LAPORAN KASUS
*Program Profesi Dokter/ 7 April 2025 - 14 Juni 2025
** Pembimbing
CUTANEOUS LARVA MIGRANS
Disusun Oleh : Dina Rasyidatika Aini*
G1A223129 Pembimbing:
dr. Hj.Raodah**
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR
BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT/ KEDOKTERAN KELUARGA PUSKESMAS PAKUAN BARU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI
2025
ii
HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN KASUS
CUTANEOUS LARVA MIGRANS
Disusun oleh:
Dina Rasyidatika Aini, S.Ked G1A223129
Program Studi Profesi Dokter
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat/ Kedokteran Keluarga Puskesmas Pakuan Baru
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi
Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan Mei 2025
Dosen Pembimbing
dr. Hj.Raodah
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkat dan Rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas laporan kasus yang berjudul " Cutaneous Larva Migrans " sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengikuti program studi profesi dokter bagian ilmu kesehatan Masyarakat di Puskesmas Pakuan Baru Kota Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Hj.Raodah yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis selama menjalani Program Studi Profesi Dokter bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat di Puskesmas Pakuan Baru.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan guna kesempurnaan laporan kasus ini, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.
Jambi, Mei 2025
Penulis
iv DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... iv
BAB I STATUS PASIEN ... 1
1.1 Identitas Pasien... 1
1.2 Latar belakang sosio-ekonomi-demografi-lingkungan-keluarga ... 1
1.3 Aspek Perilaku dan Psikologis dalam Keluarga ... 3
1.4 Keluhan Utama ... 3
1.5 Riwayat Penyakit Sekarang ... 3
1.6 Riwayat Penyakit Dahulu ... 4
1.7 Riwayat Penyakit Keluarga ... 4
1.8 Riwayat Alergi ... 4
1.9 Pemeriksaan Fisik ... 4
1.10 Pemeriksaan Penunjang Anjuran ... 7
1.11 Diagnosa Kerja ... 7
1.12 Diagnosa Banding ... 7
1.13 Manajemen ... 7
1.14 Prognosis ... 9
BAB II LAPORAN KASUS ... 10
2.1 Definisi ... 10
2.2 Epidemiologi ... 10
2.3 Etiologi ... 10
2.4 Faktor Risiko ... 11
2.5 Patofisiologi ... 13
2.6 Manifestasi Klinis ... 15
2.7 Diagnosis ... 16
2.8 Diagnosis Banding ... 17
2.9 Tatalaksana ... 21
2.10 Komplikasi ... 27
v
2.11 Prognosis ... 28 BAB III ANALISIS KASUS ... 29 3.1 Hubungan diagnosis dengan keadaan rumah dan lingkungan sekitar ... 30 3.2 Hubungan diagnosis dengan keadaan keluarga dan hubungan dalam keluarga ... 31 3.3 Hubungan diagnosis dengan perilaku kesehatan dalam keluarga dan lingkungan sekitar ... 31 3.4 Analisis kemungkinan berbagai faktor risiko atau etiologi penyakit pada pasien ini ... 32 3.5 Analisis untuk mengurangi paparan atau memutus rantai penularan dengan faktor risiko atau etiologi pada pasien ini ... 33 3.6 Edukasi yang diberikan pada pasien atau keluarga ... 35 LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
1 BAB I STATUS PASIEN 1.1 Identitas Pasien
a. Nama/Jenis Kelamin/Umur :Ny.W/Perempuan/47 thn b. Pekerjaan/Pendidikan :IRT/SMA
c. Alamat : Jl. Teratai Baru Bakung Jaya, Paal Merah RT 038 RW Kel Bakung Jaya.
1.2 Latar belakang sosio-ekonomi-demografi-lingkungan-keluarga a. Status Perkawinan : Sudah Kawin
b. Jumlah anak/saudara : 3 anak/ anak ke 5 dari 5 saudara c. Status ekonomi keluarga : Cukup
d. Kondisi rumah
Pasien tinggal di rumah semi permanen dengan luas + 7 x 12 m2 berlantaikan semen dan berdinding papan serta atap seng yang dilengkapi plafon dari triplek. Rumah tersebut memiliki tiga kamar tidur dan satu ruang tamu. Terdapat satu dapur dan satu kamar mandi bersebelahan dengan dapur dengan fasilitas WC jongkok tipe leher angsa dengan pencahayaan dan ventilaci cukup baik. Selain itu, terdapat ruang mencuci dengan atap setengah terbuka. Untuk pembuangan air limbah dialirkan ke sptic tank (jarak septic tank ke rumah + 3 m). Sampah biasanya dikumpulkan lalu di buang ke tempat pembuangan sampah umum.
Gambar 1.1 halaman depan rumah (kiri) dan ruang tengah (kanan)
Pintu masuk terdapat di depan disertai 3 buah jendela di depan memberikan akses pencahayaan alami dan sirkulasi udara yang baik. Dua kamar anak pasien masing-masing memiliki satu jendela dengan ventilasi
2
yang memadai untuk menunjang sirkulasi udara. Satu kamar anak terlihat cukup rapi tanpa gantungan ataupun tumpukan kain, sementara kamar anak yang lain sedikit berantakan dengan kain menumpuk ditempat tidur karena sedang merawat bayi.
Gambar 1.2 dapur, WC dan ruang mencuci (daeri kiri ke kanan)
Kamar tidur pasien tidak memiliki jendela, pencahayaannya kurang, dan terasa sesak akibat dipenuhi perabotan dan barang-barang. Meskipun demikian, kondisi kebersihan kamar masih tergolong cukup baik. Untuk kebutuhan air seperti memasak, mandi, dan mencuci, keluarga menggunakan air dari PDAM, dan galon isi ulang untuk minum dan masak, sementara penerangan rumah menggunakan listrik token dari PLN.
Gambar 1.3 kamar anak pasien (kiri) dan kamar pasien (kanan) e. Kondisi lingkungan dan kebiasaan
Lingkungan rumah sekitar pasien sangat padat dengan rumah saling menempel. Halaman depan pasien cukup sempit dengan sebagian berupa tanah dengan sebagian lainnya berupa beton. Halaman depan rumah cukup rapi dan bersih, tetapi banyak ditemukan timbunan kotoran kucing pada
3
daerah halaman yang berpasir. Pasien tidak memiliki peliharaan tetapi tetangga pasien memiliki banyak kucing yang sering bermain ke daerah halaman rumah pasien dan pada malam hari sering terdengar suara anjing di depan rumah.
Pasien mengatakan bahwa ia setiap kali bepergian selalu menggunakan alas kaki, tetapi saat di sekitar rumah pasien terkadang berkeliling tidak menggunkan alas kaki seperti ketika menjemur pakaian di halaman rumah ataupun duduk santai di teras rumah dan ketika berkunjung ke tetangga sebelah.
1.3 Aspek Perilaku dan Psikologis dalam Keluarga
a. Halaman rumah jarang disapu (karena sebagian besar beton) b. Berjalan disekitar rumah tidak menggunakan alas kaki.
c. Keset di depan pintu masuk jarang di bersihkan.
d. Tidak memiliki kebiasaan mencuci kaki setiap sehabis dari luar tanpa alas kaki.
e. Mengabaikan kotoran kucing yang ada dihalaman.
f. Hubungan dengan anggota keluarga dan tetangga baik.
1.4 Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan gatal pada punggung kaki sejak 3 minggu yang lalu.
1.5 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik klaster Dewasa dengan keluhan gatal pada punggung kaki yang dialami sejak + 3 minggu terakhir. Keluhan gatal muncul terutama setelah pasien jalan pagi di sekitar rumahnya. Gatal dirasakan terus- menerus dan memberat pada malam hari. Awalnya, lesi tampak sebagai bintil-bintil merah pada area dekat kuku jari jempol kaki kiri, disertai bercak- bercak kemerahan yang sangat gatal. Setelah satu minggu, tampak lesi dengan bentuk seperti benang berkelok-kelok sedikit kemerahan dan membengkak mengarah ke sisi samping kaki kiri. Keluhan demam disangkal pasien.
4
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga dan rutin jalan pagi di sekitar rumah tanpa menggunakan alas kaki. Sebelumnya, pasien belum pernah mengalami keluhan serupa. Dalam keluarganya, tidak terdapat riwayat penyakit yang sama, tidak ada riwayat digigit serangga dan pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan maupun obat-obatan.
1.6 Riwayat Penyakit Dahulu
1. Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
2. Pasien tidak memilik riwayat alergi terhadap obat-obatan, benda asing maupun makanan.
3. Riwayat penyakit kulit lainnya disangkal.
1.7 Riwayat Penyakit Keluarga
1. Keluhan yang sama dengan pasien di keluarga disangkal.
2. Riwayat alergi di keluarga disangkal.
1.8 Riwayat Alergi
1. Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan ataupun makanan.
