05 KONSEP DAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI MULTIBUDAYA Dea Fitri Aulia1, Farida Chanyantini Dewi2, Khalda Nur Aulia3, Nazwa Khaerun
Nisa4
A. PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yang kaya akan keragaman budaya dan etnis di seluruh wilayahnya. Keragaman ini menjadi salah satu aset berharga yang perlu dihormati, diakui, dan dilestarikan untuk terus berkembang. Budaya bukan hanya menjadi identitas sebuah kelompok, tetapi juga mempengaruhi kemampuan individu dalam bersosialisasi dengan lingkungannya. Pemahaman yang mendalam terhadap budaya memiliki pengaruh yang besar terhadap cara pandang hidup dalam memahami arti menjadi manusia (Nuzliah, 2016).
Dalam konteks konseling, kepekaan konselor dalam memahami diri konseli dan latar belakang budaya serta keyakinan mereka merupakan faktor penting yang dapat menentukan keberhasilan konseling. Keterampilan konselor dalam memahami dan merespons keberagaman budaya perlu dipersiapkan sejak awal. Kesiapan calon konselor untuk melayani konseli dengan aspek kebudayaan yang beragam memerlukan usaha yang berkelanjutan, sehingga mereka dapat mencapai harapan menjadi konselor profesional yang peka terhadap keberagaman budaya.
Dalam konteks ini, pengembangan kompetensi multibudaya menjadi sangat penting. Konsep ini mengacu pada kemampuan individu untuk
menghargai, memahami, dan berinteraksi dengan individu dari budaya-budaya yang berbeda. Pengembangan kompetensi multibudaya melibatkan proses belajar dan pembentukan sikap yang memungkinkan seseorang untuk lebih efektif dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang beragam.
Makalah ini akan membahas lebih lanjut tentang konsep dasar kompetensi multibudaya, serta upaya untuk meningkatkan kompetensi tersebut dalam konteks pendidikan dan konseling. Harapannya adalah makalah ini akan membantu orang lebih memahami bagaimana kompetensi multibudaya membantu mendukung keberagaman budaya di Indonesia.
B. DESKRIPSI MATERI
Konseling multibudaya diartikan sebagai interaksi antara konselor dan konseli yang berasal dari berbagai latar belakang etnis, rasial, atau kelompok minoritas, yang menuntut kepekaan budaya, penghindaran bias budaya, serta penghargaan dan responsif terhadap diversitas budaya. Hal ini mencakup pengakuan dan respons terhadap keragaman budaya di tengah perubahan
demografis dan budaya, baik di lingkungan tertentu maupun secara global. Oleh karena itu, konselor diharapkan memiliki kompetensi multibudaya untuk dapat memahami dan mengendalikan diri saat berinteraksi dengan konseli dari latar belakang budaya yang berbeda. Kompetensi multibudaya adalah kemampuan esensial untuk menyelesaikan tugas atau keterampilan yang dibutuhkan dalam konteks multibudaya.
Kompetensi multibudaya mencakup tiga dimensi utama, yaitu keyakinan dan sikap, pengetahuan, serta keterampilan. Dimensi ini meliputi kesadaran konselor terhadap asumsi, nilai, dan bias mereka sendiri; pemahaman konselor tentang pandangan hidup konseli yang berbeda budaya; serta pengembangan strategi dan teknik intervensi yang tepat. Pengembangan kompetensi multibudaya dapat dilakukan melalui berbagai metode, seperti photovoice, pendekatan belajar multidimensional, serta peningkatan kesadaran dan keterampilan multibudaya melalui pelatihan dan pendidikan. Kompetensi multibudaya perlu dimiliki konselor sebagai kebutuhan untuk mengenali dan merespons secara efektif terhadap konseli dari berbagai latar belakang budaya, sehingga dapat menyediakan layanan konseling yang efektif dan menghindari bias budaya.
1. Pengertian dan Kompetensi Multibudaya
Konseling multibudaya adalah interaksi antara konselor dan konseli yang melibatkan individu dari berbagai latar belakang etnis atau kelompok minoritas.
Interaksi ini dapat melibatkan individu dengan latar belakang rasial dan etnik yang berbeda, atau memiliki perbedaan budaya karena faktor-faktor lain seperti jenis kelamin, orientasi seksual, status sosioekonomi, dan usia (Supriatna, 2003).
