• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kualitas dan Proporsi Spermatozoa X dan Y setelah Proses Sexing Menggunakan Metode Sedimentasi yang Berbeda 2 Gradien pada Sapi Friesian Holstein”. - Brawijaya Knowledge Garden

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Kualitas dan Proporsi Spermatozoa X dan Y setelah Proses Sexing Menggunakan Metode Sedimentasi yang Berbeda 2 Gradien pada Sapi Friesian Holstein”. - Brawijaya Knowledge Garden"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

KUALITAS DAN PROPORSI SPERMATOZOA X DAN Y SETELAH PROSES SEXING MENGGUNAKAN METODE SEDIMENTASI YANG BERBEDA 2 GRADIEN

PADA SAPI FRIESIEN HOLSTEIN

SKRIPSI

Oleh:

Ahmad Fatoni NIM. 205050101111043

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG 2024

(2)

KUALITAS DAN PROPORSI SPERMATOZOA X DAN Y SETELAH PROSES SEXING MENGGUNAKAN METODE SEDIMENTASI YANG BERBEDA 2 GRADIEN

PADA SAPI FRIESIEN HOLSTEIN

SKRIPSI

Oleh:

Ahmad Fatoni NIM. 205050101111043

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Universitas

Brawijaya

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG 2024

(3)

KUALITAS DAN PROPORSI SPERMATOZOA X DAN Y SETELAH PROSES SEXING MENGGUNAKAN METODE SEDIMENTASI YANG BERBEDA 2 GRADIEN

PADA SAPI FRIESIEN HOLSTEIN Oleh:

Ahmad Fatoni NIM. 205050101111043

Telah dinyatakan lulus dalam Ujian Sarjana Pada Hari/Tanggal: Kamis, 11 Januari 2024 Menyetujui,

Dosen Pembimbing Utama

Prof. Dr. Ir. Trinil Susilawati, MS., IPU., ASEAN Eng.

NIP. 196211121987012001 Tanggal:

Menyetujui,

Dosen Pembimbing Pendamping

Dr. Aulia Puspita Anugra Yekti, S.Pt, MP, M. Sc.

NIP. 198605202015042004 Tanggal:

Mengetahui,

Dekan Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Prof. Dr. Sc. Ag

Prof. Dr. Ir. M. Halim Natsir, S. Pt, MP., IPM., ASEAN Eng NIP. 19711224 1998021 001

Tanggal:

(4)

i

RIWAYAT HIDUP

Ahmad Fatoni adalah nama penulis skripsi ini. Penulis lahir di Rembang pada tanggal 27 Desember 2001 sebagai anak kedua dari Bapak Kasmin dan Ibu Sri Budiarti . Riwayat Pendidikan penulis dimulai saat bersekolah di TK Mardisiwi dan lulus pada tahun 2008. Kemudian melanjutkan Pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri Karangsari dan lulus pada tahun 2014. Selanjutnya penulis melanjutkan Pendidikan di SMP Negeri 2 Sulang dan menyelesaikan Pendidikan pada tahun 2017. Kemudian pada tahun 2017, penulis melanjutkan Pendidikan di SMA Negeri 2 Rembang dan dinyatakan lulus pada tahun 2020. Penulis melanjutkan pendidikan S1 di Perguruan Tinggi Negeri tepatnya di Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Penulis cukup aktif dalam berbagai unit kegiatan mahasiswa antara lain: Organisasi Barisan Orang Sukses (BOS) sebagai Staff Kewirausahaan Divisi Poultry Club 2020-2022 dan Kelompok Ilmiah Mahasiswa sebagai anggota Divisi RID 2020-sekarang. Selain itu, penulis juga menorehkan berbagai prestasi diantaranya: Lolos Pendanaan PMW 2021 Universitas Brawijaya, Lolos Pendanaan BMC 2021 Fapet UB, Juara 1 Kreanova Kategori Penjaringan Masyarakat BAPPEDA Rembang tahun 2021, Juara 1 Lomba Cerpen Fapet Fun and Fit BEM FAPET UB 2022 dan yang terbaru saat ini adalah Silver Medal Indonesian International IoT Olympiad (I3O) 2022 IoT in Education University tahun 2022. Penulis melakukan Praktek

(5)

ii

Kerja Lapang dengan mengikuti kegiatan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) di Yayasan Edufarmers Internasional menjadi Farmers Development associate mendampingi peternak dengan jumlah populasi ayam broiler 33.000 dan 10.000 ekor pada tahun 2022.

(6)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan Karunia-Nya, sehingga dapat menyelesaikan penelitian penulisan skripsi dengan judul

“Kualitas dan Proporsi Spermatozoa X dan Y setelah Proses Sexing Menggunakan Metode Sedimentasi yang Berbeda 2 Gradien pada Sapi Friesian Holstein”. Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, bersama ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Ir. M. Halim Natsir, S. Pt., MP., IPM., ASEAN Eng. selaku Dekan Fakultas Peternakan, Dr. Khothibul Umam Al Awwaly, S. Pt., M. Si. selaku Ketua Departemen Jurusan Peternakan, Dr. Ir. Herly Evanuarini, S. Pt., MP. selaku Ketua Program Studi Peternakan, dan Prof. Dr. Ir. Nurul Isnaini, MP. selaku ketua minat Reproduksi dan Pemuliaan Ternak yang telah banyak membina kelancaran proses studi.

2. Prof. Dr. Ir. Trinil Susilawati, MS., IPU., ASEAN Eng.

selaku dosen pembimbing utama dan Dr. Aulia Puspita Anugra Yekti, S. Pt, MP, M. Sc. selaku dosen pembimbing pendamping yang telah memberikan bimbingan, saran serta motivasi yang membangun dan sangat bermanfaat bagi penulis. Dr. Ir. Hermanto, MP.

sebagai dosen penguji yang telah memberi masukan untuk perbaikan penulisan.

3. Universitas Brawijaya yang telah mendanai Hibah Guru Besar 2023 yang diketuai oleh Prof. Dr. Ir. Trinil Susilawati, MS., IPU., ASEAN Eng. dengan judul

(7)

iv

“Pengembangan Teknologi Sexing Menggunakan Metode Sentrifugasi dan Sedimentasi Pada Sapi “.

4. Balai Inseminasi Buatan Lembang dan Laboratorium Reproduksi Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya yang telah mengizinkan dan membantu dalam proses penelitian.

5. Bapak Kasmin dan Ibu Sri Budiarti selaku orang tua tercinta, serta keluarga besar yang telah memberikan doa dan dukungannya baik secara moril maupun materil.

6. Para sahabat (Jofan, Jamal, Hana, Farah, Dian, Bima, Izza dan Cordiaz) dan tim penelitian (Kak Amir, Fuad, Ghofar, Kak Nisa, Anggita, Ani, Nanda, Ewin, Adit, Zaimul, Rizky, Daniel, Zulfikar, Aziz dan Fardiaz) yang telah membantu dan memberikan motivasi serta dukungan dari seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi.

Penulis menyadari masih banyak ketidaksempurnaan dari penyusunan laporan skripsi ini, sehingga saran dan kritik dari para pembaca sangat diperlukan dalam penyempurnaan laporan skripsi ini. Penulis berharap semoga laporan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca serta berguna sebagai sarana pembelajaran dalam pengembangan ilmu peternakan, khususnya dalam bidang teknologi reproduksi ternak.

Malang, 11 Januari 2024

Penulis

(8)

v

QUALITY AND PROPORTION OF SPERMATOZOA X AND Y AFTER SEXING PROCESS USING DIFFERENT SEDIMENTATION METHODS WITH 2

GRADIENT FROM FRIESIAN HOLSTEIN CATTLE Ahmad Fatoni1), Aulia Puspita Anugra Yekti2) and Trinil

Susilawati2)

1) Student of the Faculty of Animal Science, Universitas Brawijaya

2) Lecture of Faculty of Animal Science, Universitas Brawijaya

Email : [email protected]; [email protected] and [email protected]

ABSTRACT

The study aims to analyze the quality and proportion of sexed spermatozoa using the different sedimentation methods with 2 gradient. The research material used was fresh semen from Friesian Holstein bull produced Lembang Artificial Insemination Center, aged seven to nine years, with a body ≥ 900 kg and fresh semen quality progressive motilty ≥70%. The research method used was laboratory experimental were divided into two treatments consist of T0: gradient sedimentation albumin + biomed and T1: gradient sedimentation egg white + skim milk. Research variable included motility, viability, abnormality, concentration, total motile spermatozoa and proportion of spermatozoa X and Y.

The result showed that sexing sedimentation bsa + biomed and sedimentation egg white + skim milk resulted in motility ((X 72,3%, Y, 70,8%), (X 68,0% dan 67,1%)), viability ((X

(9)

vi

83,58%, Y 81,54%), (X 80,19%, Y 75,96%)), abnormality ((X 1,35%, Y 1,31%), (X 1,46%, Y 1,58%)), concentration ((X 207,50 million/ml, Y 183,36 million/ml), (X 155,77 million/ml dan 146,08 million/ml)), total motile spermatozoa ((X150,34 million/ml, Y 133,08 million/ml), ((X 106,52 million/ml, Y 98,45 million/ml)) and proportion ((X 70,46%, Y 70,77%), (X 66,68%, Y 68,92%)). The conclusion of the study is the sexing using sexing medium with BSA provides the best quality compared to egg white medium with skim milk diluent in terms of quality and proportion of X and Y spermatozoa.

