LAPORAN KASUS
TRAUMATIC OPTIC NEUROPATHY OCCULI DEXTRA
Disusun oleh:
Bimo Wicaksono 1102017051
Pembimbing:
dr. Yulika Harniza, Sp.M, MARS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...1
BAB I...3
STATUS PASIEN...3
1.1 IDENTITAS PASIEN...3
1.2 ANAMNESIS...3
1.3 PEMERIKSAAN FISIK...4
A. Status Generalis...4
1.4 Pemeriksaan Penunjang...6
1.5 Resume...6
1.6 Diagnosis Kerja...7
1.7 Diagnosis Banding...7
BAB II...9
TINJAUAN PUSTAKA...9
2.1 Traumatic Optic Neuropathy (TON)...9
2.1.1 Definisi...9
2.1.3 Etiologi...9
2.1.4 Klasifikasi...9
2.1.5 Patofisiologi...10
2.1.6 Manifestasi Klinis...11
2.1.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding...11
2.1.8 Penatalaksanaan...14
2.1.9 Prognosis...16
BAB I STATUS PASIEN 1.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Usia : 28 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Kab. Bekasi
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Status : Belum Menikah
Tanggal Pemeriksaan : 17 Februari 2023
1.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada ibu pasien pada tanggal 17 Februari 2023 di RSUD Kab. Bekasi.
A. Keluhan Utama
Penurunan penglihatan secara mendadak pada mata kanan sejak ± 1 minggu SMRS pasca kecelakaan lalu lintas.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dirawat di RSUD Kabupaten Bekasi dengan keluhan penurunan penglihatan secara mendadak pada mata kanan sejak ± 1 minggu. Sebelumnya, pasien mengalami kecelakaan lalu lintas dan tidak sadarkan diri setelah kecelakaan serta tidak mengingat kronologis kejadian pasca kecelakaan. Pasien mengalami perdarahan sehingga dilakukan craniotomi. Setelah pasien sadar, pasien mengeluhkan mata sebelah kanan hanya bisa melihat bayangan namun tidak terlalu jelas dan gelap.
Keluhan seperti adanya rasa silau dan penglihatan ganda disangkal. Keluhan mata merah, nyeri pada bola mata atau kepala (-). Mual dan muntah (-).
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Keluhan Serupa : disangkal
Riwayat Penggunaan Kacamata : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Trauma Mata : disangkal
Riwayat Operasi Mata : disangkal
Hipertensi : disangkal
Diabetes Mellitus : disangkal
Asma : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Keluhan Serupa : disangkal
Hipertensi : disangkal
Diabetes Mellitus : disangkal
E. Riwayat Sosial dan Kebiasaan
Pasien bekerja sebagai karyawan swasta. Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok, konsumsi alcohol maupun penyalahgunaan zat-zat terlarang.
1.3 PEMERIKSAAN FISIK A. Status Generalis
1. Keadaan Umum : Tampak sakit berat
2. Kesadaran : Composmentis
3. Tanda Vital
a. TD : 110/80 mmHg
b. Nadi : 82x/menit c. RR : 20x/menit d. Suhu : 36,5oC
B. Status Oftalmologis
OD Pemeriksaan OS
6/60 Visus 6//60
Enoftalmus (+) Bola Mata Eksoftalmus (-)
Baik ke segala arah
Gerakan Bola Mata
Baik ke segala arah
Dalam Batas Normal
Lapang Pandang
Dalam Batas Normal Arah tumbuh teratur,
madarosis (-), sikatriks (-) Suprasilia Arah tumbuh teratur, madarosis (-), sikatriks (-) Hematom (+),
hordeolum (externa/interna)(-),
kalazion (-)
Palpebra Superior Hiperemis (-), edema (-), hordeolum (externa/interna)
(-), kalazion (-) Hematom (+),
hordeolum (externa/interna)(-),
kalazion (-)
Palpebra Inferior
Hiperemis (-), edema (-), hordeolum (externa/interna) (-),
