BAB III
PERTANGGUNG JAWABAN HUKUM PELAKU TRAFFICKING IN PERSONS
A. Konsep Pertanggung Jawaban Menurut Hukum Internasional
Berdasarkan Dictionary of Law,71 tanggung jawab negara juga merupakan
“Obligation of a state to make reparation arising from a failure to comply with a legal obligation under international law”, yang artinya bahwa tanggung jawab negara merupakan suatu kewajiban untuk melakukan perbaikan yang timbul dari kesalahan suatu negara untuk mematuhi kewajiban hukum berdasarkan hukum internasional.
Tanggung jawab negara dalam hukum internasional diartikan sebagai kewajiban yang harus dilakukan oleh negara kepada negara lain berdasarkan perintah hukum internasional.72 Pertanggungjawaban berarti kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas suatu hal yang terjadi, dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya.
Tanggung jawab Internasional (International Responsibility) atau yang sering disebut dengan Tanggung Jawab Negara (State Responsibility) dalam hukum Internasional merupakan prinsip dalam hukum internasional yang mengatur mengenai timbulnya pertanggungjawaban suatu negara kepada negara lainnya karena kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh suatu negara dapat
71 Elizabeth A. Martin ed., A Dictionary of Law, Oxford University Press, New York:
2002, hlm.477.
72 Rebecca M.M. Wallace, Ibid, hlm.175.
menimbulkan dampak yang apabila dampak tersebut dirasakan oleh negara lain, maka timbulah suatu pertanggungjawaban yang dalam hukum internasional dinamakan prinsip International Responsibility.
Lahirnya tanggung jawab internasional didasari oleh dua teori yaitu teori resiko (Risk Theory) dan teori kesalahan (Fault Theory). Teori resiko menentukan bahwa suatu negara mutlak bertanggung jawab atas setiap kegiatan yang menimbulkan akibat yang sangat membahayakan (harmful effectsof hazardous activities) walaupun kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mempunyai legalitas hukum. Teori ini kemudian melahirkan prinsip tanggung jawab mutlak (absulute liability atau strict liability) atau tanggung jawab objektif (Objective Responsibility). Sedangkan teori kesalahan menyatakan bahwa tanggung jawab negara muncul pada saat perbuatan negara tersebut dapat dibuktikan mengandung unsur kesalahan. Teori kesalahan ini melahirkan prinsip tanggung jawab subjektif (subjective responsibility) atau tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability based on faith).73
Suatu perbuatan dikatakan mengandung kesalahan apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja beritikad buruk atau dengan kelalaian yang tidak dapat dibenarkan. Dalam hal ini negara menjadi bertanggung jawab tanpa adanya keharusan bagi pihak yang menuntut pertanggungjawaban untuk membuktikan adanya kesalahan pada negara tersebut.74 Mengenai konsep pertanggungjawaban, di dalam hukum nasional dibedakan antara pertanggungjawaban perdata dan pidana, begitu pula dalam hukum internasional
73 Malcolm N. Shaw, Hukum Internasional, Ed.6, Cet.2, Nusa Media, Bandung:2016, hlm.187.
74 F, Sugeng Istanto, Hukum Internasional, UAJ Yokyakarta, Yokyakarta: 1994, hlm.111
terdapat beberapa ketentuan yang serupa dengan hukum nasional tapi hal ini tidak terlalu menonjol. Disamping itu, hukum internasional mengenai pertanggungjawaban belum berkembang begitu pesat.75
Latar belakang timbulnya suatu tanggung jawab negara dalam hukum internasional yaitu bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat menikmati hak- haknya tanpa menghormati negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak negara lain, menyebabkan negara tersebut wajib untuk memperbaiki pelanggaran hak itu, artinya bahwa, negara tersebut harus bertanggung jawab.76
Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam hukum internasional yaitu liability dan resposibility. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik.77 Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karater resiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melakukan undang-undang. Sedangkan responsibility berarti hal lain yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan, dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung
75 D.J. Harris, Cases and Materials on International Law, Sweet and Maxwell, London:
1982, hlm.374.