Keyword: Biomed, Sexed Sedimentation Method, Skim Milk, White Egg

(10)

vii

KUALITAS DAN PROPORSI SPERMATOZOA X DAN Y SETELAH PROSES SEXING MENGGUNAKAN METODE SEDIMENTASI YANG BERBEDA 2 GRADIEN

PADA SAPI FRIESIEN HOLSTEIN

Ahmad Fatoni1), Aulia Puspita Anugra Yekti2) dan Trinil Susilawati2)

1) Mahasiswa Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya 2) Dosen Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya Email : [email protected]; [email protected] and

[email protected]

RINGKASAN

Pemanfaatan teknologi sexing merupakan pilihan tepat untuk mendukung peran IB dalam rangka meningkatkan efisiensi usaha peternakan dengan pengaturan jenis kelamin sesuai yang diinginkan. Salah satu metode sexing yang banyak digunakan adalah metode sedimentasi albumin yang didasari oleh perbedaan motilitas spermatozoa Y yang lebih cepat bergerak ke bawah (endapan) dibandingkan dengan spermatozoa X yang berada di atas (supernatan). Proses sexing dibutuhkan medium sebagai pemisah dan pengencer untuk mempertahankan kualitas semen hasil sexing. Medium sexing dapat berupa bovine serum albumin dan putih telur. BSA efektif menghasilkan proporsi spermatozoa Y 85% dan X 15%, tetapi memiliki harga yang mahal. Oleh karena itu, perlu alternatif lain berupa putih telur yang dapat dijadikan sebagai medium pemisah. Putih telur mampu memisahkan spermatozoa Y pada lapisan bawah 75,8% dan lebih efisien karena lebih murah dibandingkan BSA. Akan tetapi, putih telur dapat menyebabkan

(11)

viii

membran spermatozoa mengalami kerusakan dan menurunkan kualitas spermatozoa hasil sexing. Sedangkan, pengencer dapat berupa biomed dan skim milk dengan tambahan kuning telur sebagai sumber nutrisi spermatozoa dan melindungi spermatozoa dari cold shock. Skim milk memiliki kasein yang dapat melindungi spermatozoa selama penyimpanan pada suhu rendah saat pembekuan. Penggunaan pengencer yang tepat turut berperan untuk menentukan kualitas semen beku yang dihasilkan karena pengencer dapat membantu memperpanjang hidup spermatozoa. Tujuan penelitian ini mengetahui kualitas dan proporsi spermatozoa X dan Y pada proses sexing menggunakan metode sedimentasi yang berbeda pada sapi Friesian Holstein.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Produksi Balai Inseminasi Buatan Lembang untuk proses dan uji kualitas semen sexing pada tanggal 10 Agustus hingga 24 September 2023. Sedangkan, uji proporsi semen beku sexing dilakukan di Laboratorium Reproduksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya pada tanggal 26 September hingga 19 Oktober 2023. Materi yang digunakan adalah semen segar sapi FH produksi BIB Lembang, yaitu 1) Flate, kode 314113, berat 950 Kg, umur 9 tahun. 2) Flanggo, kode 314115, berat 943 Kg, umur 9 tahun. 3) C. O. Superson, kode 316124, berat 995 Kg, umur 7 tahun. 4) C. O. Shooter, kode 316127, berat 1055 Kg, umur 7 tahun. Semen yang digunakan memiliki kriteria motilitas massa ≥2+, motilitas individu ≥70% dan penampungan dilakukan dua kali seminggu. Metode yang digunakan adalah eksperimental laboratorium dengan dua perlakuan dan 13 ulangan yaitu P0 : gradien sedimentasi bovine serum albumin 2 gradien dengan inkubasi selama 45 menit, suhu 37oC dan sentrifugasi 1800 rpm selama 10 menit,

(12)

ix

pengencer biomed sebagai kontrol dan P1 : gradien sedimentasi putih telur 2 gradien dengan inkubasi selama 20 menit, suhu 37oC dan sentrifugasi 1500 rpm selama 5 menit, pengencer skim milk. Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah kualitas spermatozoa setelah sexing, yaitu motilitas, viabilitas, abnormalitas, konsentrasi, total spermatozoa motil dan proporsi spermatozoa X dan Y. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis uji paired sample t test dengan bantuan program software SPSS for windows dan Microsoft Excel.

Setelah diolah, data dianalisis secara deskriptif serta dibandingkan dengan parameter penelitian sebelumnya. Untuk penentuan proporsi spermatozoa X dan Y menggunakan analisis deskriptif membandingkan penelitian sebelumnya.

Hasil analisis menggunakan uji paired sample t test menunjukkan bahwa perbedaan metode sedimentasi memberikan hasil yang berbeda nyata (P≤0,05) terhadap motilitas, viabilitas, konsentrasi dan TSM pada lapisan atas dan bawah. Sedangkan, pada abnormalitas memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (P≥0,05) pada lapisan atas dan bawah.

Hasil proporsi yang diperoleh menunujukkan semua perlakuan lebih rendah dari nilai harapan 80%. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sexing menggunakan medium BSA dengan biomed memberikan kualitas terbaik dibandingkan putih telur dengan pengencer skim milk meliputi motilitas ((X 72,3%, Y, 70,8%), (X 68,0% dan 67,1%)), viabilitas ((X 83,58%, Y 81,54%), (X 80,19%, Y 75,96%)), abnormalitas ((X 1,35%, Y 1,31%), (X 1,46%, Y 1,58%)), konsentrasi ((X 207,50 juta/ml, Y 183,36 juta/ml), (X 155,77 juta/ml dan 146,08 juta/ml)), total spermatozoa motil ((X 150,34 juta/ml, Y 133,08 juta/ml), ((X 106,52 juta/ml, Y 98,45 juta/ml)) dan proporsi ((X 70,46%, Y 70,77%), (X 66,68%, Y 68,92%). Hasil kualitas dan proporsi

(13)

x

spermatozoa X dan Y masing-masing metode sedimentasi yang digunakan telah memenuhi syarat untuk dilanjutkan proses pembekuan semen sexing. Saran penelitian, yaitu identifikasi spermatozoa X dan Y sebaiknya menggunakan metode lain yang lebih akurat (PCR, flowcytometri, atau FISH) sehingga diperoleh persentase hasil pemisahan yang akurat maksimal serta diperlukan keterampilan pipetting peneliti yang sangat menentukan keberhasilan proses pemisahan ditinjau dari hasil motilitas, konsentrasi dan proporsi yang seimbang antara lapisan atas dan bawah.

(14)

xi DAFTAR ISI

Halaman

RIWAYAT HIDUP ... i

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRACT ... v

RINGKASAN ... vii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar,Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan ... 4

1.4. Manfaat ... 4

1.5. Kerangka Pikir Penelitian ... 4

1.6. Hipotesis Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Karakter Reproduksi Sapi Friesian Holstein . 8 2.2. Sexing Spermatozoa ... 12

2.2.1. Sexing Sedimentasi Gradien Bovine Serum Albumin ... 16

2.2.2. Sexing Sedimentasi Gradien Putih Telur ... 17

2.3. Inseminasi Buatan Pada Sapi Menggunakan Semen Sexing ... 19

2.4. Pengencer Spermatozoa ... 21

2.4.1. Biomed ... 23

2.4.2. Skim Milk ... 24

2.5. Evaluasi Kualitas Semen Hasil Sexing ... 25

2.5.1. Motilitas Individu Spermatozoa ... 25

(15)

xii

2.5.2. Viabilitas Spermatozoa ... 26

2.5.3. Konsentrasi Spermatozoa ... 28

2.5.4. Abnormalitas Spermatozoa ... 29

2.5.5. Total Spermatozoa yang Motil ... 31

2.5.6. Identifikasi Spermatozoa X dan Y .. 32

BAB III MATERI DAN METODE PENELITIAN ... 34

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 34

3.2. Materi Penelitian ... 34

3.2.1. Sampel Semen ... 34

3.2.2. Alat dan Bahan ... 34

3.3. Metode Penelitian ... 35

3.4. Tahapan Penelitian ... 36

3.5. Variabel Penelitian ... 38

3.5.1. Variabel Bebas... 38

3.5.2. Variabel Tergantung ... 38

3.6. Kerangka Operasional Penelitian ... 43

3.7. Analisis Data Penelitian ... 47

3.8. Batasan Istilah ... 48

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49

4.1. Kualitas Semen Segar Sapi Friesian Holstein ... 49

4.2. Kualitas Spermatozoa Hasil Sexing Sapi Friesian Holstein ... 51

4.2.1. Motilitas Individu Spermatozoa ... 51

4.2.2. Viabilitas Spermatozoa ... 55

4.2.3. Abnormalitas Spermatozoa ... 59

4.2.4. Konsentrasi Spermatozoa ... 62

4.2.5. Total Spermatozoa Motil ... 65

4.3. Proporsi Spermatozoa Hasil Sexing Sapi Friesian Holstein ... 67

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

5.1. Kesimpulan ... 72

5.2. Saran ... 72

(16)

xiii

DAFTAR PUSTAKA ... 73 LAMPIRAN ... 89

(17)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 1. Kualitas Semen Segar Sapi Friesian Holstein Berbagai Penelitian………..1 2. Perbedaan Spermatozoa X dan Y………..13 3. Hasil Berbagai Penelitian Mengenai Sexing Sedimentasi Albumin………14 4. Kualitas Semen Segar Sapi Friesian Holstein…………..49 5. Rata-Rata Persentase Motilitas Individu Setelah Sexing..52 6. Rata-Rata Persentase Viabilitas Spermatozoa Setelah Sexing………...55 7. Rata-Rata Persentase Abnormalitas Spermazoa Setelah Sexing………...59 8. Rata-Rata Konsentrasi Spermatozoa Setelah Sexing……63 9. Rata-Rata Total Spermatozoa Motil Setelah Sexing…….65 10. Rataan Persentase Proporsi Spermatozoa Hasil Sexing Perlakuan 0………...68 11. Rataan Persentase Proporsi Spermatozoa Hasil Sexing Perlakuan 1………...69