Kemudian Deliani (2018) berpendapat bahwa konseling multibudaya adalah konseling yang melibatkan interaksi antara konselor dan konseli dari berbagai latar belakang etnis atau kelompok minoritas, dengan pengakuan dan respons
terhadap keragaman budaya dalam menghadapi perubahan demografis dan budaya di lingkungan tertentu atau bahkan global.
Jadi, konseling multibudaya adalah interaksi antara konselor dan konseli dari berbagai latar belakang etnis atau kelompok minoritas, dengan pengakuan dan respons terhadap keragaman budaya dalam menghadapi perubahan
demografis dan budaya di lingkungan tertentu atau bahkan global.
Konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya, menghindari bias budaya, memahami dan menghargai diversitas budaya, dan memiliki kemampuan untuk responsif secara budaya agar konseling berjalan secara efektif (Supriadi, 2001). Keberagaman budaya dalam masyarakat menjadi tantangan yang perlu dihadapi oleh konselor dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling.
Pendekatan yang dapat dilakukan oleh konselor dalam pelayanan konseling adalah pendekatan multikultural. Pendekatan ini sesuai untuk menghadapi lingkungan budaya yang beragam di Indonesia. Konselor diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami dan mengendalikan diri saat berinteraksi dengan klien dari latar belakang budaya yang berbeda. Pendekatan multikultural juga dapat
meningkatkan komunikasi antar anggota kelompok (Maharani et al., 2022).
Kompetensi menurut Ismail (2010) adalah kemampuan yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu tugas atau keterampilan yang dibutuhkan. Elliot &
Dweck (2005) mendefinisikan kompetensi sebagai kualitas atau kondisi dari kesuksesan, efektifitas, atau kemampuan. Kemudian kompetensi menurut Huda (2017) adalah pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk memahami sebagian dari dirinya sehingga mereka dapat
melakukan perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan cara yang optimal.
Jadi, kompetensi adalah kemampuan yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas tertentu dengan cara yang optimal.
Konselor perlu memperhatikan budaya dalam pelaksanaan konselingnya.
Konselor dituntut memiliki kemampuan atau kompetensi seperti mengenali nilai dan asumsi tentang perilaku yang diinginkan dan tidak diinginkan, memahami karakteristik umum tentang konseling, konselor mampu berbagi pandangan dengan kliennya, dapat melaksanakan konseling secara efektif (Miskanik, 2018).
Kompetensi konselor lintas budaya menurut Sue & Sue (1990) dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Konselor harus mengenali asumsi-asumsi pribadinya tentang perilaku manusia, nilai-nilai, bias, dan keterbatasan pribadi. Konselor perlu memahami bagaimana pandangannya dunia dipengaruhi oleh budaya dan bagaimana hal ini dapat mempengaruhi konseling dengan klien dari ras dan etnis minoritas
2. Konselor harus berusaha untuk memahami pandangan dunia klien yang berasal dari budaya yang berbeda tanpa melakukan penilaian negatif.
Mereka perlu menghormati pandangan dunia klien sebagai perspektif yang sah. Sebagai contoh, seorang konselor yang bekerja dengan klien dari budaya yang berbeda dapat belajar tentang nilai-nilai dan keyakinan klien dengan sikap terbuka dan penuh penghargaan.
3. Konselor perlu mengembangkan dan menggunakan strategi intervensi yang sesuai dan sensitif saat bekerja dengan klien lintas budaya. Hal ini mencakup penggunaan pendekatan konseling yang sesuai dengan latar belakang budaya klien untuk meningkatkan efektivitas konseling.
