kalah acapkali terperosok pada sisi yang salah dari hukum itu, namun agaknya hal itu merupakan respon yang wajar terhadap serangan pada way of life yang mereka percayai kebenarannya.

Dahrendorf dan Turk: Otoritas (kekuasaan)

Kedua penulis ini memandang hubungan antara otoritas dan subjeknya. Bagi Dahrendorf, kekuasaan adalah faktor penting; sebaliknya bagi Turk, hal itu didasarkan pada status sosial.

(4)

Dahrendorf (1959) menyerang ide Marxis karena memperhatikan hanya satu bentuk kekuasaan, yaitu pemilikan sumber produksi. Marx meletakkan konflik dalam sistem ekonomi yang tidak adil dan memandang hal ini sebagai sesuatu yang dapat dihilangkan. Sebaliknya, Dahrendorf memandang hal ini terletak dalam perbedaan kekuasaan, dan khususnya dalam distribusi otoritas. Seluruh masyarakat yang sehat membutuhkan perbedaan dalam tingkat kekuasaan atau otoritas individu, sehingga norma atau aturan budaya dapat dijalankan. Jikalau satu pihak mempunyai aturan, maka ia membutuhkan sanksi untuk melaksanakanya. Untuk menjamin bahwa sanksi itu efektif, seseorang harus mempunyai kekuasaan agar dapat melaksanakan sanksi itu, sehingga dengan demikian, hal ini dapat membatasi timbulnya konflik.

Turk (1969) juga mengakui bahwa konflik sosial merupakan bagian yang nyata dan tidak dapat dielakkan dari kehidupan sosial, dan bahwa seseorang harus berada dalam otoritas. Bagi Turk, apabila tidak ada konflik dalam tatanan sosial, maka hal itu tidaklah sehat, hal ini dapat menunjukkan bahwa dalam masyarakat yang bersangkutan terdapat konsensus yang terlalu besar, atau individu secara berlebihan dikontrol atau ditekan oleh pihak yang memiliki kekuasaan, namun demikian, jika konflik tersebut timbul dengan sangat tinggi maka hal tersebut juga tidak diinginkan, karena tidak ada masyarakat dapat sehat tanpa tingkat konsensus yang begitu tinggi.

Dengan demikian, Turk memandang ketertiban sosial didasarkan pada "coercion- consensus model" dan otoritas harus menjamin bahwa keseimbangan antara kedua hal itu tidak hilang.

Turk tertarik pada kondisi di mana perbedaan budaya dan sosial antara otoritas dan subjek berakibat pada munculnya konflik. Dalam analisisnya, pertama-tama, ia membedakan antara norma budaya dan norma sosial. Norma budaya menentukan secara verbal perilaku apa yang diharapkan dan perilaku apa yang tidak diharapkan.

Norma sosial mewakili apa yang sebenarnya dilakukan dan apakah perilaku aktual itu. Bagi otoritas (pemerintah), norma budaya biasanya terwujud sebagai hukum dan norma sosial adalah penegakan hukum itu. Bagi subjek (masyarakat), norma budaya dapat berupa sub kebudayaan dan norma sosial merupakan pola perilaku aktual individu. Secara jelas, norma budaya dan norma sosial dari otoritas dapat berbeda dari norma budaya dan norma sosial subyek. Turk juga melihat kemungkinan bahwa dalam setiap kelompok, norma budaya dan norma sosial tidak dapat bersesuaian. Ia kemudian melihat empat kemungkinan situasi, yakni:

1. Otoritas sebenarnya melaksanakan hukum (dengan demikian, norma budaya dan norma sosial adalah bersesuaian). Kepercayaan dan perilaku subjek adalah sangat serasi (norma budaya dan norma sosial bersesuaian). Dalam kondisi demikian, norma budaya setiap kelompok adalah sama dan tidak ada konflik. Apabila norma budaya setiap kelompok berbeda maka akan terjadi tingkat konflik yang tinggi.

Misalnya, apabila sebuah Negara melarang penggunaan minuman keras (alkohol) dan mencoba secara aktif melaksanakan larangan itu, namun subjek percaya bahwa minuman keras seharusnya secara bebas tersedia dan mereka dapat secara aktif menggunakannya, maka kemungkinan akan terjadi konflik yang sangat tinggi.

2. Otoritas sangat longgar dalam penegakkan hukum (sehingga walaupun norma budaya ada, hal itu tidak dilakukan, yaitu norma sosial tidak bersesuaian) dan

(5)

subyek tidak bertindak atas kepercayaannya (juga, walaupun norma budaya ada, norma sosial tidak bersesuaian). Dalam situasi seperti itu, potensi konflik akan sangat rendah. Keadaan ini merupakan situasi yang lebih dikenal dengan blasphemy laws. Walaupun blasphemy laws merupakan suatu pelarangan (of- fense), otoritas tidak secara aktif melaksanakannya, dan walaupun banyak orang tidak beriman dengan agama Kristen mereka tidak secara aktif melanggar hukum itu. Jikalau situasi tidak memberikan ketegangan (tension) antar kelompok, maka tingkat konflik adalah rendah.

