• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PENELITIAN DASAR KEILMUAN (PDK ... - SIMAKIP

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "LAPORAN PENELITIAN DASAR KEILMUAN (PDK ... - SIMAKIP"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN

PENELITIAN DASAR KEILMUAN (PDK)

RELIGIOSITAS MASYARAKAT BETAWI DALAM FOLKLOR JAKARTA

Tim Pengusul:

Syarif Hidayatullah, M.Pd (0302088802)

Nomor Surat Kontrak Penelitian:

Nilai Kontrak: Rp 6.000.000,-

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR HAMKA JAKARTA

2019

(2)

ii

(3)

iii

(4)

iv

(5)

v ABSTRAK

Masyarakat Betawi dikenal dengan sikap religiositas yang tinggi, hal ini terlihat dalam berbagai budaya yang dilakukan oleh etnis ini, baik dalam bentuk artefak maupun dalam bentuk tradisi.

Terbentuknya religiositas ini tentu bukan tanpa sebab. Salah satu faktornya adalah adanya folklor lisan yang mempengaruhi masyarakat Betawi dalam tingkah laku atau perbuatan. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana religiositas masyarakat betawi dalam folklor lisan dalam bentuk prosa berupa cerita rakyat dan legenda. Prosa tersebut telah didokumentasikan oleh Rahmat Ali dalam bukunya Cerita Rakyat Betawi 1 dan Cerita Rakyat Betawi 1. Untuk mengetahui hal tersebut, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsiptif kualitatif dengan data berupa kutipan-kutipan yang berisi religiositas masyarakat Betawi yang ditemukan. Temuan ini kemudian dianalisis berdasarkan konsep religiositas yang disampaikan oleh Stark dan Glock yaitu, religious belief, religious practise, religious feeling, religious knowledge, dan religious effect. Bentuk religiositas yang paling banyak ditemukan di dalam cerita rakyat Betawi ini adalah religious effect yang ditemukan dalam 19 kutipan pada 10 cerita rakyat. Sementara jika ditinjauh dari cerita rakyatnya, kisah Si Pitung menjadi cerita yang paling banyak bentuk religiositas masyarakat betawinya, yaitu sebanyak 13 kutipan.

Kata Kunci: Religiositas, Folklor, Cerita Rakyat.

(6)

vi DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

SURAT PERJANJIAN KONTRAK ... iii

ABSTRAK ...v

DAFTAR ISI... vi

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang Penelitian ...1

1.2 Rumusan Masalah ...2

1.3 Tujuan Penelitian ...2

1.4 Urgensi/Keutamaan Penelitian...2

BAB II KAJIAN PUSTAKA...4

2.1 State of the Art ...4

2.2 Religiositas ...4

2.3 Masyarakat Betawi...6

2.4 Folklor ...6

2.5 Roadmap Peneliti ...7

BAB III METODE PENELITIAN ...9

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...12

4.1 Deskripsi Data ...12

4.2 Hasil ...12

4.3 Religiositas Masyarakat Betawi dalam Folklor Jakarta ...13

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ...26

5.1 Simpulan ...26

5.2 Saran ...26

BAB VI LUARAN YANG DICAPAI ...28

DAFTAR PUSTAKA ...29

LAMPIRAN...30

(7)

1 BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Masyarakat Betawi merupakan salah satu etnis yang tinggal di pulau Jawa. Etnis ini menggunakan bahasa melayu Betawi. Jika dilihat dari bahasa yang digunakan, maka banyak yang mengambil kesimpulan bahwa masyarakat Betawi merupakan salah satu etnis Melayu. Namun demikian, permasalahan asal usul masyarakat Betawi sampai saat ini masih kompleks.

Meski secara linguistik merupakan varian dari bahasa Melayu, namun masyarakat Betawi memiliki tradisi dan budaya yang khas dan berbeda dengan tradisi etnis Melayu pada umumnya dan hal itu menjadi penciri yang berbeda dari etnis lainnya. Salah satu perbedaan yang mencolok adalah pada bagaimana masyarakat Betawi memiliki sikap religius yang termanifestasi dalam perilaku masyarakatnya.