2. Riwayat terpajan dengan bahan alergen sebelumnya disangkal.
3. Riwayat digigit serangga sebelumnya disangkal.
1.9 Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : tampak sakit ringan 2. Kesadaran : Compos mentis 3. Tekanan Darah : 104/69 mmhg
4. Nadi : 92 x/i, isi dan tegangan cukup 5. Pernafasan : 18 x/menit
6. Suhu : 36,7°C
7. Berat Badan : 58 kg 8. Tinggi Badan : 153 cm 9. Status Gizi : Normal/baik
5 Pemeriksaan Generalisata
1. Kepala : Normochepal
2. Mata : CA -/-, SI -/-, pupil isokor, reflek cahaya +/+, eksoftalmus (-/-)
3. Telinga : Sekret (-), serumen (-)
4. Hidung : perdarahan (-), deviasi septum (-) 5. Mulut : Palatum : deviasi (-)
Gusi : warna merah muda, perdarahan (-) Lidah : lidah kotor (-), ulkus (-)
Tonsil : T1-T1, hiperemis (-),
6. Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran tiriod (-), JVP 5- 2 cmH2O
7. Thoraks Cor (Jantung)
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra Perkusi Batas jantung atas: ICS II linea parasternalis sinistra
Batas jantung kanan: ICS IV linea parasternalis dextra Batas jantung kiri: ICS V linea midclavicularis sinistra Auskultasi BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo (Paru)
Pemeriksaan Kanan Kiri
Inspeksi Gerakan dinding dada simetris, retraksi (-)
Gerakan dinding dada simetris, retraksi (-)
Palpasi Massa (-), krepitasi (-) Massa (-), krepitasi (-)
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler(+), Wheezing (- ), ronkhi (-)
Vesikuler(+), Wheezing (- ), rhonki (-)
6 8. Abdomen
Inspeksi Datar, sikatriks (-), lesi (-)
Palpasi Soepel, nyeri tekan(-), hati, lien dan ginjal tidak teraba, massa (-), turgor cepat kembali
Perkusi Timpani 4 kuadran
Auskultasi Bising usus (+) normal
9. Ekstremitas Atas : akral hangat, edema (-/-), CRT< 2 s, lesi (-)
10. Ekstremitas Bawah : akral hangat, edema (-/-), CRT< 2 s, lesi (+) pada dorsal pledis sinistra.
Status Dermatologis
Lokasi : Regio Dorsum pedis sinistra Efloresensi
Lesi Utama : Papul Bentuk : Serpiginosa
Ukuran : Panjang + 13-15 cm, lebar 2-3 mm
Jumlah : Satu jalur utama, dengan beberapa papul kecil di sekitarnya
Batas : Tidak tegas pada bagian proksimal, namun tegas di bagian distal (ujung jalur) Warna : Eritema
Tepi : Tidak rata, kadang sedikit meninggi
Distribusi : Regional Permukaan : Tidak rata
Konsistensi : Kenyal saat diraba
Sekitar : Kulit sekitar tampak eritem, ekskoriasi ringan akibat garukan Gambar 1.4 gambar lesi pada kaki kiri
7 1.10 Pemeriksaan Penunjang Anjuran
˗ Dermoskopi
˗ Biopsi Kulit 1.11 Diagnosa Kerja
B76.9
Cutaneus Larva Migrans (Creeping Eruption) 1.12 Diagnosa Banding
• Larva currens (strongyloidiasis)
• Creeping Eruption
• Skabies 1.13 Manajemen 1.13.1 Promotif
• Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit yang dialami, termasuk penyebab (infeksi larva cacing tambang dari hewan), faktor risiko (kontak langsung dengan tanah atau pasir yang terkontaminasi), perjalanan penyakit (migrasi larva di kulit membentuk pola melengkung), pengobatan yang tersedia, serta komplikasi yang mungkin terjadi seperti infeksi sekunder atau reaksi hipersensitivitas.
• Menjelaskan kepada pasien tanda dan gejala yang perlu dipantau, seperti bertambahnya panjang lesi, peningkatan rasa gatal, kemerahan hebat, atau munculnya tanda-tanda infeksi sekunder seperti nanah atau nyeri hebat.
1.13.2 Preventif
• Menghindari kontak langsung dengan tanah atau pasir yang mungkin terkontaminasi, terutama di daerah endemik, dengan menggunakan alas kaki dan alas duduk saat di pantai atau taman.
• Menjaga kebersihan diri dan lingkungan (PHBS), termasuk mencuci tangan dan kaki setelah beraktivitas di luar ruangan serta menjaga kebersihan hewan peliharaan.
• Melakukan deworming rutin pada hewan peliharaan (anjing dan kucing) serta membuang kotoran hewan pada tempatnya.
8
• Menghindari berbaring langsung di tanah atau pasir dan memastikan area bermain anak (seperti sandbox) terlindung dari hewan liar.
• Menjaga sistem kekebalan tubuh dengan pola hidup sehat untuk meminimalkan risiko infeksi dan mempercepat penyembuhan
1.13.3 Kuratif
a) Non Medikamentosa
• Tindakan cryotherapy di IGD
• Anjurkan pasien untuk istirahat yang cukup agar sistem imun tubuh dapat membantu melawan infeksi larva.
• Minta pasien untuk tidak menggaruk area lesi agar tidak terjadi luka terbuka dan mencegah infeksi sekunder.
• Kompres dingin pada area lesi dapat dilakukan untuk membantu mengurangi rasa gatal dan inflamasi.
• Edukasi pasien mengenai pentingnya mematuhi jadwal kontrol dan pengobatan yang dianjurkan, serta melaporkan jika terdapat tanda infeksi sekunder seperti nanah, pembengkakan, atau demam.
• Jika terdapat larva aktif yang terlihat bergerak, edukasi bahwa proses migrasi akan berhenti secara alami dalam beberapa minggu, namun pengobatan akan mempercepat penyembuhan dan mengurangi gejala.
b) Medikamentosa
• Albendazol 400 mg dosis tunggal
• Klorfeniramina maleat (CTM) 3 x 4 mg (1 tab)
• Gentamycin salep kulit 0,1%
c) Tradisional
Menggunakan jahe untuk mengatasi rasa gatal pada kulit:
30 gram rimpang jahe cuci bersih. Sediakan pula 60 cc cuka beserta beras putih dan gula merah secukupnya. Rebus seluruh bahan dengan air 800 cc.
Didihkan hingga air berkurang menjadi separuhnya. Minum 3 x sehari.
9 1.14 Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
Jambi, 2 Mei 2025 Jambi, 2 Mei 2025
Pro : Ny. W Ttg : 1-8-1977 BB : 58
Alamat : Rt 38 Paal Merah Pro : Ny. W
Ttg : 1-8-1977 BB : 58
Alamat : Rt 38 Paal Merah
Dina Rasyidatika Aini, S.ked G1A223129
Dina Rasyidatika Aini, S.ked G1A223129
R/Albendazol tablet 400 mg No.I S1 dd tab 1
R/ Gentamycin salep kulit 0,1 No.I S ue
R/ CTM tablet 4 mg No.X S 3 dd 1 tab
R/Ivermectin kaplet 12 mg No.I S1 dd tab 1
R/ Cetirizin tablet 10 mg No.X S 1 dd 1 tab
10 BAB II LAPORAN KASUS 2.1 Definisi
Creeping eruption adalah suatu erupsi kulit khas, yang disebabkan oleh aneka macam penyebab, dengan gambaran klinis berupa lesi yang menjalar/bermigrasi karena adanya parasit yang bergerak didalam kulit.1
Creeping eruption, istilah ini digunakan pada kelainan kulit yang merupakan peradangan berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh invansi larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing. Cutaneous larva migrans dapat juga disebut creeping eruption, dermatosis linearis migrans, sandworm disease (di Amerika Selatan larva sering ditemukan ditanah pasir atau di pantai), atau strongyloidiasis.2
2.2 Epidemiologi
Creeping eruption lebih sering terjadi pada negara yang beriklim hangat.
Faktor risiko penyakit tersebut adalah kontak langsung individu dengan tanah berpasir yang terkontaminasi dengan tinja anjing atau kucing. Anak lebih sering terinfeksi dibandingkan dengan dewasa. Di Indonesia, penyakit infeksi oleh (larva) cacing tersebut kurang diperhatikan karena dianggap tidak berbahaya, gejalanya sering ringan sehingga cenderung diabaikan. Pengobatan yang diberikan bertujuan untuk mempercepat kesembuhan dan meringankan gejala penyakitnya. 1-3
2.3 Etiologi
Penyebabnya adalah cacing tambang yang biasa hidup di dalam tubuh kucing atau anjing, yaitu ancylostoma braziliensis dan ancylostoma caninum.
Telur cacing masuk ke tubuh manusia melalui kontak kulit dengan telur yang berada di kotoran anjing atau kucing.4
Etiologi umum dan di mana parasit dari kulit larva migrans (CLM) yang paling sering ditemukan adalah sebagai berikut:4-6
11
a. Braziliense ancylostoma (cacing tambang dan domestik anjing liar dan kucing) adalah penyebab paling umum. Hal ini dapat ditemukan di amerika serikat tengah dan selatan, amerika tengah, amerika selatan, dan karibia.
b. Ancylostoma caninum (cacing tambang anjing) ditemukan di australia.
c. Uncinaria stenocephala (cacing tambang anjing) ditemukan di eropa.
d. Bunostomum phlebotomum (ternak cacing tambang).