3. Otoritas sebenarnya menegakkan hukum (dengan demikian norma budaya dan norma sosial bersesuaian) namun subjek, walaupun mempunyai berbagai norma budaya atau kepercayaan, tidak bertindak atas norma itu (walaupun norma budaya ada, maka norma sosial tidak bersesuaian). Andaikata otoritas menjatuhkan dan menegakkan hukum terhadap "soft drug" namun subjek, walau tidak menentang

"soft drug", sedikit menggunakannya. Konflik akan terbatas pada segelintir kasus di mana subjek itu menyalahgunakan obat itu.

4. Otoritas sangat longgar dalam penegakan hukum (sehingga walaupun norma budaya ada, norma itu tidak dilaksanakan, yaitu norma sosial tidak bersesuaian) namun kepercayaan dan perilaku subjek sangat dekat (norma budaya dan norma sosial subyek bersesuaian). Negara dapat, misalnya melegalisasi "soft drug" tetapi tidak menegakkan hukum itu dan subjek menentang hukum itu dan secara aktif berpartisipasi dalam penggunaan "soft drug" itu. Hasilnya, potensi yang lebih rendah untuk konflik dari pada tiga situasi sebelumnya, karena subjek menemukan penggunaan obat tidak mungkin dihukum.

Ketidaksesuaian antara norma budaya dan norma sosial tidak hanya merupakan satu-satunya faktor yang dapat menyebabkan konflik. Organisasi dan kecanggihan otoritas dan subjek juga mempengaruhi tingkat konflik. Otoritas, selain dari rakyat banyak (mob), secara hakikatnya dapat terorganisir untuk mendapatkan dan tetap menguasai kekuasaan. Pada satu sisi, subyek sering tidak punya organisasi; namun subjek yang terorganisir misalnya anggota gang yang mempunyai hubungan yang sangat erat akan lebih dapat menentang kekuasaan negara. Turk berpendapat bahwa jikalau mereka yang sedang melakukan perbuatan ilegal terorganisir, maka akan semakin besar konflik antara subyek dan negara. Hal yang menarik adalah dalam menghukum seorang individu, pengadilan selamanya memperlakukan kejahatan terorganisir lebih keras, yang menunjukkan bahwa negara melihat hal ini lebih menentang terhadap ororitasnya, dan dengan demikian lebih mengancam dan mengkhawatirkan.

Kecanggihan suatu perbuatan jahat ada ketika, individu memahami perilaku pihak lain dan menggunakan pengetahuannya untuk memanipulasinya. Jika otoritas menjadi lebih canggih, maka otoritas itu akan mempu meyakinkan subjek agar bertindak secara hukum demi kepentingan mereka yang terbaik, dan dengan demikian mereduksi keharusan untuk mempercayai cara pemaksaan (coercion) dalam upaya mencapai ketaatan terhadap hukum. Pelaku kriminal yang canggih akan mampu menyembunyikan perbuatan kriminal mereka dengan berpura-pura mentaati hukum, padahal mereka waktu bertindak dengan cara kriminal, pelaku yang kurang

(6)

canggih akan berada dalam konflik yang terus menerus dengan negara. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa akan tampak bahwa semakin canggih baik negara dan pelaku kriminal, maka semakin kurang timbulnya konflik.

Tingkatan konflik yang berkaitan dengan pelaku kriminal

Dalam kasus pelaku kriminal, Turk menyatakan empat pengelompokan yang mewakili empat tingkat konflik, yakni:

1. Terorganisir dan tidak canggih, misalnya: geng pemuda. Hal ini akan dapat menimbulkan sebagian besar konflik.

2. Tidak terorganisir dan tidak canggih; misalnya tuna wisma ataupun pelaku pencuri yang semborono, yang kejahatannya jelas namun tidak mengancam, dan dengan demikian kurang terjadi suatu konflik.

3. Tidak teroganisir dan canggih; karena sifatnya yang tidak terorganisir akan tetapi sifatnya yang canggih sehingga tingkat konfliknya menjadi meningkat.

4. Terorganisir dan canggih; misalnya pelaku penggelapan atau "con artis", di mana kejahatan mempunyai visibilitas yang rendah dan di mana ancaman dari pelaku kriminal tunggal rendah.

