Permasalahan yang berkaitan dengan kegiatan alih fungsi lahan atau alih fungsi lahan khususnya lahan pertanian telah banyak diperdebatkan sejak diterbitkannya hasil sensus pertanian yang menetapkan bahwa antara tahun 1983 hingga tahun 1993 telah terjadi pengurangan luas lahan pertanian di wilayah tersebut. berupa sawah seluas 1,28 juta ha. Konversi lahan pertanian padi merupakan permasalahan yang perlu diperhatikan karena masyarakat sangat bergantung pada sektor pertanian, khususnya masalah pangan. Dampak dari proses alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian hanya akan berdampak dalam jangka waktu yang lebih lama.
Hal ini terjadi karena pemilik lahan pertanian menjual kepemilikan lahan pertaniannya kepada orang lain yang kemudian mengkonversi lahan pertanian tersebut menjadi usaha di bidang non pertanian. Lahan yang telah berubah fungsi tersebut bersifat permanen dan tidak akan kembali menjadi lahan pertanian.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian
Menurut “Nasoetion dan Winoto” (1996), proses “konversi lahan secara langsung dan tidak langsung ditentukan oleh dua” faktor, yaitu “sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah dan sistem non kelembagaan yang berkembang secara alami”. masyarakat. Utomo (1992) menjelaskan bahwa “permasalahan terkait perubahan penggunaan lahan pada umumnya muncul akibat pola penggunaan lahan yang bersifat sektoral, tidak adanya kejelasan batas antar wilayah, tidak jelasnya kriteria suatu wilayah, lemahnya koordinasi dalam hal pemanfaatan ruang dan Lemahnya upaya penegakan hukum seperti UUPA (UU Pokok Pertanian) Faktor perekonomian, biaya produksi yang berlebihan dan ketidakpastian harga komoditas pertanian serta kecenderungan petani yang tidak mampu menentukan harga komoditasnya menyebabkan rendahnya pendapatan dari kegiatan pertanian.
Rendahnya pendapatan dari sektor pertanian mendorong petani untuk melakukan konversi lahan pertanian ke lahan non-pertanian sehingga memberikan dampak ekonomi yang lebih baik bagi keluarga. Tingginya nilai land rent dari kegiatan sektor nonpertanian dibandingkan dengan sektor pertanian juga menjadi pemicu terjadinya konversi lahan pertanian ke lahan nonpertanian. Faktor sosiokultural, dimana dengan adanya hukum waris dalam suatu keluarga, pada umumnya setiap orang tua membagikan harta warisan kepada anaknya, salah satunya.
Perilaku tidak tepat dalam penempatan skala prioritas ini terlihat dari rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang cenderung mendukung proses alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian.
Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian
Konversi lahan pertanian menyebabkan investasi pemerintah dalam hal membangun sarana dan prasarana berupa irigasi menjadi tidak terpakai dan sia-sia. Sebab, lahan yang sudah dialihfungsikan sudah tidak bisa lagi dijadikan lahan pertanian atau dialihfungsikan kembali menjadi sawah. Alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian akan memberikan dampak langsung dan dirasakan oleh masyarakat yaitu ancaman terhadap ketahanan pangan.
Kondisi ini berbeda dengan produksi pangan yang akan menurun akibat alih fungsi lahan pertanian yang masih terus diekspor. Alih fungsi lahan sawah untuk penggunaan lain menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan swasembada pangan. Intensitas alih fungsi lahan masih sulit dikendalikan, dan sebagian besar lahan sawah yang berubah fungsi merupakan lahan yang produktivitasnya berada pada kategori tinggi hingga sangat tinggi.
Lahan pertanian tidak hanya berfungsi sebagai tempat bercocok tanam padi saja, namun dapat menjadi lahan yang efisien untuk menampung kelebihan limpasan air, mengendalikan banjir dan menjaga kelestarian lingkungan. Konversi bertahap dengan pola sporadis: dipengaruhi “oleh dua faktor utama, yaitu lahan yang kurang/tidak produktif dan urgensi ekonomi pelaku” konversi. Konversi “multi-bentuk atau tanpa bentuk”: “konversi” dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama faktor peruntukan perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, termasuk sistem pewarisan yang tidak dijelaskan dalam “konversi demografi”.