2.4 Faktor Risiko
Faktor perilaku yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain:7 a. Kebiasaan tidak menggunakan alas kaki
Adanya bagian tubuh yang berkontak langsung dengan tanah yang terkontaminasi akan mengakibatkan larva dapat melakukan penetrasi ke kulit sehingga menyebabkan CLM.
b. Pengobatan teratur terhadap anjing dan kucing
Penyebab utama CLM adalah larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing. Perawatan rutin anjing dan kucing, termasuk de-worming secara teratur dapat mengurangi pencemaran lingkungan oleh telur dan larva cacing tambang.
c. Berlibur ke daerah tropis atau pesisir pantai
Kondisi biogeografis yang hangat dan lembab menyebabkan banyak terdapat larva penyebab penyakit ini di daerah tropis. Selain itu, kebiasaan wisatawan untuk berjalan di pesisir pantai tanpa menggunakan sandal dan berjemur di pasir tanpa menggunakan alas menyebabkan banyaknya laporan kejadian CLM dari wisatawan yang baru berlibur ke pantai. Sebuah penelitian pada wisatawan international yang baru meninggalkan Brazil bagian Timur Laut di bandara menunjukkan bahwa semua wisatawan yang menderita CLM telah mengunjungi pantai selama liburannya.
Adapun faktor lingkungan yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain:7-8 a. Keberadaan anjing dan kucing
Anjing dan kucing merupakan hospes definitif dari cacing Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum. Tinja anjing
12
dan kucing yang terinfeksi dapat mengandung telur cacing Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum dan Ancylostoma caninum. Telur tersebut dapat berkembang menjadi stadium larva yang infektif (filariform) pada tanah dan pasir yang terkontaminasi. Larva filariform dari cacing tersebut apabila kontak dengan kulit manusia, dapat menembus kulit dan menyebabkan CLM.
b. Cuaca atau iklim lingkungan
Ada variasi musiman yang berbeda pada kejadian CLM, dengan puncak kejadian selama musim hujan. Telur dan larva bertahan lebih lama di tanah yang basah dibandingkan di tanah yang kering dan dapat tersebar secara luas oleh hujan yang deras.6 Selain itu, iklim yang lembab juga mengakibatkan peningkatan infeksi cacing tambang di anjing dan kucing sehingga pada akhirnya meningkatkan jumlah tinja yang terkontaminasi dan risiko infeksi pada manusia.
c. Tinggal di daerah dengan keadaan pasir atau tanah yang lembab
Telur Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum dikeluarkan bersama tinja anjing dan kucing. Pada keadaan lingkungan yang lembab dan hangat, telur akan menetas menjadi larva rabditiform dan kemudian menjadi larva filariform yang infektif. Larva filariform inilah yang akan melakukan penetrasi ke kulit dan menyebabkan CLM.
Adapun faktor demografis yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain:7-8 a. Usia
Usia CLM paling sering terkena pada anak berusia ≤4 tahun. Hal ini disebabkan karena anak pada usia tersebut masih jarang menggunakan alas kaki saat keluar rumah. Pada penelitian tersebut juga didapatkan bahwa usia merupakan faktor demografis yang hubungannya paling signifikan dengan kejadian CLM (p<0.0001)
b. Pekerjaan
Larva infektif penyebab CLM terdapat pada tanah atau pasir yang lembab.
Orang yang pekerjaannya sering kontak dengan tanah atau pasir tersebut dapat
13
meningkatkan risiko terinfeksi larva CLM. Pekerjaan yang memiliki risiko teinfeksi larva penyebab CLM diantaranya petani, nelayan, tukang kebun, pemburu, penambang pasir dan pekerjaan lain yang sering kontak dengan tanah atau pasir.
c. Tingkat Pendidikan
Suatu penelitian tentang prevalensi dan faktor risiko CLM di Brazil menunjukkan, dari 1114 penduduk pedesaan, didapati 23 dari 354 (6,5%) penduduk dengan tingkat pendidikan rendah menderita CLM, sedangkan pada penduduk dengan tingkat pendidikan tinggi, didapati 34 dari 760 (4,5%) orang menderita CLM.5
2.5 Patofisiologi
Telur parasit dalam kotoran binatang yang terinfeksi cacing tambang ( anjing dan kucing) dilepaskan ke tanah, lumpur dan pasir hingga menjadi larva.
Manusia mendapatkan infeksi apabila larva infektif dari tanah menembus kulit.
Biasanya larva ini merupakan stadium tiga siklus hidupnya. Pada manusia, bila tanah, lumpur dan pasir yang terkontaminasi kotoran tadi kontak dengan kulit, larva akan berpenetrasi ke kulit manusia dan memulai migrasinya pada epidermis bagian bawah melalui folikel rambut atau kulit yang terluka. Karena enzim protease dan hialuronidase yang disekresikan, larva filariform mampu menembus celah kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, bahkan kulit utuh dengan cara mencerna keratin pada epidermis. Setelah menembus kulit, larva filariform melepaskan kutikula mereka. Hingga saat itu, larva belum memiliki bagian mulut yang berfungsi. Setelah kutikula terlepas, larva mulai bermigrasi dalam waktu sekitar tujuh hari. Namun, karena larva tidak memiliki enzim kolagenase, mereka tidak dapat menembus membran basal untuk masuk ke dermis dan mencapai pembuluh darah atau limfe guna melanjutkan siklus hidupnya ke usus, sebagaimana terjadi pada inang hewan yang sesuai. Oleh karena itu, larva tetap terbatas di lapisan epidermis. Larva merayap atau bergerak secara acak di dalam epidermis mengikuti pola serpiginosa dengan kecepatan sekitar 2 mm hingga 2 cm per hari, tergantung spesies larva, namun umumnya tidak melebihi 1 cm per
14
hari. Larva biasanya mati di jaringan subkutan dalam waktu 2 hingga 8 minggu karena tidak mampu menyelesaikan siklus hidupnya di tubuh manusia. Dengan kata lain, manusia merupakan inang akhir bagi larva. Meskipun demikian, migrasi ke organ dalam sangat jarang terjadi, namun telah dilaporkan pada beberapa kasus.1,9
Pada binatang, larva dapat berpenetrasi lebih dalam sampai lapisan dermis serta menginfeksi darah dan jaringan limpha. Cacing tambang yang sampai lumen usus akan bereproduksi menghasilkan lebih banyak telur lalu dieksresikan melalui feces dan mulailah siklus baru.6
Manusia merupakan hospes yang tidak tepat bagi larva tersebut, sehingga larva akhirnya akan mati. Masa inkubasi dapat terjadi beberapa hari dan penyakit ini dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan bila tidak diobati.6 Larva ini tinggal di kulit berjalan-jalan tanpa tujuan sepanjang dermoepidermal, setelah beberapa jam atau hari, akan timbul gejala di kulit. Reaksi yang timbul pada kulit, bukan diakibatkan oleh parasit, tetapi disebabkan oleh reaksi inflammasi dan alergi oleh sistem imun terhadap larva dan produknya.8-9
Pada hewan, Larva ini mampu menembus dermis dan melengkapi siklus hidupnya dengan berkembang biak di organ dalam.6
Gambar 2.1 Siklus hidup parasit penyebab cutaneous larva migrans.
15 2.6 Manifestasi Klinis
Masuknya telur ke dalam kulit biasanya disertai dengan rasa gatal dan panas. Mula mula akan terbentuk papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2-3 mm, dan berwarna kemerahan. Selanjutnya papul merah ini akan menjalar seperti benang berkelok-kelok, menimbul dan membentuk terowongan, mencapai panjang beberapa sentimeter. Rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari. Infeksi biasanya menyerang kaki, tangan, anus, bokong dan paha.1,9,10
Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan larva tersebut telah berada dikulit selama beberapa jam atau hari. Rasa gatal dapat timbul paling cepat 30 menit setelah infeksi, meskipun pernah dilaporkan late onset dari CLM.
