• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN KASUS PASIEN DENGAN RETENSIO URIN ET CAUSA FIMOSIS

N/A
N/A
Atika Labatjo

Academic year: 2024

Membagikan "LAPORAN KASUS PASIEN DENGAN RETENSIO URIN ET CAUSA FIMOSIS"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KASUS

PASIEN DENGAN RETENSIO URIN ET CAUSA FIMOSIS

PEMBIMBING :

dr. Marcela Indah Jelita Jocom dr. Sherly Friliant Nayoan

DISUSUN OLEH :

dr. Atika Intan Safitri Labatjo

(2)

DOKTER INTERNSHIP

RSUD MARIA WALANDA MARAMIS MINAHASA UTARA

2024

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Diajukan oleh

dr. Atika Intan Safitri Labatjo

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi Laporan Kasus:

PASIEN DENGAN RETENSIO URIN ET CAUSA FIMOSIS

Hari/Tanggal : Senin, 22 Januari 2024

Tempat : RSUD Maria Walanda Maramis

Disahkan Oleh:

Pembimbing 1 Pembimbing 2

dr. Marcelia Indah Jelita Jocom dr. Sherly Friliant Nayoan

(4)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN...i

DAFTAR ISI ...ii

BAB I PENDAHULUAN ...1

BAB II LAPORAN KASUS ...2

2.1 Identitas Pasien...2

2.2 Anamnesis...2

2.3 Pemeriksaan Fisik...3

2.4 Pemeriksaan Penunjang...5

2.5 Diagnosis ...6

2.7 Tatalaksana...6

2.7 Follow Up Pasien...6

BAB III TINJAUAN PUSTAKA...9

3.1 Anatomi dan Fisiologi Penis...9

3.2 Definisi Fimosis...11

3.3 KLasifikasi Fimosis...12

3.4 Patofisiologi ...13

3.5 Manifestasi Klinis...14

3.6 Diagnosis ...15

3.7 Diagnosis Banding...15

3.8 Penatalaksanaan ...16

3.9 Komplikasi ...18

3.10 Komplikasi ...19

BAB IV PENUTUP ...20

DAFTAR PUSTAKA ...21

(5)

BAB I

PENDAHULUAN

Fimosis adalah suatu kelainan dimana preputium penis yang tidak dapat di retraksi (ditarik) ke proksimal sampai ke korona glandis. Preputium penis merupakan lipatan kulit yang menutupi glans penis. Normalnya, kulit preputium selalu melekat erat pada glans penis dan tidak dapat ditarik ke belakang pada saat lahir, namun seiring bertambahnya usia dan pertumbuhan terjadi proses keratinisasi lapisan epitel dan deskuamasi antara glans penis dan lapis bagian dalam preputium sehingga akhirnya kulit preputium terpisah dari glans penis.

[ 1,2]

Di Jepang, fimosis ditemukan pada 88% bayi yang berusia 1 hingga 3 bulan dan 35%

pada balita berusia 3 tahun. Insidens fimosis adalah sebesar 8% pada usia 6 sampai 7 tahun dan 1% pada laki-laki usia 16 sampai 18 tahun. Beberapa penelitian mengatakan kejadian Phimosis saat lahir hanya 4% bayi yang preputiumnya sudah bisa ditarik mundur sepenuhnya sehingga kepala penis terlihat utuh. Selanjutnya secara perlahan terjadi desquamasi sehingga perlekatan itu berkurang. Sampai umur 1 tahun, masih 50% yang belum bisa ditarik penuh.

