• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSOLIDASI TANAH UNTUK PEMBANGUNAN HUNIAN SEMENTARA

N/A
N/A
D@40_Ramadhani Naufal

Academic year: 2023

Membagikan "KONSOLIDASI TANAH UNTUK PEMBANGUNAN HUNIAN SEMENTARA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

KONSOLIDASI TANAH PADA KAWASAN RAWAN BENCANA

(STUDI KASUS : PEMBANGUNAN HUNIAN SEMENTARA (HUNTARA) PASCA ERUPSI SEMERU TAHUN 2021)

Ramadhani Naufal Na’afi1

Program Studi Diploma IV Pertanahan, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Jalan Tata Bhumi No. 5 Banyuraden, Gamping, Sleman, Yogyakarta

Koresponden email: ramadhanithok87@gmail.com

Abstract: Semeru Mount is one of hundreds of volcanoes that still have the potential to erupt throughout the archipelago. The most recent volcanic activity of Mount Semeru occurred at the end of 2021. This eruption resulted in losses in various sectors, causing casualties. This natural disaster also elicited responses from various parties including the government by implementing a land consolidation program for Temporary Shelters (Huntara) after the Semeru eruption. The ATR/BPN Ministry together with the participation of the community and related parties also contributed to the success of the Huntara Semeru land consolidation process. The purpose of this research is to find out and examine how important the implementation of the land consolidation program is in land management after natural disasters. By implementing a qualitative method complemented by a case study approach, the author intends to gather information about the case through various references. In his research, the authors found the fact that land consolidation is a program that has a very positive impact on multi- stakeholders in order to realize effective development for the public interest.

Keywords: Mount Semeru, Eruption, Land Consolidation, Temporary Shelter, Public Interest

Intisari: Gunung Semeru adalah satu diantara ratusan gunung api yang masih berpotensi untuk meletus di seluruh Nusantara. Aktifitas vulkanik gunung Semeru yang terbaru terjadi pada akhir tahun 2021. Erupsi ini mengakibatkan kerugian diberbagai sektor hingga menimbulkan korban jiwa.

Bencana alam tersebut turut menimbulkan respon dari berbagai pihak termasuk pemerintah dengan pelaksanaan program konsolidasi tanah untuk Hunian Sementara (Huntara) pasca erupsi Semeru.

Kementerian ATR/BPN bersama partisipasi masyarakat dan pihak terkait juga turut andil dalam keberhasilan proses konsolidasi tanah Huntara Semeru. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sekaligus mengkaji bagaimana arti penting pelaksanaan program konsolidasi tanah dalam penataan pertanahan pasca bencana alam. Dengan mengimplementasikan metode kualitatif yang dilengkapi pendekatan studi kasus, penulis bermaksud untuk menggali informasi mengenai kasus tersebut melalui berbagai referensi. Di dalam penelitiannya, penulis menemukan fakta bahwa konsolidasi tanah menjadi program yang sangat berdampak positif bagi multi-pihak guna mewujudkan pembangunan untuk kepentingan umum yang efektif.

Kata Kunci: Gunung Semeru, Erupsi, Konsolidasi Tanah, Hunian Sementara, Kepentingan Umum

A. Latar Belakang

Konsolidasi Tanah (Land Consolidation) merupakan contoh implementasi kebijakan guna mengatasi problematika di bidang pertanahan dan tata ruang yang telah diterapkan di berbagai negara (Candrakirana et al., n.d.). Konsolidasi tanah adalah suatu metode yang diterapkan guna meningkatkan tingkat stabilitas tanah agar mampu menahan beban atau tekanan yang diterima dari berbagai faktor. Konsolidasi tanah sudah bukan menjadi hal yang asing Bumi Nusantara. Hal tersebut mengingat mayoritas

(2)

pembangunan skala besar layaknya pembangunan jalan, jembatan, gendung dan berbagai proyek besar lainnya menerapkan metode konsolidasi tanah guna memperbaiki kondisi tanah pada lokasi proyeknya.

