Perdebatan mengenai siapa yang seharusnya menjadi imam sebagai kelanjutan fungsi kenabian dan bagaimana konsep imamah yang seharusnya setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW menjadi persoalan yang pelik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan Imam Ţabaţaba'i tentang konsep imāmah dan faktor apa saja yang mempengaruhi pandangannya tentang konsep imāmah. Menurut Imam Ţabaţaba'i, yang menjadi Imamah setelah Nabi Muhammad SAW wafat adalah Ali RA dan keturunannya (ahlul-aas).
Pertemuan ini sebenarnya terjadi ketika Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin kembali dari haji Uadā' di suatu tempat yang bernama “Ghadir Khum”, yang disaksikan oleh sebagian besar sahabat pada saat itu. Karena pilihannya diambil melalui penunjukan langsung oleh Allah SWT. melalui syafaat Nabi Muhammad SAW, kualitas ma'shum yang dimiliki Nabi juga dimiliki oleh para imam. Imam Ţabaţaba'i merupakan keturunan keluarga Syiah yang sangat mencintai ilmu pengetahuan tradisional, dan pertemuan dengan guru-guru yang cenderung terhadap ilmu tradisional, serta kondisi sosial politik tempat tinggalnya, secara langsung mempengaruhi pandangannya terhadap konsep tersebut. dari Imam.
Vokal Arab, seperti vokal Indonesia, terdiri daripada vokal tunggal atau monoftong dan vokal berganda atau diftong. Syaddah atau tasydid seperti dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan tanda syaddah, dalam transliterasi ini tanda syaddah dilambangkan dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi dalam transliterasi ini, perkataan sandang dibezakan antara kata sandang diikuti oleh huruf syamsiyah dan perkataan sandang diikuti oleh qamariyyah.
Artikel yang diikuti huruf syamsiyyah dan qamariyah ditransliterasi dengan cara yang sama, yaitu dengan menggunakan al.
Kupersemabahkan karyaku ini kepada
Tanpa rahmat-Nya, penulisan disertasi ini tidak akan dapat dikatakan “sempurna”. Skripsi ini merupakan produk penelitian yang tidak akan tersusun secara sistematis tanpa adanya peran serta banyak pihak, baik langsung maupun tidak langsung. Bapak Yudian Wahyudi, Ph.D selaku Dekan Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta serta para staf yang telah memberikan dan memberikan fasilitas serta persetujuan dalam penyusunan disertasi ini.
Encik. Makhrus Munajat, selaku Kajur JS dan rakan-rakan seperjuangan yang telah menyediakan dan memberi kemudahan serta kelulusan bagi penyediaan tesis ini. Ag selaku penyelia saya yang telah banyak meluangkan masa membimbing dan mengarahkan penyusun. Encik. Abu Bakar Abak, MM selaku penyelia II yang telah banyak meluangkan masa membimbing dan mengarahkan penyusun.
Bapak/Ibu Associate Professor Fakultas Syariah yang secara konsisten mendedikasikan ilmunya kepada mahasiswa, khususnya kepada penyusun. Seluruh staf administrasi (TU) Jurusan JS/Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang telah mempermudah tata cara penyusunan skripsi ini.
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Pemilihan Masalah
 - Perumusan Masalah
 - Tujuan Penelitian
 - Kerangka Teoritik
 - Metode Penelitian
 - Sistematika Pembahasan
 
Hanya Allah sahaja yang dapat mengenali individu-individu yang mempunyai sifat-sifat keilmuan, tiada cacat cela dan tidak boleh disalah anggap (ma'şūm), dan dengan itu dapat menjamin kejayaan wahyu-wahyuNya dengan menjadikan individu-individu tersebut dikenali melalui Rasulullah SAW. Penyelidikan tertumpu kepada pentafsiran ayat-ayat berkaitan Imam di dalam al-Quran menggunakan jurubahasa daripada masyarakat Syiah yang diiktiraf di peringkat antarabangsa iaitu Imam Ţabaţaba'i. Kajian yang menekankan perbandingan antara Sunni dan Syiah secara lebih lengkap dan sistematik boleh didapati dalam buku karangan 'Ali Ahmad al-Salus, bertajuk Encyclopaedia Sunnah-Shi'ah dalam edisi terjemahan.