Berturut-turut 30% pada usia 2 tahun, 10% pada usia 4-5 tahun, 5% pada umur 10 tahun, dan masih ada 1% yang bertahan hingga umur 16-17 tahun. Dari kelompok terakhir ini ada sebagian kecil yang bertahan secara persisten sampai dewasa bila tidak ditangani.[1,2]

(6)

BAB II

LAPORAN KASUS 2.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. GL

Umur : 19 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen Protestan

Kewarganegaraan : Indonesia

Pekerjaan : Mahasiswa

Alamat : Sukur

Tanggal MRS : 4 Desember 2023

2.2 Anamnesis

1. Keluhan Utama :

Nyeri saat BAK 2. Riwayat penyakit sekarang :

Pasien datang dengan keluhan nyeri saat BAK dirasakan sejak kurang lebih 1 minggu SMRS. Pasien juga mengeluh daerah ujung penis terasa nyeri, nyeri di perut bagian bawah (+), rasa ingin BAK (+) tapi tertahan sudah sejak 1 minggu terakhir.

Kencing hanya sedikit-sedikit. Ujung penis tampak mengembung saat BAK (+).

Demam disangkal. Mual muntah disangkal. BAB normal. Riwayat trauma disangkal.

3. Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat keluhan yang sama (+) sejak pasien kecil tetapi sembuh sendiri.

(7)

4. Riwayat Penyakit dalam Keluarga Riwayat keluarga disangkal.

5. Riwayat Sosial dan Lingkungan

Pasien adalah mahasiswa Tinggal dirumah bersama dengan orangtuanya. Riwayat merokok & minum alcohol disangkal. Pasien mandi 2x sehari. Kebiasaan BAK berdiri dan jarang dibilas dengan air.

2.3 Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang 2. Kesadaran : Compos Mentis 3. Tanda Vital :

a. Tekanan darah : 146/97 mmHg

b. Nadi : 84x/m

c. Respirasi : 20x/m

d. Suhu : 37,1 C

e. SpO2 : 97%

4. Antopometri

a. Berat badan : 69 kg b. Tinggi badan : 172 cm

c. BMI : 23.3

d. Kesimpulan : BB Ideal 5. Kepala : Dalam batas normal 6. Mata

a. Konjungtiva : Anemis(-/-) b. Sklera : Ikterik(-/-)

c. Pupil : Isokor diameter 3mm/3mm, Refleks Cahaya Langsung (+/+), Refleks Cahaya tidak Langsung (+/+)

7. Telinga : dalam batas normal 8. Hidung : dalam batas normal 9. Mulut : dalam batas normal 10. Leher : dalam batas normal

(8)

11. Thorax :

a. Paru – paru : Simetris, Retraksi (-), Rhonki -/-, Wheezing-/- b. Jantung : BJ II-II regular, bising (-)

12. Abdomen :

a. Inspeksi : datar, distensi (-)

b. Palpasi : Nyeri tekan (+) R. Simfisis Pubis, Teraba Fullblast (+), Nyeri Ketok CVA (-/-)

Hepar dan Lien tidak teraba c. Perkusi : Timpani seluruh kuadran d. Auskultasi : BU (+) Normal

13. Ekstremitas : Akral hangat, CRT<2”, oedem -/- 14. Kulit : Dalam batas normal

15. Status Lokalis

- Regio Genitalis Eksterna o Penis :

 Inspeksi : Tampak preputium tertutup, oedem (+), hiperemis (-)

 Palpasi : Saat preputium diperlebar tampak urin merembes (+), Tidak ada massa tumor

o Scrotum

 Inspeksi : Tampak warna kulit lebih gelap dari sekitarnya, tidak ada hematom, tidak tampak massa tumor

 Palpasi : Teraba 2 buah testis dalam kantong scrotum ukuran dan konsistensi kesan normal, tidka teraba massa tumor.

o Perineum

 Inspeksi : Tampak warna kulit lebih gelap dari sekitarnya, tidak ada hematom, tidak tampak massa tumor

(9)