Perkembangan selanjutnya papul merah ini menjalar seperti benang berkelok- kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul dan membentuk terowongan (burrow), mencapai panjang beberapa sentimeter dan bertambah panjang beberapa milimeter atau beberapa sentimeter setiap harinya. Umumnya pasien hanya memiliki satu atau tiga lintasan dengan panjang 2-5 cm. Rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari, sehingga pasien sulit tidur. 1,11
Lesi tidak hanya berada di tempat penetrasi. Hal ini disebabkan larva dapat bergerak secara bebas sepanjang waktu. Umumnya, lesi berpindah ataupun bertambah beberapa milimeter perhari dengan lebar sekitar 3 milimeter. Pada CLM, dapat dijumpai lesi tunggal atau lesi multipel, tergantung pada tingkat keparahan infeksi. Pada infeksi percobaan dengan 50 larva, didapati gejala mulai muncul beberapa menit setelah tusukan, diikuti dengan munculnya papul-papul setelah 10 menit. Beberapa jam kemudian, bercak awal mulai digantikan oleh papul kemerahan. Papul-papul kemudian bergabung membentuk erupsi eritematopapular, yang kemudian akan menjadi vesikel yang sangat gatal setelah 24 jam. Lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok mulai muncul 5 hari setelah infeksi. Rasa gatal ini juga dapat berlanjut, meskipun larva telah mati. Terowongan yang sudah lama, akan mengering dan menjadi krusta, dan bila pasien sering menggaruk, dapat menimbulkan iritasi yang rentan terhadap infeksi sekunder. 1,6,10
16
Larva nematoda dapat ditemukan terperangkap dalam kanal folikular, stratum korneum atau dermis. CLM biasanya ditemukan pada bagian tubuh yang berkontak langsung dengan tanah atau pasir. Tempat predileksi antara lain di tungkai, plantar, tangan, anus, bokong, dan paha. Pada kondisi sistemik, gejala yang muncul antara lain eosinofilia perifer (sindroma Loeffler), infiltrat pulmonar migratori, dan peningkatan kadar imunoglobulin E, namun kondisi ini jarang ditemui.12
2.7 Diagnosis
Diagnosis creeping eruption (cutaneous larva migrans) dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis berupa gambaran yang khas dari lesi kulit, dengan memperhatikan anamnesis riwayat perjalanan ke daerah endemik serta paparan terhadap tanah atau pasir yang terkontaminasi, dan adanya jejak serpiginosa khas.
Sayangnya, diagnosis awal yang tepat hanya tercapai pada kurang dari 50% kasus.
Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan ditemukannya larva pada gambaran histopatologi biopsi kulit dari bagian tepi lesi yang masih baru.8, 12
Diagnosis cutaneous larva migrans dapat dibantu dengan dermoscopy yang biasanya menunjukkan area transparan berwarna coklat tanpa struktur tertentu dalam susunan segmental yang sesuai dengan tubuh larva, serta pembuluh darah merah berbentuk titik yang menunjukkan terowongan kosong. Namun, dermoscopy gagal mengidentifikasi larva pada banyak kasus.13
Teknik pencitraan lain seperti near-infrared fluorescence imaging memberikan hasil yang lebih baik dalam mendeteksi larva. Selain itu, confocal scanning laser microscopy juga dapat digunakan untuk melihat larva yang sangat refraktif serta gangguan pola normal epidermis yang menyerupai sarang lebah, yang menunjukkan lokasi terowongan larva.13
Pemeriksaan laboratorium seperti hitung eosinofil darah perifer dan kadar IgE serum biasanya tidak membantu dalam diagnosis. Biopsi kulit umumnya tidak diperlukan dan kurang membantu karena larva biasanya berada 1 sampai 2 cm di depan ujung jalur serpiginosa yang terlihat. Jika biopsi diambil pada area tersebut dan larva ditemukan (dengan pewarnaan PAS positif), biasanya larva terlihat
17
berada dalam folikel rambut atau di terowongan suprabasalar dalam epidermis, disertai infiltrasi eosinofil, spongiosis, dan vesikulasi intraepidermal dengan keratinosit nekrotik. Namun, sensitivitas biopsi kulit sangat rendah dan sulit mengidentifikasi larva, terbukti dalam sebuah studi di mana larva hanya ditemukan pada 8 dari 300 spesimen biopsi. Oleh karena itu, spesies cacing tambang hewan yang menyebabkan cutaneous larva migrans pada tiap kasus biasanya tidak dapat diketahui.13-14
2.8 Diagnosis Banding
Jika ditinjau dari terowongan yang ada, CLM harus dibedakan dengan skabies. Pada skabies, terowongan yang terbentuk tidak sepanjang pada CLM.
Namun, apabila dilihat dari bentuknya yang polisiklik, penyakit ini sering disalahartikan sebagai dermatofitosis. Pada stadium awal, lesi pada CLM berupa papul, karena itu sering diduga dengan insects bite. Bila invasi larva yang multipel timbul serentak, lesi berupa papul-papul sering menyerupai herpes zoster stadium awal.12-13
Diagnosis banding yang lain antara lain larva currens (strongyloidiasis), migratory (creeping) myiasis, loiasis, dermatitis serkaria, gnathostomiasis, dirofilariasis, drakunkuliasis, tungiasis, skabies, herpes zoster; tinea corporis, dermatitis kontak, dan folikulitis bakteri [2, 45, 71-76]. Kondisi lain yang bukan berasal dari parasit yang menyerupai CLM adalah tumbuhnya rambut secara horizontal di kulit.12-13, 15-18
• Larva currens (strongyloidiasis)
Disebabkan oleh Strongyloides stercoralis, ditandai dengan erupsi urtikaria atau makulopapular yang gatal, berbentuk linear atau serpiginosa, dengan migrasi cepat. Erupsi ini biasanya dimulai di area perineum lalu menyebar ke bokong dan paha. Larva ini bermigrasi dengan kecepatan 5 hingga 15 sentimeter per jam, sehingga disebut sebagai larva “berlari” (running larva).
Sebaliknya, larva cacing tambang pada anjing atau kucing yang ditemukan pada cutaneous larva migrans biasanya bermigrasi jauh lebih lambat, yaitu sekitar 2 mm hingga 2 cm per hari, tergantung pada spesies larvanya.
18
• Migratory (Creeping) Myiasis
Disebabkan oleh larva lalat bot kuda (Gasterophilus intestinalis) dan sapi (Hypoderma ovis dan Hypoderma lineatum). Myiasis migratori yang disebabkan oleh G. intestinalis muncul dengan jejak serpiginosa superfisial.
Dibandingkan dengan cutaneous larva migrans, myiasis migratori bergerak lebih lambat dan jejak serpiginosa-nya tidak seluas. Myiasis migratori yang disebabkan oleh H. ovis dan H. lineatum lebih dalam dan ditandai dengan nodul subkutan yang nyeri tanpa adanya jejak serpiginosa.
• Loiasis
Disebabkan oleh nematoda filaria Loa loa, ditularkan ke manusia melalui gigitan lalat rusa dari genus Chrysops. Secara klinis, loiasis dapat muncul sebagai pergerakan cacing dewasa yang terlihat di bawah konjungtiva mata (oleh karena itu disebut “cacing mata”) dan angioedema migrasi yang dikenal sebagai pembengkakan Calabar. Pembengkakan Calabar, yang diduga merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap larva yang bermigrasi, biasanya terjadi di kaki dan lengan dan seringkali disertai dengan gatal lokal dan/atau umum. Pembengkakan ini dapat berlangsung dari beberapa jam hingga beberapa hari.
• Dermatitis Serkaria (Swimmer’s Itch)
Terjadi setelah penetrasi kulit manusia oleh serkaria dari cacing trematoda schistosoma non-manusia. Secara klinis, dermatitis serkaria muncul sebagai ruam makulopapular yang sangat gatal dalam hitungan jam hingga satu hari setelah terpapar air yang terkontaminasi schistosoma dari siput yang terinfeksi.
Biasanya, ruam ini tidak bermigrasi, sehingga membantu membedakannya dari cutaneous larva migrans.
• Gnathostomiasis
Dikenal sebagai larva migrans profundus, disebabkan oleh larva tahap ketiga yang infektif dari spesies Gnathostoma, terutama G. spinigerum dan G.
bispidum. Manusia mendapatkan infestasi ini setelah mengonsumsi ikan, kerang, atau amfibi yang dimasak kurang matang dan mengandung larva infektif. Varian kutan muncul dengan pembengkakan atau nodul kutan atau
19
subkutan yang bermigrasi secara intermiten. Berbeda dengan cutaneous larva migrans, lesi biasanya lebih dalam dan dapat melibatkan otot.
• Dirofilariasis
Disebabkan oleh cacing filaria zoonotik dari spesies Dirofilaria, terutama D. repens dan D. tenuis; inang alaminya adalah anjing dan anjing liar.
Ketika nyamuk mengisap darah dari hewan yang terinfeksi, mikrofilaria ikut terserap. Manusia terinfeksi melalui gigitan nyamuk yang membawa mikrofilaria infektif. Larva bergerak di jaringan subkutan dan menyebabkan nodul subkutan yang tidak bermigrasi dan biasanya tanpa gejala. Tempat yang paling sering terkena adalah ekstremitas, kepala, dan leher.
• Drakunkuliasis
Disebut juga penyakit cacing guinea, disebabkan oleh minum air yang terkontaminasi dengan kutu air (spesies Cyclops) yang telah memakan larva cacing guinea (Dracunculus medinensis). Setelah berkembang menjadi cacing dewasa dan melakukan kopulasi, cacing jantan mati dan cacing betina bermigrasi di jaringan subkutan menuju permukaan kulit.