2. Indikator Kompetensi Multibudaya
Berdasarkan aspek kompetensi multibudaya yang telah dipaparkan, untuk mengidentifikasi kompetensi multibudaya yang lebih spesifik maka di bagilah menjadi tiga dimensi, yaitu: (1) keyakinan dan sikap, (2) pengetahuan, dan (3) keterampilan. Pertama, keyakinan dan sikap. Berkaitan dengan keyakinan dan sikap konselor terkait budaya, kebutuhan untuk memeriksa bias dan tipe stereotip, pengembangan orientasi positif terhadap multibudaya, dan bagaimana nilai-nilai dan bias konselor dapat menghambat efektivitas konseling multibudaya. Kedua, pengetahuan. Mengakui bahwa konselor yang kompeten secara budaya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang pandangan hidupnya sendiri, memiliki pengetahuan khusus tentang kelompok-kelompok budaya yang bekerja dengannya, dan memahami pengaruh sosio-politik. Terakhir, keterampilan. Hal ini berkaitan dengan keterampilan khusus (teknik dan strategi intervensi) yang diperlukan dalam bekerja dengan konseli dari beragam budaya (termasuk kompetensi individu dan institusi) (Sue, Arredondo & McDavis, 1992).
Maka, dimungkinkan untuk mengembangkan ketiga aspek dengan ketiga dimensi yang mana sebagian besar kompetensi multibudaya dapat diatur atau dikembangkan. Misalnya, aspek: (a) kesadaran konselor terhadap asumsi, nilai, dan bias mereka sendiri; (b) memahami pandangan hidup konseli yang berbeda budaya; dan (c) mengembangkan strategi dan teknik intervensi yang tepat, masing-masing digambarkan memiliki tiga dimensi: (a) keyakinan dan sikap, (b) pengetahuan, dan (c) keterampilan. Dengan demikian, total ada sembilan area kompetensi yang diidentifikasi, dengan sub-aspek dan indikator-indikatornya (Rahmi, Neviyarni & Netrawati, 2022; Sue, Arredondo & McDavis, 1992), yaitu sebagai berikut.
1. Kesadaran konselor terhadap asumsi, nilai, dan bias mereka sendiri a) Keyakinan dan sikap
1) Konselor yang kompeten secara budaya meyakini pentingnya kesadaran budaya dan kepekaan pada warisan budaya sendiri serta menghargai dan
menghormati perbedaan.
2) Konselor menyadari bahwa latar belakang budaya dan pengalaman dapat berpengaruh terhadap sikap, nilai, dan bias mengenai proses psikologis.
3) Konselor dapat mengenali batasan kompetensi dan keahlian multibudaya yang dimilikinya.
4) Konselor mengenali sumber rasa ketidaknyamanan ketika berhadapan dengan konseli yang berbeda ras, etnis, budaya, dan kepercayaan.
b) Pengetahuan
1) Konselor memiliki pengetahuan spesifik mengenai budaya dan warisan budaya sendiri, serta pengaruhnya, baik secara pribadi maupun profesional terhadap definisi dan bias mengenai normalitas, abnormalitas, dan proses konseling.
2) Konselor memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang bagaimana penindasan, rasisme, diskriminasi, dan stereotip memengaruhi mereka baik secara pribadi maupun profesional. Hal ini memungkinkan mereka untuk mengakui sikap, keyakinan, dan perasaan rasis mereka sendiri.
3) Konselor memiliki pengetahuan tentang dampak sosial dirinya terhadap konseli. Mereka memiliki pengetahuan tentang perbedaan gaya komunikasi,
bagaimana gaya tersebut berdampak pada proses konseling, dan bagaimana mengantisipasi dampaknya terhadap konseli.
c) Keterampilan
1) Konselor aktif mencari pengalaman pendidikan, konsultasi, dan pelatihan untuk meningkatkan pemahaman dan keefektivan dalam bekerja dengan kondisi multibudaya. Karena dapat mengenali batasan kompetensi diri, sehingga mereka:
(a) mencari konsultasi, (b) mencari pelatihan atau pendidikan lanjutan, (c) melakukan referral kepada individu atau tenaga yang lebih ahli, atau (d) melakukan kombinasi dari hal-hal tersebut.
2) Konselor dapat memahami identitas dirinya sebagai makhluk hidup yang memiliki ras, etnis, dan budaya, serta secara aktif mencari identitas non-rasis.
2. Memahami pandangan hidup konseli yang berbeda budaya a) Keyakinan dan sikap
1) Konselor menyadari reaksi emosional negatif dirinya terhadap kelompok ras, etnis, dan budaya lain yang dapat merugikan konseli dalam proses konseling.