(18)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Pikir Penelitian………..7

2. Viabilitas Spermatozoa A (Hidup/tak berwarna) B (mati/berwarna)………28

3. Abnormalitas Spermatozoa………...31

4. Kerangka Operasional Penelitian……….43

5. Tahapan Penelitian………...44

6. Grafik Rataan Motilitas Individu Setelah Sexing…….…54

7. Grafik Rataan Viabilitas Spermatozoa Setelah Sexing...56

8. Hasil Pengamatan Spermatozoa Mati (A) dan Hidup (B)..58

9. Hasil Pengamatan Abnormalitas Spermatozoa...60

10. Grafik Rataan Abnormalitas Spermatozoa Setelah Sexing...61

11. Grafik Rataan Konsentrasi Setelah Sexing...64

12. Grafik Rataan Total Spermatozoa Motil Setelah Sexing...66

13. Hasil Pengukuran Luas Kepala Spermatozoa...70

14. Grafik Rataan Persentase Proporsi Spermatozoa Hasil Sexing...70

(19)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Data Semen Segar Sapi Friesian Holstein ... 89

2. Data Pejantan Sapi Friesian Holstein ... 90

3. Data Motilitas Individu Spermatozoa (%) Lapisan Atas ... 91

4. Data Motilitas Individu Spermatozoa (%) Lapisan Bawah 93 5. Data Viabilitas Spermatozoa (%) Lapisan Atas ... 95

6. Data Viabilitas Spermatozoa (%) Lapisan Bawah ... 97

7. Data Abnormalitas Spermatozoa (%) Lapisan Atas... 99

8. Data Abnormalitas Spermatozoa (%) Lapisan Bawah ... 101

9. Data Konsentrasi Spermatozoa (Juta/ml) Lapisan Atas ... 103

10. Data Konsentrasi Spermatozoa (Juta/ml) Lapisan Bawah ... 105

11. Data Total Spermatozoa Motil (Juta/ml) Lapisan Atas .. 107

12. Data Total Spermatozoa Motil (Juta/ml) Lapisan Bawah ... 109

13. Dokumentasi Kegiatan Penelitian ... 111

(20)

xvii

DAFTAR SINGKATAN BBIB : Balai Besar Inseminasi Buatan BIB : Balai Inseminasi Buatan BSA : Bovine Serum Albumin

℃ : Derajat Celcius FAPET : Fakultas Peternakan

FISH : Flouroscent In Situ Hibridation FH : Friesian Holstein

g : Gram

IB : Inseminasi Buatan ml : mili liter

PCR : Polymerase Chain Reaction RAK : Rancangan Acak Kelompok SDA : Sedimentasi Albumin

SGDP : Sentrifugasi Gradien Densitas Percoll SGPT : Sedimentasi Gradien Putih Telur TSM : Total Spermatozoa Motil

(21)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar,Belakang

Sapi perah merupakan ternak yang dimanfaatkan susunya karena menyediakan sumber protein hewani dengan gizi tinggi bagi manusia. Populasi sapi perah tahun 2022 di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik, (2022) tercatat sebanyak 592.897 ekor dengan memproduksi 968,9 ribu ton susu segar.

Produksi susu segar naik 2,27% yakni mencapai 946,9 ribu ton dari tahun sebelumnya. Kebutuhan susu dalam negeri diproyeksikan akan meningkat sejalan dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya minum susu. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya defisit susu serta memicu adanya impor (Ruccy, Suharno dan Asmarantaka, 2022). Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan melakukan program breeding sapi perah melalui IB. Pemanfaatan teknologi sexing merupakan pilihan tepat untuk meningkatkan efisiensi usaha peternakan dengan pengaturan jenis kelamin sesuai yang diinginkan (Manzoor, Patoo, Akram, Shah and Nazir, 2017). Metode sexing memiliki kelebihan dan kekurangan, juga prinsip dan cara kerja yang berbeda, sehingga dapat mempengaruhi kualitas spermatozoa hasil sexing. Teknik sexing spermatozoa yang dikembangkan oleh Tim Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya terdiri dari filtrasi sephadex, sentrifugasi gradien densitas percoll, dan sedimentasi albumin (Wahjuningsih, Susilawati, Suyadi, Ihsan, Busono, Isnaini dan Yekti, 2019).

Produksi semen beku sexing di Indonesia menggunakan metode sexing yang berbeda, yaitu Balai Besar Inseminasi

(22)

2

Buatan Singosari menggunakan metode sexing Sentrifugasi Gradien Densitas Percoll dan Balai Inseminasi Buatan Lembang menggunakan metode sexing Sedimentasi Albumin.

Metode sexing dengan sedimentasi albumin didasari oleh motilitas spermatozoa yang berbeda, yaitu spermatozoa Y yang lebih cepat dibandingkan spermatozoa X sehingga jika dilakukan sedimentasi, maka spermatozoa Y bergerak ke endapan sedangkan spermatozoa X tetap berada di supernatan (Susilawati, 2014). Aplikasi sexing menggunakan metode sedimentasi albumin memerlukan adanya medium sexing sebagai pemisah dan pengencer untuk mempertahankan kualitas spermatozoa hasil sexing (Nengsih, Dasrul, Akmal, Zainuddin, Riady dan Salim, 2019). Pemisahan spermatozoa menggunakan BSA telah dilakukan sebelumnya karena sangat efektif menghasilkan proporsi spermatozoa X 15% dan Y 85%

(Susilawati, 2014). Hasil penelitian yang dilakukan Kaiin, Gunawan, Octaviana dan Nuswantara, (2017) sexing pada sapi Simmental dengan gradien BSA 5% dan 10% didapatkan hasil sebagai berikut: motilitas spermatozoa X dan Y (60-70%), viabilitas spermatozoa X 76,9-80,1%, Y 75,5-77,7%, dan abnormalitas spermatozoa X 6,4-7,6%, Y 5,2-5,5%. Produksi semen beku sexing sedimentasi albumin dibutuhkan 3 bahan utama, yaitu medium sexing dan BSA sebagai media pemisah dan biomed sebagai pengencer. Ketiga bahan tersebut memiliki komposisi yang belum diketahui dan harga yang mahal sehingga menimbulkan ketergantugan BIB Lembang pada satu produsen.

Alternatif lain yang bisa digunakan adalah putih telur.

Hasil penelitian Susilawati, (2014) sexing menggunakan

(23)

3

medium putih telur pada semen sapi terbukti mampu memisahkan spermatozoa Y pada lapisan bawah 75,8%.

Penelitian lain yang dilakukan Ervandi, dkk., (2013) sexing spermatozoa pada sapi Limousin dengan putih telur 3 gradien, yaitu, 10%, 30% dan 50% dengan pengencer Andromed didapatkan hasil motilitas spermatozoa X 62,5%, Y 58%, viabilitas spermatozoa X 91,64%, Y 91,51%, konsentrasi spermatozoa X 643 juta/ml, Y 518 juta/ml), TSM spermatozoa X 373,60 juta/ml, Y 187,80 juta/ml dan abnormalitas spermatozoa X 6,69%, 8,57%. Secara ekonomis medium putih telur lebih efisien, murah dibandingkan bahan lainnya (Takdir, Ismaya dan Bintara 2017). Disisi lain, putih telur menyebabkan membran spermatozoa rusak dan menurunkan kualitas spermatozoa hasil sexing (Ervandi, Susilawati dan Wahjuningsih, 2013).

Uraian di atas menjadi dasar dilakukannya penelitian mengenai kualitas,dan proporsi spermatozoa X,dan Y setelah proses sexing menggunakan metode sedimentasi yang berbeda 2 gradien pada sapi FH, yaitu membandingkan paket teknologi sexing di BIB Lembang dengan bahan berupa medium sexing, BSA dan pengencer Biomed dengan paket teknologi sexing yang dikembangkan oleh Fapet UB menggunakan medium putih telur dengan pengencer skim milk. Pengencer ini digunakan karena telah dikembangkan di BIB Lembang dan mengandung bahan yang tidak bersifat toksik, mengandung sumber energi, bersifat isotonis, mengandung krioprotektan, buffer dan menghambat pertumbuhan bakteri (Susilawati, 2013) sehingga menjadi alternatif metode terbaik dalam proses pemisahan spermatozoa X dan,Y dengan 2 gradien.

(24)

4

1.2.

Rumusan Masalah

Permasalahan dari,penelitian,ini,adalah bagaimana kualitas dan proporsi spermatozoa X dan Y setelah proses sexing menggunakan metode sedimentasi yang berbeda dengan 2 gradien pada sapi Friesian Holstein?