Secara klinis, drakunkuliasis subkutan muncul sebagai papula yang nyeri, paling sering di ekstremitas bawah, tetapi juga dapat terjadi di genitalia dan bokong. Cacing dapat muncul dari papula tersebut.
• Tungiasis
Adalah infestasi ektoparasitik yang disebabkan oleh penetrasi kutu pasir betina yang mengandung telur, Tunga penetrans, ke dalam kulit. Baik kutu betina maupun jantan adalah hematofagus (menghisap darah). Kutu jantan mati setelah kopulasi, sementara kutu betina mengubur diri ke dalam epidermis manusia dan tumbuh hingga berdiameter sekitar 10 mm saat telurnya yang telah dibuahi matang. Secara klinis, kondisi ini muncul sebagai papula atau nodul non-migrasi dengan titik hitam di tengah. Titik hitam tersebut adalah lubang ano-genital kutu betina tempat ia mengeluarkan feses dan telur. Lesi dapat tidak bergejala, nyeri, atau gatal. Sebagian besar lesi terdapat pada kaki.
• Scabies
20
Adalah infestasi kulit yang disebabkan oleh parasit tungau Sarcoptes scabiei var hominis. Secara klinis, scabies ditandai dengan terowongan (burrows), erupsi papular eritematosa, dan pruritus yang intens. Terowongan, yang bersifat patognomonik, muncul sebagai garis-garis serpiginosa berwarna abu- abu, putih, merah, atau coklat sepanjang beberapa milimeter di epidermis atas.
Tempat yang sering terkena adalah sela jari dan sisi fleksi pergelangan tangan.
• Herpes Zoster
Kadang-kadang, cutaneous larva migrans, terutama varian bullosa, dapat meniru herpes zoster. Secara klinis, herpes zoster ditandai oleh erupsi vesikular yang menyakitkan, unilateral, dan terbatas pada distribusi dermatomal tertentu.
Herpes zoster sering mengenai area dermatom servikal dan sakral pada anak- anak serta dermatom torakal bawah dan lumbar atas pada orang dewasa.
Sebaliknya, erupsi pada cutaneous larva migrans sangat gatal, lebih umum di ekstremitas bawah dan bokong, tidak mengikuti dermatom, dan berkembang dengan cara yang tidak dapat diprediksi sehingga membentuk lintasan serpiginosa.
• Tinea corporis
Adalah infeksi jamur superfisial kulit yang paling sering disebabkan oleh Trichophyton rubrum, T. tonsurans, dan Microsporum canis. Biasanya, tinea corporis muncul sebagai plak eritematosa annular dengan tepi yang jelas dan terangkat serta bersisik. Batasnya bisa berupa papula, vesikel, atau pustula.
Lesi menyebar secara sentrifugal dan bersih di bagian tengah sehingga membentuk lesi khas yang dikenal sebagai "cincin kurap". Tinea corporis cenderung didistribusikan secara asimetris. Bila terdapat beberapa lesi, bisa menyatu. Gatal ringan sering terjadi.
• Dermatitis kontak
Disebabkan oleh paparan alergen (dermatitis kontak alergi) atau iritan (dermatitis kontak iritan). Biasanya lesi bersifat eksimatik dan hanya terjadi di area yang bersentuhan dengan zat iritan atau alergen. Lesi tidak berbentuk serpiginosa.
21
• Follicular cutaneous larva migrans harus dibedakan dengan folikulitis bakterial. Folikulitis bakterial biasanya muncul sebagai makulopapula dan pustula folikuler eritematosa di area yang berambut. Sering terlihat batang rambut di pusat lesi. Lesi bisa nyeri, terasa sakit, atau agak gatal. Sebaliknya, follicular cutaneous larva migrans sangat gatal dan tidak terlihat batang rambut di pusat lesi. Berbeda dengan folikulitis bakterial, follicular cutaneous larva migrans tidak merespon terapi antibiotik.
2.9 Tatalaksana
Creeping eruption merupakan penyakit swasirna. Jika tidak diterapi, larva akan mati dengan sendirinya dan kelainan kulit akan membaik secara bertahap.
Jika tidak diobati, pruritus (rasa gatal) dapat berlangsung selama 3 bulan atau bahkan lebih lama [100]. Pengobatan sering kali diperlukan untuk memperpendek perjalanan penyakit karena rasa gatal yang hebat dan potensi komplikasi yang terkait dengan penyakit ini [17]. Waktu yang diperlukan untuk resolusi adalah sekitar 4 hingga 8 minggu, namun dapat lebih lama hingga 6 bulan.3 Pengobatan yang tepat akan mempercepat penyembuhan lesi dan gejala yang menyertainya, serta mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi. Dibandingkan dengan obat antihelmintik oral, pengobatan topikal pada area yang terkena cenderung kurang efektif, karena larva bersifat bergerak dan lokasi pastinya tidak diketahui secara tepat. Selama lesi belum menyembuh, akan masih terasa gatal dan nyeri.1,12
Terapi penyakit ini ditujukan untuk mempercepat penyembuhan. Pilihan terapi berdasarkan derajat keparahan gambaran klinis dan keluhan yang dirasakan.2,4 Terdapat beberapa macam terapi yang dapat diberikan, yaitu bedah beku (etil klorida), atau dengan antihelmentik, misalnya thiabendazole topikal.8 Terapi dengan bedah beku seringkali memberikan hasil yang kurang memuaskan.
Hal tersebut disebabkan karena proses freeze and thaw yang terjadi tidak cukup adekuat untuk membunuh larva. Selain itu, efek samping tindakan bedah beku berupa pembentukan bula dapat meninggalkan bekas luka yang mengganggu secara kosmetik.10,12
22
Adapun terapi yang dapat digunakan adalah sebagai berikut1,12 : a. Medikamentosa
1) Pengobatan Oral (sistemik)
Pengobatan dengan anthelminthic saat ini, yaitu tiabendazol kadang sukar didapat di apotek. Jenis obat cacing lain, adalah mebendazol (akhir- akhir ini kurang populer), albendazol dan ivermectin. Pemberian albendazol dosis tunggal 400 mg per oral (PO) memberikan kesembuhan 46-100%. Di luar negeri, terapi dengan ivermectin per oral 12 mg dosis tunggal PO diperoleh kesembuhan 81-100%. Pemberian albendazol 400-800 mg/hari PO selama 3-5 hari merupakan terapi yang cukup efektif, dan pemberian ivermectin 200 µg/kg BB PO dosis tunggal selama 1-2 hari merupakan terapi pilihan.
• Ivermectin oral
Ivermectin (nama dagang: Stromectol, Mectizan, Revectina, Ivermec) adalah lakton makrosiklik yang merupakan turunan semi- sintetik dari avermectin, yang diperoleh dari bakteri Streptomyces avermitilis.
Obat ini bekerja dengan menstimulasi pelepasan neurotransmiter secara berlebihan di sistem saraf perifer dan meningkatkan permeabilitas membran sel cacing, yang menyebabkan kelumpuhan dan kematian cacing tersebut.
Dosis tunggal 12 mg untuk dewasa (150 hingga 200 mcg/kg untuk anak-anak, maksimal 12 mg) merupakan pengobatan pilihan utama untuk cutaneous larva migrans. Obat ini sebaiknya diberikan saat perut kosong dengan air putih. Jika dosis tunggal tidak memberikan perbaikan yang signifikan, dosis kedua dapat diberikan.
Karena cutaneous larva migrans yang melibatkan folikel rambut lebih sulit diobati, maka pasien dewasa sebaiknya diobati dengan ivermectin 12 mg (150–200 mcg/kg untuk anak-anak; maksimal 12 mg), dua kali sehari selama beberapa hari.
23
Efek samping yang mungkin terjadi antara lain: anoreksia, mual, muntah, nyeri perut, konstipasi, pusing, kulit kering (xerosis), sensasi terbakar pada kulit, kemerahan, nyeri mata, mata merah, takikardia sementara, dan hipotensi. Kontraindikasikan pada Kehamilan, Anak- anak di bawah usia 5 tahun atau berat badan kurang dari 15 kg, Pasien dengan gangguan hati atau ginjal [10, 15, 105] dan Obat ini juga sebaiknya dihindari pada ibu menyusui.
• Albendazol Oral
Secara kimia, albendazol (nama dagang: Eskazole, Albenza, Andazol, Alworm, Noworm, Alben-G, ABZ, Cidazole, Zentel) adalah metil 5-(propiltio)-2-benzimidazol karbamat. Obat ini bekerja dengan menyebabkan degenerasi sel usus pada cacing dengan cara berikatan pada tubulin yang sensitif terhadap kolkisin, sehingga menghambat polimerisasinya menjadi mikrotubulus. Akibatnya, terjadi gangguan penyerapan glukosa oleh cacing, yang pada akhirnya menyebabkan kematian cacing tersebut.
Jika ivermectin oral tidak tersedia, tidak ditoleransi, atau tidak efektif, maka albendazol oral menjadi pilihan pengobatan.