Mereka berani mempertentangkan keyakinan dan sikap dirinya dengan konseli yang berbeda budaya tanpa adanya penghakiman.
2) Konselor menyadari stereotip dan prasangka dirinya terhadap kelompok minoritas, ras, etnis, serta budaya lain.
b) Pengetahuan
1) Konselor memiliki pengetahuan dan informasi spesifik tentang kelompok tertentu yang mereka tangani. Mereka menyadari perbedaan pengalaman hidup, warisan budaya, dan latar belakang sejarah diri sendiri dengan konseli yang berbeda budaya.
2) Konselor memahami bagaimana budaya, ras, dan etnis dapat memengaruhi pembentukan kepribadian, pilihan karier, manifestasi gangguan psikologis, perilaku mencari bantuan, dan kesesuaian atau ketidaksesuaian pendekatan konseling.
3) Konselor memahami dan memiliki pengetahuan tentang pengaruh sosio- politik terhadap kehidupan kaum minoritas, ras dan etnis. Masalah seperti imigrasi, kemiskinan, rasisme, stereotip, dan ketidakberdayaan, semuanya meninggalkan bekas luka yang dapat memengaruhi proses konseling.
c) Keterampilan
1) Konselor harus membiasakan diri dengan penelitian yang relevan dan penemuan terbaru mengenai kesehatan mental dan gangguan mental dari berbagai kelompok etnis dan ras. Mereka harus aktif mencari pengalaman pendidikan yang memperkaya pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan multibudaya.
2) Konselor terlibat aktif dengan kelompok yang beragam budaya di luar setting konseling (kegiatan masyarakat, fungsi sosio-politik, perayaan,
pertemanan, kelompok tetangga) sebagai wahana melatih keterampilan konseling multibudaya.
3. Mengembangkan strategi dan teknik intervensi yang tepat a) Keyakinan dan sikap
1) Konselor menghargai kepercayaan, nilai spiritual, dan nilai religius konseli tentang fungsi fisik dan psikologis.
2) Konselor menghargai indigenous helping practices dan jaringan kerja pemberi bantuan bagi masyarakat kelompok minoritas.
3) Konselor menghargai bilingualisme dan tidak memandang bahasa lain sebagai penghambat untuk melakukan konseling (monolingualisme mungkin menjadi penyebabnya).
b) Pengetahuan
1) Konselor memiliki pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan eksplisit tentang generic characteristics of counseling and therapy (nilai budaya, ikatan budaya, ikatan kelas, dan monolingual) dan kemungkinan benturannya dengan nilai-nilai budaya tertentu.
2) Konselor menyadari hambatan institusional yang bias budaya.
3) Konselor memiliki pengetahuan tentang potensi bias pada instrumen asesmen, dan prosedur penggunaannya dalam menginterpretasi karakteristik konseli.
4) Konselor memiliki pengetahuan tentang struktur keluarga, hierarki, nilai, dan kepercayaan dalam berbagai perspektif budaya. Mereka memiliki
pengetahuan tentang karakteristik masyarakat dan sumber-sumber dalam masyarakat seperti yang diketahui keluarga.
5) Konselor harus menyadari perlakuan diskriminatif pada masyarakat yang mungkin memengaruhi kesejahteraan psikologis.
6) Keterampilan
1) Konselor dapat terlibat dalam berbagai respons verbal dan nonverbal.
Mereka dapat mengirim dan menerima pesan verbal dan nonverbal secara akurat dan tepat. Mereka tidak terikat hanya pada satu metode atau pendekatan untuk membantu konseli, tetapi menyadari bahwa gaya membantu dan pendekatan dapat terikat oleh budaya (budaya konseli). Ketika mereka merasakan bahwa gaya membantu mereka terbatas dan berpotensi tidak tepat, mereka dapat
mengantisipasi dan memperbaiki dampak negatifnya.
2) Konselor dapat menggunakan keterampilan intervensi institusional atas nama konseli. Mereka dapat membantu konseli menentukan apakah suatu
“masalah” berasal dari rasisme atau prasangka pada orang lain (konsep paranoia yang sehat) sehingga konseli tidak menyalahkan diri mereka sendiri secara tidak tepat.