76 Hingorani, Modern International Law, 2bd.ed., Oxford & IBH Publishing, New Delhi, 1984,hlm.241.
77 Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2006, hlm.335.
jawab atas undang-undang yang dilaksanakan. Pada intinya liability lebih menunjuk pada hal gant rugi atas kerugian pihak lain atau perbaikan kerusakan, sedangkan responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban yang diatur secara hukum.78
Pertanggung jawaban negara atau tanggung jawab internasional terdiri dari beberapa jenis, yaitu:79
1. Tanggung jawab terhadap perbuatan melawan hukum (delictual liability).Tanggung jawab ini timbul dari setiap kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh suatu negara terhadap orang asing didalam wilayahnya atau wilayah negara lain. Beberapa hal yang dapat menimbulkan tanggung jawab negara dalam hal ini adalah:
a. Eksplorasi ruang angkasa
Negara peluncur satelit selalu bertanggung jawab terhadap setiap kerugian yang disebabkan oleh satelit tersebut kepada benda-benda (obyek) di wilayah negara lain. Pemberlakuan prinsip tanggug jawab dari perbuatan ini adalah tanggung jawab absolut. Ketentan hukum yang mengatur tanggung jawab atas kegiatan-kegiatan peluncuran satelit (benda-benda ruang angkasa) ini diatur dalam Liability Convention 1972.
b. Eksplorasi Nuklir
Negara bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan yang disebabkan karena kegiatan-kegiatan dalam bidang eksplorasi nuklir.
78 Ridwan H.R, Ibid, hlm.337.
79 F, Sugeng Istanto, Op.Cit, hlm.111.
Prinsip tanggung jawab dalam kegiatan ini juga menggunakan prinsip tanggung jawab absolut. Dalam hal ini, tidaklah penting apakah suatu negara sebelumnya telah melakukan tindakan-tindakan pencegahan. Sama halnya dengan kegiatan eksploitasi ruang angkasa, yang menjadi latar belakang dugunakannya prinsip tanggung jawab absolut yaitu karena kegiatan-kegiatan ini mengandung resiko berbahaya yang sangat tinggi (a highly hazardous activity).
c. Kegiatan-kegiatan lintas batas nasional
Setiap negara berkewajiban mengatur dan mengawasi setiap kegiatan yang terjadi di dalam wilayahnya baik yang sifatnya publik maupun perdata, dimana kegiatan-kegiatan tersebut dapat melintasi batas negaranya dan menimbulkan kerugian terhadap negara lain.
Prinsip tanggung jawab yang berlaku pada kegiatan ini tergantung pada bentuk kegiatan yang bersangkutan. Jika kerugiannya bersifat bahaya, maka prinsip tanggung jawab yang digunakan ialah prinsip tanggung jawab mutlak. Namun apabila kegiatan-kegiatan tersebut bersifat biasa maka tanggung jawab negara bergantung pada kelalaian atau maksud dari tindakan tersebut.
2. Tanggung jawab atas pelanggaran perjanjian (contractual liability) Tanggung jawab ini merupakan tanggung jawab yang terjadi jika suatu negara melanggar perjanjian atau kontrak yang telah dibuatnya dengan negara lain dan pelanggaran itu mengakibatkan kerugian terhadap negara lainnya.
3. Tanggung jawab atas konsensi
Perjanjian konsensi antara negara dengan warga negara (korporasi asing) dikenal adanya Clausula Calvo yang menetapkan bahwa penerima konsesi melepaskan perlindungan pemerintahannya dalam sengketa yang timbul dari perjanjian tersebut dengan sengketa yang timbul itu harus diajukan ke peradilan nasional negara tersebut. Konsesi sendiri merupakan pemberian hak, izin, atau tanah oleh pemerintah, perusahan atau individu kepada seseorang atau lembaga.
4. Tanggung jawab atas ekspropriasi
Tanggung jawab ini merupakan pencabutan hak milik perorangan untuk kepentingan umum yang disertai dengan pemverian ganti rugi.
Ekspropriasi merupakan suatu tindakan pengambilan atas aset orang lain dengan membayar kompensasi atas kerugia yang ditimbulkan.
5. Tanggung jawab atas utang negara
Suatu negara yang tidak membayar utang-utang luar negeri berarti bahwa negara tersebut tidak memenuhi kewajiban kontrak atau perjainjian utang. Suatu negara yang tidak memenuhi hutangnya secara otomatis mempunyai kewajiban atau pertanggungjawaban membayar hutang atau kerugian.
6. Tanggung jawab atas kejahatan internasional
Kejahatan internasional adalah semua perbuatan melawan hukum secara internasional yang berasal dari pelanggaran suatu kewajiban internasional yang penting guna perlindungan terhadap kepentingan fundamental internasional dan pelanggaran tersebut diakui sebagai suatu
kejahatan oleh masyarakat. Kejahatan internasional biasa disebut juga dengan pidana internasional yang merupakan hasil konvergensi dari dua disiplin hukum yang melengkapi antara hukum internasional dan aspek internasional dari hukum pidana nasional.80 Kejahatan internasional juga merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum internasional yang menimbulkan kewajiban pertanggungjawaban.