Buku ini berisi perbandingan Sunnah-Syi`ah dalam aqidah dan tafsir jilid I dan jilid II membahas tema hadis dan fiqih. Sebuah artikel yang cukup menarik ditulis oleh Ahmad Mousawi dengan judul: “Teori Wilāyat al-Faqīh: Asal Usul dan Kemunculannya dalam Sastra Hukum Syi’ah” serta implementasinya dalam pemikiran Syi’ah. Buku lain yang ditulis oleh Hamid Enayah berjudul: “Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah”.16 Buku ini secara khusus mencoba melakukan studi perbandingan pemikiran politik antara Sunni dan Syi’ah.
Meski tidak secara khusus membahas Wilāyat al-Faqīh, buku ini relatif rinci pembahasannya mengenai pemikiran politik Syi'ah kontemporer dan hukum ketatanegaraan. Menurut al-Mawardi, imāmah dimaknai sebagai “lembaga kepala negara dan pemerintahan yang dibentuk sebagai pengganti fungsi kenabian dalam rangka melindungi keimanan dan mengatur dunia.”18 Kepemimpinan dalam konteks ini dianggap sebagai ahli waris yang sah untuk melanjutkan kepemimpinan Nabi SAW setelah wafatnya. Di sini peran aktif Nabi SAW dalam mengangkat Ali sebagai penggantinya dipandang sebagai langkah rasional.
Tidak masuk akal, kata Imam Ţabaţaba'i, Nabi SAW wafat tanpa menunjuk penggantinya, padahal setiap kali Nabi SAW berhalangan memimpin suatu urusan, beliau selalu mengangkat wakilnya, misalnya dalam ekspedisi perang. dan seterusnya, bahkan ketika Rasulullah SAW tidak bisa memimpin shalat, Rasulullah pun mengangkat salah satu sahabatnya untuk menggantikannya.20. Berdasarkan hal tersebut, Imam Ţabaţaba'i bertanya apakah mungkin Nabi SAW meninggalkannya dalam urusan penting (kepemimpinan). Hanya Allah yang dapat mengidentifikasi individu-individu yang memiliki sifat-sifat ilmu pengetahuan, yang tanpa cela dan maksum (ma'şūm), dan dengan demikian dapat menjamin keberhasilan wahyu-wahyu-Nya dengan mengungkapkan individu-individu tersebut melalui Rasulullah SAW.23.
Artinya, pendeta adalah orang yang paling ‘berhak’ menafsirkan dan menjaga kemurnian ajaran agama, sebagaimana tugas yang dilimpahkan kepada Nabi SAW. Dari sudut pandang ini jelaslah bahwa ma’şūman yang dimiliki oleh Imam sama dengan ma’şūman yang dimiliki oleh Nabi SAW. Hal ini tidak berarti bahwa para imam sama dengan Nabi SAW.32 Namun hal ini menunjukkan bahwa permasalahannya ada pada imamahnya. Hal ini semata-mata merupakan hak mutlak Tuhan, begitu pula hak Tuhan mengangkat seseorang menjadi Nabi, oleh karena itu manusia tidak mempunyai kewenangan untuk campur tangan dalam menentukan hal tersebut. Jika seorang nabi diangkat oleh Allah melalui Nabi SAW dan sekaligus memperkenalkannya kepada umat manusia, maka demikian pula pengangkatan imam yang dilakukan oleh Allah melalui Nabi SAW.
Menurutnya, tujuan utama turunnya wahyu Allah ini adalah untuk menunjang tatanan masyarakat yang berkeadilan sebagaimana dicontohkan Nabi SAW, dan upaya mewujudkan gagasan tersebut, tegas Sachedina, sangat bergantung pada pemimpin yang secara implisit mendapat petunjuk dari Allah.33. Oleh karena itu cukup dimengerti bahwa dalam tradisi Syiah, pelaksanaan al-qadhā (memutus suatu perkara) dianggap sebagai hak konstitusional imam karena wilāyat al-Ilāhiyyah (kekuasaan Iālhi) yang diberikan kepada imam melalui penunjukan Nabi SAW hingga Ali.34 Menyuntikkan dimensi ketuhanan ke dalam aspek imamah inilah yang membuat para imam kerap menampilkan dirinya sebagai wakil transendensi Tuhan di muka bumi.35.