3) Konselor tidak segan untuk berkonsultasi dengan penyembuh tradisional, pemimpin religius dan spiritual, atau para praktisi dalam menangani konseli yang berbeda budaya jika diperlukan.
4) Konselor bertanggung jawab untuk melakukan interaksi dengan konseli menggunakan bahasa konseli; hal ini memungkinkan dilakukan referral kepada sumber daya dari luar. Masalah serius muncul ketika kemampuan linguistik konselor tidak sesuai dengan bahasa konseli. Dalam hal ini, konselor harus: (a) mencari penerjemah yang memiliki pengetahuan budaya dan latar belakang profesional yang sesuai; atau (b) mereferral kepada konselor bilingual yang berpengetahuan luas dan kompeten.
5) Konselor mengikuti pelatihan dan keahlian dalam penggunaan asesmen dan instrumen tes tradisional. Mereka tidak hanya memahami aspek teknis dari instrumen, tetapi juga menyadari batasan budaya dalam penggunaan instrumen tes. Hal ini memungkinkan mereka untuk menggunakan instrumen tes untuk kesejahteraan konseli yang beragam.
6) Konselor harus memperhatikan dan juga berupaya untuk menghilangkan bias, prasangka, dan diskriminasi. Mereka harus menyadari konteks sosio-politik
dalam melaksanakan evaluasi, menyediakan intervensi, dan mengembangkan sensitivitas terhadap isu-isu penindasan, seksisme, dan rasisme.
7) Konselor bertanggung jawab dalam mendidik konseli melalui proses intervensi psikologis, seperti tujuan, ekspektasi, hak-hak hukum, dan orientasi konselor.
3. Pengembangan Kompetensi Multibudaya
Dalam penelitian (Ningsih et al., 2022) upaya yang dapat dilakukan untuk membangun keterampilan agar calon konselor dapat memiliki kesadaran akan budaya dapat dilakukan dengan tindakan photovoice. Dalam pelaksanaanya calon konselor (mahasiswa) diminta untuk mempresentasikan “siapa dirinya?”, dan calon konselor yang tidak mempresentasikan dirinya akan berpartisipasi dengan memberikan feedback. Wujud umpan balik yang diberikan oleh calon konselor berupa pertanyaan untuk membantu penyaji dalam mengeksplorasi budayanya sendiri. Hal ini dilakukan agar calon konselor dapat memiliki pemahaman mendalam terhadap budayanya sendiri, selain juga dituntut untuk memahami budaya orang lain. Aspek-aspek diri yang dipresentasikan diantaranya meliputi nama, asal, bahasa keseharian di daerah asal, kekayaan budaya, nilai-nilai budaya yang terkandung dalam perayaan kebudayaan, nilai-nilai mengenai peran dalam keluarga, maupun aturan-aturan yang disepakati secara budaya.
Pengembangan diri (calon) konselor multikultural perlu menggunakan pendekatan belajar multidimensional dengan berbagai model/strategi, mulai dari didaktik (seperti membaca literatur, diskusi, inquiry & discovery learning), simulasi/praktik dalam bentuk microcounseling di dalam kelas/laboratorium, program pengalaman lapangan, serta refleksi, dan evaluasi diri. Tingkat kesadaran (calon) konselor dipengaruhi oleh kemampuannya untuk menimbang situasi budaya utama dirinya sendiri dan budaya utama orang lain (konseli). Menjadi sadar terhadap budaya dapat dipelajari melalui pemahaman tentang asumsi-asumsi keanggotaan budaya orang lain, baik kesamaannya maupun perbedaannya.
Kesadaran terhadap asumsi tentang kesamaan dan perbedaan keanggotaan budaya orang lain adalah fondasi utama kompetensi konselor multikultural.