kalazion (-) Hiperemis (-), edema (-),
folikel (-), papil (-), massa
(-), hordeolum interna (-) Konjungtiva Tarsal
Hiperemis (-), edema (-), folikel (-), papil (-), massa
(-), hordeolum interna (-) Tenang, hiperemis (-),
Injeksi konjungtiva/siliar (-), perdarahan subkonjungtiva
(+)
Konjungtiva Bulbi Injeksi konjungtiva/siliar (-), pterygium (-), pinguecula (-)
Jernih, infiltrat (-),
siktariks (-), ulkus (-) Kornea Jernih, infiltrat (-), sikatriks (-), ulkus (-)
Warna putih, ikterik (-), massa (-)
Sklera Warna putih, massa (-)
Dalam, flare (-), sel (-),
hipopion (-), hifema (-) Bilik Mata Depan Dalam, flare (-), sel (-),hipopion (-), hifema (-) Kripti (+), warna coklat
merata, sinekia (-) Iris Kripti (+), warna coklat
merata, sinekia (-) Bulat, letak sentral,
reguler, isokor, RAPD (+), RCL (+), RCTL (+)
Pupil Bulat, letak sentral, reguler,isokor, RCL (+),
RCTL (+)
Jernih Lensa Jernih
N/palpasi TIO Perpalpasi N/palpasi
Tidak dilakukan pemeriksaan
Funduskopi Indirek Tidak dilakukan pemeriksaan
1.4 Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan CT-Scan kepala ditemukan hasil: tampak fraktur dinding anterior sinus maksila dan frontal bilateral, dinding orbita dextra dan os zygomaticum dextra serta perdarahan epidural dan intracerebral.
1.5 Resume
Tn. S 28 tahun dirawat di RSUD Kab. Bekasi Bangsal Tulip dengan keluhan penurunan penglihatan secara mendadak pada mata kanan sejak ± 1 minggu.
Sebelumnya, pasien mengalami kecelakaan lalu lintas dan tidak sadarkan diri setelah kecelakaan serta tidak mengingat kronologis kejadian pasca kecelakaan. Keluhan rasa silau (-), penglihatan ganda (-), mata merah (-), mual dan muntah (-).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil dalam batas normal, pada pemeriksaan oftalmologi didapatkan hasil:
OD Pemeriksaan OS
6/60 Visus 6//60
Enoftalmus (+) Bola Mata Eksoftalmus (-)
Hematom (+), hordeolum (externa/interna)(-),
kalazion (-)
Palpebra Superior Hiperemis (-), edema (-), hordeolum (externa/interna)
(-), kalazion (-) Hematom (+),
hordeolum (externa/interna)(-),
kalazion (-)
Palpebra Inferior Hiperemis (-), edema (-), hordeolum (externa/interna) (-),
kalazion (-) Tenang, hiperemis (-),
Injeksi konjungtiva/siliar (-), perdarahan subkonjungtiva (+)
Konjungtiva Bulbi
Injeksi konjungtiva/siliar (-), pterygium (-),
pinguecula (-)
Pada pemeriksaan CT-Scan ditemukan gambaran berupa fraktur dinding anterior sinus maksila dan frontal bilateral, dinding orbita dextra dan os zygomaticum dextra serta perdarahan epidural dan intracerebral.
1.6 Diagnosis Kerja
Traumatic Optic Neuropathy Occuli Dextra 1.7 Diagnosis Banding
Oklusi pembuluh darah retina
Ablasio retina 1.8 Penatalaksaan Non-Medikamentosa
Kompres dingin pada mata kanan Medikamentosa
Inj. Metilprednisolon 1 x 48 mg
Citicoline 1 x 1.000 mg
As. folat 1 x 1
1.9 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad malam Quo ad functionam : Dubia ad malam Quo ad sanactionam : Dubia ad malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Traumatic Optic Neuropathy (TON)
2.1.1 Definisi
Traumatic Optic Neuropathy (TON) adalah cedera akut pada saraf optik akibat trauma sehingga menyebabkan hilangnya kemampuan penglihatan bersamaan dengan defisit lapangan pandang, persepsi warna, dan disertai kerusakan saraf optik.
