KONSEP CITY WATER BALANCE: SPONGE CITY X GREEN BUILDING UNTUK MASA
DEPAN LINGKUNGAN YANG
BERKELANJUTAN DAN BERKETAHAN (SMART ENVIRONMENT)
Gracella Angelina I
DISUSUN OLEH5201511101
L A P O R A N U A S P E M O D E L A N K O T A C E R D A S
A. Pendahuluan
Kota berketahanan atau resilient city merupakan kondisi suatu kota yang mampu bertahan yang meliputi kebertahanan terhadap perekonomian, permasalahan alam, permasalahan sosial, infrastruktur, dan iklim (Annual Global Forumon Urban relilence &
Adaption, 2015). Permasalahan kebertahanan kota yang saat ini tengah dihadapi oleh Kota Yogyakarta cenderung pada permasalahan alam dan iklim, mengingat kondisi geografis Kota Yogyakarta sebagai dataran rendah dan dikelilingi oleh tiga sungai. Kebertahanan kota terhadap permasalahan alam lebih fokus terhadap upaya penanganan Kota Yogyakarta menghadapi berbagai permasalahan alam, seperti longsor, banjir, dan gempa bumi.
Sementara, kebertahanan kota terhadap permasalahan akibat perubahan iklim, antara lain kekeringan, penurunan muka tanah, urban heat. Permasalahan iklim di Kota Yogyakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia disebabkan karena padatnya penduduk di suatu titik, yaitu perkotaan (urbanisasi).
Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia, urbanisasi adalah suatu proses kenaikan proporsi jumlah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Wilayah perkotaan yang dimaksud adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman, pemusatan, dan distribusi pelayanan pemerintah, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Perkembangan perkotaan yang secara tidak langsung menyebabkan ketimpangan antara perkotaan dan pedesaan memicu tingginya tingkat urbanisasi. Tingkat urbanisasi Indonesia diprediksi meningkat setiap tahunnya, di mana pada tahun 2035 diprediksi 66,6% dari seluruh populasi Indonesia akan tinggal di perkotaan (BPS, 2020). Hal ini menyebabkan Indonesia dijuluki sebagai negara dengan tingkat urbanisasi tercepat se-Asia (Isyanah, 2021).
Tingkat urbanisasi yang tinggi diikuti dengan perkembangan infrastruktur untuk mendukung aktivitas masyarakat yang semakin meningkat dan beragam karena tingginya populasi penduduk. Pembangunan infrastruktur ini memiliki dampak positif dan dampak negatif sebagai akibat urbanisasi yang terjadi. Dampak positifnya tentu memacu pertumbuhan ekonomi karena menjadi daya tarik penduduk untuk mencari pekerjaan dan bertempat tinggal. Sementara, dampak negatifnya berupa fenomena urban sprawl yang menyebabkan penurunan kualitas lingkungan atau degradasi lingkungan.
Urbanisasi yang cepat menghasilkan pembangunan yang berdampak tinggi (high impact development) di mana berupa konversi lahan besar-besaran dan pembangunan perkotaan-pedesaan ini dapat mempengaruhi keseimbangan ekosistem. Seperti yang dikemukakan Zevenbergen (2019), urbanisasi yang pesat juga dapat meningkatkan jumlah
orang dan aset yang terpapar bencana terkait air (water related disaster). Bencana yang berhubungan dengan air, seperti banjir, lebih rentan terjadi karena konsentrasi penduduk yang berlebihan. Bencana banjir di Indonesia terutama di kota-kota besar seperti Yogyakarta telah terjadi sebanyak 493 bencana banjir (hampir 40% dari total bencana alam di Indonesia) (CNBC, 2019). Bencana banjir yang kerap terjadi di kota-kota besar di Indonesia mengindikasikan kurangnya kapasitas kota besar di Indonesia seperti Yogyakarta dalam beradaptasi dengan cuaca yang tidak stabil karena krisis iklim.