Obat ini biasanya diberikan dengan dosis 10 hingga 15 mg/kg berat badan (maksimal 800 mg) yang dibagi dalam 2 dosis per hari selama 3 hingga 5 hari. Durasi pengobatan yang paling optimal belum ditetapkan, karena pengobatan selama 1 hingga 7 hari juga telah direkomendasikan. Beberapa penulis menyarankan pengobatan selama 7 hari pada pasien dengan lesi multipel dan luas, serta pada pasien dengan sindrom Löffler. Obat ini harus diminum bersamaan dengan makanan.
Efek samping yang dapat terjadi meliputi: Mual, muntah, nyeri perut, pusing, sakit kepala, Penipisan rambut atau kerontokan rambut yang reversibel, Demam, ruam kulit, peningkatan tekanan intrakranial, Supresi sumsum tulang, Disfungsi hati. Albendazol oral dikontraindikasikan selama kehamilan, serta pada pasien dengan
24
penyakit hematologis atau gangguan fungsi hati. Obat ini juga sebaiknya dihindari pada ibu menyusui.
Dalam sebuah studi terbuka, Caumes et al. membandingkan efektivitas dosis tunggal ivermectin oral (12 mg) dengan albendazol oral (400 mg) untuk pengobatan cutaneous larva migrans. Sebanyak 21 pasien diacak menjadi dua kelompok: ivermectin (n = 10) dan albendazol (n = 11). Hasilnya menunjukkan bahwa semua pasien (10/10) yang menerima ivermectin oral menunjukkan respons yang baik dan tidak ada yang kambuh. Sementara itu, 10 dari 11 pasien yang menerima albendazol oral juga menunjukkan respons, namun 5 dari 10 pasien tersebut mengalami kekambuhan rata-rata setelah 11 hari (rentang 3 hingga 35 hari). Caumes et al. menyimpulkan bahwa dosis tunggal ivermectin 12 mg lebih efektif dibandingkan dosis tunggal albendazol 400 mg dalam pengobatan cutaneous larva migrans.
• Thiabendazol Oral
Thiabendazol (nama dagang: Mintezol) adalah turunan benzimidazol yang memiliki sifat antihelmintik. Obat ini bekerja dengan menghambat enzim mitokondria spesifik cacing, yaitu fumarat reduktase, sehingga mengganggu siklus asam sitrat, respirasi mitokondria, dan produksi ATP selanjutnya. Hal ini pada akhirnya menyebabkan kematian cacing.
Thiabendazol oral dengan dosis 25 hingga 50 mg/kg/hari (maksimal 2,5 gram per hari), yang diberikan dua kali sehari selama 2 hingga 5 hari, efektif untuk pengobatan cutaneous larva migrans. Terapi ini diberikan jika lesi luas dan terapi topikal tidak berhasil.
Tablet harus dikunyah sebelum ditelan dan diminum setelah makan.
Namun, efek sampingnya cukup umum dan meliputi: Anoreksia (hilang nafsu makan), Mual, muntah, kram perut, diare, Penglihatan kabur, pusing, dan sakit kepala dan Obat ini dikontraindikasikan selama kehamilan. Karena tingginya insiden efek samping dan toleransi yang buruk, obat ini tidak lagi direkomendasikan untuk pengobatan
25
cutaneous larva migrans. Obat ini bahkan telah ditarik dari pasaran di banyak negara, termasuk Kanada dan Amerika Serikat.
2) Pengobatan Topikal
Obat pilihan berupa tiobendazol topikal 10%, diaplikasi 4 kali sehari selama satu minggu. Thiabendazole topikal adalah pilihan terapi pada lesi yang awal, untuk melokalisir lesi, mengurangi lesi multiple dan infeksi folikel oleh cacing tambang. Obat ini perlu diaplikasikan di sepanjang lesi dan pada kulit normal di sekitar lesi. Dapat juga digunakan solutio tiobendazol 2% dalam DMSO (dimetil sulfoksida) atau tiobendazol topikal ditambah kortikosteroid topikal yang digunakan secara oklusi dalam 24-48 jam.
• Albendazol Topikal
Albendazol topikal 10% dalam basis lipofilik yang dioleskan di bawah oklusi (tertutup rapat) sebanyak tiga hingga empat kali sehari selama 5 hingga 10 hari dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan lesi yang terlokalisasi, terutama bila obat antihelmintik oral dikontraindikasikan atau tidak ditoleransi. Ini merupakan alternatif yang masuk akal untuk anak kecil dan wanita hamil.
Efek samping yang mungkin terjadi termasuk: Dermatitis kontak iritan dan Ulkus (luka) pada kulit.
• Thiabendazol topikal
Thiabendazol topikal 10 hingga 15% dalam basis lipofilik, yang dioleskan di bawah oklusi sebanyak tiga hingga empat kali sehari selama 5 hingga 10 hari, juga dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan lesi yang terlokalisasi, jika obat antihelmintik oral dikontraindikasikan atau tidak ditoleransi. Sama seperti albendazol, obat ini merupakan alternatif yang wajar untuk anak kecil dan wanita hamil. Efek samping yang dapat terjadi meliputi: Dermatitis kontak iritan dan Ulkus kulit.
26 3) Cryotheraphy
Terapi lama sebelum tersedia obat antihelmintik, krioterapi dengan nitrogen cair digunakan untuk mengobati cutaneous larva migrans. yaitu pembekuan lesi, menggunakan etil klorida atau dry ice. Terapi ini efektif bila epidermis terkelupas bersama parasit. Seluruh terowongan harus dibekukan karena parasit diperkirakan berada dalam terowongan. Cara ini bersifat traumatik dan hasilnya kurang dapat dipercaya. Selain itu, efek samping tindakan bedah beku yang berupa pembentukan bula dapat meninggalkan bekas luka yang mengganggu secara kosmetik. Namun, krioterapi tidak terlalu efektif karena lokasi pasti larva tidak diketahui secara akurat; larva biasanya berada beberapa sentimeter di depan ujung lesi yang tampak.
Selain itu, telah dibuktikan bahwa larva dapat bertahan hidup pada suhu serendah -21ºC selama lebih dari 5 menit.
Prosedur ini juga menyebabkan nyeri. Oleh karena itu, krioterapi tidak lagi direkomendasikan secara rutin untuk pengobatan cutaneous larva migrans, kecuali pada pasien yang tidak dapat menggunakan obat antihelmintik oral (misalnya: wanita hamil) atau yang tidak dapat mentoleransi obat tersebut.
4) Laser Karbon Dioksida Fraksional (Fractional CO₂ Laser)
Baru-baru ini, telah ditunjukkan bahwa satu sesi terapi laser karbon dioksida fraksional sebanyak 1 hingga 4 kali lintasan (passes) di area sekitar 1 hingga 2 cm di sekeliling bagian eritematosa dari jejak berbentuk melingkar (serpiginosa) efektif dalam pengobatan cutaneous larva migrans.
Dalam sebuah studi, sepuluh kasus (delapan pasien) dengan cutaneous larva migrans diobati dengan satu sesi laser karbon dioksida, dan dilakukan pemantauan harian selama minggu pertama dengan dokumentasi foto, serta pemantauan mingguan selama 3 minggu berikutnya, sehingga total masa tindak lanjut adalah 4 minggu. Pada kasus pertama, pasien menerima satu hingga dua lintasan (passes) laser CO₂ fraksional, dan masih mengalami migrasi larva selama 2 hingga 3 hari, setelah itu tidak ditemukan lagi progresi lesi. Untuk tujuh kasus berikutnya, jumlah lintasan laser CO₂
27
ditingkatkan menjadi 3 hingga 4 kali, dan tidak ditemukan migrasi larva lanjutan. Pada akhir masa tindak lanjut 4 minggu, semua area yang diterapi dengan laser CO₂ sembuh sepenuhnya.
Mikroskopi laser konfokal scanning dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan larva, sehingga meningkatkan keberhasilan terapi dengan laser karbon dioksida fraksional. Laser karbon dioksida fraksional bekerja dengan menghancurkan larva secara langsung, atau zona termal mikro (microthermal zones) yang dihasilkan oleh laser menghentikan migrasi larva.
Jumlah lintasan ideal dari laser karbon dioksida fraksional yang dibutuhkan untuk mengendalikan cutaneous larva migrans secara efektif masih perlu ditentukan lebih lanjut.
5) Lainnya
Antihistamin sistemik dan kortikosteroid topikal dapat dipertimbangkan untuk memberikan pereda gejala gatal. Infeksi bakteri sekunder mungkin memerlukan pengobatan dengan antibiotik yang sesuai.
b. Non Medikamentosa
2) Dapat dicegah dengan meningkatkan sistem sanitasi yang baik terutama yang terkait dengan feses.
3) Pemakaian alas kaki pada area dimana banyak terdapat penyakit cacing tambang.
4) Memperhatikan kebersihan dan menghindari kontak yang terlalu banyak dengan hewan-hewan yang merupakan karier cacing tambang.
5) Menghindari berbaring atau duduk langsung di atas pasir atau tanah.
6) Pasir tempat bermain anak-anak harus dilindungi dari anjing dan kucing.