1.3.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas dan proporsi spermatozoa X dan Y setelah proses sexing menggunakan metode sedimentasi yang berbeda dengan 2 gradien pada sapi Friesian Holstein.

1.4.

Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai sumber informasi pengembangan ilmu pengetahuan mengenai sexing sedimentasi albumin 2 gradien pada sapi FH.

2. Hasil penelitian dapat dijadikan pedoman bagi BIB untuk melakukan sexing spermatozoa menggunakan sedimentasi gradien BSA dengan pengencer biomed dan sedimentasi gradien putih telur dengan pengencer skim milk 2 gradien sehingga menjadi metode terbaik dalam proses sexing spermatozoa X dan Y yang kualitas dan proporsinya sesuai dengan yang diharapkan.

1.5.

Kerangka Pikir Penelitian

Sapi FH merupakan ternak perah yang memiliki potensi dalam peningkatan produksi susu dalam negeri. Populasi sapi perah tahun 2022 di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik,

(25)

5

(2022) tercatat sebanyak 592.897 ekor dengan memproduksi 968,9 ribu ton susu segar. Kebutuhan susu dalam negeri diproyeksikan akan meningkat sejalan dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya minum susu. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya defisit susu serta memicu adanya impor (Ruccy, dkk., 2022). Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan melakukan program breeding sapi perah melalui IB.

Pemanfaatan teknologi sexing merupakan pilihan tepat untuk meningkatkan efisiensi usaha peternakan dengan pengaturan jenis kelamin sesuai yang diinginkan (Manzoor, et al., 2017.

Produksi semen beku sexing di Indonesia menggunakan metode sexing yang berbeda, yaitu Balai Besar Inseminasi Buatan Singosari menggunakan metode sexing Sentrifugasi Gradien Densitas Percoll dan Balai Inseminasi Buatan Lembang menggunakan metode sexing Sedimentasi Albumin. Metode sexing dengan sedimentasi albumin didasari oleh motilitas spermatozoa yang berbeda, yaitu spermatozoa Y yang lebih cepat dibandingkan spermatozoa X sehingga jika dilakukan sedimentasi, maka spermatozoa Y bergerak ke endapan sedangkan spermatozoa X tetap berada di supernatan (Susilawati, 2014).

Aplikasi sexing menggunakan metode sedimentasi albumin memerlukan adanya medium sexing sebagai pemisah dan pengencer untuk mempertahankan kualitas spermatozoa hasil sexing (Nengsih, dkk., 2019). Pemisahan spermatozoa menggunakan BSA 5% dan 10% telah dilakukan sebelumnya karena sangat efektif menghasilkan proporsi spermatozoa X 15% dan Y 85% (Susilawati, 2014). Produksi semen beku sexing sedimentasi albumin dibutuhkan 3 bahan utama, yaitu

(26)

6

medium sexing dan BSA sebagai media pemisah dan biomed sebagai pengencer. Ketiga bahan tersebut memiliki komposisi yang belum diketahui dan harga yang mahal sehingga menimbulkan ketergantugan BIB Lembang pada satu produsen.

Alternatif lain yang bisa digunakan adalah putih telur. Hasil penelitian Susilawati, (2014) sexing menggunakan medium putih telur pada semen sapi terbukti mampu memisahkan spermatozoa Y pada lapisan bawah 75,8%. Secara ekonomis medium putih telur lebih efisien, murah dibandingkan bahan lainnya (Takdir, Ismaya dan Bintara 2017). Disisi lain, putih telur menyebabkan membran spermatozoa rusak dan menurunkan kualitas spermatozoa hasil sexing (Ervandi, Susilawati dan Wahjuningsih, 2013).

Uraian di atas menjadi dasar dilakukannya penelitian mengenai kualitas,dan proporsi spermatozoa X,dan Y setelah proses sexing menggunakan metode sedimentasi yang berbeda dengan 2 gradien pada sapi FH, yaitu membandingkan paket teknologi sexing di BIB Lembang dengan bahan berupa medium sexing, BSA dan pengencer Biomed dengan paket teknologi sexing yang dikembangkan oleh Fapet UB menggunakan medium putih telur dengan pengencer skim milk sehingga menjadi alternatif metode terbaik dalam proses pemisahan spermatozoa X dan,Y dengan 2 gradien. Konsep penelitian secara,rinci dapat dilihat pada diagram alir berikut:

(27)

7

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

1.6.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

H0: Perbedaan metode sedimentasi dengan 2 gradien pada proses sexing tidak berpengaruh terhadap kualitas dan proporsi spermatozoa X dan Y pada sapi Friesian Holstein.

H1: Perbedaan metode sedimentasi dengan 2 gradien pada proses sexing berpengaruh terhadap kualitas dan proporsi spermatozoa X dan Y pada sapi Friesian Holstein.

(28)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakter Reproduksi Sapi Friesian Holstein

Sapi Friesian Holstein adalah jenis sapi yang dapat dimanfaatkan sebagai ternak penghasil susu karena produksinya yang tinggi dan kandungan lemak yang rendah. Di Indonesia, seekor sapi FH rata-rata mampu memproduksi susu sekitar 10,87 liter/hari dengan masa laktasi sekitar 10 bulan (Amrulloh, Surjowardojo dan Setyowati, 2018). Ciri-ciri fisik sapi FH antara lain: perut bagian bawah dan kaki berwarna putih serta memiliki pola hitam putih dengan dahi terdapat corak segitiga dan bagian dada. Sapi FH juga memiliki tanduk kecil yang menghadap ke depan (Adamczyk, Jagusiak and Makulska, 2018). Sapi FH mampu bertahan hidup pada lingkungan dengan suhu berkisar antara 18-23℃ (Tanuwiria, Susilawati, Tasfirin, Salman and Mushawwir, 2022). Sapi FH merupakan ternak sapi yang memiliki keunggulan yaitu mudah menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan meskipun tidak tahan panas. Sifat sapi FH betina cenderung lebih tenang dan jinak dibanding sapi FH jantan (Tasripin, Christi dan Biyantoro, 2020). Sapi FH banyak dipelihara di Indonesia dengan skala perusahaan yang besar maupun skala peternakan rakyat.

Produktivitas sapi FH berasal dari 50% gen betina dan 50% dari gen pejantan (Ristiani, Yunus, Suprayogi, Srianto, Mustofa dan Rimayanti, 2020). Pemilihan pejantan yang unggul menjadi faktor penting untuk peningkatkan produktivitas sapi FH.

Menurut Mahmud, Busono dan Surjowardojo, (2018) kondisi suhu dan kelembapan pada lingkungan pemeliharaan sapi FH

(29)

9

jantan dapat menyebabkan kualitas dan kuantitas semen yang dihasilkan. Kualitas semen dari pejantan berhubungan erat dengan fertilitas (Morrell, Nongbua, Valeanu, Verde, Enkel, Edman, dan Johannisson, 2017). Oleh karena itu, manajemen pemeliharaan pejantan akan menentukan kualitas dan kuantitas semen yang dihasilkan.

Pejantan yang dipilih berasal dari pejantan unggul yang telah memenuhi syarat teknis, baik segi reproduksi maupun kesehatan sebelum dilakukan penampungan semen. Menurut Yekti, Susilawati., Ihsan dan Wahjuningsih (2017) pemeliharaan pejantan yang baik akan menunjang proses hormon reproduksi dalam menghasilkan semen dengan kualitas yang baik. Kualitas dan kuantitas semen sapi jantan juga dipengaruhi beberapa hal, meliputi: umur, pakan, genetik, besar testis, kesehatan, frekuensi ejakulasi, dan bangsa sapi (Susilawati, 2013). Manajemen pemeliharaan pejantan meliputi: perawatan dan sanitasi ternak, pakan hijauan, pakan kosentrat, kesehatan dan perkandangan. Menurut Yekti, dkk., (2017) nutrisi pakan yang belum terpenuhi akan menghambat laju pertambahan bobot badan dan mengakibatkan fungsi organ reproduksi terganggu, sehingga diperlukan pemberian pakan dengan formula yang tepat. Kualitas semen segar yang dihasilkan menentukan keberhasilan untuk diproduksi semen beku.

Kualitas semen segar terbagi menjadi 2 aspek yaitu secara makroskopis dan mikroskopis. Kualitas makroskopis, yaitu volume, bau, warna, pH, dan konsistensi. Kualitas mikroskopis, yaitu motilitas (massa dan individu), viabilitas, konsentrasi, dan abnormalitas (Komariah, Arifiantini, Aun dan Sukmawati,

(30)

10

2020). Semen segar yang akan diencerkan harus memenuhi syarat, yaitu minimal persentase motilitas spermatozoa 70%, gerakan massa ++ atau +++, dan persentase abnormal tidak lebih dari 10% (Rizal dan Thahir, 2016). Susilawati, (2014) syarat semen yang dapat dilakukan proses sexing minimal memiliki motilitas progesif >70%. Wahyutea, Sutopo dan Ondho, (2015) kualitas semen akan menurun ketika jarak tempuh yang jauh di bawah kondisi buruk, yaitu kedinginan dan kepanasan yang berlebihan, terpapar udara yang lama, terkena sinar matahari dan adanya guncangan dalam membawa semen.