Konflik ada pada tingkat yang paling rendah di antara empat situasi ini. Hal-hal yang diuraikan di atas tampaknya cukup logis namun tidak dapat diperkuat oleh studi aktual, yaitu kriminalitas dapat berbeda pada berbagai jalur. Turk menyatakan bahwa tiga faktor lain juga mempengaruhi apakah seseorang mengalami kriminalisasi, dan hal ini juga dapat mempengaruhi analisis di atas.

Pertama, berbagai lembaga penegak hukum dapat mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Turk membaginya ke dalam first line enforcer, seperti kepolisian dan factory inspectorate; dan higher level enforcer, seperti jaksa, jury dan hakim. Jikalau tidak satupun lembaga penegakan hukum ini percaya bahwa perilaku itu harus dikrimialisasi, maka penegakan hukum sangat tidak mungkin dilakukan. Jika lembaga ini semuanya ikut serta untuk pencegahan perilaku itu, maka penegak hukum akan tinggi, dengan kemungkinan tingkat penahanan dan penghukuman akan tinggi, serta hukuman akan cenderung keras. Jika first line enforcer ikut serta namun higher level enforcers tidak ikut serta, maka akan ada tingkat penahanan yang tinggi namun akan ada tingkat penghukuman yang rendah dan hukuman akan cenderung ringan. Jikalau first line enforcer tidak ikut serta namun higher level enforcer ikut serta, maka tingkat penahanan akan rendah namun ketika seseorang ditahan, maka mereka kemungkinan akan dihukum dan menerima hukuman yang berat. Turk melihat kepolisian dan first line enforcer lainnya merupakan unsur yang paling penting untuk menentukan kriminalisasi.

Kedua, kekuasaan relatif enforcer dan resister merupakan faktor penting. Jika otoritas dan enforcer kuat namun resister, mereka yang telah melakukan perilaku dengan cara kriminal, kurang berkuasa, maka otoritas lebih memungkinkan melakukan penahanan, penghukuman dan menjatuhkan hukuman yang keras kepada mereka.

Subjek seperti itu kemungkinan perilakunya secara resmi didefinisikan sebagai

(7)

kriminal kecuali kejahatan mereka tidak penting dan tidak mengganggu, namun jika enforcer dan Resister kurang lebih mempunyai kekuasaan yang sama, maka enforcer dapat lebih enggan menyebut individu sebagai pelaku kriminal, membuat kriminalisasi terhadap mereka kurang mungkin terjadi. Jika kekuasaan resister menjadi begitu kuat, maka mereka dapat mampu menyakinkan otoritas untuk mendekriminalisasi aktivitasnya.

Akhirnya, Turk mengatakan bahwa "realisme konflik bergerak" mempengaruhi kemungkinan kriminalisasi. Jika mereka yang melanggar hukum bersifat realistis, membuat kejahatan mereka kurang nampak dengan menghindari pertentangan dengan enforcer dengan menuduh mereka korup, tidak adil ataupun melakukan kekerasan; sehingga secara tidak langsung akan mereduksi pelanggaran mereka.

Jikalau mereka berperilaku kurang realistis, maka enforcer akan lebih leluasa melakukan penindakan dengan catatan bahwa mereka harus bersikap realistis dan berusaha mendapatkan dukungan publik dengan melakukan penegakkan hukum secara adil dan mengikuti prosedur yang ada, tidak menghukum secara keras sehingga mencegah masyarakat bersimpati kepada pelaku kriminal. Pada kondisi yang demikian, enforcer harus menjamin tingkat konsensus yang tinggi baik pada norma budaya dan norma sosial mereka.

Teori Konflik Turk dapat diterapkan pada sebagian perilaku kriminal yang terjadi dalam berbagai struktur sosial, hal demikian menunjukkan bahwa banyak hukum bersifat politis dan tidak murni legal construct, banyak pula hukum tidak mewakili moralitas absolut, namun diciptakan oleh mereka yang memegang otoritas atau kekuasaan. Turk juga membahas sifat politik penegakan hukum itu dan bagaimana, pada setiap tahap, seluruh faktor yang telah dibicarakan mempengaruhi tingkat konflik dalam sebuah masyarakat dan kriminalisasi individu. Dalam hal ini teori konflik Turk merupakan teori konflik yang lebih luas mungkin lebih berguna.

Untuk lebih meningkatkan pemahaman Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1, kerjakan latihan berikut ini!

1) Turk memandang ketertiban sosial didasarkan pada "coercion-consensus model", dan otoritas harus menjamin bahwa keseimbangan antara "coercion dan consen- sus model" tidak hilang. Dapatkah Anda jelaskan pendapat Turk tersebut?

2) Bilamana dan bagaimanakah suatu kelompok menjadi suatu hal yang potensial menimbulkan konflik sosial?