Berbagai problematika yang seringkali dihadapi dalam pelaksanaan konsolidasi tanah di Indonesia mengerucut pada rendahnya kualitas tanah dan tingginya biaya pada pelaksanaan konsolidasi tanah. Selain itu, faktor alam yakni perubahan iklim dan cuaca juga terkadang menghambat pelaksanaan konsolidasi tanah yang berdampak pada faktor pendukung lainnya. Meskipun demikian, dengan beberapa sisi buruk problematika yang menghambat pelaksanaannya, kegiatan konsolidasi tanah tetap dianggap sebagai solusi yang efektif dalam mengatasi rendahnya kondisi tanah sekaligus mengupayakan terdayaguanaannya tanah sesuai kebutuhan secara terkelola di Indonesia. Pendayagunaan tanah sendiri dapat dialokasikan ke beberapa sektor kepentingan, salah satunya adalah pendayagunaan tanah dalam hal penanganan pasca bencana alam.

Pada bulan November tahun 2021, “Mahameru” (julukan gunung Semeru) yang mendapat predikat sebagai atapnya pulau Jawa (3.676 Mdpl) mengalami erupsi yang cukup dasyat. Letusan gunung yang berlokasi di kabupaten Lumajang, Jawa Timur tersebut berdampak besar dikarenakan terjadi banyak kerusakan baik dari segi infrastruktur, akses jalan, sarana prasarana, hingga puluhan nyawa warga setempat yang harus menjadi korban. Masifnya erupsi gunung Semeru mengakibatkan beberapa wilayah tertutup oleh material letusan dan sekitar 19 ribu warga harus berhamburan mencari tempat berlindung. Beberapa dampak ini semestinya dapat diantisipasi lebih awal guna meminimalisir dampak yang masif (Andi, 2021). Hunian Sementara atau Huntara merupakan salah satu solusi yang dicanangkan oleh pemerintah berupa tempat tinggal darurat yang difungsikan untuk menampung para pengungsi bencana Erupsi Semeru tahun 2021.

Dalam upaya pendirian Hunian Sementara (Huntara) yang dilaksanakan di desa Sumber Mujur, kecamatan Candipuro, kabupaten Lumajang, Jawa Timur, satu diantara beberapa penanganan terhadap tanah lokasi pembangunan adalah konsolidasi tanah.

Konsolidasi Tanah yang harus diterapkan guna memperkokoh prinsip pada tujuan pembangunan Huntara dalam menciptakan hunian yang stabil, aman, dan daya dukung tanahnya yang memadai guna digunakan dalam jangka waktu tertentu. Prinsip tersebut tak terlepas dari tingkat kepadatan penduduk di Huntara yang lebih padat daripada tingkat penduduk normalnya. Dengan demikian, berbagai resiko juga berdatangan mengingat kondisi tanah yang cenderung lebih rapuh ketika kapasitasnya dalam menopang aktivitas pembangunan diatasnya tidak sesuai.

Metode konsolidasi tanah yang harus ditempuh dalam proses pembangunan Hunian Sementara Pasca Erupsi Semeru 2021 dilakukan dalam beberapa tahapan, antara lain : studi lapangan guna melakukan pengamatan geologi dan karakteristik lingkungan;

pengumpulan data kekuatan tanah; analisis hasil pengambilan sampel tanah; dan merancang tindakan konsolidasi tanah. Dari beberapa tahapan tersebut, diperoleh

(3)

tindakan konsolidasi tanah yang dianggap cocok diterapkan dalam menciptakan Hunian sementara yang kondusif (Setiawan, 2015). Tindakan yang dimaksud meliputi penanaman pohon di area lereng untuk meningkatkan daya dukung tanah, pembuatan talut agar tanah tidak mudah rubuh, serta pembuatan retakan di tanah untuk mengurangi perkolasian air yang berasal dari hujan yang dapat mempercepat erosi.

Langkah-langkah ini bertujuan untuk meminimalkan kerusakan akibat potensi tanah longsor dan membangun kembali rumah sementara sehingga aman dan layak huni.