Chaer menyatakan bahwa masyarakat Betawi rela untuk menunaikan ibadah haji dengan menjual harta benda yang dimilikinya, salah satunya adalah menjual tanah. Tidak hanya itu, banyak perayaan agama yang menjadi bagian siklus kehidupan budaya masyarakat, misalnya budaya nuju bulan, cukur rambut, dan lainnya.

Religiositas masyarakat betawi bukanlah religiositas yang inklusif. Hal ini terlihat dari bagaimana agama Islam yang dianut oleh mayoritas masyarakat Betawi tidak menolak dari singgungan dengan realitas budaya di sekitarnya, yaitu budaya Cina. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana pakaian yang digunakan oleh masyarakat Betawi dalam perayaan pernikahan. Dalam pernikahan tersebut, simbol-simbol islam toleran menyatu dalam satu acara sakral di atas pelaminan melalui pakaian adat kedua mempelainya. Pengantin pria menggunakan jubah layaknya suku Arab yang identik dengan Islam diberi nama Dandanan Care Haji, sementara pakaian wanitanya menggunakan pakaian yang diberi nama Dandanan Care None Penganten Cine yang mencirikan tradisi Cina yang identik dengan agama lain.

Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Betawi dengan agama Islam yang diyakininya telah menjelma suku yang unik dengan akulturasi budaya yang dimilikinya. Ini menunjukkan bagaimana masyarakat Betawi telah mewujudkan islam yang rahmatanlilalamin.

(8)

2 Munculnya sikap religius semacam itu tentu didasari oleh proses penanaman nilai-nilai religius dalam tradisi kebudayaan suku Betawi, salah satunya melalui folklor. Menurut Anton dan Marwati (2015), folklor dapat digunakan sebagai media pendidikan dan pengendalian sosial agar dipatuhi masyarakat. Banyak folklor yang mengandung mitos yang mengendalikan manusia untuk melakukan atau melarang manusia melakukan sesuatu.

Fungsi tersebut dapat dilakukan oleh folklor dalam bentuk prosa atau cerita rakyat/dongeng yang berkembang di tengah masyarakatnya. Cerita rakyat/dongeng umumnya memuat nilai moral sehingga dapat mengendalikan perbuatan manusia.

Di sisi lain, dalam kehidupan masyarakat Betawi, oral literature (sastra lisan) memiliki peran penting. Hal itu terlihat dari bagaimana puisi (dalam bentuk pantun) dan prosa (dalam bentuk sahibul hikayat) muncul dalam tradisi percakapan masyarakat Betawi. Untuk itu, penelitian ini berupaya menelaah bagaimana nilai religius masyarakat betawi tercermin dalam prosa yang terdapat dalam Cerita Rakyat Betawi 1 dan Cerita Rakyat Betawi 2.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah yaitu bagaimana religiositas masyarakat Betawi dalam Folklor Jakarta?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui religusitas masyarakat betawi dalam Folklor Jakarta.

1.4 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui religiositas masyarakat Betawi.

1.4 Urgensi/Keutamaan Penelitian

Urgensi dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana religiositas masyarakat Betawi. Saat ini, belum ada penelitian yang membahas bagaimana sikap religius masyarakat

(9)

3 Betawi terutama pada kajian folklor lisan dalam hal ini karya prosa yang ada di Betawi atau Jakarta.

Adapun keutamaan dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan bagaimana perilaku masyarakat Betawi dibentuk melalui karya prosa yang disampaikan turun-temurun hingga akhirnya membentuk karakter masyarakat Betawi. Dengan kajian ini, maka generasi penerus masyarakat Betawi dapat mempertahankan tradisi sastra lisan sebagai salah satu pembentuk religiositas masyarakat Betawi.