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Cukup jelas, hanya saja akan lebih baik jika diberi contoh ilustrasi!

2) Cukup jelas!

L a t i h a n

#

# #

# #

(8)

Teori konflik kebudayaan memandang bahwa masyarakat membawa potensi konflik melalui penerapan budayanya, terlebih jika satu masyarakat dengan budayanya bertemu atau bersinggungan dengan masyarakat yang lain dengan budaya yang lain dalam situasi saling berlomba dan mendominasi.

Terkait dengan budaya yang terinternalisasi dalam suatu masyarakat atau kelompok tertentu maka muatan kepentingan yang khas dari masyarakat atau kelompok juga mewarnai konflik yang terjadi di dalam masyarakat tersebut.

Konflik kepentingan tersebut oleh beberapa pakar aliran konflik ini kemudian dipercaya akan terkait dan terwujud dalam berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan. Hukum, dengan demikian juga merupakan salah satu aspek kehidupan bermasyarakat yang terkait dan bahkan dapat dijadikan sarana oleh kelompok tertentu untuk merealisasikan kepentingan "ingroup"-nya.

Berikut ini terdapat beberapa butir pertanyaan harus Anda jawab. Pilihlah satu alternatif jawaban yang paling tepat!

1) Apabila satu kelompok berpindah ke dalam wilayah lainnya, atau setidaknya di mana suatu masyarakat budaya menggunakan kekuasaannya untuk memperluas norma legal mereka untuk mencakup wilayah budaya lainnya, sehingga terjadi konflik antar kelompok tersebut maka konflik tersebut disebut sebagai konflik ....

A. kebudayaan B. kekuasaan C. primer D. sekunder

2) Apabila anggota satu budaya berimigrasi atau berpindah ke dalam wilayah budaya lainnya, di mana mereka akan dipaksa menerima norma budaya tuan rumah seringkali menimbulkan konflik, maka konflik tersebut disebut sebagai konflik ....

A. kebudayaan B. kekuasaan C. primer D. sekunder

3) Konflik yang timbul dalam satu budaya, khususnya ketika budaya itu mengembangkan sub kebudayaan masing-masing dengan norma tingkah lakunya sendiri disebut sebagai konflik ....

A. kebudayaan B. kekuasaan C. primer D. sekunder Rangkuman

Tes Formatif 1

$

$ $

$ $

(9)

4) Anggota-anggota budaya itu secara bersama menunjukkan kepercayaan atas tujuan yang diharapkan, namun menjadi lebih dekat dengan kelompok karena mereka bekerja dengan anggota-anggota lain untuk pencapaian tujuan itu.

Pertanyaan seperti itu sangat diwarnai oleh pendekatan ....

A. sosial-psikologis B. konflik

C. fungsionalis D. sosiologis

5) Berbeda dengan Marx yang meletakkan konflik dalam sistem ekonomi yang tidak adil dan memandang hal ini sebagai sesuatu yang dapat dihilangkan. Dahrendorf memandang konflik terjadi dikarenakan adanya perbedaan ....

A. kekuasaan B. kelas sosial C. kebudayaan D. kepercayaan

6) Ketidaksesuaian antara norma budaya dan norma sosial tidak hanya merupakan satu-satunya faktor yang dapat menyebabkan konflik. Ada beberapa faktor lain yang juga mempengaruhi tingkat konflik, yaitu ....

A. penegakkan hukum

B. organisasi dan kecanggihan otoritas C. distribusi alat produksi

D. kecanggihan pelaku kejahatan

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir Modul ini. Hitunglah jawaban Anda yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Rumus:

Jumlah jawaban Anda yang benar

Tingkat penguasaan = x 100%

6 Arti tingkat penguasaan yang Anda capai:

90% - 100% = baik sekali

80% - 89% = baik

70% - 79% = cukup

- 70% = kurang

(10)

Apabila tingkat penguasaan Anda mencapai 80% ke atas, bagus! Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Tetapi bila tingkat penguasaan Anda masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum Anda kuasai.

(11)

K

ejahatan memiliki realitanya sendiri. Konflik antar kelas dalam masyarakat memunculkan berbagai segmen masyarakat yang memiliki keterkaitan dengan kejahatan, pengkonstruksian, pendefinisian dan pengembangan pola- pola perilaku. Keterkaitan antara konflik sosial dan kejahatan secara khusus dikemukakan oleh berbagai ahli berikut:

1. Quinney: Realitas Sosial dari Kejahatan

Qinney, pada tahun 1970, mengungkapkan realitas sosial dari kejahatan melalui penjabaran enam proposisinya, yakni:

1. Kejahatan merupakan definisi tindakan manusia yang diciptakan oleh agen yang diberi wewenang dalam masyarakat yang terorganisir secara politis. Proposisi ini berasal dari perspektif labelling, yaitu bahwa perilaku hanya mendapat label sebagai perilaku kriminal disebabkan reaksi pihak lain terhadap perilaku tersebut.