B. Metode

Penelitian ini adalah salah satu bentuk pengkajian yang mengaplikasikan metode kualitatif yang dilaksanakan dengan pendekatan studi literatur. Metode atau cara penelitian ini merupakan satu diantara beberapa metode penelitian yang bertujuan untuk memahami keadaan suatu pembahasan dengan menggiring pada penggambaran (pendeskripsian) secara detail dan menyeluruh (Nugrahani, 2014). Sedangkan pendekatan studi literatur dapat diartikan sebagai pendekatan penelitian yang di dalam penerapannya, sang peneliti atau penulis mengkaji secara cermat suatu program, kejadian, aktifitas, dan individu maupun kelompok dalam beberapa tahapan (Creswell

& John, 2012).

Pendekatan deskriptif dilaksanakan dengan studi kasus dari berbagai referensi terkait. Dikarenakan pembahasan yang peniliti tentukan cenderung masih baru, belum terlalu banyak referensi yang membahasa secara rinci perihal permasalahan terkait. Dari hasil studi literatur dan referensi yang peneliti peroleh, selanjutnya peneliti melakukan analisis dengan menggunakan teknik analisis induktif. Teknik analisis data induktif merupakan teknik analisis data yang mana dilakukan dengan cara menggali pemahaman-pemahaman umum terhadap pokok permasalahan yang terjadi di lapangan dan disesuaikan dengan penelitian yang dibahas.

C. Pembahasan

a. Gambaran Umum Wilayah Gunung Semeru (Sang Atap Pulau Jawa)

Semeru merupakan adalah satu diantara ratusan gunung api yang masih berpotensi untuk meletus di seluruh Nusantara. Menurut lembaga yang menangani perihal bencana gunung api dan geologi atau lebih dikenal dengan singkatan PVMBG, terdapat sejumlah 127 gunung berapi aktif di seluruh penjuru Nusantara.

Semeru merupakan satu diantaranya yang tergolong pada kategori A. Gunung api kategori A memiliki record atau tinta sejarah letusan mulai dari kurun waktu tahun 1600-an. Semeru secara adminitratif terletak pada 2 kabupaten yakni kabupaten Lumajang sekaligus kabupaten Malang, Jawa Timur dan berada pada komplek Taman Nasional Bromo, Tengger, Semeru (BTS). Puncak tertingginya yang lebih dikenal dengan “Mahameru” berada di ketinggian 3.767 Mdpl dan tersusun atas batuan kawah purba (Wahyudin, 2010).

(4)

Gambar 1. Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Semeru Sektor Tenggara Sumber : https://magma.esdm.go.id/v1/gunung-api/peta-kawasan-rawan-bencana

Dengan letak astronomisnya yang berada pada posisi 8° 06’ 30” LS sampai dengan 112° 55’ BT, Mahameru juga memperoleh predikat sebagai gunung tertinggi di pulau Jawa sekaligus The Seven Summit of Indonesia (Tujuh Puncak Teritinggi di Indonesia). Kawahnya yang tak pernah tertidur dikenal dengan sebutan “Jonggring Saloka”, terletak di bagian selatan puncak utama. Aktifitas vulkanik dengan selang waktu setiap 5-15 menit secara berkelanjutan merupakan karakteristik sekaligus ciri khas gunung api Semeru sejak tahun 1967.

Semenjak tahun 1967 hingga saat ini aktifitas gunung Semeru tidak pernah berhenti. Sejarah letusan Mahameru sebenarnya sudah dimulai sejak tanggal 8 November 1818. Gunung Semeru yang berada pada masa aktifnya baik pada zaman purba maupun yang sudah tercatat dalam sejarah menggambarkan kegiatan letusan dapat terpusat di kawah pusat (puncak) dan letusan samping (punggung gunung).

Berbagai bukti nyata terjadinya letusan samping pada zaman purba antara lain terbentuknya ranu (danau), goa, gunung kecil, dan kumpulan batuan vulkanik (aliran lava). Kenampakan tersebut dapa kita temukan di sekitar area lereng Gunung Semeru terutama lokasi iconic seperti Ranu Kumbolo dan Ranu Pakis.