Metode yang dapat digunakan untuk mengembangkan kompetensi kesadaran multikultural menurut (Herdi, 2012), di antaranya:
a. Metode dan proses pengembangan kompetensi kesadaran multikultural 1) melakukan asesmen menggunakan instrumen Multicultural Awareness, Knowledge, Skills Survey (MAKSS-CE-R), Multicultural Counseling Inventory (MCI), Multicultural Counseling Knowledge and Awareness Scale (MCKAS), Cross-Cultural Counseling Inventory-Revised (CCCI-R), Quick Discrimination Index, Intercultural Development Inventory (IDI), The Multicultural Personality Questionnaire (MPQ), dan Multicultural Genogram; (2) melakukan wawancara lintas-budaya; (3) menerapkan Issues Exchange Activity (IEA), yaitu serangkaian dialog tentang sebuah topik yang berhubungan dengan keberagaman budaya di sekolah dan masyarakat yang lebih luas; dan (4) menerapkan ABC’s Model yaitu melakukan analisis lintas-budaya tentang budaya sendiri dan budaya orang lain untuk meningkatkan kesadaran tentang kesamaan dan perbedaan di antara berbagai budaya.
b. Kompetensi multikultural juga meliputi kemampuan untuk memahami secara komprehensif tentang isu-isu politik, ekonomi, dan sosial dalam mempelajari kompleksitas psikologis konseli yang berbeda budaya.
Informasi ini dapat diperoleh dari textbook pengetahuan maupun melalui masyarakat dengan melakukan kontak secara langsung dengan para narasumber asli yaitu anggota suatu masyarakat budaya tertentu. Selain membaca textbook, (calon) konselor juga dapat meningkatkan kompetensi pengetahuan multikultural melalui Proyek Peleburan Budaya (the Cultural Immersion Project) dan Pelatihan Berbasis Analisis Peristiwa Kritis (Critical Incident Analysis Based Training).
c. Keterampilan multikultural merupakan kerangka solusi praktik konseling di dalam konteks budaya dan bahasa konseli. Keterampilan multikultural mencerminkan evaluasi konteks yang sesuai dengan budaya konseli sehingga menghasilkan perubahan yang konstruktif. Metode yang dapat digunakan untuk mengembangkan kompetensi keterampilan multikultural, di antaranya: (1) menggunakan The Interpersonal Cultural Grid (ICG) (Pedersen, 2002), yaitu konseptualisasi hubungan dua kategori budaya (perilaku-ekspektasi) ketika terjadi interaksi antara dua orang yang
berbeda latar belakang budayanya; (2) menerapkan The Triad Training Model (TTM) (Pedersen, 2002), yaitu salah satu rancangan pelatihan untuk mengidentifikasi “pesan-pesan tersembunyi” dalam konseling berpusat pada budaya. Aktivitas TTM meliputi: (a) ceramah didaktik tentang perbedaan model perkembangan identitas ras-etnis, hubungan konseling lintas-budaya, dan elemen-elemen kunci dari konselor yang sensitif budaya; (b) aktivitas eksperiensial; (c) mendiskusikan videotape;
dan (d) dialog dengan pembicara tamu yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda.
4. Urgensi kesadaran kompetensi Multibudaya
Konselor harus memiliki kesadaran multibudaya agar bisa mengenali konseli yang berlatar belakang budaya yang berbeda-beda. Menurut (Bangsa, 2020) Konselor yang profesional ialah konselor yang memiliki kompetensi culture respect yang baik serta mampu membuat nyaman konseli yang memiliki latar belakang budaya. Sejalan dengan pendapat tersebut (Wulandari, 2023) berpendapat bahwa konselor yang profesional harus memiliki kompetensi, keterampilan, dan teknik konseling yang memadai serta bagaimana menghadapi masalah dari konseli yang berbeda budaya. Selain itu, konselor juga perlu mempelajari karakteristik multibudaya dari suku/bangsa lain untuk merespon dengan konselor yang
multibudaya. Selain itu dikutip dari (Depdiknas, 2008). Konselor harus memiliki kompetensi dalam mengenal latar belakang budaya yang dapat mempengaruhi perilaku konseli, sebab bila konselor tidak mengenal budaya konseli akan terjadi layanan bias budaya, dan layanan yang tidak peka budaya dapat menyebabkan layanan yang tidak efektif.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa konselor perlu memiliki kesadaran dan kompetensi multibudaya agar dapat mengakomodasi konseli yang berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, selain itu kompetensi multibudaya juga diperlukan agar konselor dapat menghadapi tantangan yang muncul dari konseli dengan latar belakang budaya yang berbeda. Selain itu kompetensi budaya yang perlu dimiliki konselor diawali dengan pemahamannya terhadap perbedaan budaya konseli. Kurangnya pemahaman terhadap budaya konseli dapat mengakibatkan
layanan konseling yang bias dan tidak efektif, sehingga pengetahuan tentang latar belakang budaya sepatutnya menjadi urgensi untuk dimiliki bagi seorang konselor.