 Palpasi : Massa tumor tidak teraba, tidak ada nyeri tekan

2.4 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium (22/11/2023) Jenis

Pemeriksaa n

Hasil Nilai

Rujukan

Jenis Pemeriksaa

n

Hasil Nilai

Rujukan

Hb 14.1 11.0-17.0 GDS 142 65-140

Ht 40.1 40-54 Ureum 17.5 16.6-48.5

Eritrosit 4.77 4.5-6.5 SGOT/AST 27 <40

MCV 84.1 76-96 SGPT/ALT 29 <41

MCH 29.6 27-32 CT 13.0 5.0-15.0

MCHC 35.2 32-36 BT 3.30 1.0-5.0

Leukosit 8.4 5.00-

10.00 Eosinophil

Basophil Staf Segmen

60.6

0-4 0-1 0-4 50-70

Limfosit 30.4 20-40

Monosit 9.0 2.0-8.0 Trombosit 345 150-

450 2. Pemeriksaan EKG

Hasil : Normosinus ritme, HR 92x per menit, normoaxis

(10)

3. Pemeriksaan X- Foto Thorax PA:

Hasil : Foto thorax dalam batas normal 2.5 Diagnosis

Retensio Urine ec Fimosis 2.6 Tatalaksana

 IVFD RL 20 gtt/m

 Inj. Ranitidine 2x50mg IV

 Inj. Ketorolac 3x30mg IV

 Pasang Kateter urine

 Pro sirkumsisi besok

 Profilaksis Ceftrixone inj. 2x1gr IV

 Konsul Anastesi :

o Rencana operasi jam 09.00 WITA o Puasa makan terakhir jam 00.00 WITA o Puasa minum terakhir jam 04.00 WITA o IVFD D5% 20 gtt/m sejak mula puasa

2.7 Follow-Up Pasien Selasa, 5 Desember 2023 (Hari Perawatan 1)

S Nyeri luka post op (+) BAK normal O KU Sedang Kes CM

TD 120/79 N 88 R 20 Sb : 36,5 SpO2 99%

(11)

Kep : CA-/-, SI -/- Thorax:

C/ BJ I-II Reguler, Bising (-)

P/ Simetris, retraksi (-), SN Vesikuler +/+, Rh -/-, Wh-/- Abdomen : BU (+) N, Datar, lemas, NT(-), H/L ttb Eks : Akral Hangat, CRT<2”

St. Lokalis

R. penis : luka terawatt(+), perdarahan (-) A Post Sirkumsisi ec Fimosis

P

- IVFD RL 20 gtt/m

- Inj. Ranitidine 2x50mg IV - Inj. Ketorolac 3x30 mg IV - Inj. Ceftriaxone 2x1 gr IV ( H1) - Rawat luka

Rabu, 6 Desember 2023 (Hari Perawatan 2)

S Nyeri luka post op (+) O KU Sedang Kes CM

TD 110/80 N 82 R 20 Sb : 36,2 SpO2 99%

Kep : CA-/-, SI -/- Thorax:

C/ BJ I-II Reguler, Bising (-)

P/ Simetris, retraksi (-), SN Vesikuler +/+, Rh -/-, Wh-/- Abdomen : BU (+) N, Datar, lemas, NT(-), H/L ttb Eks : Akral Hangat, CRT<2”

(12)

St. Lokalis

R. penis : luka terawat(+), perdarahan (-) A Post Sirkumsisi ec Fimosis

P

- IVFD RL 20 gtt/m

- Inj. Ranitidine 2x50mg IV

- Inj. Ketorolac 3x30 mg IV -> STOP - Inj. Ceftriaxone 2x1 gr IV ( H2) - Paracetamol 3x500mg IV - Rawat luka

Kamis, 7 Desember 2023 (Hari Perawatan 2)

S Nyeri luka post op (+) minimal O KU Sedang Kes CM

TD 110/80 N 82 R 20 Sb : 36,2 SpO2 99%

Kep : CA-/-, SI -/- Thorax:

C/ BJ I-II Reguler, Bising (-)

P/ Simetris, retraksi (-), SN Vesikuler +/+, Rh -/-, Wh-/- Abdomen : BU (+) N, Datar, lemas, NT(-), H/L ttb Eks : Akral Hangat, CRT<2”

St. Lokalis

R. penis : luka terawat(+), perdarahan (-) A Post Sirkumsisi ec Fimosis

P

- IVFD RL 20 gtt/m

(13)

- Inj. Ranitidine 2x50mg IV - Inj. Ceftriaxone 2x1 gr IV ( H3) - Paracetamol 3x500mg IV - Rawat luka

- Rawat Jalan besok pagi

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI PENIS

Penis terdiri dari corpus penis, glans penis, sulcus coronal glans penis, dan preputium.