Aktifitas vulkanik gunung Semeru yang terbaru terjadi pada akhir tahun 2021. Tepatnya pada periode bulan November-Desember tahun 2021, Mahameru bergejolak dan mengalami erupsi yang cukup besar. Erupsi ini terjadi bersamaan dengan turunnya guguran lava dan awan panas yang meluluhlantahkan permukiman warga dan lingkungan sekitarnya. Erupsi ini menimbulkan kerugian di berbagai sektor hingga menimbulkan korban jiwa. Beberapa hari pasca erupsi, jumlah warga yang melarikan diri ke pengungsianmengalami lonjakan menjadi kurang lebih 3.697 jiwa, yang mayoritas pengungsi berasal dari kabupaten Lumajang (Rubiono et al., 2022).

(5)

b. Hunian Sementara (Huntara) sebagai Atap Perlindungan Para Pengungsi

Pada dasarnya, Hunian Sementara (Huntara) memiliki berbagai definisi sesuai maksud dan tujuan dibangunnya hunian tersebut. Dilansir dalam website Bencanapedia.com, Hunian sementara (Huntara) adalah tempat bermukim dengan jangka waktu tertentu bagi korban bencana, hunian ini dapat berupa tempat penampungan untuk banyak orang maupun keluarga, atau bahkan perseorangan.

Huntara dapat didirikan memanfaatkan infrastruktur bangunan yang tersedia sebelumnya atau tempat berlindung yang bisa didirikan dengan tempo waktu yang singkat, seperti: gubug darurat, tenda, dan sebagainya.

Menurut beberapa literatur, istilah hunian atau shelter adalah tempat yang memberikan perlindungan sementara waktu dari iklim (cuaca) yang ekstrim. Dalam sudut pandang kemanusiaan atau kebencanaan istilah hunian/shelter mengerucut secara spesifik terkait ruang fisik yang dapat dihuni/ditinggali oleh korban maupun pengungsi yang terdampak adanya bencana. Kawasan yang dialokasikan untuk Huntara memiliki berbagai kriteria tergantung pada faktor-faktor seperti aspek cultural, ketersediaan material pendukung, serta latar belakang bencana.

Gambar 2. Hunian Sementara (Huntara) Pasca Erupsi Semeru Tahun 2021 Sumber : https://monitorindonesia.com/2022/04/ribuan-hunian-sementara-korban

Pada saat Erupsi Semeru Tahun 2021, juga turut dibangun Hunian Sementara (Huntara) sebagai lokasi tempat pengungsian bagi para warga yang terdampak di kawasan Non-Kawasan Rawan Bencana (N-KRB) tepatnya pada desa Sumber Mujur, Candipuro, Lumajang, Jawa Timur. Hunian tersebut dibangun oleh pemerintah dengan merangkul Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). LSM dan pemerintah saling bergotong royong guna mngurangi beban para korban terdampak Erupsi Semeru Tahun 2021 dengan membuat Hunian Sementara (Huntara).

(6)

Komitmen kuat dipegang oleh LSM guna memfasilitasi seluruh pengungsi atau jumlah keluarga terdampak mendapatkan hunian sementara sebagai gubug perlindungan. Berdasarkan keterangan Kepala Pelaksana BPBD Jawa Timur, dari keseluruhan 2100 unit huntara yang akan dibangun terdiri atas total 1.107 unit rumah keluarga terdampak dan ditambah rumah yang akan direlokasi akibat pertambahan luasan KRB. Disamping itu, pemerintah juga turut andil dengan menyediakan anggaran melalui Kementerian PUPR guna mendirikan Hunian Tetap (Huntap) sejumlah 2.100 unit pula. Nantinya Hunian Tetap ini akan dibangun berhadapan dengan Hunian Sementara dan diharapkan kedepan akan menjadi 1 komplek hunian. Hal tersebut, ditujukan untuk pengefektifan pembangunan dan huntara yang telah dibangun tidak sia-sia (Purba et al., 2022)

c. Peran Penting Kantor Pertanahan Kabupaten Lumajang Terhadap Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Pasca Erupsi Semeru 2021

Pada dasarnya, Kawasan Berbahaya di Gunung Semeru sendiri telah ditetapkan sedari dulu. Berdasarkan tingkat kerawanan terhadap bencana, kawasan berbahaya di Gunung Semeru terdiri atas 3 kategori kawasan, yakni: KRB I, II, dan III. Namun pada kenyataannya, masih banyak pelanggaran terhadap zonasi Kawasan Rawan Bencana.