Air merupakan “kebutuhan pokok dan bagian hidup yang fungsinya tidak dapat digantikan oleh senyawa lain”, oleh karena itu “penting untuk mengetahui apa saja yang ada di dalam” air.
Air Tanah dan Akuifer
Air “memiliki pengaruh yang luar biasa” baik terhadap kehidupan manusia maupun dunia hewan dan tumbuhan. Air “merupakan zat yang sangat penting dan merupakan sumber daya dasar bagi kelangsungan kehidupan” di bumi. Apalagi air merupakan “kebutuhan pokok dalam hidup, karena manusia selalu membutuhkan air” dalam kehidupannya.
Menurut Krussman dan Ridder (1970), berdasarkan impermeabilitas batuannya, akuifer dibedakan menjadi empat jenis, yaitu “akuifer tertekan, akuifer semi tertutup, akuifer semi tidak tertekan, dan akuifer bebas” (unconfined aquifer). Akuifer tertutup adalah akuifer yang lapisan atas dan bawahnya dibatasi oleh lapisan kedap air. Lapisan bawah merupakan lapisan kedap air, sedangkan lapisan atas merupakan bahan berbutir halus, sehingga lapisan atas masih memungkinkan pergerakan air.
Airtanah yang berasal dari akuifer ini disebut airtanah bebas (tidak terkekang), dan akuifer itu sendiri sering disebut “akuifer permukaan air”. Pengambilan air sumur artesis atau air tanah dalam memerlukan penggunaan mesin bor dan memasukkan pipa dengan kedalaman sehingga pada kedalaman (biasanya antara 100 – 300 m) diperoleh lapisan air (Sutrisno dan Suciastuti, 1996). Asupan “air dapat dilihat dari suatu” tekanan, jika “tekanan air tanah besar maka air” tersebut menyembur keluar.
Setelah air bisa sampai ke atas, biasanya menggunakan sistem reservoir atau tandon air, yang nantinya bisa disalurkan kepada mereka yang menggunakan air berumur artesis atau air tanah dalam, sedangkan kualitas air umumnya lebih baik dibandingkan air dangkal, karena filternya lebih sempurna dan bebas dari".
Persyaratan Air
Air untuk keperluan Sanitasi-Higiene “adalah air dengan kualitas tertentu yang digunakan untuk keperluan sehari-hari, yang kualitasnya berbeda dengan air minum. Baku Mutu Kesehatan Lingkungan media air untuk keperluan higiene sanitasi meliputi parameter fisika, biologi, dan kimia yang dapat berupa parameter wajib dan parameter tambahan. Air untuk keperluan sanitasi digunakan untuk menjaga kebersihan diri seperti mandi dan menggosok gigi, serta mencuci makanan, peralatan dan pakaian.
Baku mutu dan parameter berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no. 32 Tahun 2017 tentang Baku Mutu Baku Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan Air Untuk Keperluan Higiene Sanitasi, Kolam Renang, Solus Per Aqua Dan Pemandian Umum” disajikan pada Tabel 3. KEPUTUSAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NO.32 TAHUN TAHUN 2017 TENTANG STANDAR KUALITAS KESEHATAN LINGKUNGAN DAN KEBUTUHAN KESEHATAN AIR UNTUK KESEHATAN, KESEHATAN AIR, KEBUTUHAN KESEHATAN Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 492 Tahun 2010, air bersih adalah air yang dipergunakan untuk kebutuhan sehari-hari, yang mutunya yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum setelah matang.
Air yang “memiliki” rasa, seperti “asam, manis, pahit atau asin” menandakan kualitas air tersebut kurang baik. Air yang berbau mengandung bahan-bahan organik yang diuraikan (diuraikan) oleh mikroorganisme air. Air” yang mempunyai suhu di atas atau di bawah suhu udara berarti mengandung zat-zat tertentu (misalnya fenol yang terlarut dalam air cukup banyak) atau terjadi proses tertentu (proses penguraian bahan organik oleh mikroorganisme yang menghasilkan energi) yang melepaskan atau menyerap energi di dalam air.
Nilai pH adalah cara yang paling umum dan sering diukur untuk mengukur kualitas air. Air yang berkualitas baik tidak mengandung garam atau ion logam seperti Fe, Mg, Ca, K, Hg, Zn, Mn, Cl, Cr dan lain-lain. Kuman ini mudah menyebar melalui air (waterborne). 2) Tidak mengandung bakteri non patogen seperti actinomycetes, fitoplankton coliform, ciadocera dan lain-lain.