Preputium penis merupakan lipatan kulit yang menutupi glans penis. Normalnya, kulit preputium selalu melekat erat pada glans penis dan tidak dapat ditarik ke belakang pada saat lahir, namun seiring bertambahnya usia serta diproduksinya hormon dan faktor pertumbuhan, terjadi proses keratinisasi lapisan epitel dan deskuamasi antara glans penis dan lapis bagian dalam preputium sehingga akhirnya kulit preputium terpisah dari glans penis.[3]

Bila dilihat dari penampang horizontal, penis terdiri atas 3 buah korpora berbentuk silindris yaitu 2 buah korpora kavernosa yang saling berpasangan dan sebuah korpus spongiosum yang berada disebelah ventralnya. Korpora kavernosa dibungkus oleh jaringan fibroelastik tunika albuginea sehingga merupakan satu kesatuan, sedangkan di sebelah proksimal terpisah menjadi dua sebagai krura penis. Setiap krus penis dibungkus oleh otot ishio-kavernosus yang kemudian menempel pada rami osis ischia.[3]

(14)

Gambar 1. Anatomi Penis

Gambar 2. Penampang melintang batang penis

Korpus spongiosum membungkus uretra mulai dari diafragma urogenitalis hingga muara uretra eksterna. Sebelah proksimal korpus spongiosum dilapisi oleh otot bulbo- kavernosus. Korpus spongiosum ini berakhir pada sebelah distal sebagai glans penis. Ketika korpora, akni dua buah korpora kavernosa dan sebuah kavernosum dibungkus oleh fascia buck dan lebih superfisial lagi oleh fasia colles atau fasia dartos yang merupakan kelanjutan dari fasia scarpa.[3]

Di dalam setiap korpus yang terbungkus oleh tunika abuginea terdapat jaringan erektil yang berupa jaringan kavernus (berongga) seperti spon. Jaringan ini terdiri atas sinusoid atau

(15)

rongga lacuna yang dilapisi oleh endothelium dan otot polos kavernosus. Rongga lacuna ini dapat menampung darah yang cukup banyak sehingga menyebabkan ketegangan batang penis.

([3]

Penis dipersyarafi oleh 2 jenis syaraf yakni syaraf otonom (para simpatis dan simpatis) dan syaraf somatik (motoris dan sensoris). Syaraf-syaraf simpatis dan parasimpatis berasal dari hipotalamus menuju ke penis melalui medulla spinalis (sumsum tulang belakang).

Khusus syaraf otonom parasimpatis ke luar dari medulla spinalis (sumsum tulang belakang) pada kolumna vertebralis di S2-4. Sebaliknya syaraf simpatis ke luar dari kolumna vertebralis melalui segmen Th 11 sampai L2 dan akhirnya parasimpatis dan simpatis menyatu menjadi nervus kavernosa. Syaraf ini memasuki penis pada pangkalnya dan mempersyarafi otot- otot polos Syaraf somatis terutama yang bersifat sensoris yakni yang membawa impuls (rangsang) dari penis misalnya bila mendapatkan stimulasi yaitu rabaan pada badan penis dan kepala penis (glans), membentuk nervus dorsalis penis yang menyatu dengan syaraf-syaraf lain yang membentuk nervus pudendus. Syaraf ini juga berlanjut ke kolumna vertebralis (sumsum tulang belakang) melalui kolumna vertebralis S2-4. Stimulasi dari penis atau dari otak secara sendiri atau bersama sama melalui syaraf-syaraf di atas akan menghasilkan ereksi penis.[4]