Kementerian ATR/BPN yang notabene merupakan penyelenggara penataan pertanahan juga turut andil dalam meminimalisir dampak buruk yang diakibatkan oleh bencana alam Erupsi Semeru Tahun 2021. Dalam hal ini, upaya penataan ruang yang diaplikasikan oleh Kementerian ATR/BPN terutama Kantor Pertanahan Kabupaten Lumajang sebagai pelaksana kegiatan adalah konsolidasi tanah.

Penataan Pertanahan merupakan usaha penataan aspek fisik pendayagunaan tanah dan penataan aspek yuridis penguasaan tanah untuk mensupport pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan berbagai pihak.

Meskipun kawasan yang termasuk dalam KRB III pada aturannya sudah tidak diizinkan untuk bermukim dan akan dicanangkan sebagai kawasan hutan, kawasan ini tetap diperbolehkan untuk dilaksanakan beberapa aktifitas termasuk didalamnya upaya konsolidasi tanah guna menciptakan pemanfaatan tanah yang ideal. Berdasarkan ketentuan yang ada maka Kantor Pertanahan Kabupaten Lumajang harus membantu upaya merelokasi warga setempat yang tinggal di area KRB III gunung Semeru menuju lokasi yang relative lebih kondusif dari ancaman gejolak gunung Semeru guna mengantisipasi erupsi susulan. (Perkim.id, 2022)

Kantor Pertanahan Kabupaten Lumajang bekerjasama dengan beberapa pihak terkait yang dijuluki Satuan Tugas (Satgas) Semeru, berperan penting dalam melaksanakan mekanisme konsolidasi tanah yang efektif. Beberapa tahapan konsolidasi yang harus ditempuh, antara lain : studi lapangan; pengumpulan data kemampuan tanah; analisis hasil pengambilan sampel tanah; dan merancang tindakan konsolidasi tanah. Diperoleh alternatif tindakan berupa kegiatan

(7)

penanaman kembali kawasan lereng, pembangunan talut di area Huntara, dan pembuatan retakan tanah sebagai jalan air. Dengan diambilnya beberapa tindakan akurat diharapkan dapat tercipta penataan pertanahan yang tertata baik di Kawasan Rawan Bencana (KRB) maupun di area Hunian Sementara (Huntara).

d. Urgensi Konsolidasi Tanah pada Area Hunian Sementara (Huntara)

Sudah menjadi yang fundamental ketika suatu area, daerah, maupun suatu wilayah ingin mengalami perkembangan dana kemajuan diperlukan adanya penyusunan strategi dan pengamatan yang akurat demi keberlanjutan wilayah tersebut. Baik dari segi ketersediaan tanah (lahan) maupun penataan pertanahan merupakan isu yang memiliki urgensi sangat tinggi. Tingkatan urgensi yang sangat tinggi tersebut, tak terlepas dari keseringan Pemerintah selaku pemangku kebijakan menyepelekan berbagai macam hal yang terkait penataan pertanahan dan berujung pada amburadulnya sistem pertanahan di negara kita. (PVMBG, 2021)

Penataan ruang dan pertanahan seakan-akan menjadi hal yang dikesampingkan oleh Pemerintah. Pemerintah seringkali berasumsi bahwa ketika dalam proses pembangunan yang memerlukan tanah terjadi hambatan, maka ganti rugi pengadaan tanah adalah solusinya. Proses seperti inilah yang pada kenyataannya justru berdampak sangat buruk. Dampak buruk yang diakibatkan, diantaranya : minimnya partisipasi masyarakat, terkucilkannya khalayak (masyarakat) dalam proyek pembangunan, serta meningkatkan persentase terciptanya kemiskinan akibat pemberian hasil ganti rugi yang tidak diinvestasikan secara berkelanjutan dan baik sehingga terkesan masyarakat hanya terkesan sebagai korban dari proses pembangunan (Islami et al., 2022).