Setiap tindakan kesalahan atau kelalaian yang merugikan negara lain maka harus dipertanggungjawabkan, namun ada beberapa pengecualian mengenai tanggung jawab negara yaitu:81
1. Adanya Persetujuan dari Negara yang Dirugikan (Consent)
Tindakan tersebut dilakukan dengan persetujuan negara yang dirugikan. Misalkan pengiriman tentara ke negara lain atas permintaanya. Persetujuan ini diberikan sebelum atau pada saat pelanggaran terjadi. Persetujuan yang diberikan setelah terjadinya pelanggaran sama artinya dengan pelanggaran hak untuk mengklaim ganti rugi. Namun dalam hal ini, persetujuan yang diberikan kemudian itu tidak dapat menghilangkan unsur pelanggaran hukum internasional.
2. Tindakan Mempertahankan Diri (Self Difence)
Negara dapat dibebaskan dari tanggung jawab atas suatu perbuatan apabila tindakan tersebut dilakukan untuk membela diri, yang menjadi tolak ukur pembelaan diri adalah tindakan tersebut harus sesuai dengan
80 Romli Atmasasmita, Hukum Pidana Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia, Badan Pelatihan Hukum-Pusham UII, Yokyakarta:2005, hlm.6
81 Huala Adolf, hlm.225,
piagam PBB. Jika tidak, tindakan tersebut tidak menghapus tanggung jawab negara.
3. Keadaan Memaksa (Force Majeure)
Kesalahan negara dapat dihindari apabila tindakan itu disebabkan karena adanya kekuatan yang tidak dapat dihindari atau adanya kejadian yang tidak diduga diluar kontrol suatu negara yang bersangkutan. Hal ini menempatkan suatu negara yang bersangkutan tersebut tidak memungkinkan untuk memenuhi tanggung jawab internasional.
4. Keadaan yang Berbahaya (Distress)
Pengecualian lain yang diperkenankan adalah apabila tindakan suatu negara tersebut karena tidak terdapat jalan lain dengan alasan yang berbahaya guna menyelamatkan jiwanya atau keselamatan jiwa lain yang berada dalam pengawasannya.
5. Keadaan yang Sangat Diperlukan (Necessity)
Suatu negara dapat melakukan suatu tindakan yang merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kepentingan yang esensil terhadap bahaya yang sangat besar.
B. Pertanggung Jawaban Pelaku Trafficking In Persons Dalam Perspektif Hukum Internasional Dan Hukum Nasional.
1. Pertanggung Jawaban Pelaku Trafficking In Persons Dalam Perspektif Hukum Internasional.
Berbagai instrumen internasional yang berkaitan dengan masalah perdagangan orang atau human trafficking. Intsrumen-instrumen tersebut antara lain:
a.) Universal Declaration of Human Rights.
b.) Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women
c.) United Nations Protocol to Suppress, Prevent and Punish Trafficking in Persons especially Women and Children supplementing the Convention against Transnational Organized Crime.
d.) SAARC Convention on Combating Trafficking in Women and Children for Prostitution.
Dalam Article 4 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) disebutkan bahwa “no shall be held in slavery or servitude: slave trade shall be prohibited in all their forms”. Ketentuan dalam Article 4 secara jelas melarang perbudakan dan perdagangan budak. Larangan perbudakan juga terdapat dalam The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Dengan kalimat yang berbeda tetapi memiliki makna yang sama dengan ketentuan sebagaimana terdapat Article 4 (UDHR), Article 8 (ICCPR) secara jelas juga menyatakan bahwa “no one shall be held in Slavery: Slavery and the slave-trade in all their forms shall be prohibited”. Dengan demikian jelas bahwa perbudakan merupakan suatu perbuatan yang dilarang.
Dalam UDHR dan ICCPR, tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan
“slavery”. Pengertian “Slavery” menurut Convention of Slavery (1926) adalah
“the status or condition of a person over whom any or all of the powers attaching to the rights of ownership are exercised”. Dalam pengertian ini termasuk pula membeli, menjual, dan mengadakan transportasi terhadap orang dengan maksud untuk melakukan eksploitasi, guna memperoleh keuntungan.
Permasalahan yang berkaitan dengan perdagangan anak, juga tidak bisa terlepas dari perhatian masyarakat internasional. The International Convention on
the Rights of the Child (CRC), atau yang biasa dikenal dengan Konvensi Hak Anak. Sebagaimana didalam Pasal 32 CRC menegaskan bahwa:
“setiap negara wajib mengedepankan perlindungan anak dari segala macam bentuk eksploitasi atau pekerjaan yang mengakibatkan kerusakan atau mengganggu pendidikan anak, atau yang mengancam kesehatan fisik, mental, spritual anak, maupun perkembangan sosial lainnya”.