2. Definisi kriminal menjabarkan perilaku yang bertentangan dengan segmen masyarakat yang mempunyai kekuasaan membentuk kebijakan umum. Hal ini berasal dari ide Vold dan Turk, yang mengakui bahwa kepentingan kelompok yang mempunyai kekuasaan akan mampu mengambil perilaku yang mereka temukan mengandung sikap terkriminalisasi yang tidak dapat diterima, dan mereka lebih mungkin melakukan hal ini ketika ada konflik kepentingan antara berbagai segmen dalam masyarakat.

3. Definisi kriminal diterapkan oleh segmen masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk membentuk penegakan dan administrasi hukum pidana. Mereka yang mempunyai kekuasaan untuk melegalisasi, mempunyai kemungkinan pula untuk menengakannya, dan membentuk penegakkan hukum dengan cara yang tidak mungkin membuat perilaku yang mereka lakukan didefinisikan sebagai jahat (dikriminalisasikan).

4. Pola perilaku terstruktur dalam masyarakat yang terorganisasi secara segmental dalam hubungan dengan definisi kriminal, dan dalam konteks ini orang melakukan tindakan yang mempunyai probabilitas relatif pendefinisian sebagai palaku kriminal. Quinney meyakini bahwa dalam masyarakat, individu memiliki nilai, norma dan ideal yang sama, namun hal ini berbeda dari satu segmen dengan segmen lainnya. Sejumlah segmen dapat terorganisir dengan kuat, seperti

Konflik Kelas Sosial dan Kejahatan

Kegiatan Belajar 2

(12)

pengusaha atau serikat buruh; segmen lainnya dapat terorganisir lebih longgar, seperti kelompok rasial dan kelompok keagamaan atau gerakan wanita dan segmen lainnya sebenarnya tidak mempunyai organisasi atau kekuasaan seperti pemuda, rukun tetangga dan narapidana.

5. Konsepsi kejahatan terkonstruksi dan terdifusi dalam segmen masyarakat melalui berbagai alat komunikasi. Ketika sebuah pelanggaran telah terbentuk, maka hal itu harus diterima sebelum hal itu menjadi realitas sosial yang ditentukan secara umum, hal ini harus dikomunikasikan kepada masyarakat, dan salah satu alat yang paling penting dan efektif untuk hal ini adalah media. Berbagai segmen masyarakat dapat berupaya mendorong berbagai kejahatan karena hal itu paling merusak dan berbahaya. Misalnya, mereka yang mempunyai harta akan berkeinginan untuk melindungi hartanya dan menganggap usaha tersebut sebagai prioritas utama dalam daftar pencegahan kejahatan, pencinta lingkungan, lembaga konsumen dan serikat buruh dapat memandang sejumlah aktivitas perubahan dan pengusaha besar sebagai kejahatan yang paling berbahaya, dan mempromosikan kontrol perilaku seperti itu. Keberhasilan penyebaran berbagai pandangan ini menghendaki segmen masyarakat mempromosikannya agar dapat menjamin peliputan media yang kuat dan penerimaan pandangan mereka itu.

6. Realitas sosial kejahatan dikonstruksi melalui pembentukan dan penerapan definisi kriminal; pengembangan pola perilaku yang terkait dengan definisi kejahatan; dan konstruksi konsep kriminal. Ide-ide sebelumnya dapat disimpulkan dalam elemen akhir ini. Segmen masyarakat yang kuat berhasil mencitakan dan mengkomunikasikan konstruksi dari realitas mereka, sehingga hal ini dapat dimanfaatkan atau diberi sanksi oleh pihak lainnya. Kemudian mereka menggunakan hal itu dengan alasan bahwa dengan tidak mementingkan diri sendiri, mereka melindungi pihak lain demi kebaikan umum, sementara mereka dengan sungguh- sunguguh mengupayakan tujuan dan kepentingan mereka sendiri.

Teori ini dapat disarikan dengan begitu baik dalam kesimpulan Quinney sendiri sebagai:

"Realitas kejahatan yang dikonstruksi untuk seluruh anggota masyarakat oleh mereka dalam tampuk kekuasaan merupakan realitas di mana kita cenderung menerimanya sebagai bagian dari kita sendiri. Dengan melakukan hal itu, kita mengakui eksistensi mereka yang dalam tampuk otoritas untuk melaksanakan tindakan yang sebagian besar mempromosikan kepentingan mereka. Ini adalah realitas politik (politics of reality). Realitas sosial dari kejahatan dalam sebuah masyarakat yang terorganisasi secara politik terkonstruksi sebagai sebuah tindakan politik".