Vaskularisasi Penis

Vaskularisasi untuk penis berasal dari arteri pudenda interna lalu menjadi arteria penis communis yang bercabang 3 yakni 2 cabang ke masing-masing yakni ke korpus kavernosa kiri dan kanan yang kemudian menjadi arteria kavernosa atau arteria penis profundus yang ketiga ialah arteria bulbourethralis untuk korpus spongiosum. Arteria memasuki korpus kavernosa lalu bercabang-cabang menjadi arteriol-arteriol helicina yang bentuknya berkelok- kelok pada saat penis lembek atau tidak ereksi. Pada keadaan ereksi, arteriol-arteriol helicina mengalami relaksasi atau pelebaran pembuluh darah sehingga aliran darah bertambah besar dan cepat kemudian berkumpul di dalam rongga-rongga lakunar atau sinusoid. Rongga sinusoid membesar sehingga terjadilah ereksi. Sebaliknya darah yang mengalir dari sinusoid ke luar melalui satu pleksus yang terletak di bawah tunica albugenia. Bila sinusoid dan trabekel tadi mengembang karena berkumpulnya darah di seluruh korpus kavernosa, maka vena-vena di sekitarnya menjadi tertekan. Vena-vena di bawah tunica albuginea ini bergabung membentuk vena dorsalis profunda lalu ke luar dari Corpora Cavernosa pada rongga penis ke sistem vena yang besar.[4]

(16)

3.2 DEFINISI FIMOSIS

Fimosis merupakan kulit preputium yang tidak dapat diretraksi ke belakang.[4]

3.3 KLASIFIKASI FIMOSIS

a. Fimosis kongenital (fimosis fisiologis, fimosis palsu, pseudo phimosis) timbul sejak lahir. Fimosis ini bukan disebabkan oleh kelainan anatomi melainkan karena adanya faktor perlengketan antara kulit pada penis bagian depan dengan glans penis sehingga muara pada ujung kulit kemaluan seakan- akan terlihat sempit. Sebenarnya merupakan kondisi normal pada anak-anak, bahkan sampai masa remaja. Kulit preputium selalu melekat erat pada glans penis dan tidak dapat ditarik ke belakang pada saat lahir, namun seiring bertambahnya usia serta diproduksinya hormon dan faktor pertumbuhan, terjadi proses keratinisasi lapisan epitel dan deskuamasi antara glans penis dan lapis bagian dalam preputium sehingga akhirnya kulit preputium terpisah dari glans penis.[6]

Gambar 3. Fimosis Fisiologi

b. Fimosis didapat (fimosis patologik, fimosis yang sebenarnya, true phimosis) timbul kemudian setelah lahir. Fimosis Patologis didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk menarik preputim setelah sebelumnya yang dapat ditarik kembali. Fimosis ini

(17)

disebabkan oleh sempitnya muara di ujung kulit kemaluan secara anatomis. Hal ini berkaitan dengan kebersihan (higiene) yang buruk, peradangan kronik glans penis dan kulit preputium (balanoposthitis kronik), atau penarikan berlebihan kulit preputium (forceful retraction) pada fimosis kongenital yang akan menyebabkan pembentukkan jaringan ikat (fibrosis) dekat bagian kulit preputium yang membuka. Rickwood mendefinisikan fimosis patologis adalah kulit distal penis (preputium) yang kaku dan tidak bisa ditarik, yang disebabkan oleh Balanitis Xerotica Obliterans (BXO). [6]

Gambar 4. Fimosis Patologi

(18)