Susilawati, (2013) kualitas semen dipengaruhi oleh umur ternak, lingkungan pemeliharaan, prosedur koleksi semen, status kesehatan ternak, musim, frekuensi penampungan dan bangsa ternak. Kualitas semen segar sapi FH dilakukan uji makroskopis dan mikroskopis sebelum dilanjutkan proses sexing, proses pengenceran dan pembekuan. Rataan hasil pemeriksaan semen segar sapi FH berbagai penelitian disajikan pada tabel 1 sebagai berikut.

Tabel 1. Kualitas Semen Segar Sapi Friesian Holstein Berbagai Penelitian

Sumber Pustaka Hasil Penelitian Komariah,

Arifiantini dan Nugraha, (2013)

Karakteristik semen segar sapi FH adalah memiliki volume rata-rata 6,5- 11,1 ml, dengan warna putih susu, konsentrasi 1.249,3-1.874,3 juta/ml, pH berkisar 6,8-7,0, motilitas individu 68,19-78,21% dan konsistensi sedang.

(31)

11

Sumber Pustaka Hasil Penelitian Muhammad,

Susilawati dan Wahjuningsih, (2016)

Karakteristik semen segar sapi FH adalah memiliki volume rata-rata 6,32-7,6 ml, dengan warna putih kekuningan hingga putih susu, konsentrasi 910,81-1.302,39 juta/ml, pH 6,26-6,62, motilitas individu 52,78-61,22%, viabilitas 86,8- 88,74%, abnormalitas 2,87-3,85%

dan konsistensi sedang.

Shah, Hameed, Zaman, Muhammad, Farooq and

Bokhari,(2018)

Karakteristik semen segar sapi FH adalah memiliki volume rata-rata 6-8 ml dengan pH 6,65, berwarna putih krem dan kuning. Skor aktivitas massa semen menunjukkan gerakan yang kuat dengan gelombang dan pusaran cepat hingga sedang. Semen segar memiliki motilitas rata-rata 74,68%.

Baloch, Kunbhar, Memon, Sharif, Leghari, Rizwana and Rajput, (2019)

Karakteristik semen segar sapi FH adalah memiliki volume rata-rata 7,1 ml, dengan pH rata-rata 6,6, memiliki warna putih krem dan putih susu serta memiliki nilai rata-rata pergerakan massa +++, motilitas rata-rata 74,58%, konsentrasi rata-rata 1407,789 dan memiliki integritas membran rata-rata 58,37%.

(32)

12 2.2. Sexing Spermatozoa

Semen sexing atau pemisahan semen berdasarkan jenis kelamin merupakan teknologi reproduksi yang memungkinkan pemisahan spermatozoa berdasarkan jenis kelamin kromosom X dan Y (Setiyani, Yekti, Kuswati dan Susilawati, 2018).

Teknologi ini umumnya digunakan untuk program pemuliaan ternak, yaitu menghasilkan pedet dengan jenis kelamin yang diinginkan (Utomo, Rimayanti, dan Lokapirnasari, 2021).

Semen beku sexing dan non sexing adalah dua jenis semen yang digunakan dalam IB ternak, khususnya sapi. Sexing adalah teknologi yang digunakan untuk memisahkan dan memilih spermatozoa jantan atau betina yang diinginkan, sedangkan semen non sexing adalah semen yang tidak dipisahkan berdasarkan jenis kelamin spermatozoa. Sexing adalah mengubah proporsi alamiah spermatozoa X 50% dan Y 50%

menjadi proporsi yang diinginkan (Takdir, dkk., 2017). Proses ini dapat dilakukan karena terdapat perbedaan antara spermatozoa X dan Y. Sexing spermatozoa memiliki keunggulan, yaitu dapat menentukan jenis kelamin ternak sesuai kebutuhan sehingga sangat efektif dan efisien bagi peternak (Wahjuningsih, dkk., 2019).

Spermatozoa X memiliki peran penting dalam menghasilkan replacement stock sapi perah, yaitu jika diinseminasikan dapat menghasilkan pedet betina (Yadav, Sahu, Lone, Shah, Singh, Verma, Baithalu and Mohanty, 2018).

Sophian dan Afiati, (2016) jika spermatozoa Y berhasil fertilisasi maka pedet yang akan dilahirkan adalah jantan, sedangkan jika spermatozoa X yang berhasil fertilisasi maka akan dilahirkan pedet betina. Spermatozoa X dan Y memiliki

(33)

13

perbedaan yang menyebabkan kemungkinan untuk dilakukan pemisahan. Susilawati, (2014) perbedaan tersebut antara lain spermatozoa X dan Y berbeda dari segi kandungan jumlah DNA, kromatin, kepala spermatozoa, motilitas spermatozoa dan muatan elektromagnetik yang berbeda. Perbedaan inilah yang menjadi dasar dari macam-macam metode pelaksanaan sexing (Purwoistri, Susilawati dan Rahayu, 2013). Perbedaan spermatozoa X dan Y menurut Susilawati, (2014) disajikan pada tabel 2 sebagai berikut.

Tabel 2. Perbedaan Spermatozoa X dan Y

Karakteristik Perbedaan

DNA Spermatozoa X lebih banyak

Ukuran Spermatozoa X lebih besar karena mengandung banyak kromatin

Motilitas Spermatozoa Y lebih cepat karena lebih ringan dan pendek sehingga lebih banyak bergerak

Muatan Spermatozoa X migrasi kearah katoda Identitas Spermatozoa mengandung fluorescent

Pelaksanaan sexing memiliki bermacam metode yang digunakan antara lain sentrifugasi gradien densitas percoll, sedimentasi albumin, filtrasi sephadex dan flow cytometri (Wahjuningsih, dkk., 2019). Pada dasarnya metode sexing memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, juga prinsip dan cara kerja yang berbeda sehingga dapat mempengaruhi kualitas spermatozoa yang dihasilkan. Produksi semen beku sexing di Indonesia menggunakan metode sexing

(34)

14

yang berbeda, yaitu Balai Besar Inseminasi Buatan Singosari menggunakan metode sexing Sentrifugasi Gradien Densitas Percoll dan Balai Inseminasi Buatan Lembang menggunakan metode sexing Sedimentasi Albumin. Metode sexing SGDP memiliki prinsip kerja yang didasarkan pada perbedaan densitas antara spermatozoa X dan Y yang mana kepadatan spermatozoa X lebih tinggi dibandingkan spermatozoa Y sehingga spermatozoa X akan berada di gradien bawah (Yekti, Rahayu, Ciptadi, and Susilawati, 2023). Metode sexing dengan sedimentasi albumin didasari oleh motilitas spermatozoa yang berbeda, yaitu spermatozoa Y yang lebih cepat dibandingkan spermatozoa X sehingga jika dilakukan sedimentasi, maka spermatozoa Y bergerak ke endapan sedangkan spermatozoa X tetap berada di supernatan (Susilawati, 2014). Hasil penelitian sexing menggunakan metode sedimentasi yang berbeda disajikan pada tabel 3 sebagai berikut.

Tabel 3. Hasil Berbagai Penelitian Mengenai Sexing Sedimentasi Albumin

Sumber Pustaka

Hasil Penelitian Ervandi,

dkk., (2013)

Sexing pada semen segar sapi Limousin dengan gradien putih telur menggunakan pengencer CEP-2+ kuning telur 10%

didapatkan hasil pada lapisan atas (X) dan bawah (Y) dengan kualitas spermatozoa setelah sexing meliputi motilitas (X 56,50%, Y 55%), viabilitas spermatozoa (X 89,87%, Y 93,51%), konsentrasi spermatozoa (X 648,

(35)

15 Sumber

Pustaka

Hasil Penelitian

Y 517) dan abnormalitas (X 9,59%, Y 8,45%).

Kain, dkk., (2017)

Sexing pada sapi Simmetal dengan gradien BSA 5% dan 10% didapatkan hasil sebagai berikut: Motilitas X dan Y sebesar 60-70%, Viabilitas X (76,9-80,1%, Y 75,5-77,7%), dan Abnormalitas (X 6,4-7,6%, Y 5,2-5,5%).

Purwoistri, dkk.. 2013

Sexing spermatozoa sapi Limousin menggunakan metode sedimentasi putih telur menggunakan perlakuan pengencer CEP-2+ kuning telur 10% didapatkan hasil pada lapisan atas (X) dan bawah (Y) dengan kualitas spermatozoa setelah sexing meliputi motilitas (X 57,83%, Y 55,07%), viabilitas spermatozoa (X 93,3%, Y 92,9%), konsentrasi spermatozoa (X 648, Y 517) dan abnormalitas (X 6,82%, Y 8,76%).

Stefanus, Suharyati, Siswanto dan Hartono, (2021)

Sexing spermatozoa kambing Boer menggunakan metode sedimentasi albumin BSA menggunakan perlakuan pengencer yang berbeda didapatkan hasil sebagai berikut:

 Pengencer Biomed didapatkan hasil pada lapisan atas (X) dan bawah (Y) meliputi motilitas (X 51,67%, Y 58,33%), Viabilitas (X 67,%, Y 85,5%)

(36)

16 Sumber

Pustaka

Hasil Penelitian

dan abnormalitas (X 4,33%, Y 2,83%).

 Pengencer Susu Skim didapatkan hasil pada lapisan atas (X) dan bawah (Y) meliputi motilititas (X 35,%, Y 66,67%), Viabilitas (X 53,33%, Y 89,67%) dan abnormalitas (X 3,17%, Y 4,67%).