2. Chambliss dan Seidman

Chambliss dan Seidman (1971) mulai dengan pernyataan bahwa ketika masyarakat menjadi semakin kompleks, maka kepentingan individu dalam masyarakat mulai berbeda, dan mereka lebih mungkin berada dalam konflik satu dengan lainnya dan

(13)

harus dibantu untuk memecahkan perselisihan ini. Menurut kedua pakar ini perbedaan seperti ini timbul karena nilai sebagian besar orang dipengaruhi oleh kondisi kehidupan mereka yang semakin berbeda karena masyarakat semakin kompleks. Pada umumnya, akibat dari perselisihan tersebut dapat terselesaikan melalui rekonsiliasi atau kompromi. Karena masyarakat menjadi lebih kompleks maka kepercayaan secara lebih besar ditempatkan pada aturan yang ditegakan dengan sanksi terhadap mereka yang melanggarnya. Bentuk masyarakat normatif ini menghendaki institusi formal melalui kekuasaan untuk membuat dan menegakkan sanksi. Baik institusi dan aturan mungkin akan diberikan oleh pihak yang paling kuat.

Penegakan otoritas sanksi akan membawa kepada stratifikasi sosial berikutnya, yang memungkinkan sejumlah orang atau kelompok lebih kaya dan berkuasa daripada yang lainnya. Kelompok yang paling kuat kemudian akan mempunyai kepentingan dalam mengkekalkan supremasi mereka dengan menggunakan pemaksaan (coer- cion) bila perlu. Walaupun hal ini tidak merupakan murni analisis Marxis, namun hal ini tidak bertentangan dengan banyak pakar yang mengajukan ide seperti ini.

Chambliss dan Seidman menambahkan bahwa, bahkan dalam masyarakat yang lebih kompleks akan ada kebutuhan yang semakin meningkat bagi organisasi birokrasi untuk menerapkan sanksi ini. Birokrasi ini akan mempunyai kepentingannya sendiri yang dapat berbeda dari kepentingan pembuat sanksi. Dengan demikian mereka memandang hukum dalam tindakan yang mencerminkan kepentingan kedua kelompok ini.

Kedua penulis ini kemudian mengemukakan bahwa menarik sekali untuk mencari apakah yang terbaik bagi penjelasan tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam pembuatan dan penegakkan hukum, apakah itu consensus model atau conflict model. Mereka tertarik tentang apakah kekuasaan negara digunakan hanya dengan cara adil dan tidak berat sebelah dalam menyelesaikan peselisihan dalam upaya mereduksi konflik (sebagaimana dinyatakan dalam sebagian besar penjelasan legal tradisional yang didasarkan pada model konsensus), atau apakah kekuasaan negara, yang digunakan untuk melindungi kepentingan tertentu, sebenarnya menyebabkan konflik (sebagaimana dinyatakan dalam model konflik seperti salah satu yang mereka postulatkan). Kesimpulan mereka adalah bahwa dalam negara, pembuatan hukum merupakan hasil dari kepentingan kelompok atau kelompok penguasa dan bukan kepentingan umum, kepentingan kelompok dengan kekuasaan dan kekayaan yang paling besar akan paling tercermin dalam hukum itu.

Berpaling pada masalah keputusan hakim, mereka membahas ruang hukum yang bersifat tidak menentu dan hal ini terletak pada hakim untuk memutuskan apa maknanya. Hakim menyatakan bahwa mereka mempergunakan ide keadilan yang tidak diragukan lagi sebagaimana terwujud pada hukum atau keputusan hukum lainnya; dan dengan demikian hakim tidak membuat hukum, namun ketika Chambliss dan Seidman menyatakan bahwa banyak keputusan pengadilan tidak diambil dengan suara bulat dan pertimbangan yang bertentangan sama-sama didasarkan pada aturan hukum yang sebelumnya ada dan sama-sama valid. Mereka menyatakan dari hal ini bahwa apakah hakim melakukan, sebagian besar secara tidak sadar, ketika memutuskan kasus berdasarkan nilai personalnya dan pribadi dan kemudian mencocokkan keputusannya itu pada aturan hukum. Pernyataan keduanya adalah