7) Menggunakan sarung tangan saat menangani tanah atau pasir.
8) Pemberian obat cacing secara berkala pada anjing dan kucing.
2.10 Komplikasi
Pruritus (rasa gatal) dapat menyebabkan gangguan tidur. Garukan berulang dapat menyebabkan eksoriasi (luka akibat garukan), infeksi
28
bakteri sekunder, dan eksimatisasi. Reaksi alergi yang terlokalisasi dan/atau menyeluruh termasuk dalam komplikasi lainnya. Pada individu yang sebelumnya telah tersensitisasi, dapat terjadi eritema multiforme.
Konsekuensi psikososial dapat menjadi signifikan dan berdampak buruk terhadap kualitas hidup.12-15
Dalam kasus yang jarang, cutaneous larva migrans dapat menyebabkan komplikasi berupa edema optik dan sindrom Löffler.
Sindrom Löffler ditandai dengan infiltrat eosinofilik paru yang berpindah- pindah dan eosinofilia pada darah perifer. Pasien yang terkena dapat menunjukkan gejala seperti demam, rasa tidak enak badan, batuk, rasa tidak nyaman di belakang tulang dada, dan dahak yang bercampur darah yang mengandung kristal Charcot-Leyden. Sindrom Löffler dianggap sebagai reaksi hipersensitivitas tipe 1 terhadap larva atau antigen larutannya.12,15 2.11 Prognosis
CLM termasuk ke dalam golongan penyakit self-limiting (dapat sembuh sendiri), sehingga prognosisnya sangat baik. Pada akhirnya, larva akan mati di epidermis stela beberapa minggu atau bulan bahkan tanpa pengobatan. Hal ini disebabkan karena larva tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada manusia. Lesi tanpa komplikasi yang tidak diobati akan sembuh dalam 4-8 minggu, tetapi pengobatan farmakologi dapat memperpendek perjalanan penyakit. Dalam kasus yang jarang, larva dapat bertahan di folikel rambut hingga dua tahun.1,12,15,19
29 BAB III ANALISIS KASUS
Didalam pembahasan tentang teori yang menyebabkan suatu penyakit dikenal salah satu teori yaitu model Segitiga Epidemiologi. Segitiga epidemiologi merupakan konsep dasar epidemiologi yang memberikan gambaran tentang hubungan antara tiga faktor utama yang berperan dalam terjadinya suatu penyakit dan masalah penyakit lainnya. Model segitiga ini merupakan interaksi di antara tiga faktor yaitu Host, Agent, dan Environment
a. Host
Host adalah manusia atau makhluk hidup lain yang menjadi tempat terjadinya proses alamiah perkembangan penyakit. Faktor host adalah semua faktor yang terdapat dalam diri manusia yang dapat mempengaruhi timbulnya penyakit atau mempengaruhi perjalanan suatu penyakit. Faktor-faktor host tersebut adalah:
1. faktor keturunan/genetic 2. usia
3. jenis kelamin 4. ras
5. keadaan fisiologis tubuh 6. mekanisme pertahanan tubuh 7. tingkah laku (behaviour) b. Agent
Agent adalah suatu substansi tertentu yang kehadirannya atau ketidakhadirannya dapat menimbulkan penyakit atau mempengaruhi
30
perjalanan suatu penyakit. Agent tidak hanya makhluk hidup atau mikroorganisme penyebab infeksi, tapi bisa juga dalam bentuk non-hidup.
1. Zat nutrisi: kolesterol, protein
2. Agent kimia: obat, alergen, pestisida, karbon monoksida 3. Agent fisik: radiasi, air, udara, suara, tekanan udara, dll 4. Agent biologis/infeksius: bakteri, virus, jamur, protein, dll c. Environment
Faktor lingkungan merupakan faktor ekstrinsik yang menunjang terjadinya suatu penyakit. Faktor lingkungan mempengaruhi penularan, penyebaran dan perkembangan suatu agent penyebab penyakit.
1. Lingkungan Fisik: musim, geografis, tanah, air, udara, iklim
2. Lingkungan Biologis: Semua makhluk hidup yang ada di sekitar manusia (tumbuhan, hewan)
3. Lingkungan Sosial Ekonomi: pekerjaan, status ekonomi, sistem pelayanan kesehatan, agama, adat istiadat, kebiasaan, bencana alam, urbanisasi.
3.1 Hubungan diagnosis dengan keadaan rumah dan lingkungan sekitar Terdapat hubungan yang jelas dan kuat antara diagnosis CLM pada pasien ini dengan kondisi rumah dan lingkungan sekitar pasien. Diagnosis CLM sangat berkaitan dengan kontak kulit manusia dengan tanah atau pasir yang terkontaminasi larva cacing tambang dari kotoran anjing/kucing. Dari hasil observasi kunjungan:
o Halaman rumah terdiri dari tanah dan pasir, sebagian besar tidak disapu secara rutin.
o Banyak ditemukan kotoran kucing, meskipun pasien tidak memelihara hewan.
o Tetangga memiliki banyak kucing yang bebas berkeliaran di halaman pasien.
o Lingkungan tempat tinggal pasien tergolong padat penduduk, dengan rumah-rumah yang berdekatan, yang dapat mempersulit upaya menjaga kebersihan halaman secara menyeluruh.
31
Kondisi lingkungan rumah pasien yang padat dan berpasir, keberadaan kucing liar dan kotorannya yang tersebar dihalaman berperan besar dalam terjadinya infeksi CLM pada pasien. Ini sesuai dengan teori bahwa CLM disebabkan oleh Ancylostoma spp. yang berasal dari anjing/kucing, dan larva berkembang di tanah lembab yang terkontaminasi kotoran hewan tersebut.
3.2 Hubungan diagnosis dengan keadaan keluarga dan hubungan dalam keluarga
Tidak terdapat hubungan antara diagnosis dan aspek psikologis di keluarga pasien, karena hubungan pasien dengan keluarga pasien baik
3.3 Hubungan diagnosis dengan perilaku kesehatan dalam keluarga dan lingkungan sekitar
Diagnosis Cutaneous Larva Migrans (CLM) pada pasien sangat berkaitan erat dengan perilaku kesehatan pasien dan keluarga, serta praktik kebersihan di lingkungan tempat tinggal karena perilaku higienis merupakan faktor kunci dalam pencegahan dan pengendalian penyakit ini. Dari hasil kunjungan rumah, ditemukan beberapa perilaku kesehatan yang kurang baik pada keluarga pasien maupun lingkungan tetangga pasien.
Pasien dan kelurga pasien sendiri memiliki kebiasaan tidak menggunakan alas kaki saat berada di halaman rumah atau ketika berinteraksi dengan tetangga, terutama saat melakukan aktivitas ringan seperti menjemur pakaian. Hal ini meningkatkan risiko kontak langsung dengan tanah yang terkontaminasi larva parasit. Selain itu, pasien dan keluarga tidak memiliki kebiasaan mencuci kaki setelah berjalan tanpa alas kaki, serta jarang membersihkan keset dan halaman rumah, yang memungkinkan akumulasi kontaminan seperti kotoran kucing.
Prilaku dari lingkungan sekitar pasien juga memberikan kontribusi terhadap risiko penyakit. Banyaknya kucing liar milik tetangga yang dibiarkan berkeliaran dan buang kotoran secara bebas di halaman rumah dan tidak dibersihkan menjadi sumber kontaminasi tanah oleh larva cacing.
32
Faktor perilaku seperti tidak menggunakan alas kaki dan tidak menjaga kebersihan diri maupun lingkungan merupakan faktor risiko utama terjadinya CLM. Selain itu, keberadaan hewan peliharaan atau hewan liar di lingkungan sekitar tanpa pengelolaan yang baik juga memperburuk risiko penularan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa diagnosis CLM pada pasien berkaitan erat dengan perilaku kesehatan pasien dan keluarga, serta lingkungan pasien yang ditandai oleh kurangnya penerapan prinsip Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), serta pengabaian terhadap potensi sumber penularan di lingkungan sekitar.
3.4 Analisis kemungkinan berbagai faktor risiko atau etiologi penyakit pada pasien ini
Kejadian CLM dipengaruhi oleh tiga kelompok faktor risiko utama, yaitu faktor perilaku, faktor lingkungan, dan faktor demografis.
Dari aspek faktor perilaku, pasien memiliki kebiasaan tidak menggunakan alas kaki saat beraktivitas di sekitar rumah, seperti ketika menjemur pakaian atau duduk di teras. Kebiasaan ini berisiko tinggi karena memungkinkan terjadinya kontak langsung antara kulit dengan tanah atau pasir yang mungkin telah terkontaminasi larva cacing. Selain itu, pasien tidak memiliki kebiasaan mencuci kaki setelah berjalan tanpa alas kaki, dan kebersihan lingkungan rumah, termasuk keset dan halaman, cenderung kurang terjaga. Perilaku tersebut sesuai dengan faktor perilaku berisiko dalam kejadian CLM yang disebutkan dalam literatur, di mana paparan kulit terhadap tanah yang tercemar merupakan mekanisme utama masuknya larva ke dalam tubuh manusia.