Sebagaimana terdapat di dalam Pasal 35 CRC juga mewajibkan pemerintah untuk membuat langkah-langkah multilateral untuk mencegah penculikan dan perdagangan anak untuk tujuan apapun, serta memberikan pula pelayanan program sosial, menyediakan dukungan yang sesuai dengan anak.82
Hukum Internasional juga memberikan perlindungan kepada individu- individu, sebagai migrant atau pekerja migrant. Intrumen hukum internasional yang berkaitan dengan hal tersebut adalah Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workes and Members of Their Families. Didalam Pasal 10 Konvensi ini, menegaskan bahwa:
“Pekerja migran dan keluarganya wajib dihindarkan dari segala macam bentuk siksaan, hambatan, dan perilaku yang tidak manusiawi, termasuk didalamnya larangan untuk memperbudak, perlakuan yang tidak manusiawi”.
Adapun salah satu instrumen yang juga memiliki pengaruh penting yang berkaitan dengan larangan perdagangan orang di ASEAN yaitu South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC) Convention on Preventing and
82 Maslihati Nur Hidayati, Upaya Pemberantasan dan Pencegahan Perdagangan Orang Melalui Hukum Internasional dan Hukum Positif Indonesia, Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI PRANATA SOSIAL, Vol.1, No.3, 2012. hlm.173.
Combating Traffiking in Women and Children for Prostitution. SAARC dimaksudkan untuk mencegah dan membasmi perdagangan wanita dan anak, dengan tujuan untuk prostitusi di wilayah Asia Selatan yang memang menjadi wilayah banyak kasus perdagangan wanita dan anak.
2. Pertaggungjawaban Pelaku Trafficking In Person Dalam Perspektif Hukum Nasional.
Perdagangan orang khsususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia yang dilindungi oleh Undang-Undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sesuai dengan bunyi Pasal 20 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa :
“Tiada seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba”.
Makna dari ketentuan pasal di atas adalah larangan tentang perbudakan atau atau perhambaan, perdagangan budak, perdagagan wanita, dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa, dilarang.
Di Indonesia, tindak pidana perdagangan orang diatur dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Orang yang diperdagangkan (korban trafficking) adalah seseorang direkrut, dibawa, dibeli, dijual, dipindahkan, diterima atau disembunyikan. Hal tersebut dilakukan dengan modus yang bermacam-macam, ada yang dengan cara ancaman, penggunaan kekuasaan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya
ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain), terisolasi, ketergantungan obat, dan jebakan.83
Pelaku tindak pidana perdagangan orang tersebut, dapat dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, sebagaimana di dalam Pasal tersebut telah dijelaskan rincian sanksi yang dapat dijatuhkan. Lebih lengkapnya Pasal tersebut berbunyi:
“Bahwa setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut diwilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.
Sanksi yang sama ini juga berlaku untuk dikenakan pada setiap tindakan yang dilakukan oleh pelaku yang mengakibatkan orang tereksploitasi. Disamping ketentuan khusus Undang-undang Trafficking di atas, pengaturan perdagangan manusia juga dapat dilihat sanksinya dalam Pasal 297 KUHP yang berbunyi:
“Memperdagangkan perempuan dan laki-laki yang belum dewasa dihukum penjara selama-lamanya enam tahun”.
Kemudian di dalam Pasal 324 KUHP juga menyatakan bahwa:
“Barangsiapa dengan biaya sendiri atau orang lain menjalankan perniagaan budak belian atau melakukan perbuuatan perdagangan budak belian atau dengan sengaja turut campur dalam hal itu, baik langsung maupun tidak langsung, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun”.
Mengingat korban dari tindakan perdagangan manusia termasuk juga anak- anak, maka pengaturannya selain dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
83 Oksidelfa Yanto, Tanggung Jawab Negara Dalam Pemberantasan Orang, ADIL:
Jurnal Hukum Vol.5, 2014, hlm.9.
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, juga diatur diatur di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.84
Terkait dengan faktor penyebab terjadinya perdagangan orang, sebagaimana diantaranya yaitu berkaitan dengan pemalsuan dokumen atau keterangan terkait data atau identitas diri seseorang, hal ini pula secara hukum nasional dilarang.
Berkaitan dengan hal tersebut, dinyatakan dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang berbunyi:
“Setiap orang yang memberikan atau memasukan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain untuk memalsukan dokumen negara atau dokumen lain, untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).
Undang-undang Perlindungan Anak sudah memuat ketentuan mengenai perdagangan anak dalam beberapa pasalnya, antara lain di dalam Pasal 78 yang berbunyi:
“Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minioritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.
Masih dalam hal perdagangan anak, di Pasal 83 Undang-undang Perdagangan Anak juga menyatakan:
84 Deypend Tommy Sibuea, Pemberantasan Perdagangan Orang Melalui Instrumen Hukum Nasional dan Hukum Internasional Di Indonesia, Jurnal Cendekia Hukum, Vol.3, No.2, Maret 2018, hlm.11.
“Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”.