2.2.1. Sexing Sedimentasi Gradien Bovine Serum Albumin

Spermatozoa X dan,Y yang dipisahkan menggunakan medium BSA telah dilakukan sebelumnya, karena sangat efektif menghasilkan proporsi spermatozoa X 15% dan Y 85% dan dapat dilakukan proses pembekuan (Susilawati, 2014). BSA merupakan bahan kimia yang mengandung albumin berasal dari sapi 100 mg/ml. BSA termasuk produk impor yang sulit didapatkan, mahal harganya dan komposisinya tidak diketahui (Indriani, Susilawati dan Wahjuningsih, 2013).

Menurut Suryanatha, Bebas dan Laksmi, (2019) BSA mengandung protein yang berlimpah dengan komposisi asam amino 20 macam, sekaligus mensubstitusi penurunan konsentrasi sehingga dapat menjaga stabilitas membran sel spermatozoa pada proses sexing.

Perlindungan BSA saat proses sedimentasi yang lama, yaitu melindungi integritas membran dan membran akrosom spermatozoa. Menurut Suryanatha, dkk., (2019)

(37)

17

BSA terdiri dari makromolekul yang berfungsi mengikat dan mencegah adanya Ca2+ yang berlebihan ke sitosol sehingga meminimalisir spermatozoa tidak mengalami kapasitasi dan reaksi akrosom dini. Selain itu, BSA memungkinkan pengontrolan pergerakan kalsium melintasi membran secara lebih efektif, dengan menekan akumulasi Ca2+ intraseluler sehingga dapat mempertahankan motilitas dan viabilitas yang tinggi (Purwoistri, dkk., 2013). Fungsi BSA dalam proses sexing, yaitu krioprotektan dan antioksidan sehingga dapat mensubstitusi penurunan konsentrasi dan menjaga stabilitas membran spermatozoa (Utami, Ducha dan Purnama. 2019). Disisi lain, penambahan konsentrasi BSA yang tinggi dapat menyebabkan medium berubah menjadi hipertonik dan tekanan osmose menjadi tinggi (Suryanatha, dkk., 2019). Hasil penelitian Solihati, Rasad, Hilmia, Winangun, dan Toha, (2023) bahwa perbedaan densitas 5% dan 10% BSA berpengaruh nyata terhadap proporsi spermatozoa X dan Y (75,5 % untuk X lapisan atas) dan (76,45% untuk Y lapisan bawah). Hasil penelitian Anwar, dkk., (2019) kualitas semen hasil sexing diperoleh motilitas spermatozoa X dan Y 72% dan abnormalitas spermatozoa X dan Y 8,5% dan 3,2%.

2.2.2. Sexing Sedimentasi Gradien Putih Telur Spermatozoa X dan,Y yang dipisahkan menggunakan medium putih telur sangat efektif, karena dapat dihasilkan spermatozoa Y pada lapisan bawah 62,8- 88,8% (Rosita, Susilawati dan Wahjuningsih, 2014).

(38)

18

Putih telur mengandung komposisi protein albumen dengan 18 asam amino, protein 12%, glukosa 0,4%, lemak 0,3%, garam 0,3% dan air 87% (Muchtadi, Sugiyono dan Ayustanigwarno, 2010). Kandungan asam amino dan albumin yang tinggi pada putih telur diharapkan mampu mempertahankan kualitas spermatozoa selama proses sexing sedimentasi. Menurut Susilawati, (2014) albumin pada putih telur mampu sebagai anti mikroba dan mengandung buffer yang dapat mempertahankan kualitas spermatozoa saat proses sexing. Putih telur mengandung berbagai macam protein, inhibitor enzim, antibakteri, vitamin dan mineral terikat.

Komponen terbesar dari putih telur yaitu bahan organik meliputi ovotransferrin, ovalbumin, lysozyme, avidin, ovomucin dan globulin.

Kandungan protein pada putih telur juga bermanfaat sebagai sumber energi saat proses pemisahan berlangsung. Purwoistri, dkk., (2013) medium putih telur mudah dibuat densitas dengan berbagai konsentrasi yang berbeda sehingga memenuhi syarat sebagai medium pemisah. Hasil penelitian Susilawati, (2014) sexing menggunakan media putih telur pada semen sapi terbukti mampu memisahkan spermatozoa Y pada lapisan bawah 75,8%. Secara ekonomis medium putih telur lebih efisien, murah dibandingkan bahan lainnya (Takdir, dkk., 2017).

Disisi lain, putih telur menyebabkan membran spermatozoa rusak dan menurunkan kualitas spermatozoa hasil sexing (Ervandi, dkk., 2013). Priyanto, dkk., (2015) menyatakan bahwa membran plasma merupakan bagian

(39)

19

pelindung terluar dari spermatozoa yang dipengaruhi langsung oleh perubahan lingkungan. Apabila terjadi kerusakan membran spermatozoa maka bagian kepala akan menghasilkan warna pada proses pewarnaan eosin dan negrosin uji viabilitas.

2.3. Inseminasi Buatan Pada Sapi Menggunakan Semen Sexing

Inseminasi buatan berasal dari kata artificial insemination yang artinya memasukkan semen menggunakan alat buatan dengan bantuan manusia ke dalam saluran reproduksi betina. IB adalah teknologi reproduksi yang dapat diaplikasikan guna meningkatkan populasi dan mutu genetik ternak (Yimer, Noraisyah, Rosnina, Wahid, Saisaifi and Hafizal, 2014). Program IB sebagai teknik perkawinan yang efesien untuk meningkatkan kualitas genetik ternak, meningkatkan produktivitas, mengurangi gangguan reproduksi melalui perkawinan alami, dan memaksimalkan penggunaan pejantan unggul (Gibbons, Fernandes, Galarraga, Spinelli and Cueto, 2019). Akan tetapi, IB menimbulkan kerugian karena dapat menghilangkan sifat bangsa lokal dalam waktu yang cepat (Susilawati, 2013). IB membutuhkan keterampilan yang tinggi, penyimpanan semen selama transportasi, inseminator dan peternaknya. Apabila seleksi pejantan salah akan menyebabkan inbreeding dan menyebarkan sifat genetik jelek (Susilawati, Suyadi, Ihsan, Wahjuningsih, Isnaini, Rachamawati, Yekti dan Utami, 2022). Saat ini, telah dikembangkan IB menggunakan semen sexing. Sexing adalah pengaturan dan penentuan jenis kelamin. Penggunaan semen

(40)

20

beku sexing pada IB bertujuan untuk mendapatkan pedet sesuai dengan jenis kelamin yang diharapkan (Wahjuningsih, dkk., 2019). Menurut Bintara, (2011) jika rasio spermatozoa seimbang 50%:50% maka pedet yang dilahirkan antara jantan dan betina akan seimbang. Pemisahan spermatozoa X dan Y bertujuan untuk pemilihan jenis kelamin yang diinginkan dalam produksi ternak. Produksi ternak sapi betina dapat dijadikan sebagai replacement stock untuk produksi industri susu, sedangkan sapi jantan dibutuhkan untuk industri sapi pedaging (Vishwanath and Moreno, 2018).

Aplikasi IB dengan semen beku sexing di beberapa daerah Indonesia telah dilakukan. Hasil dari aplikasi IB sexing pada penelitian Gunawan, Kaiin dan Said, (2015) telah berhasil mencapai kesesuaian sex ratio pedet yang dilahirkan sebesar 76- 89 %, nilai CR lebih rendah 48.5-58.3% dan nilai S/C pada IB semen sexing memiliki nilai lebih besar 1.78-1.97 dibandingkan dengan semen non sexing 1.54. Penelitian lain yang dilakukan Susilawati, Puspita, Yekti, Kuswati, Huda, Mashudi, Satria, Utami, Nugroho, Hariadi dan Udrayana, (2019) IB menggunakan semen sexing Y single dosis menghasilkan pedet jenis kelamin jantan 42,11% sedangkan jika double dosis menghasilkan 80%. Situmorang, Sianturi, Kusumaningrum, dan Maidaswar, (2014) melaporkan bahwa IB dengan spermatozoa sexing hasil pemisahan dengan albumin telur pada spermatozoa X mencapai 65%. Menurut Susilawati, dkk., (2019) ketidaksesuain jenis kelamin disebabkan hasil pemisahan spermatozoa X dan Y tidak 100%. Hal tersebut memungkinan masih terdapat spermatozoa X yang menyebabkan kondisi uterus tidak sesuai dengan kondisi

(41)

21

sperma Y. Kondisi tersebut menyebabkan spermatozoa X yang motil, mampu bertahan dan menembus oosit. Said dan Afiati, (2012) yang menyatakan bahwa sexing spermatozoa pada sapi bali menggunakan teknik kolom albumin juga dapat dihasilkan 80,77% anak jantan setelah inseminasi menggunakan spermatozoa yang diprediksi membawa kromosom Y. Putri, Siregar, Thasmi, Melia dan Adam, (2020) faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi keberhasilan IB yaitu fertilitas, pengetahuan pernak dalam gejala berahi, pelaksanaan IB, pengalaman inseminator, waktu inseminasi, dosis inseminasi, dan jumlah spermatozoa. Kondisi fisiologis ternak betina sebagai akseptor, tingkat pendidikan peternak, kemampuan dan pengalaman sapi dalam melahirkan, kualitas semen yang baik, dan keterampilan inseminator.