Maka apabila kita menilik lebih jauh, urgensi untuk memiliki kompetensi multibudaya menjadi sangat penting, contohnya saja, dalam latar sekolah,
pelaksanaan bimbingan dan konseling mengandung banyak segi yang menyangkut siswa/konseli selaku pihak utama, yaitu yang menjadi pusat perhatian dan sasaran bantuan, di samping konselor selaku pihak "pemberi bantuan". Segi- segi itu tidak saja bersifat psikologis tetapi juga sosiologis dan kultural. Memahami konseli tidak cukup bila hanya dengan pendekatan psikologis saja, karena perilaku seseorang tidak hanya dapat diartikan secara psikologis namun juga secara budaya. Perilaku dalam pandangan budaya merupakan hasil interaksi dengan masyarakat
(Gumilang, 2015).
C. IMPLIKASI TERHADAP LAYANAN BK
Implikasi kompetensi multibudaya dalam layanan bimbingan dan
konseling mencakup kemampuan konselor untuk memahami, menghormati, dan merespons keberagaman budaya dalam interaksi dengan klien. Hal ini
mengharuskan konselor untuk memiliki pemahaman yang luas tentang berbagai budaya, tradisi, dan nilai-nilai yang mungkin berpengaruh pada pengalaman dan kebutuhan klien. Dengan pemahaman yang mendalam ini, konselor dapat membangun hubungan yang kuat dan saling percaya dengan klien, yang merupakan landasan utama dalam proses konseling.
Selain itu, kompetensi multibudaya juga memungkinkan konselor untuk mengidentifikasi dan mengurangi bias budaya yang mungkin muncul dalam proses konseling. Hal ini penting untuk memastikan bahwa layanan konseling bersifat inklusif dan sensitif terhadap keberagaman budaya. Konselor juga dapat menyesuaikan strategi intervensi sesuai dengan kebutuhan budaya klien, sehingga memastikan bahwa layanan yang diberikan relevan dan efektif.
Nugraha & Sulistiana (2017) juga menyebutkan bahwa konselor perlu memiliki kepekaan multibudaya dalam layanan bimbingan dan konselingnya. Berikut beberapa implikasinya:
1. Pentingnya Kepekaan Multibudaya. Konselor harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang berbagai budaya. Dengan memiliki kepekaan multibudaya, konselor dapat membantu klien dari berbagai latar belakang budaya dengan lebih efektif.
2. Memahami Pengalaman Budaya Klien. Konselor yang peka terhadap perbedaan budaya dapat lebih memahami klien dengan lebih baik. Ini membantu membangun hubungan yang kuat dengan klien dan
memudahkan proses konseling.
3. Mengurangi Bias Budaya. Konselor yang memiliki kepekaan multibudaya dapat mengidentifikasi dan mengurangi bias budaya yang mungkin
muncul selama proses konseling. Dengan demikian, konselor dapat memberikan layanan yang lebih relevan dan tidak bias.
4. Menghormati Keragaman. Konselor yang memiliki kompetensi
multibudaya menghormati keragaman budaya dan menghindari perilaku diskriminatif. Ini menciptakan lingkungan konseling yang inklusif dan aman bagi semua klien.
5. Optimalisasi Layanan Konseling. Konselor dapat mengarahkan klien dengan kepekaan multibudaya untuk mengembangkan potensi secara optimal. Ini mencakup memahami nilai-nilai budaya, norma, dan harapan yang mempengaruhi klien.
D. GLOSARIUM
Budaya : Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan Implikasi : Keterlibatan atau keadaan terlibat
Komprehensif : Luas dan lengkap; Mempunyai dan memperlihatkan wawasan yang luas Kompleksitas : Kerumitan; Keruwetan; Jumlah bagian atau komponen yang mencirikan keterampilan
Konstruktif : Bersifat membina, Memperbaiki, Membangun
Kompetensi : Kemampuan menguasai gramatika suatu bahasa secara abstrak atau batiniah
Konselor : Orang yang melayani konseling; penasihat; penyuluh Multikultural : Bersifat keberagaman budaya
Pengukuran : Proses, Cara, Perbuatan mengukur Rasis : Bersifat diskriminasi berdasarkan ras E. DAFTAR PUSTAKA
Maharani, S., Rohmawati., Mahardika, R., Kurniati, W., Arkhan, R. (2022).