Kurangnya kapasitas untuk beradaptasi dapat meningkatkan risiko bencana terkait air kota karena kombinasi dari “ketidaksempurnaan” proses pembangunan perkotaan yang terjadi saat ini (Zevenbergen, 2010), di mana:
1. Penambahan dan perluasan pembangunan perkotaan ke bantaran sungai dan dataran rendah mengakibatkan hilangnya kapasitas retensi air alami di daerah pinggiran kota
2. Pembangunan kembali dan pemadatan daerah terbangun yang menyebabkan gangguan saluran drainase
Permasalahan air perkotaan harus segera diatasi agar tidak menjadi bencana kekeringan yang mempengaruhi siklus hidup perkotaan. Kota harus mengadopsi solusi pengelolaan air yang fleksibel, terdistribusi, dan mudah beradaptasi dengan segala perubahan dinamis perkotaan. Salah satu strategi pengelolaan air perkotaan adalah dengan konsep Sponge City yang pertama kali diterapkan di China. Sponge City mengacu pada pembangunan perkotaan berkelanjutan termasuk pengendalian banjir, konservasi air, peningkatan kualitas air, dan perlindungan ekosistem alami. Hal ini berarti sebuah kota dengan sistem air yang beroperasi seperti spons untuk menyerap, menyimpan, infiltrasi, dan memurnikan air hujan kemudian melepaskannya untuk digunakan kembali bila dibutuhkan (MHURD, 2020). Sponge city merupakan sebuah kompleksitas dari konsep green building dalam arsitektural bangunan perkotaan.
Gambar Ilustrasi Umum Konsep Sponge City Sumber: Earth.org
Konsep pengembangan perancangan kota Yogyakarta dengan permasalahan ancaman penurunan kualitas air dan ancaman kekeringan hidrologis adalah dengan menggabungkan konsep Sponge City dan Green Building, yaitu City Water Balance. Konsep Sponge City berfokus pada penyimpanan air hujan terutama saat musim penghujan sebagai cadangan air pada saat musim kemarau. Sementara, konsep Green Building menekankan pada peningkatan efisiensi penggunaan bahan yang ramah energi, dan mudah menyerap air sehingga perancangan dapat lebih ramah lingkungan. Penerapan dari konsep Sponge City dan Green Building yang ditawarkan dalam pemodelan ini adalah mengembangkan ruang terbuka hijau (RTH) dengan proporsi lebih banyak dari lahan terbangun, di mana setiap lahan terbangun menggunakan material yang mudah menyerap air. Misal, bahan aspal jalan diganti menjadi bahan semipermeabel seperti ASBETON yang menyerap air, sehingga air limpasan hujan dapat terserap ke dalam tanah meskipun jatuh di area pengerasan.
Sementara, green building untuk membantu siklus hidrologis perkotaan agar tetap lancar melalui garden rooftop.
B. Tujuan
Laporan ini bertujuan untuk memberikan gambaran pemodelan City Water Balance sebagai bentuk rancangan perkotaan yang resilien terhadap perubahan iklim dan kondisi alam, salah satunya air. Dalam laporan ini, akan dibahas
City Water Balance. Tidak hanya menganalisis konsep saja, tulisan ini juga akan memberikan contoh kota-kota yang sudah menerapkan konsep Sponge City dan Green Building serta dampak yang dihasilkan dari konsep tersebut. Tujuan utama dari tulisan ini adalah untuk mengedukasi dan memberikan alternatif solusi rancangan kota Yogyakarta dalam antisipasi perubahan iklim terutama hidrologis perkotaan akibat urbanisasi yang semakin meningkat.
C. Pembahasan
1. Justifikasi Konsep
Konsep yang akan diterapkan dalam desain kawasan peracancangan adalah konsep City Water Balance. Kata City merujuk pada perkotaan, sementara kata Water Balance memiliki arti keseimbangan air. City Water Balance merupakan konsep perkotaan yang bersifat ramah lingkungan, dimana merujuk pada Green Building, dan memiliki sponge berupa RTH dan pengerasan lain yang bersifat semipermeabel, sehingga menyerap air limpasan hujan ke dalam tanah secara cepat sebagai cadangan air perkotaan. Ini dapat mewujudkan keseimbangan antara penggunaan air dan sumber air yang ada (resapan air hujan). Konsep ini dipilih karena dapat menyelesaikan isu dan masalah utama yang ada di kawasan perkotaan terutama kota-kota besar di Indonesia seperti Kota Yogyakarta. Isu dan permalasahan berupa ancaman kekeringan hidrologis dan berkurangnya cadangan air tanah yang telah terjadi pada musim kemarau beberapa tahun belakangan ini. Permasalahan kekeringan air perkotaan disebabkan oleh perubahan iklim berupa musim kemarau berkepanjangan dan kurangnya RTH di kawasan perkotaan, akibat pengerasan yang tidak menggunakan material semipermeabel.