Kegiatan konsolidasi tanah merupakan inovasi alternatif yang dapat diterapkan dalam mengatasi permasalahan tersebut. Dapat didefiniskan bahwa, program konsolidasi tanah notabene merupakan program yang merangkul masyarakat untuk ikut berpartisipasi mulai dari tahapan perencanaan sampai dengan tahapan pelaksanaan bahkan dapat berkembang terus hingga pasca pelaksanaan. Terbukti pada kegiatan konsolidasi tanah untuk area Hunian Sementara (Huntara) pasca erupsi gunung Semeru Tahun 2021 dapat menciptakan penataan pertanahan yang efektif dengan tetap melibat masyarakat sebagai sasaran utama dalam pembangunan pertanahan.

e. Permasalahan Dalam Proses Konsolidasi Tanah Huntara Semeru

Program konsolidasi tanah untuk Hunian Sementara (Huntara) pasca erupsi gunung Semeru tahun 2021 tergolong cukup lancar. Hal tersebut tak terlepas dari urgensi bencana alam yang harus segera ditangani dan kinerja semua pihak yang cukup solid. Beberapa permasalahan yang disinyalir dapat terjadi dalam pelaksanaan program konsolidasi tanah ini adalah terhambatnya pembebasan lahan dan belum terintegrasinya data pertanahan.

(8)

Gambar 3. Proses Pembebasan Lahan untuk Hunian Sementara (Huntara) Semeru Sumber : https://perkim.id/kebencanaan/pembangunan-huntara-korban-erupsi-

semeru-dipercepat

Permasalahan pertama mengenai terhambatnya pembebasan lahan dapat dikatakan sebagai permasalahan yang paling memungkinkan untuk terjadi. Tak lain dan tak bukan dikarenakan lokasi Hunian Sementara (Huntara) seluas 25 hektar di desa Sumber Mujur, mayoritas berada di kawasan hutan yang rawan terhambat.

Namun, pada pelaksanaannya percepatan pembangunan area relokasi korban erupsi beserta Hunian Sementara (Huntara) dapat dikerjakan sesuai target. (Iwah, 2022)

Permasalahan kedua perihal data pertanahan yang belum terintegrasi sudah menjadi hal umrah terutama pada kondisi bencana alam. Pada saat terjadinya bencana alam sangat dimungkinkan jika tanah dapat musnah atau batasnya bergeser. Kedua kasus tersebut dapat menjadi faktor penghambat program konsolidasi tanah. Oleh karena itu, baik permasalahan pertama maupun kedua dapat teratasi jika kembali pada profesionalitas SDM yang baik dan bekerja sesuai hati nurani guna menciptakan Hunian Sementara (Huntara) bagi korban bencana alam (Frasandi, 2022).

D. Kesimpulan

Pelaksanaan program konsolidasi tanah untuk Hunian Sementara (Huntara) pasca erupsi Semeru Tahun 2021 memberikan banyak manfaat baik bagi multi-pihak terutama bagi korban erupsi Gunung Semeru. Keperluan terkait tempat berteduh yang sangat urgent menjadikan keberadaan program ini seakan-akan menjadi penyelamat bagi para korban erupsi. Dengan terlaksananya program konsolidasi tanah yang notabene sekaligus menjadi upaya penataan ruang serta pertanahan, menjadikan masyarakat pengungsi menjadi lebih tenang di lingkungan yang lebih terjamin keamanannya (Nugraha, 2019).

(9)

Disamping itu, pemerintah juga memperoleh dampak baik dari pelaksanaan program konsolidasi tanah ini yakni pengalaman yang berharga. Pengalaman yang dimaksud adalah bagaimana cara menanggulangi permasalahan serupa di kemudian hari. Dikarenakan bencana alam merupakan fenomena yang sulit diprediksi, sehingga pemerintah memerlukan penanganan dan respon yang cepat serta akurat dan tertata.