(10)

4 BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

2.1 State of the Art

2.2 Religiositas

Religiositas dalam KBBI disebut sebagai kesalehan dan pengabdian terhadap agama.

Dalam konteks kesalehan ini, Mangunwijaya berpendapat bahwa manusia pada dasarnya memiliki sikap religius, walaupun manusia tersebut tidak beragama (atheis). Namun, ada orang yang tak beragama akan tetapi tidak religius, sementara yang tidak beragama malah memiliki cita rasa, sikap, dan tindakan yang religius (1994: 13).

Dalam perspektif Mangunwijaya ini, tentu yang dimaksud dengan religius atau religiositas ini merujuk pada makna kesalehan. Siapapun dapat bersikap saleh dengan melakukan hal-hal positif meskipun orang tersebut tidak menganut agama, sebaliknya bukan berarti orang yang beragama selanjutnya dapat disebut orang yang saleh. Oleh karena itu, religiositas lebih pada laku hidup dalam berkehidupan. Tidak hanya semata menundukkan kepala dan bermunajat pada sang pencipta, namun juga sebagaimana dalam ajaran Islam, bahwa saleh tidak semata ritual ibadah, namun juga ritual muamalah. Bahwa manusia hidup bukan hanya berhubungan dengan Tuhan (hablulmminallah) namun juga berhubungan dengan manusia (hablumminannas).

Dengan pemahaman konsep beragama semacam itu, maka penghayatan dan penerapan ajaran agama sangat penting agar dapat membentuk pribadi dengan religiositas yang baik.

Religiositas semacam ini akan menimbulkan kedamaian bagi dirinya dan manusia sekitarnya sehingga pada akhirnya muncul Islam yang rahmatanlilalamain.

Tradisi religius masyarakat betawi

yang tercermin dalam perilaku dan artefak budayanya.

Tradisi sastra lisan sebagai sebuah

pedoman kehidupan masyarakat Betawi

yang berisi berbagai nilai luhur

kehidupan.

Menganalisis sastra lisan khususnya karya prosa yang terdapat di dalam buku Cerita Rakyat Betawi 1 dan Cerita Rakyat Betawi 1.

(11)

5 Stark dan Glock dalam Reitsma, Scheepers, dan Grotenhuis (2006: 347) menyebut bahwa religiositas seseorang dapat diukur melalui lima aspek. Aspek tersebut terdiri atas, religious belief, religious practise, religious feeling, religious knowledge, dan religious effect.

Religious belief merupakan sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang dogmatik dalam ajaran agamanya. Misalnya kepercayaan adanya Tuhan, surga, neraka, takdir, dan sebagainya. Dalam Islam hal ini tercermin pada rukun iman yang merupakan prinsip dasar ketauhidan. Pengingkaran terhadap hal tersebut akan menyebabkan dirinya tidak lagi berada dalam agama Islam.

Adapun religious practise merupakan pengamalan seseorang terhadap kewajiban- kewajiban dalam agamanya. Misalnya dalam menjalankan shalat, puasa, dan zakat. Ajaran ini diatur sedemikian rupa, baik waktu pelaksanaan dan bahkan sampai pada bilangan jumlah banyak (takaran) dan hari.

Sementara religious feeling ialah perasaan-perasaan atau pengalaman-pengalaman keagamaan dialami dan dirasakan oleh seseorang. Misalnya merasa Tuhan mengawasi sehingga takut berbuat dosa atau merasa diuji oleh Tuhan untuk menambah keimanan.

Perasaan semasam ini akan membuat seseorang senantiasa melakukan hal yang baik dan menjauhi hal yang buruk.

Berikutnya religious knowledge merupakan pemahaman seseorang tentang ajaran agamanya terutama yang ada dalam kitab suci. Dalam Islam, tentu saja Al-Quran dan As- Sunnah. Pemahaman tentang ajaran ini tentu saja membuat perilaku penganut ajaran agama akan menunjukkan perilaku yang baik.