2.1.2 Epidemiologi
Angka insidensi dari Traumatic Optic Neuropathy (TON) adalah 0,7 – 2,5%
dengan Indirect Traumatic Optic Neuropathy (ITON) memiliki prevalensi lebih besar dibandingkan Direct Traumatic Optic Neuropathy (DTON). Hal ini terjadi pada 0,5%
- 5% dari pasien dengan cedera kepala tertutup dan 2,5% dari pasien dengan fraktur midfacial (Le Fort fracture). Segmen intrakanalikular n. opticus merupakan tempat tersering TON indirek (71,4%), diikuti oleh apeks orbita (16,7%). Keterlibatan segmen intrakanalikular dan apeks orbita ditemukan pada 11,9% kasus. Sebagian besar pasien yang terkena adalah laki-laki dewasa muda (79-85%) di usia awal 30-an.
2.1.3 Etiologi
Penyebab tersering dari indirect TON adalah cedera saraf optic tidak langsung akibat dari syok yang ditransmisikan dari benturan orbital ke bagian intrakanalikular saraf optic. Direct TON disebabkan oleh cedera tembus karena benda tajam atau dari fragmen tulang ke kanal optik atau orbit yang menusuk saraf optic.
Penyebab utamanya adalah kecelakaan kendaraan bermotor dan sepeda, diikuti oleh jatuh dan tindakan kekerasan. TON juga telah dikaitkan dengan trauma tembus orbital (misalnya luka tusuk, luka tembakan) dan akibat olahraga rekreasi (paintball).
2.1.4 Klasifikasi
Traumatic Optic Neuropathy (TON) dapat diklasifikasikan berdasarkan metode terjadinya cedera yang dibagi menjadi:
a. Direct Traumatic Optic Neuropathy
Cedera yang terjadi akibat dari avulsi saraf atau akibat adanya penetrasi pada orbita, penetrasi fragmen tulang dan mengenai saraf optik menyebabkan neuropati optikus parsial atau komplit pada pembungkus saraf optikus. Perdarahan didalam dan sekitar saraf optik juga dapat terjadi.
b. Indirect Traumatic Optic Neuropathy
Cedera yang terjadi pada trauma kepala tertutup yang menyebabkan timbulnya tekanan yang kemudian menekan saraf optic.
2.1.5 Patofisiologi
TON terjadi secara multifaktorial, beberapa penelitian menyimpulkan adanya mekanisme primer dan sekunder dari cedera yang terjadi. Direct trauma terjadi pada trauma tajam, fraktur orbita dengan fraktur midfasial. Indirect trauma umumnya disebabkan oleh adanya gaya tekanan pada cedera kepala yang ditransmisikan hingga ke saraf optik. Baik direct trauma maupun indirect trauma menyebabkan kerusakan mekanis ataupun iskemia pada saraf optik. Terkadang cedera okuli sangat kecil hingga tidak terlihat adanya penyebab eksternal. Edema pada rongga tertutup, nekrosis akibat kontusio, robekan serabut saraf, dan infark oleh karena thrombus dan spasme berpotensial menyebabkan cedera saraf optic.
a. Primer
Mekanisme primer menyebabkan kerusakan permanen pada akson saraf optik pada saat terjadinya cedera. Kontusio pada akson saraf optik menyebabkan iskemia dan edema lokal saraf optik, selanjutnya menyebabkan kompresi neural dalam rongga kanal optik. Abnormalitas akson fokal terangsang, dengan
karakteristik gangguan transpor aksonal, hingga terjadi apoptosis sel. Robekan pada mikrovaskular dan cedera akson menyebabkan terjadinya perdarahan dalam saraf optik dan pembungkusnya.
b. Sekunder
Mekanisme sekunder menyebabkan pembengkakan saraf optik setelah terjadi cedera akut. Gangguan homeostasis selular disekitar area kerusakan saraf optik yang ireversibel, melalui mekanisme yang berbeda namun saling berhubungan yang menyebabkan kerusakan akson. Meskipun nantinya pembengkakan atau kontusio pada saraf dapat membaik, kerusakan pada akson merupakan kerusakan permanen.
2.1.6 Manifestasi Klinis
Pasien dengan traumatic optic neuropathy (TON) datang dengan kehilangan penglihatan setelah trauma tumpul atau penetrasi. Gejala terdiri dari penurunan tajam penglihatan atau lapang pandang secara unilateral. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya tanda-tanda trauma yang jelas, seperti ekimosis, hematoma, laserasi. Defisit penglihatan bervariasi dari penglihatan normal dengan defek lapangan pandang hingga kehilangan total terhadap persepsi cahaya.