Pada faktor lingkungan, kondisi rumah pasien terletak di kawasan padat penduduk dengan halaman yang sebagian terdiri dari tanah berpasir. Di area tersebut, sering ditemukan kotoran kucing liar, meskipun pasien tidak memiliki hewan peliharaan. Hal ini mengindikasikan adanya pencemaran lingkungan oleh hospes definitif larva cacing tambang. Tidak terdapat tindakan khusus dari pihak keluarga maupun lingkungan sekitar untuk mengelola populasi hewan liar atau membersihkan area terkontaminasi. Selain itu, wilayah tempat tinggal
33
pasien memiliki karakteristik iklim tropis yang hangat dan lembap, sesuai dengan kondisi optimal bagi perkembangan telur menjadi larva infektif di dalam tanah. Faktor-faktor ini secara signifikan mendukung kelangsungan hidup larva dan meningkatkan risiko transmisi ke manusia.
Sementara itu, dari segi faktor demografis, pasien berusia 47 tahun dan berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Meskipun prevalensi CLM lebih tinggi pada anak-anak usia ≤4 tahun, pasien dewasa tetap berisiko apabila memiliki paparan yang tinggi terhadap tanah terkontaminasi. Aktivitas harian pasien di area sekitar rumah tanpa pelindung kaki menunjukkan tingkat risiko yang setara dengan kelompok yang lebih rentan secara usia. Tingkat pendidikan pasien adalah SMA, yang dalam beberapa penelitian dikaitkan dengan angka kejadian CLM yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok berpendidikan tinggi, terutama apabila tidak disertai pemahaman yang memadai terkait perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pasien memiliki berbagai faktor risiko yang saling berkontribusi terhadap kejadian CLM.
Faktor perilaku, kondisi lingkungan yang tidak higienis, serta kurangnya upaya pencegahan dari keluarga dan masyarakat sekitar merupakan determinan penting dalam munculnya kasus ini. Hal ini menunjukkan perlunya pendekatan promotif dan preventif yang komprehensif untuk mengurangi risiko kejadian serupa di komunitas.
3.5 Analisis untuk mengurangi paparan atau memutus rantai penularan dengan faktor risiko atau etiologi pada pasien ini
Diperlukan intervensi yang bersifat promotif dan preventif untuk memutus rantai transmisi larva cacing tambang dari lingkungan ke manusia. Strategi yang dapat diterapkan meliputi perubahan perilaku individu, peningkatan sanitasi lingkungan, serta edukasi keluarga dan masyarakat.
34 Perubahan Perilaku Individu
1. Pasien dianjurkan selalu menggunakan alas kaki saat beraktivitas di luar ruangan, termasuk di area sekitar rumah.
2. Penggunaan alas kaki secara konsisten mencegah kontak langsung kulit dengan tanah atau pasir yang mungkin terkontaminasi larva filariform.
3. Pasien perlu membiasakan diri mencuci kaki dengan sabun dan air bersih setelah kontak dengan lingkungan luar, untuk mengurangi kemungkinan larva menempel atau menembus kulit.
Peningkatan Sanitasi Lingkungan
1. Halaman rumah harus tetap bersih dan bebas dari kotoran hewan, khususnya kotoran kucing liar sebagai sumber utama telur cacing tambang.
2. Melakukan pembersihan rutin area tanah berpasir.
3. Menambahkan lapisan pelindung seperti kerikil atau paving block di area tanah berpasir.
4. Memasang pagar untuk mencegah masuknya hewan liar ke area rumah.
5. Mengelola populasi hewan liar di sekitar lingkungan tempat tinggal.
6. Pendekatan pengelolaan hewan liar dilakukan secara kolaboratif dengan masyarakat atau instansi terkait.
Intervensi Keluarga dan Komunitas
1. Meningkatkan edukasi tentang pentingnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
2. Keluarga pasien harus aktif menjaga kebersihan rumah dan membersihkan keset secara berkala.
3. Mendukung anggota keluarga lain dalam menerapkan kebiasaan hidup sehat.
4. Mensosialisasikan pentingnya pemberian obat cacing (deworming) secara berkala pada hewan peliharaan terutama kepada pemilik peliharaan.
35
3.6 Edukasi yang diberikan pada pasien atau keluarga
• Penyakit yang diderita adalah infeksi kulit yang disebabkan oleh larva cacing tambang yang menembus kulit dari tanah atau pasir yang terkontaminasi.
• Pengobatan yang diberikan bertujuan untuk membunuh larva dan mengurangi gejala seperti gatal dan kemerahan pada kulit.
• Pasien harus menggunakan obat sesuai anjuran dokter dan menyelesaikan pengobatan hingga tuntas agar infeksi dapat sembuh dengan baik.
• Untuk mencegah penularan dan infeksi ulang, sangat penting menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
• Selalu gunakan alas kaki saat beraktivitas di luar rumah, terutama di tempat berpasir atau tanah.
• Biasakan mencuci kaki dan membersihkan kulit yang terkena tanah dengan sabun dan air bersih setelah beraktivitas di luar ruangan.
• Jaga kebersihan lingkungan sekitar rumah, terutama membersihkan kotoran hewan peliharaan dan kucing liar yang bisa menjadi sumber telur cacing tambang.
• Berikan obat cacing secara rutin pada hewan peliharaan untuk mengurangi risiko penularan.
• Jika muncul keluhan seperti garis merah yang bergerak atau gatal yang menetap pada kulit, segera konsultasikan ke tenaga kesehatan untuk penanganan lebih lanjut.
• Istirahat yang cukup dan konsumsi makanan bergizi untuk membantu proses penyembuhan
LAMPIRAN
Penampang depan rumah Atap plafon triplek
Ruang mencuci, wc dan kamar anak pasien
Dapur Ruang tengah
Kamar pasien
Kunjungan rumah Pasien
DAFTAR PUSTAKA
1. Harahap, M. 2002. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. Bennett JE, Dolan R, penyunting. Principles and practice of infectious diseases.
Edisi ke-7. Philadelphia: PA Elsevier Churchill-Livingstone; 2009. h. 291.
3. Wilson ME. Helminthic infection. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Glichrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Edisi ke-7. New York: Mc Graw-Hill; 2008.h. 2023 4. Gerd P, Thomas J. Cutaneous Larva Migrans. Terdapat Dalam: Fitzpatrick’s 5. Siregar, R. S. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
6. Dermatology In General Medicine 8th edition Volume 2.New York : McGraw Hill;2012.
7. Palgunadi BU. Cutaneous larva migrans. Jurnal Ilmiah Kedokteran. 2010;
2(1):31-3
8. Djuanda A, Hamzah M., Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi keenam, cetakan ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2013; 125-126
9. Nash TE. Visceral larva migrans and other unusual helmint infection; Dalam:
Mendell, Douglas, Bennet, penyunting. Principle and practice of infectious diseases. Edisi ke-7. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2010. h.
3619.
10. Diemert DJ. Intestinal nematode infections. Dalam: Goldman L, Schafer AI, penyunting. Goldman's Cecil Medicine. Edisi ke-24. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. h. 365.
11. Padmavathy L, Rao LL. Cutaneous larva migrans - A case report. Indian J Microbiol. 2005; 23: 135-6
12. Leung, Alexander & Barankin, Benjamin & Hon, Ellis Kam Lun. (2017).
Cutaneous Larva Migrans. Recent patents on inflammation & allergy drug discovery. 11. 10.2174/1872213X11666170110162344.
13. Purnayasa P, Hidayat N, Munir MA. Cutaneus larva migran: Laporan kasus.
Med Prof J (MEDPRO). 2023;5(2). Available from:
https://jurnal.fk.untad.ac.id/index.php/medpro/article/view/908
14. Zalaudek I, Giacomel J, Cabo H, Di Stefani A, Ferrara G, Hofmann-Wellenhof R, dkk. Entodermoscopy: A new tool for diagnosing skin infections and infestations. Dermatology. 2008; 216: 14-23 10.
15. Rasyida AM. Laporan kasus: Cutaneus larva migrans [Internet]. Kebumen:
Puskesmas Ambal II; 2023 [cited 2025 May 25]. Available from:
https://puskesmasambaldua.kebumenkab.go.id/index.php/web/view_file/80 16. Nath R, Bhuyan S, Dutta H, Saikia L. Human subcutaneous dirofilariasis in
Assam. Trop Parasitol. 2013;3(1):75–8.
17. Gulanikar A. Dracunculiasis: Two cases with rare presentations. J Cutan Aesthet Surg 2012; 5(4): 281-3.
18. Leung AK, Woo T, Robson WL, Trotter MJ. A tourist with tungia-sis. CMAJ 2007; 177(4): 343-4.
19. Garcia-Rodrigo CG, Romero FT, Olivo CZ. Cutaneous larva mi-grans, welcome to a warmer Europe. J Eur Acad Dermatol Venereol 2016; 31: e33-5