(14)

bahwa hukum memutuskan apa yang mereka lihat sebagai kepentingan umum, yang juga merupakan aplikasi sistem nilai mereka sendiri, ketika nilai orang banyak dipengaruhi oleh kondisi kehidupan mereka, maka nilai hakim akan mencerminkan posisi mereka dalam masyarakat. Hakim cenderung berasal dari latar belakang yang berpunya (orang kaya); mereka sering diambil dari sebagian besar pengacara yang besar, yang sering berarti hakim-hakim mewakili sebagian besar klien yang berpunya (kaya). Dengan demikian ketika mereka berpindah dalam lingkungan yang lebih berpunya (kaya), berpengaruh dan berkuasa, hakum sering mempunyai sekumpulan nilai yang sama bagi klien yang berpengaruh dan orang-orang penting. Agaknya Chambliss dan Seidman menyatakan bahwa pengacara yang kurang menjaga hubungan dengan pihak yang kuat kecil kemungkinan akan dipromosikan dan dengan demikian, juga kecil basis perlindungan kekuasannya. Pandangan pengadilan yang sama dapat juga menjelaskan mengapa pelaku kejahatan korporasi dan kerah putih umumnya secara relatif dijatuhi hukuman yang ringan, walaupun apa yang mereka telah lakukan menurut tanggapan sebagian pihak merupakan kejahatan yang sangat serius. Dalam kasus tersebut sanksi yang keras mungkin dapat lebih mempunyai pengaruh rehabilitatif atas sebagian besar orang dari para pelaku kejahatan lainnya.

Chambliss dan Seidman juga mempelajari kerja kepolisian sebagai lembaga penegak hukum yang pertama, dan salah satu elemen yang paling penting dari sistem birokrasi. Polisi ditugaskan melakukan penegakkan hukum dan mempunyai kepentingan untuk memerangi kejahatan, namun dengan tingkat kesukaran yang besar andaikata mereka berhadapan dengan pelaku kejahatan dari kelompok yang berpunya (kaya), berkuasa atau berpengaruh, kemudian, lembaga penegakkan hukum menggantungkan diri pada sumber-sumber yang mempunyai kekuasaan yang paling besar.

Kesimpulan umum dari Chambliss dan Seidman adalah: "bahwa baik struktur dan penegakkan hukum berlaku hati-hati terhadap pihak yang kuat dalam masyarakat, dan kepentingan umum hanya penting jikalau hal itu sesuai dengan kesejahteraan kelompok ini. Hukum dan penegakkannya, dengan demikian dilakukan terhadap pihak yang tak berdaya, dan sebenarnya membentuk sumber konflik". Keduanya menyimpulkan bahwa perspektif konflik adalah satu-satunya perspektif yang diperkuat oleh studi empiris.

Untuk meningkatkan pemahaman Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2, kerjakan latihan berikut ini!

1) Dapatkah Anda jelaskan apa yang dimaksudkan oleh Quinney bahwa realitas sosial dari kejahatan dalam sebuah masyarakat yang terorganisasi secara politik terkonstruksi sebagai sebuah tindakan politik?

2) Mengapa pendapat Quinney, Chambliss dan Seidman digolongkan sebagai penjelasan Konflik Kelas Sosial?

L a t i h a n

#

# #

# #

(15)

Petunjuk Jawaban Latihan

Cukup jelas, hanya saja akan lebih baik jika diberi contoh ilustrasi!

Teori yang dibahas didasarkan pada pemberian pengakuan terhadap kenyataan bahwa dalam masyarakat yang cukup besar ada kelompok dengan kebutuhan dan nilai yang saling bertentangan.

Sebagian besar penulis sangat dipengaruhi oleh perspektif interaksionis (pendekatan labelling) namun menolak kecenderungan interaksionis dalam menerima status quo kelas. Mereka lebih memusatkan perhatian pada realitas sosial kejahatan sebagai hasil konflik kepentingan dari berbagai kelompok masyarakat - yang pada kondisi tertentu dapat dianggap sebagai wujud dari kelas sosial tertentu yang ada di masyarakat.

Berikut ini terdapat beberapa butir pertanyaan yang harus Anda jawab. Pilihlah satu alternatif jawaban yang paling tepat!

1) Kejahatan merupakan definisi tindakan manusia yang diciptakan oleh agen yang diberi wewenang dalam masyarakat yang terorganisir secara politis. Pendapat Quinney ini sangat dipengaruhi oleh pendekatan ....

A. Antropologi B. Park dan Burgess C. Cohen

D. Labelling

2) Quinney berpendapat bahwa definisi kriminal dijabarkan perilaku yang bertentangan dengan segmen masyarakat yang mempunyai kekuasaan membentuk kebijakan umum. Pendapat ini berasal dari ide yang mengakui bahwa kepentingan kelompok yang mempunyai kekuasaan akan mampu mengambil perilaku yang mereka temukan mengandung sikap terkriminalisasi yang tidak dapat diterima, dan mereka lebih mungkin melakukan hal ini ketika ada konflik kepentingan antara berbagai segmen dalam masyarakat. Ide yang berpengaruh tersebut berasal dari ....