Literatur Riview: Impact Keberagaman Budaya Konseli yang Harus Dikuasai Konselor Guna Mencapai Keberhasilan Konseling Profesional. Jurnal Pendidikan Tambusai, 6(2), 9629-9634.
Miskanik, M. (2018). Penggunaan Konseling Multikultural dalam Mendorong Perkembangan Kepribadian Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Sosio EKons, 10(3), 280. https://doi.org/10.30998/sosioekons.v10i3.2 881
Muslihati. (2013). Konseling Multibudaya dan Kompetensi Multibudaya Konselor. Malang: FIP UNM
Herdi. (2012). Model Pelatihan Untuk Meningkatkan Kompetensi Calon Konselor Multikultural. Jurnal Ilmiah VISI P2TK PAUD NI, 7(2), 106–116.
Ismail. M. I. (2010). Kinerja dan Kompetensi Guru dalam Pembelajaran.
Lentera Pendidikan, 13(1), 44-63.
Huda, M. (2017). KOMPETENSI KEPRIBADIAN GURU DAN
MOTIVASI BELAJAR SISWA (Studi Korelasi pada Mata Pelajaran PAI.
Jurnal Penelitian, 11(2), 237-266.
Elliot, A. J., Dweck, C. S. (2005). Handbook of Competence and Motivation. New York: The Guilford Press.
Nugraha, A., Sulistiana, D. (2017). Kepekaan Multibudaya Bagi Konselor Dalam Layanan Konseling. Journal of Innovative Counseling : Theory, Practice &
Research, 1(1), 9-18.
Supriadi, D. (2001) Konseling Lintas Budaya: Isu- isu dan relevansinya di Indonesia. Bandung. UPI Gerard
Supriatna, M. 2003. Strategi bimbingan dan konseling berwawasan kebangsaan untuk mengembangkan sumber daya manusia bermutu dalam masyarakat yang majemuk. Bandung :Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling, Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia.
Deliani, N. (2018). BIMBINGAN KONSELING PADA MASYARAKAT
MULTIKULTURAL. TATHWIR: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, 1(1), 11-27.
Ningsih, R., Aryani, E., Laras, P. B., & Hadi, A. (2022). Pengembangan
Kompetensi Multikultural Calon Konselor. TERAPUTIK: Jurnal Bimbingan Dan Konseling, 5(3), 305–310. https://doi.org/10.26539/teraputik.53854
Rahmi, A., Neviyarni, & Netrawati. (2022). Kompetensi multibudaya konselor dalam konseling kelompok sebagai upaya mengatasi bias budaya. Syifaul Qulub:
Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, 3(1), 1-10.
Sue, D. W., Arredondo, P., & McDavis, R. J. (1992). Multicultural counseling competencies and standards: a call to the profession. Journal of Counseling &
Development, 70(4), 477-486.
Wulandari, R., Alamsyah, A., & Lutfia, E. F. (2023). Dampak Kompetensi Kultural Pada Efektivitas Bimbingan dan Konseling Multibudaya di Universitas Muhammadiyah Makassar. JBKPI: Jurnal Bimbingan dan Konseling Pendidikan Islam, 2(02), 10-20.
Gumilang, G. S. (2015). Urgensi kesadaran budaya konselor dalam melaksanakan layanan bimbingan dan konseling untuk menghadapi masyarakat ekonomi Asean (MEA). Jurnal Guidena, 5(2), 45-58.
BANGSA, M. I. (2020). URGENSI KOMPETENSI MULTIKULTURAL DARI KONSELOR SEBAGAI SARANA. Indonesian Journal of Guidance and
Counseling, 1(1), 12-19.
Depdiknas. (2007a). Naskah Akademik. Penataan Pendidikan Profesional Konselor Dan Layanan Bimbingan Dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta:Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.