2.4. Pengencer Spermatozoa

Pengencer yang tepat dalam proses sexing turut berperan dalam menjaga kualitas semen beku hasil sexing (Ariantie, dkk., 2013). Pengencer umumnya menggunakan biomed dan skim milk dengan tambahan kuning telur. Menurut Susilawati, (2013) bahan tersebut tidak bersifat toksik, mengandung sumber energi, bersifat isotonis, melindungi dari pengaruh pendinginan secara cepat, mengandung buffer dan menghambat pertumbuhan bakteri. Susilawati dan Yekti, (2018) menyatakan alasan semen perlu diencerkan, yaitu alasan teknis dan biologis.

Alasan teknis perlu dilakukan pengenceran, yaitu agar dapat digunakan untuk menginseminasi banyak betina,dari satu pejantan unggul. Alasan biologis perlu dilakukan pengenceran, yaitu agar dapat memberikan media yang cocok sebagai sumber

(42)

22

nutrisi, kontrol pH dan mempertahankan tekanan osmotik spermatozoa. Pengenceran semen dimaksudkan untuk melindungi semen dari potensi kerusakan membran spermatozoa yang disebabkan saat proses, yaitu pendinginan, pembekuan dan thawing. Cold shock dan kerusakan sel yang disebabkan oleh pembentukan kristal es akibat pembekuan merupakan masalah yang sering terjadi selama proses pengenceran sehingga diperlukan penggunaan pengencer yang mengandung krioprotektan ekstraseluler dan intraseluler (Sudarmanto, Susilawati dan Isnaini, 2015). Kemampuan hidup spermatozoa setelah diejakulasi hanya dapat bertahan dalam waktu singkat. Pengenceran semen merupakan penambahan bahan yang dapat menunjang daya hidup spermatozoa. Menurut Wiratri, Susilawati dan Wahjuningsih, (2014) kondisi spermatozoa yang mudah mengalami kerusakaan sehingga dibutuhkan pengencer yang dapat mempertahankan kualitas spermatozoa selama penyimpanan. Proses pengenceran sangat erat kaitannya dengan penggunaan semen beku untuk IB.

Fungsi pengencer agar volume semen semakin banyak tanpa mengurangi kualitas semen tersebut (Susilawati, 2013).

Bahan pengencer yang biasa digunakan dalam pendinginan dan pembekuan spermatozoa, yaitu kuning telur.

Kuning telur dapat mencegah pembentukan kristal es sehingga dapat mencegah cold shock terhadap spermatozoa karena mengandung kolestrol, low density protein dan fosfolipid.

Terdapat beberapa jenis pengencer yang dapat digunakan, yaitu tris aminomethan kuning telur, andromed, CEP, biomed, skim milk dan sebagainya. Menurut Susilawati, (2013) dan Susilawati, dkk., (2022) bahan tersebut tidak bersifat toksik,

(43)

23

mengandung sumber energi, bersifat isotonis, melindungi dari pengaruh pendinginan secara cepat, mengandung buffer, menghambat pertumbuhan bakteri dan meningkatkan volume sehingga dapat digunakan beberapa kali IB.

2.4.1. Biomed

Biomed merupakan pengencer komersil dengan bahan penyusun, yaitu kuning telur, larutan biomed, serta aquabides. Menurut Kaiin, dkk., (2017) larutan biomed mengandung bahan, yaitu buffer, fruktosa, asam sitrat, gliserol, antioksidan dan antbiotik (streptomicyn, penicilin dan gentamicin). Pengencer biomed ditambahkan kuning telur sebagai sumber energi, krioprotektan ekstraseluler dan buffer terhadap spermatozoa. Bagian yang berperan sebagai krioprotektan adalah lipoprotein berkepekatan rendah yang mengandung lipid sebesar 89% dan protein (Stefanus, dkk., 2021). Kandungan lipoprotein dan lemak pada kuning telur sebagai sumber energi sehingga dapat mempertahankan viabilitas spermatozoa (Susilawati, dkk., 2022). Kuning telur mengandung asam amino, vitamin, karbohidrat dan mineral (Pratiwi, Yusuf, Arifiantini dan Sumantri, 2019). Penambahan kuning telur pada pengencer biomed, yaitu adanya lesitin yang dapat melindungi spermatozoa dari cold shock (Mardiana, 2017). Susilawati, (2013) penambahan gliserol dapat melindungi spermatozoa dari efek pembekuan, yaitu krioprotektan intraseluler. Hasil penelitian Stefanus, dkk (2021) sexing spermatozoa kambing Boer menggunakan metode sedimentasi

(44)

24

albumin menggunakan perlakuan pengencer biomed didapatkan hasil pada lapisan atas (X) dan bawah (Y) meliputi motilitas (X 51,67%, Y 58,33%), Viabilitas (X 67%, Y 85,5%) dan abnormalitas (X 4,33%, Y 2,83%).

2.4.2. Skim Milk

Skim milk merupakan pengencer non komersil yang mengandung bahan penyusun, yaitu susu skim, fruktosa, gliserol, antioksidan dan antbiotik (streptomicyn dan penicilin). Susilawati, (2013) dan Susilawati, dkk., (2022) fosfolipid yang terkandung dalam pengencer susu berfungsi mempertahankan integritas membran spermatozoa saat proses pendinginan, pembekuan dan thawing. Lesitin dan lipoprotein pada kuning telur berfungsi mempertahankan integritas selubung spermatozoa dari pengaruh cold shock (Stefanus, dkk., 2021). Susilawati, (2013) fruktosa berfungsi sebagai sumber energi. Susu skim yang dilarutkan dengan aquabidest berfungsi buffer yang mempertahankan pH pada semen tetap netral. Gliserol sebagai bahan krioprotektan intraseluluer yang dapat menarik air dalam sel sehingga tidak dapat membeku pada suhu dibawah 0℃ (Susilawti, dkk., 2022). Hasil penelitian Widjaya, (2011) perlakuan 15% susu skim dengan pengencer tris kuning telur terhadap viabilitas spermatozoa pada suhu penyimpanan 5℃ selama 2 hari diperoleh hasil viabilitas 62,48% dan motilitas spermatozoa 60,7%. Motilitas setelah sexing menggunakan pengencer susu skim diperoleh motilitas

(45)

25

66,67%, viabilitas 89,67%, dan abnormalitas 4,67%

(Stefanus, dkk., 2021).

2.5. Evaluasi Kualitas Semen Hasil Sexing

Evaluasi kualitas semen hasil sexing secara makroskopis maupun mikroskopis sebelum melakukan pengenceran dan pembekuan. Evaluasi mikroskopis meliputi motilitas individu, viabilitas, abnormalitas, konsentrasi dan TSM (Manehat, dkk., 2021).

2.5.1. Motilitas Individu Spermatozoa

Motilitas spermatozoa adalah faktor penentu kualitas spermatozoa yang diukur dari jumlah spermatozoa yang bergerak secara progresif dengan tujuan mencapai organ reproduksi betina untuk proses pembuahan sekaligus sebagai parameter kemampuan fertilisasi atau membuahi sel telur. Motilitas individu minimal 70% pada semen segar. Pergerakan individu spermatozoa yang unggul adalah gerak maju progresif atau gerak maju aktif (Novita, Karyono dan Rasminah, 2019). Ekor spermatozoa menjadi pusat motilitas sehingga pada bagian ini terdapat dua fibril sentrial yang dikelilingi oleh sebuah cincin terdiri dari sembilan pasang fibril ferifel yang mampu menggerakan ekor spermatozoa yang bersifat kotraktil (Hoesni, 2013). Spermatozoa bergerak dengan gerakan maju (progresif), berputar (oscillatory), melingkar (circular), mundur (reverse) dan tidak bergerak (nekrospermia) (Betsy and Kumar, 2014).

Motilitas spermatozoa diukur baik setelah semen diencerkan maupun setelah dibekukan dan dicairkan

(46)

26

(Susilawati, 2013). Standar Nasional Indonesia, (2021) menyebutkan bahwa standar motilitas individu spermatozoa dari semen beku adalah 40% dan nilai gerak massa spermatozoa minimum 2 untuk dapat didistribusikan dan diinseminasikan. Penurunan daya gerak spermatozoa dapat terjadi selama proses pembekuan serta pengaruh dari pengenceran. Penilaian motilitas individu terdapat derajat gerakan individu spermatozoa, yaitu sangat baik (+++) terlihat adanya gelombang-gelombang besar, banyak, gelap, tebal dan aktif bergerak, baik (++) terdapat gelombang-gelombang kecil tipis, jarang, kurang jelas dan bergerak lamban, cukup (+) bila tidak terlihat gelombang melainkan gerakan-gerakan individual aktif progresif, dan buruk (0) bila hanya sedikit atau tidak ada gerakan individual (Susilawati, 2013). Menurut Susilawati, (2014) penurunan motilitas setelah sexing karena mengalami perlakuan yang membutuhkan banyak energi sehingga mengakibatkan spermatozoa tidak bergerak dan mati.

Takdir, dkk., (2017) menambahkan bahwa penurunan motilitas dapat mencapai sekitar 20% akibat dari adanya perlakuan sentrifugasi yang mengakibatkan gesekan antar spermatozoa dan gesekan spermatozoa dengan tabung.