Permasalahan penipisan cadangan air tanah perkotaan yang telah terjadi beberapa tahun belakangan ini menyebabkan ancaman kekeringan air perkotaan yang menghambat aktivitas dan kebutuhan masyarakat perkotaan.
Di samping itu, isu penipisan cadangan air tanah juga mengindikasikan terjadinya degradasi lingkungan akibat perkembangan perkotaan. Tujuan pemilihan konsep City Water Balance dalam desain kawasan adalah untuk
membangun resapan air tanah dalam bentuk RTH, kolam kota, dan pengerasan bersifat semipermeabel sebagai air dapat diserap, disimpan dan dialirkan menuju sungai/kali kota sehingga kebutuhan air bersih di kawasan perkotaan dapat dipenuhi. Adapun Green Building untuk menciptakan lingkungan perkotaan yang ramah dan mampu menyimpan air hujan, terutama di atap-atap gedung yang mengusung konsep Green Rooftop. Dengan konsep City Water Balance kawasan perkoyaan diharapkan dapat mencapai keseimbangan hidrologis dan mencegah terjadinya kekeringan di perkotaan akibat ancaman perubahan iklim. Dengan demikian, konsep City Water Balance dapat menjawab isu permasalahan utama yang terdapat di kawasan perkotaan, sehingga menciptakan kota yang berketahanan atau resilien.
2. Penjabaran Model
Secara umum, model City Water Balance difokuskan pada proporsi RTH yang lebih banyak dari lahan terbangun, dengan perbandingan 70% berbanding 30%. Dari gambar pemodelan di bawah dapat dilihat, bahwa RTH dalam bentuk taman kota mengelilingi bangunan-bangunan yang ada. Selain itu, juga dipasang tanaman-tanaman pemecah suara sekaligus menjadi pembatas alur jalan. Di sepanjang area jalan juga terihat adanya bahu jalan yang digunakan sebagai area pedestrian.
Gambar 1. Pemodelan Konsep City Water Balance Tampak Atas
Jarak antar tiap RTH yang berdekatan memperbesar persentase air hujan yang terserap di dalam tanah. Selain itu, kumpulan RTH tersebut juga menambah estetika atau nilai keindahan kota. Di beberapa RTH dirancang juga beberapa kolam kota, pohon-pohon dan beberapa tanaman yang mengisi ruang terbuka hijau yang ada.
Berikut pendetailan gambaran model City Water Balance yang bisa diterapkan di kota-kota besar rawan kekeringan akibat aktivitas dan pengerasan yang padat.
Gambar 2. Pemodelan City Water Balance Tampak Samping 1
Gambar 3. Pemodelan City Water Balance Tampak Samping 2
Terlihat dari gambar di atas, RTH yang ada terbentuk dari beberapa desain taman kota yang membentuk sebuah jalur pedestrian, dan di tengahnya terdapat kolam kota. Komposisi bentuk bangunan yang compact dan sama seperti yang terlihat dalam gambar desain di atas, bertujuan agar bisa menerakan konsep green building dan green rooftop. Ketinggian bangunan yang diatur sama dan seragam berperan dalam menunjukkan sisi keindahan atau estetika rancangan perkotaa berbasis City Water Balance.
Gambar 4. Pemodelan City Water Balance dengan Fokus pada Green Rooftop sebagai wujud Green Building
Selain bangunan gedung yang diatur dalam bentuk seragam, kawasan perumahan berbasis konsep City Water Balance juga diatur dalam bentuk compact, dan mengumpul di satu titik. Hal ini untuk memperbesar proporsi jumlah RTH dan mengefisienkan aktivitas perkotaan, sehingga degradasi lingkungan yang terjadi dapat diperkecil skalanya yaitu hanya berada di satu titik kawasan saja. Dalam tiap bangunan perumahan, material yang digunakan bersifat material, tetap harus menyisakan ruang terbuka hijau dapat berupa taman maupun kebun. Selain itu, setiap bangunan perumahan tetap harus memikiki rooftop garden.