Gambar 5. Perbedaan Fimosis Fisiologis dan Fimosis Patologi

3.4 PATOFISIOLOGI

Fimosis yang fisiologis merupakan hasil dari adhesi lapisan-lapisan epitel antara preputium bagian dalam dengan glans penis. Adhesi ini secara spontan akan hilang pada saat ereksi dan retraksi preputium secara intermiten, jadi seiring dengan bertambahnya usia (masa puber) phimosis fisiologis akan hilang. Higienitas yang buruk pada daerah sekitar penis dan adanya balanitis atau balanophostitis berulang yang mengarah terbentuknya scar pada orificium preputium, dapat mengakibatkan fimosis patologis. Retraksi preputium secara paksa juga dapat mengakibatkan luka kecil pada orificio preputium yang dapat mengarah ke scar dan berlanjut phimosis. Pada orang dewasa yang belum berkhitan memiliki resiko fimosis secara sekunder karena kehilangan elastisitas kulit.[7]

Bila fimosis menghambat kelancaran berkemih, seperti pada balloning maka sisa-sisa urin mudah terjebak di dalam preputium. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya infeksi.

Fimosis juga terjadi jika tingkat higienitas rendah pada waktu BAK yang akan mengakibatkan

(19)

terjadinya penumpukan kotoran-kotoran pada glans penis sehingga memungkinkan terjadinya infeksi pada daerah glans penis dan prepusium (balanitis) yang meninggalkan jaringan parut sehingga prepusium tidak dapat ditarik kebelakang. [7]

Pada lapisan dalam prepusium terdapat kelenjar sebacea yang memproduksi smegma.

Cairan ini berguna untuk melumasi permukaan prepusium. Letak kelenjar ini di dekat pertemuan prepusium dan glans penis yang membentuk semacam “lembah” di bawah korona glans penis (bagian kepala penis yang berdiameter paling lebar). Di tempat ini terkumpul keringat, debris/kotoran, sel mati dan bakteri. Bila tidak terjadi fimosis, kotoran ini mudah dibersihkan. Namun pada kondisi fimosis, pembersihan tersebut sulit dilakukan karena prepusium tidak bisa ditarik penuh ke belakang. Bila yang terjadi adalah perlekatan prepusium dengan glans penis, debris dan sel mati yang terkumpul tersebut tidak bisa dibersihkan. [7]

Ada pula kondisi lain akibat infeksi yaitu balanopostitis. Pada infeksi ini terjadi peradangan pada permukaan preputium dan glans penis. Terjadi pembengkakan kemerahan dan produksi pus di antara glans penis dan prepusium. [7]

3.5 MANIFESTASI KLINIS

Fimosis menyebabkan gangguan aliran urine berupa sulit kencing, pancaran urine mengecil, menggelembungnya ujung preputium penis pada saat miksi, dan menimbulkan retensi urine. Higiene local yang kurang bersih menyebabkan terjadinya infeksi pada preputium (postitis), infeksi pada glans penis (balanitis) atau infeksi pada glans dan preputium (balanopostitis). [4] Kadangkala pasien dibawa berobat oleh orang tuanya karena ada benjolan lunak diujung penis yang tak lain adalah korpus smegma yaitu timbunan smegma di dalam sakus preputium penis. Smegma terjadi dari sel-sel mukosa peputium dan glans penis yang mengalami deskuamasi oleh bakteri di dalamnya. [4]

(20)

Gambar 6. Preputium yang tidak bisa ditarik

3.6 DIAGNOSIS

Untuk menegakkan diagnosis didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesis didapatkan keluhan berupa ujung kemaluan menggembung saat mulai buang air kecil yang kemudian menghilang setelah berkemih dan Biasanya bayi menangis dan mengejan saat buang air kecil karena timbul rasa sakit.[8]

Pada pemeriksaan fisik kasus fimosis, dapat ditemukan kulit yang tidak dapat diretraksi melewati glans penis. Pada fimosis fisiologis, bagian preputial orifice tidak ada luka dan terlihat sehat, sedangkan pada fimosis patologis terdapat jaringan fibrus berwana putih yang melingkar. [8]