2.5.2. Viabilitas Spermatozoa

Viabilitas adalah persentase hidup spermatozoa didasarkan atas perbedaan daya permeabilitas terhadap cairan pada spermatozoa yang diberi pewarna eosin dan

(47)

27

dibuat preparat ulas untuk membedakan spermatozoa yang hidup dan yang mati (Soi, 2016). Menurut Rachmawati, Ismaya, Widyobroto, Bintara dan Susilawati, (2020) menyebutkan bahwa uji viabilitas dilakukan untuk mengetahui spermatozoa hidup atau mati didasarkan pada perbedaan warna menggunakan pewarna eosin-negrosin. Spermatozoa yang hidup tidak akan menyerap larutan eosin sehingga kepalanya bening sedangkan spermatozoa yang mati akan menyerap larutan eosin sehingga kepalanya berwarna merah (Manehat, dkk., 2021). Hal ini juga sesuai dengan Tanii, Dethan, dan Purwantiningsih, (2022) spermatozoa yang hidup tidak akan menyerap larutan eosin sehingga kepala bening dan spermatozoa yang mati akan menyerap eosin sehingga kepalanya akan berwarna merah.

Rendahnya viabilitas pada semen hasil sexing dapat disebabkan oleh proses sentrifugasi dan pencucian yang dapat menyebabkan integritas membran terganggu dan berpengaruh pada viabilitas. Membran plasma yang dimiliki oleh spermatozoa berfungsi untuk melindungi organel-organel sel secara fisik serta mengatur keluar masuknya zat-zat makanan. Apabila membran plasma rusak maka proses metabolisme sel akan terganggu dan berakibat kematian spermatozoa (Soi, 2016). Menurut Yatusholikhah, Isnaini dan Ihsan, (2016) penyimpanan semen yang lebih lama dapat mengakibatkan semakin meningkatnya tingkat kematian spermatozoa, karena rusaknya membran plasma yang berakibat pada terganggunya suplai energi spermatozoa, sehingga

(48)

28

menurunkan motilitas dan viabilitas. Penurunan suhu ketika proses pembekuan juga dapat menyebabkan penurunan viabilitas karena semen akan cold shock yang mengakibatkan kerusakan pada spermatozoa terutama terutama membran plasma, sehingga zat pewarna masuk ke membran saat pewarnaan eosin dan negrosin (Priyanto, Arifiantini dan Yusuf, 2015). Spermatozoa hidup dan mati yang diuji dengan eosin dan negrosin disajikan pada gambar 2 sebagai berikut.

Gambar 2. Viabilitas Spermatozoa A (Hidup/tak berwarna) B (mati/berwarna)

Sumber: Raseona, Ajao, Nethengwe, Madzhie, Nedambale, and Barry (2017)

2.5.3. Konsentrasi Spermatozoa

Konsentrasi adalah jumlah sel spermatozoa per milliliter semen (Komariah, dkk., 2020). Jumlah spermatozoa yang ada dalam volume semen tertentu disebut sebagai konsentrasi spermatozoa. Konsentrasi spermatozoa per mililiter harus ditentukan sebagai faktor

(49)

29

atau kriteria untuk menentukan kualitas semen dan kuantitas pengencer semen (Susilawati, 2013).

Konsentrasi spermatozoa setelah proses sexing dikatakan terpisah jika konsentrasi lapisan atas dan bawah seimbang. Menurut Susilawati, dkk., (2022) spermatozoa dengan motilitas tinggi akan memiliki kemampuan memisah lebih besar dalam menembus medium sehingga menghasilkan spermatozoa dengan konsentrasi yang tinggi. Menurut Purwoistri, dkk., (2013) konsentrasi lapisan atas dan bawah memiliki distribusi spermatozoa yang tidak merata karena perbedaan motilitas antara spermatozoa X dan Y. Disisi lain, adanya fruktosa dalam pengencer biomed dan skim milk dengan tambahan kuning telur mampu memberikan energi bagi spermatozoa untuk menembus gradien albumin (BSA dan Putih telur) (Stefanus, dkk., 2021).

Konsentrasi atau kepadatan spermatozoa memiliki kaitan dengan salah satu sifat semen yaitu konsistensi atau kekentalan. Semakin tinggi konsentrasi spermatozoa yang terkandung dalam semen, maka semakin kental konsistensi semen dan semakin pekat warnanya (Rosnizar, Nurfajri, Dasrul, Amalia dan Eriani, 2021). Standar Nasional Indonesia, (2021) konsentrasi spermatozoa semen beku, yaitu tidak kurang dari angka 25 juta/straw.

2.5.4. Abnormalitas Spermatozoa

Abnormalitas spermatozoa adalah tingkat kelainan atau kerusakan fisik spermatozoa yang terjadi

(50)

30

pada saat pembentukan spermatozoa di dalam tubuli seminiferi maupun karena proses transportasi spermatozoa melalui saluran-saluran organ kelamin ternak jantan. Spermatozoa abnormal akan menyebabkan gangguan saat fertilisasi, sehingga dapat menurunkan angka kebuntingan pada ternak. Abnormalitas yang dihitung seperti kepala berukuran kecil (microcephalus), kepala berukuran besar (macrocephalus), kepala lebar, memanjang, berganda, badan atau ekor berganda, ekor melingkar (tail coiled), dan kepala atau ekor yang terputus (Utami, dkk., 2019). Tiga kategori abnormalitas spermatozoa adalah abnormalitas primer, sekunder dan tersier. Abnormalirtas primer terjadi akibat kegagalan spermatozoatogenesis di tubuli seminiferi yaitu kelainan pada bagian kepala dan akrosom seperti kepala terlalu besar atau kepala terlalu kecil (Susilawati, dkk., 2022).

Abnormalitas sekunder terjadi bila terdapat sitoplasmik droplet di tengah ekor akibat belum matangnya spermatozoa di dalam epididimis atau akibat proses pendinginan dan thawing (Susilawati, 2013). Sedangkan, abnormalitas tersier terjadi pada ekor spermatozoa yang terputus karena kesalahan pembuatan preparat ulas (Mondal, Baruah, Chatterjee and Ghosh, 2013). Motilitas spermatozoa rendah tetapi memiliki morfologi yang normal, diindikasikan terjadi akibat kesalahan dalam pemeriksaan laboratorium pada motilitas (Susilawati, 2014). Model abnormalitas spermatozoa disajikan pada gambar 3 sebagai berikut.

(51)

31

Gambar 3. Abnormalitas Spermatozoa Sumber: Kemal, 2012

2.5.5. Total Spermatozoa yang Motil

Nilai total spermatozoa motil sangat penting karena menunjukkan ketersediaan jumlah spermatozoa yang motil untuk keberhasilan IB (Branigan, Estes and Walker, 2017). Jumlah spermatozoa motil menjadi faktor penentu peluang terjadinya fertilisasi (Sugiarto, Susilawati dan Wahjuningsih, 2014). Total spermatozoa motil adalah jumlah spermatozoa yang diduga fertil berdasarkan jumlah konsentrasi spermatozoa yang memiliki motilitas progresif (Mahfud, Isnaini, Yekti, Kuswati dan Susilawati, 2019). TSM dipengaruhi oleh spermatozoa yang bergerak progresif dan konsentrasi spermatozoa yang dihasilkan (Rosary, Kuswati dan Susilawati, 2018). Jumlah spermatozoa motil dipengaruhi oleh motilitas individu yang bertolak belakang dengan jumlah spermatozoa (Adhyatama, Isnaini dan Nuryadi,

(52)

32

2013). Hanifi, Ihsan dan Susilawati, (2016) menyebutkan bahwa perhitungan TSM digunakan untuk menilai kelayakan semen dalam IB. Standar Nasional Indonesia, (2021) total spermatozoa motil yang didapat minimal 10 juta/straw, total spermatozoa motil didapat dari hasil kali standar motilitas 40% dengan standar jumlah konsentrasi 25 juta/straw.

2.5.6. Identifikasi Spermatozoa X dan Y

Persentase spermatozoa X dan Y dapat menjadi ukuran dari keakuratan metode yang digunakan dalam sexing spermatozoa. Ada beberapa metode yang sering digunakan untuk menentukan spermatozoa X dan Y diantaranya: FISH (Fluorescent In Situ Hibridation), PCR (Polymerase Chain Reaction), dan Pengukuran morfometrik. FISH merupakan metode identifikasi spermatozoa X dan Y berdasar probe DNA flouroscen yang terkonjugasi dengan molekul fluorescen untuk spermatozoa X dan Y. Kekurangan FISH adalah tingkat kondensasi yang tinggi akan menghasilkan kesulitan dalam menganalisa DNA. Selama FISH, inti spermatozoa harus didekondensasi untuk memungkinkan akses probe DNA ke kromatin spermatozoa (Yadav, Gangwar, Singh, Tikadar, Khanna, Saini, Dholpuria, Palta, Manik, Singh and Singla, 2017). Selain FISH, identifikasi lain yakni PCR.

Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan identifikasi spermatozoa X dan Y yang dapat menentukan kemurnian DNA sampel dengan menggunakan primer

Gambar

Tabel                       Halaman  1.  Kualitas  Semen  Segar  Sapi  Friesian  Holstein  Berbagai  Penelitian………………………………………………..1  2
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian  1.6.  Hipotesis Penelitian
Tabel 1. Kualitas Semen Segar Sapi Friesian Holstein Berbagai  Penelitian
Tabel 2. Perbedaan Spermatozoa X dan Y
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas dan proporsi spermatozoa Y hasil pemisahan semen domba lokal dengan beberapa fraksi albumen telur dan lama penyimpanan