Pencemaran Air Akibat Kegiatan Pertanian
Yang dimaksud dengan faktor “non-alami” adalah masuknya unsur-unsur kimia tertentu ke dalam air tanah karena sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas manusia, misalnya pada daerah pertanian yang sering menggunakan pupuk atau pestisida dalam kadar tinggi sehingga dapat mencemari “air tanah”. Permasalahan utama yang dihadapi sumber daya air adalah jumlah air yang tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat dan kualitas air untuk keperluan rumah tangga yang menurun dari tahun ke tahun. “Kegiatan industri, rumah tangga, dan lainnya berdampak negatif terhadap sumber daya air, termasuk penurunan kualitas air.
Kondisi ini “dapat menimbulkan gangguan, kerusakan dan bahaya bagi makhluk hidup yang bergantung pada sumber daya air” (Effendi, 2003). Yuliani (2017) “menunjukkan bahwa air dari sumur di lahan bekas sawah terkontaminasi sisa partikulat polutan atau logam selama kegiatan pertanian. “Penurunan kualitas air tidak hanya disebabkan oleh limbah industri, tetapi juga limbah rumah tangga, limbah cair dan padat, serta aktivitas pertanian” (Lallanilla, 2013).
Penentuan Indek Kualitas Air
Secara umum air yang berasal dari air tanah mempunyai kualitas yang baik dan sering dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai air bersih dan air minum. Kualitas air ditentukan oleh kandungannya, yang meliputi kandungan fisik, kimia, dan biologi. Baik atau buruknya kualitas air dapat dianalisis menggunakan metode yang disebut Indeks Kualitas Air Yayasan Sanitasi Nasional (NSF WQI).
Indeks Kualitas Air Yayasan Sanitasi Nasional (NSF-WQI) atau Indeks Kualitas Air ditentukan untuk menilai tingkat kualitas air pada suatu badan air. Indeks kualitas air ini didasarkan pada 9 parameter yang meliputi: BOD, DO, Nitrat, Total Fosfat, suhu, kekeruhan/kekeruhan, total padatan/total padatan, pH dan bakteri koliform.
Pengelolaan Lingkungan
Mitchell (2007) mendefinisikan pengelolaan lingkungan sebagai langkah pengambilan keputusan kolektif di mana solusi harus diambil mengenai pemanfaatan lingkungan dan sumber daya alam. Penjelasan di atas didasarkan pada pemikiran bahwa masyarakat sebagai suatu kesatuan sosial mempunyai kesamaan pola pikir dan tujuan mengenai upaya pemeliharaan atau pemanfaatan lingkungan hidup. Pendekatan ekologi, yaitu penempatan dan pengelolaan lingkungan hidup menurut kaidah ekologi, khususnya mengenai komponen-komponen sistem lingkungan fisik dan hayati, yang saling berhubungan.
Pendekatan ekonomi, yaitu pengelolaan lingkungan hidup dengan cara yang lebih selektif dalam memilih dan mengoptimalkan penggunaan sumber daya karena keterbatasan dan kelangkaan sumber daya yang ada. Pendekatan teknologi Pendekatan ini menekankan pada upaya teknologi yang memungkinkan terjadinya proses produksi yang lebih efisien dengan hasil yang maksimal. Pendekatan ini menekankan pentingnya pemahaman aspek sosial dan budaya masyarakat lokal dalam pengelolaan lingkungan.
Pandangan hidup, cara hidup dan perilaku masyarakat tertentu akan sangat menentukan bentuk pemanfaatan dan alokasi sumber daya, sehingga pendekatan ekonomi dan teknologi saja tidak akan cukup untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan hidup yang ada. Pendekatan sosio-politik didasarkan pada gagasan kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda dalam pengelolaan lingkungan hidup, yang masing-masing mempunyai persepsi dan rencana yang berbeda terhadap lingkungan hidup. Pendekatan ini mengakui pluralisme sistem sosial-politik sebagai komponen lingkungan hidup yang paling penting dan implikasinya terhadap proses perubahan dan pengelolaan 'lingkungan'.
Aspek “peraturan perundang-undangan diidentifikasi sebagai salah satu dari sejumlah aspek yang harus didorong untuk menciptakan lingkungan yang mendukung”.
Konservasi Air Tanah