2.1.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding
Penegakan diagnosa trauma optik neuropati dapat dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, sebagai berikut:
Anamnesis
Diagnosis TON berdasarkan klinis, dengan adanya trauma kepala dan wajah yang menyebabkan gangguan penglihatan. Pasien mengalami kehilangan penglihatan yang mendadak, berat, dan unilateral. Kondisi ini dapat bermanifestasi segera atau
dalam hitungan jam hingga hari setelah trauma. Riwayat penyakit perlu ditanyakan apakah adanya defisit penglihatan sebelum trauma, riwayat penyakit sebelumnya, obat-obatan dan alergi obat.
Pemeriksaan Fisik
Pada situasi akut, dimana pasien dalam keadaan tidak sadar dan penilaian ketajaman penglihatan tidak dapat dilakukan, penegakan diagnosis TON dapat terhambat. Pada pasien sadar, dapat dilakukan berbagai tes untuk membantu penegakan diagnosis, antara lain:
1. Ketajaman Penglihatan
Diperiksa menggunakan Snellen’s chart jarak dekat. Angka kejadian tidak respon cahaya bervariasi tergantung pada kejadian trauma. Harus diingat bahwa kurang dari 10% kasus terjadi penurunan penglihatan akibat cedera saraf optik sekunder. Bagaimanapun tajam penglihatan harus dinilai kembali setelah 24 jam.
2. Relative Afferent Pupillary Defect (RAPD)
Dinilai dengan swinging flashlight test. Cahaya yang masuk ke mata normal akan merangsang pupil konstriksi dan juga merangsang pupil mata lain ikut berkonstriksi. Terjadi penurunan stimulasi pupilomotor yang mencapai batang otak ketika cahaya masuk ke mata pada cedera saraf optik dibandingkan pada bagian yang tidak cedera, sehingga respon pupil menurun. RAPD tidak ada pada TON bilateral.
3. Optalmoskopi
Dilakukan dengan bantuan midriatik kerja pendek pada semua pasien stabil. Evaluasi sirkulasi retinal dan koroidal, morfologi saraf
optik. Adanya perdarahan berbentuk cincin didekat kepala saraf optik menunjukkan adanya avulsi parsial atau komplit saraf optik. Neuropati optik anterior menyebabkan gangguan sirkulasi berakibat obstruksi arteri dan vena dan pembengkakan diskus optikus. Atrofi optik pada trauma kepala akut dengan neuropati optikus menunjukkan gangguan saraf optik sudah ada sebelum trauma. Kerusakan pada saraf optik distal pada orbita, kanal optik, atau rongga intrakranial tidak menunjukkan perubahan tampilan selama 3-5 minggu.
4. Tekanan Intraokuli
Tonometri Tonometri harus dilakukan pada orbita yang intak.
Peningkatan tekanan intraokuli dapat bersamaan pada hematom orbital, perdarahan orbital, emfisema orbital, atau edema jaringan lunak.
Pemeriksaan Penunjang 1. CT-Scan
CT adalah metode pencitraan terbaik dan paling mudah diakses. Pada pasien dengan penurunan kesadaran, CT-Scan merupakan metode penting untuk menilai TON pada keadaan darurat. Hasil pemeriksaan dapat mendeteksi fraktur kanal optik, fraktur dinding orbita, dan adanya perdarahan hingga apeks orbita, sinus etmoid dan spenoid. Ini sangat membantu dalam mendiagnosis direct & indirect TON dan juga dapat digunakan sebagai panduan untuk intervensi bedah.
2. Visual Evoked Potential (VEP)
Meskipun pada banyak pasien, penggunaan visual evoked potential (VEP) tidak diperlukan untuk mendiagnosis TON, namun dapat membantu dalam diagnosis kasus yang untuk menentukan prognosis penglihatan pasien. VEP memiliki nilai diagnostik pada pasien yang tidak mengingat kapan waktu terjadinya kerusakan saraf, pasien dengan respon pupil yang tidak adekuat, dan pasien dengan TON
bilateral. Peluang pemulihan penglihatan lebih tinggi pada pasien dengan respons yang lebih baik terhadap VEP. Limitasi dari VEP sendiri antara lain sulit untuk menempatkan perangkat VEP di samping tempat tidur pasien dengan luka multiple. Pasien juga mungkin mengalami cedera otak bersamaan, yang dapat disalahartikan sebagai kerusakan saraf optic. Maka evaluasi dengan CT-Scan diperlukan.