A. Vold dan Turk B. Merton

C. Von Mayer

D. Chambliss dan Seidman

3) Realitas sosial kejahatan dikonstruksi melalui pembentukan dan penerapan definisi hukum; pengembangan pola perilaku yang terkait dengan definisi hukum; dan konstruksi konsep hukum, hal ini dikemukakan oleh ....

A. Quinney

B. Chamblis dan Seidman

Rangkuman

Tes Formatif 2

$

$ $

$ $

(16)

C. Vold D. Turk

4) Chambliss dan Seidman berpendapat bahwa ketika masyarakat menjadi semakin kompleks, maka kepentingan individu dalam masyarakat mulai berbeda, dan mereka lebih mungkin berada dalam konflik satu dengan lainnya dan harus dibantu untuk memecahkan perselisihan ini, melalui ....

A. rekonsiliasi B. kompromi

C. aturan dan sanksi D. kekuasaan

5) Bentuk masyarakat normatif ini menghendaki institusi formal melalui kekuasaan untuk membuat dan menegakkan sanksi. Hal ini membawa kondisi bahwa kelompok yang paling kuat kemudian akan mempunyai kepentingan dalam mengekalkan supremasi mereka dengan mempergunakan cara ....

A. koersif B. kompromi C. birokrasi D. kolusi

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang terdapat di bagian akhir Modul ini. Hitunglah jawaban Anda yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Rumus:

Jumlah jawaban Anda yang benar

Tingkat penguasaan = x 100%

5 Arti tingkat penguasaan yang Anda capai:

90% - 100% = baik sekali

80% - 89% = baik

70% - 79% = cukup

- 70% = kurang

Apabila tingkat penguasaan Anda mencapai 80% ke atas, bagus!Anda dapat bersiap mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS). Selamat! Tetapi bila tingkat penguasaan Anda masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum Anda kuasai.

(17)

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1

1. C Konflik primer (Primary Conflict) 2. A Kebudayaan

3. D Sekunder (Secondary Conflict) 4. A Sosial-Psikologis

5. A Kekuasaan

6. D Kecanggihan pelaku kejahatan.

Tes Formatif 2 1. D Labelling 2. A Vold dan Turk 3. A Quinney

4. C Aturan dan sanksi 5. C Birokrasi

(18)

DAFTAR PUSTAKA

BECKER, H. 1963, The Outsiders - Studies in The Sociology of Deviancy, New York : Free Press.

EMPEY, Lamar, T. 1974, “Crime Prevention : The Fugitive Utopia”, dalam Glaser, Daniel., Handbook of Criminology, Rand MCNally, Chicago, Chapter 31, hal.

1095-1123.

NETTLER 1981., “A Critique of Labeling” dalam Rubington, Earl dan Weinberg, Martin, S., The Study of Social Problems, Five Perspectives, Oxford : Oxford University Press, Chapter II/6, hal. 219-229.

SUCHAR, Charles, S. 1978, Social Deviance, Perspectives and Prospects, New York : Holt, Rinehart and Winston, Chapter V-VI, hal. 116-207.

VOLD, G. 1986, dan Bernard, T.J., Theoretical Criminology, New York : Oxford University Press.

Referensi

Dokumen terkait

Konflik sosial yang terjadi di Dukuh Pulutan disebabkan karena merenggangnya kohesivitas hubungan sosial dalam masyarakat karena adanya perbedaan kepentingan pribadi

Se!aiknya kita se!agai !angsa dan negara yang !eragama dan juga !ernegara hukum seharusnya kita !erusaha menghindari adanya konflik sosial di antara masyarakat

Penelitihan yang berjudul Konflik Sosial dalam Novel Kambing & Hujan Karya Mahfud Ikhwan (Kajian Konflik Sosial Lewis A. Coser) dapat disimpulkan bahwa konflik sosial

Evaluasi Potensi Terjadinya Konflik Sosial Pada Masyarakat Miskin Kota dilakukan untuk mengetahui bentuk-bentuk konflik serta potensi konflik, pelanggaran HAM dan

Konflik sosial adalah pertentangan antara anggota atau antara kelompok dalam masyarakat yang sifatnya menyeluruh, yang disebabkan oleb adanya beberapa perbedaan,

Jadi, berdasarkan permasalahan tersebut diharapkan dapat (a) mendeskripsikan konflik dan konsensus dalam novel 3 Srikandi karya Silvarani, (b) mendeskripsikan

Dalam meminimalisisr terjadinya konflik dari media sosial, perlu di imbangi pemanfaatan media sosial dengan bijak agar masyarakat dapat memetik kemanfaatan hasil

Pengaruh kondisi sosial masyarakat pasca konflik terhadap psikologis re- maja di Desa Palas Pasemah Lampung Selatan berdasarkan penjelasan di atas maka terdapat