3.7 DIAGNOSIS BANDING

Parafimosis adalah suatu keadaan dimana prepusium terperangkap dibelakang tepi glans penis di dalam sulkus koronarius. Biasanya terjadi bendungan di galans maupun di dalam preputium yang menjadi besar sekali karena udem. Dalam penanggulangannya, udem harus ditekan perlahan-lahan sehingga udem surut dan glans preputium dapat direposisi ke depan glans penis. Bila usaha ini gagal terpaksa dilakukan sayatan dorsal.[3]

3.8 PENATALAKSANAAN

Sebagai pilihan terapi dapat diberikan terapi steroid yaitu betametason pada 0,05%

-0,1%, betamethasone-valerate, lobetasol-propionate, dan triamcinolone acetonide. Tidak dianjurkan melakukan dilatasi atau retraksi yang dipaksakan pada penderita fimosis, karena akan menimbulkan luka, perdarahan dan terbentuk sikatriks pada ujung prepusium sebagai fimosis sekunder. [9]

(21)

Indikasi medis utama dilakukannya tindakan sirkumsisi pada anak-anak adalah fimosis patologik. Pada kasus dengan komplikasi, seperti infeksi saluran kemih berulang atau balloning kulit prepusium saat miksi, sirkumsisi harus segera dilakukan tanpa memperhitungkan usia pasien. [9]

Prosedur Teknik Dorsumsisi adalah teknik sirkumsisi dengan cara memotong preputium pada bagian dorsal pada jam 12 sejajar sumbu panjang penis ke arah proksimal, kemudian dilakukan pemotongan sirkuler kekiri dan kekanan sejajar sulcus coronarius. [10]

1. Disinfeksi penis dan sekitarnya dengan cairan disinfeksi 2. Persempit lapangan tindakan dengan doek lubang steril

3. Lakukan anestesi infiltrasi subkutan dimulai dari pangkal penis melingkar. Bila perlu tambahkan juga pada daerah preputium yang akan dipotong dan daerah ventral

4. Tunggu 3 – 5 menit dan yakinkan anestesi lokal sudah bekerja dengan mencubitkan pinset

5. Bila didapati phimosis, lakukan dilatasi dengan klem pada lubang preputium, lepaskan perlengketannya dengan glans memakai sonde atau klem sampai seluruh glans bebas.

Bila ada smegma, dibersihkan.

6. Jepit kulit preputium sebelah kanan dan kiri garis median bagian dorsal dengan 2 klem lurus. Klem ketiga dipasang pada garis tengah ventral. (Prepusium dijepit klem pada jam 11, 1 dan jam 6 ditarik ke distal)

7. Gunting preputium dorsal tepat digaris tengah (diantara dua klem) kira-kira ½ sampai 1 sentimeter dari sulkus koronarius (dorsumsisi),buat tali kendali. kulit Preputium dijepit dengan klem bengkok dan frenulum dijepit dengan kocher

(22)

8. Pindahkan klem (dari jam 1 dan 11 ) ke ujung distal sayatan (jam 12 dan 12’). Insisi meingkar kekiri dan kekanan dengan arah serong menuju frenulum di distal penis (pada frenulum insisi dibuat agak meruncing (huruf V), buat tali kendali )

9. Cari perdarahan dan klem, ikat dengan benang plain catgut yang disiapkan.

10. Setelah diyakini tidak ada perdarahan (biasanya perdarahan yang banyak ada di frenulum) siap untuk dijahit.Penjahitan dimulai dari dorsal (jam 12), dengan patokan klem yang terpasang dan jahitan kedua pada bagian ventral (jam 6). Tergantung banyaknya jahitan yang diperlukan, selanjutnya jahitan dibuat melingkar pada jam 3,6, 9,12 dan seterusnya

11. Luka ditutup dengan kasa atau penutup luka lain, dan diplester. Lubang uretra harus bebas dan sedapat mungkin tidak terkena urin.