Dalam hal ini penyusunan strategi yang mapan dan komunikasi yang lancar menjadi key success (kunci kesuksesan) program konsolidasi tanah. Dengan demikian, pemerintah dapat menerapkan berbagai program pembangunan pertanahan dengan tetap mengikutsertakan masyarakat dalam setiap tahapan guna meraih target kesuksesan program konsolidasi tanah demi pembangunan untuk kepentingan umum yang efektif.

E. Daftar Pustaka

Andi, C. (2021). Erupsi Gunung Semeru. Kompas.

Candrakirana, I., Sitorus, O., & Puri, H. (n.d.). Konsolidasi tanah perkotaan sebagai instrumen pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Lc.

Creswell, & John, W. (2012). Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.

Frasandi, F. (2022). Reforma Agraria Terhadap Status Kepemilikan Tanah Pasca Gempa Di Kabupaten Sigi. Tadulako Master Law Journal, 6(2), 232–246.

http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/TMLJ/article/view/16529%0Ahttp://jurn al.untad.ac.id/jurnal/index.php/TMLJ/article/download/16529/pdf

Islami, A. O., Widodo, P., Bangun, E., & ... (2022). Peran Pemerintah dan Organisasi non- Pemerintah dalam Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Erupsi Gunung Semeru.

Jurnal …, 6(4), 6937–6942. http://journal.upy.ac.id/index.php/pkn/article/view/4339 Iwah. (2022). Ribuan Hunian Sementara Korban Erupsi Semeru Mulai Dialiri Listrik. Monitor Indonesia. Diakses tanggal 20 Maret 2023 dari https://monitorindonesia.com/2022/04/ribuan-hunian-sementara-korban

Nugraha, A. L. (2019). Hak Kepemilikan Tanah Pada Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi Yogyakarta Dalam Pembangunan Tanah. Elipsoida  : Jurnal Geodesi Dan Geomatika, 2(02), 24–29. https://doi.org/10.14710/elipsoida.2019.6443

Nugrahani, F. (2014). dalam Penelitian Pendidikan Bahasa (Vol. 1, Issue 1). http://e- journal.usd.ac.id/index.php/LLT%0Ahttp://jurnal.untan.ac.id/index.php/jpdpb/art icle/viewFile/11345/10753%0Ahttp://dx.doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.04.758%0Aw ww.iosrjournals.org

Perkim.id. (2022). Pembangunan Huntara Korban Erupsi Semeru Dipercepat. Diakses tanggal 20 Maret 2023 dari https://perkim.id/kebencanaan/pembangunan-huntara- korban-erupsi-semeru-dipercepat/

Purba, A., Sumantri, S. H., Kurniadi, A., & Putra, D. R. K. (2022). Analisis Kapasitas Masyarakat Terdampak Erupsi Gunung Semeru. PENDIPA Journal of Science Education, 6(2), 599–608. https://doi.org/10.33369/pendipa.6.2.599-608

(10)

PVMBG. (2021). Tipe Gunung Api di Indonesia (A, B, dan C). MAGMA Indonesia. diakses tanggal 20 Maret 2023 dari https://magma.esdm.go.id/v1/edukasi/tipe-gunung-api- di-indonesia-a-b-dan-c

Rubiono, G., Nur Indah Sari, N., & Cahyono, E. (2022). Peran Serta Perguruan Tinggi dalam Kepedulian Bencana Erupsi Gunung Semeru Tahun 2021. 6(1), 19–24.

Setiawan, R. N. (2015). KONSOLIDASI TANAH PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI 2010 DALAM KERANGKA KEPASTIAN HUKUM HAK ATAS TANAH DI KABUPATEN SLEMAN (Vol. 13).

Wahyudin, D. (2010). Aliran Lava Produk Letusan Celah Tahun 1941 serta Kemungkinan Terjadinya Letusan Samping Baru di Gunung Semeru Jawa Timur.

Jurnal Lingkungan Dan Bencana Geologi, 1(3), 199–211.

Referensi

Dokumen terkait