Gambar 5. Pemodelan City Water Balance Tampak dari Depan
Gambar tampak depan di atas menunjukkan bahwa dalam konsep pemodelan City Water Balance, sebelum area jalan raya terdapat sisa space sebagai bahu jalan yang digunakan sebagai pembatas “aman” sekaligus area pedestrian. Di samping itu, setiap area perumahan maupun gedung harus menyisakan sedikit space untuk ruwasja (ruang pengawasan jalan) sebagai batas area terbangun seperti
rumah/gedung dengan area jalan. Untuk area jalan, juga disediakan area penyeberangan (zebracross) sebagai hak bagi pedestrian.
Gambar 6. Konsep City Water Balance dari Belakang 1
Tampak belakang design konsep City Water Balance digambarkan dengan jumlah kolam kota yang menjadi kolam resapan air tanah dalam jumlah yang lebih banyak ditambah dengan biopori yang ada dalam tiap taman kotanya. Di belakang taman kota diberikan space dengan pengerasan dimana berfungsi teras gedung- gedung atau bangunan dilengkapi dengan biopori dan penggunaan material yang bersifat semipermeabel. Perancangan “teras” untuk gedung-gedung besar ditujukan sebagai area terbuka terbangun yang dapat dimanfaatkan sebagai ruang rekreasi kota maupun ruang interaksi sosial seperti taman bermain anak, serta area parkir.
Sebagai pembatas antara jalan dan RTH di belakang perkotaan dibatasi oleh saluran drainase yang dilengkapi dengan gorong-gorong sepanjang RTH untuk memperlancar aliran air run-off menuju sungai kota/kali.
D. Kesimpulan
Konsep City Water Balance yang dirancang untuk kota-kota besar dan padat aktivitas sieperti Kota Yogyakarta sangat memerlukan rancangan desain ini.
Dimana konsep pemodelannya menekankan pada kombinasi Green Building (rooftop garden) dan Sponge City. Penggabungan dua konsep ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kekeringan air perkotaan akibat perubahan iklim. Secara umum, konsep City Water Balance yang dirancang berfokus pada proporsi jumlah RTH berupa taman kota dan kolam kota, pembangunan green building melalui
rooftop garden, drainase, biopori dalam tiap sudut perkotaan, dan pergantian material jalan menggunakan bahan semipermeabel (ASBETON). Di samping itu, bentuk dan penataan gedung serta perumahan juga diatur, sebagai contoh keseragaman bentuk dan ketinggiannya untuk mencegah degradasi lingkungan perkotaan, serta estetika kawasan perkotaan.
E. Saran
Dalam rancangan pemodelan konsep City Water Balance yang telah dirancang, belum mampu memuat kondisi fisik perkotaan yang di dalamnya terdapat berbagai macam kontur seperti lembah, lereng, danau, sungai, maupun pesisiran pantai.
Berkaca dari hal tersebut, relevansi City Water Balance terhadap daerah perkotaan dengan kondisi topografi yang beragam. Selain itu, perlu adanya sumber dana dan waktu perencanaan yang panjang karena mengubah keseluruhan arsitektural perkotaan yang telah menjadi imagenya, seperti Kota Yogyakarta dengan image kota lamanya. Di samping itu juga, perlu adanya penambahan ruang rekreasi dan sarana fasilitas publik yang dapat mendukung konsep City Water Balance sekaligus inklusif dan berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Tania, A., G, R. A., & Kusumaningtyas, F. D. (2020, May 6). Analisis Urgensi Penerapan Sponge City di Kota Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta. Retrieved from HMTPWK FT UGM: https://hmtpwk- ugm.medium.com/sponge-city-aafd6e2b8c8e
Tussa'diah, H. (2012). Perancangan Kota, Sendangguwo Water Balance Residence. Semarang: Universitas Diponegoro.