DIAGNOSIS BANDING
Neuropati optik iskemik posterior
Neuritis optik
Avulsi saraf optik
Non-organic vision loss
Perdarahan pre-/intra-/subretinal
Pecahnya Koroid
Komotio retinae
2.1.8 Penatalaksanaan Medikamentosa
Pada kasus TON dimana tidak terdapat kontraindikasi pemberian kortikosteroid, dosis awal metilprednisolone diberikan sebanyak 30mg/kg/IV, dilanjutkan 15mg/kgBB pada 2 jam kemudian, dan 15 mg/kgBB setiap 6 jam. Jika terdapat perbaikan visual, dosis steroid dilanjutkan hingga hari ke-5, kemudian diturunkan secara cepat. Jika tidak terdapat perbaikan dalam 48-72 jam, pemberian steroid langsung dihentikan tanpa penurunan dosis sebelumnya. Pemberian
kortikosteroid mega dosis dalam 8 jam pertama setelah cedera kemungkinan dapat memperbaiki pembengkakan saraf optik
Pembedahan
Dekompresi bedah optik kanal dan pembungkus saraf optik digunakan sebagai terapi TON indirek. Tetapi tidak terdapat konsensus waktu optimum untuk intervensi optimum. Peningkatan tekanan intrakanalikuli dapat menyebabkan gangguan vaskular dengan iskemia hingga kebutaan, dan dekompresi saraf optik secara teori membebaskan strangulasi dan mengembalikan fungsi saraf. Prosedur ini ditambah dengan pemberian steroid untuk mengurangi inflamasi dan edema. Berbagai metode bedah yang digunakan berupa kraniotomi trans nasalis, extra- nasal trans-ethmoidalis, trans-nasal trans-ethmoidalis, lateral fasial, sublabial, dan endoskopi.
Pada hematoma pembungkus saraf optik dapat dievakuasi dengan orbiotomi medial atau lateral tergantung pada letak hematoma. Kriteria intervensi bedah pada pasien dengan TON antara lain:
1. Kontraindikasi Absolut
a. Adanya avulsi saraf optic pada pemeriksaan CT 2. Kontraindikasi Relative
a. Pasien dalam keadaan tidak sadarkan diri b. Hilang total fungsi penglihatan dan respon pupil 3. Indikasi Relatif
a. Penurunan fungsi penglihatan meskipun dengan terapi steroid b. Terdapat fraktur kanal optic disertai dengan adanya penekanan
oleh fragmen tulang
c. Hematoma pada pembungkus saraf
d. Respon terhadap Visual Evoked Potential (VEP) memburuk seiring waktu.
Pada dasarnya, pencapaian penanganan TON dapat diurutkan sebagai berikut
1. Pada keadaan tidak terdapat kontraindikasi, pasien dapat diberikan kortikosteroid sistemik, metilprednisolone 30mg/kg sebagai loading dose, 5,4mg/kg/jam sebagai maintanance selama 48 jam.
2. Kegagalan perbaikan keadaan
3. Pasien yang membaik dapat dilakukan pengurangan dosis yang bertahap.
4. Jika keadaan pasien relaps ketika kortiosteroid dihentikan, pertimbangkan bedah dekompresi.
5. Pada umunya, pasien dengan ketajaman penglihatan 20/40 atau lebih buruk membutuhkan dekompresi bedah.
6. Pasien tidak sadar tidak seharusnya dilakukan bedah dekompresi kecuali bersangkutan dengan prosedur operasi lain
2.1.9 Prognosis
Fraktur orbita posterior menyebabkan penglihatan yang lebih buruk dibandingkan dengan fraktur anterior. Pasien dengan tidak adanya persepsi terhadap cahaya kemungkinan besar tidak akan terjadi perbaikan dalam kemampuan melihat.
Hingga saat ini, terdapat berbagai konsensus menyatakan pilihan terapi terbaik TON adalah cukup observasi tanpa terapi saja. Perbaikan penglihatan dapat terjadi meskipun dengan perbaikan yang minimal, dan rata-rata perbaikan secara spontan berkisar antara 20-57% pada berbagai studi.