PENUTUP
Kesimpulan
Perihal pemilihan Nabi, beliau ditunjuk secara khusus oleh Allah SWT melalui perantaraan Nabi sebelumnya, dan kemudian Imam sebenarnya diangkat dalam hal pemilihannya langsung oleh Allah SWT melalui perantaraan Nabi Muhammad Saw. Dan pengangkatan Ali raja sebagai Imam yang kemudian mempunyai fungsi meneruskan misi kenabian, di tempat yang disebut “ghadir khum” setelah Nabi Muhammad SAW kembali dari haji wadā'. Sebab dalam konteks pemilihannya melalui mekanisme penunjukan langsung oleh Allah SWT melalui perantara Nabi Muhammad SAW, maka kualitas ma'şūm yang dimiliki Nabi juga dimiliki oleh Imam.
Sebab hanya di bawah seorang imam ma'şūm ajaran Islam akan ditegakkan dan dipelihara secara nyata. Kebutuhan untuk menjaga dan melestarikan ajaran agama Islam hingga akhir zaman juga memerlukan keberadaan seorang Imam di setiap zaman.
Saran-saran
Sementara itu, masih perlu dilakukan kajian terhadap pemikiran Imam Zabaţaba di bidang lain seperti “Tafsir al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an” yang dianggap oleh banyak orang sebagai karya tafsir yang unik. Kekhasan ini karena dalam menafsirkan Al-Qur'an, Imam Zabaţaba'i mencoba memulai dengan menunjukkan eratnya hubungan antara ayat yang satu dengan ayat yang lain dalam Al-Qur'an. Dari situlah Imam Zabaţaba'i mampu membuktikan bahwa satu ayat dan ayat lainnya dalam Al-Qur'an saling menjelaskan.
Ajaran Syi'ah Bunga Rampai dalam koleksi makalah "Seminar Sehari tentang Syi'ah", Jakarta: LPPI, 2000. 1 29 29 Diceritakan kepada saya, Muhammad bin Basar memberitahu saya Muhammad bin Ja'far, memberitahu saya Syu'bah. daripada Salamah bin Kuhail, dia berkata bahawa aku mendengar Aba Thufail berkata daripada Abi Sarihah atau Yazid bin Arqom, yang mengadu tentangnya kepada Syu'bah Rasulullah SAW, dia berkata: Sesiapa yang menjadikan aku pemimpinnya, Ali juga ketuanya. 2 29 30 Daripada Abu Ja'far berkata: Sekumpulan orang Yahudi masuk Islam, termasuk Abdullah bin Salam, Asad, sa'labah, Ibn Yamin dan Ibn Suraya, kemudian mereka datang kepada Rasulullah, sesungguhnya Wahai Nabi Allah telah mewasiatkan Musa kepada Yausya' bin Nun, kepada siapa kamu akan berwasiat?
1 52 25 Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada RasulNya dan rendahkanlah kekuasaan kamu. 4 58 34 Kami wahyukan kepadamu Ad-Dzikr, agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. 5 61 38 Sesungguhnya pemimpin kamu tidak lain hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin yang solat dan menunaikan zakat sambil rukuk.
Dan barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, niscaya mereka akan menang. 6 62 42 Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin kamu, sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Tuhan melindungi anda daripada gangguan manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.
15 75 66 Dan khabarkan kepada mereka tentang tetamu Ibrahim. Apabila mereka masuk ke tempatnya, mereka berkata: Salam Ibrahim berkata: Kami benar-benar takut kepada kamu. Mereka berkata: Janganlah kamu takut, sesungguhnya kami memberi khabar gembira kepada kamu dengan kelahiran seorang anak lelaki - seorang yang akan menjadi orang yang soleh. Mereka menjawab: Sesungguhnya kami telah memberi kamu berita gembira, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.