3.9 KOMPLIKASI

 Laserasi pada kulit

 Pendarahan

(23)

 Cedera pada meatus uretra atau glans

 Ketidaknyamanan/nyeri saat berkemih

 Akumulasi sekret dan smegma di bawah preputium yang kemudian terkena infeksi sekunder dan akhirnya terbentuk jaringan parut.

 ada kasus yang berat dapat menimbulkan retensi urin.

 Pembengkakan/radang pada ujung kemaluan yang disebut ballonitis.

 Infeksi saluran kemih

 Komplikasi anestesi: Bisa terjadi pembentukan hematoma tempat suntikan.

Gambar 7. Ballonitis 3.10 PROGNOSIS

Prognosis dari fimosis akan semakin baik bila cepat didiagnosis dan ditangani.

(24)

BAB IV PENUTUP

Fimosis adalah suatu kelainan dimana preputium penis yang tidak dapat di retraksi (ditarik) ke proksimal sampai ke korona glandis.

Pada fimosis terjadi penyempitan pada ujung prepusium. Kelainan ini menyebabkan bayi atau anak sulit berkemih, sehingga prepusium menggelembung seperti balon. Hal ini dapat menyebabkan gangguan aliran urine berupa sulit kencing, pancaran urine mengecil, menggelembungnya ujung prepusium penis pada saat miksi, dan menimbulkan retensi urine.

Higiene lokal yang kurang bersih menyebabkan terjadinya infeksi pada prepusium (postitis), infeksi pada glans penis (balanitis) atau infeksi pada glans dan prepusium penis (balanopostitis).

Fimosis tidak dianjurkan melakukan dilatasi atau retraksi yang di paksakan karena dapat menimbulkan luka dan terbentuknya sikatrik pada ujung prepusium. fimosis yang disertai dengan infeksi postitis merupakan indikasi untuk dilakukan sirkumsisi.

(25)

DAFTAR PUSTAKA

1. Basuki B Purnomo. Dasar-dasar Urologi. Edisi Kedua. Jakarta: Sagung Seto; 2009.

2. Santoso A. Fimosis dan Parafimosis. Tim Penyusun Panduan Penatalaksanaan Pediatric Urologi di Indonesia. Jakarta: Ikatan Ahli Urologi Indonesia; 2005.

3. Sjamsuhidajat, R , Wim de Jong. 2004. Buku-Ajar Ilmu Bedah. Ed.2. Jakarta : EGC, hal 800-801

4. Purnomo, Basuki B. 2011. Dasar-dasar Urologi Ed 3. Jakarta : Sagung Seto. hal 19 5. Tanagho, EA and McAninch, JW. 2008. General Urology. 16 edition. USA: Appleton

and Lange

6. McCance KL, Huether SE, Brasher VL, Rote NS. Pathophysiology: The Biologic Basic for Disease in Adults and Children. Canada 2010; 850-51

7. Spilsbury K, Semmens JB, Wisniewski ZS, Holman CD. "Circumcision for phimosis and other medical indications in Western Australian boys". Med. J. Aust. 178 (4):

155–8; 2003. Diunduh dari URL:

http://www.mja.com.au/public/issues/178_04_170203/spi10278_fm.html 8. Hina Z, Ghory MD. Phimosis and Paraphimosis. Diunduh dari URL:

(http://emedicine.medscape.com/article/777539-overview)

9. Emmanuel, Franklin, Miernik K, Sevcenco S, Pediatric Urology.Predictive Power of Objectivation of Phimosis Grade on Outcomes of Topical 0.1% Betamethasone Treatment of Phimosis. Urology 80: 412–416, 2012.

(26)

10. Gil Z, Shlamovitz, MD, Dorsal Slit of the Foreskin. . Diunduh dari URL:

https://emedicine.medscape.com/article/80697-overview#a9

Gambar

Gambar 1. Anatomi Penis
Gambar 3. Fimosis Fisiologi
Gambar 4. Fimosis Patologi
Gambar 5. Perbedaan Fimosis Fisiologis dan Fimosis Patologi
+2

Referensi

Dokumen terkait