Terakhir, religious effect merupakan spirit atau motivasi yang timbul pada diri seseorang lantaran ajaran agama di dalam kehidupan sosial. Misalnya bersedekah atau menafkahi anak yatim. Dalam bentuk lain, religious effect ini juga muncul ketika seseorang memiliki perasaan iba terhadap kemalangan orang lain. Ajaran agama yang mengajarkan saling mengasihi antar sesama manusia membuat seseorang akan menolong tanpa memedulikan latar belakang agama atau suk.

Kelima dimensi tersebut jika diterapkan maka akan memunculkan perilaku yang religius, sehingga seseorang akan menjalankan aturan agamanya sebagaimana yang ia ketauhi mengenai agamanya (religius knowledge). Bahkan untuk melakukan kejahatan pun, akan

(12)

6 membuat seseorang takut dan sesegera mungkin menghindari diri dari dosa, karena ia merasa Tuhan ada di dekatnya (religious feeling). Maka yang ada dalam hidup, disadari dengan kesadaran beribadah (religious practise). Hal ini juga disampaikan oleh Lenski dalam Küçükcan (2005: 60).

2.3 Masyarakat Betawi

Sampai saat ini, munculnya etnis Betawi di Jakarta masih diperdebatkan. Menurut Castles masyarakat Betawi terbentuk di akhir abad kesembilan belas dari percampuran ras dan budaya yang terjadi karena penjajah Belanda yang mendatangkan budak belian dari daerah timur Indonesia (Bali, Sulawesi Selatan, Sumbawa, Flores, Sumba, Timor, Nias, Kalimantan dan Pampanga di kepulauan Luzon) dan budak belian dari daerah Asia Selatan, yaitu dari pantai Coromandel, Malabar, Bengal dan dari Arakan di Burma (Castles, 2007).

Pernyataan berbeda disampaikan Shahab dalam Catles (2007) yang memperkirakan etnis Betawi baru terbentuk antara tahun 1815-1893. Kesimpulan ini diambil berdasarkan data yang diperoleh dari sensus pendudukan yang dilakukan Belanda. Sensus tahun 1615 dan 1815 menunjukkan bahwa pada tahun tersebut tidak ada catatan tentang etnis betawi. Namun, data etnis Betawi baru muncul tahun 1930 yang menyatakan bahwa masyarakat Betawi berjumlah 778.953 orang dan merupakan etnis mayoritas yang terdapat di Jakarta ketika itu.

Akan tetapi, kedua pendapat ini dibantah oleh Saidi dalam Rizal (2008). Menurutnya etnis Betawi bukanlah muncul karena budak belian yang didatangkan Belanda ke Jakarta, namun etnis Betawi sudah ada sebelum J.P. Coen membakar Jayakarta tahun 1619.

Lepas dari pandangan yang beragam tentang asal muasal kemunculan etnis Betawi ini.

Etnis betawi telah dianggap sebagai etnis asli ibu kota Jakarta. Segala tradisi dan ciri khas Jakarta berasal dari etnis ini. panganan, rumah adat, pakaian, seni, dan tradisi yang ada di Jakarta dianggap sebagai kesenian yang lahir dari eksistensi masyarakat Betawi.

2.4 Folklor

Istilah folklor muncul dari istilah folk dan lore. Folk mengacu pada sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan budaya sehingga dapat dibedakan dari kelompok- kelompok lainnya. Sementara lore adalah kebiasaan folk, yaitu sebagian kebudayaannya, yang

(13)

7 diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Sutaryanto dan Kartikasari (2016) menyebut folklor sebagai sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun- temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat (mnemonic device).

Folklor dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan (Bruvand dalam Danandjaja, 1997:21-22). Folklor lisan merupakan folklor yang murni diproduksi dengan lisan. Yang termasuk ke dalam genre ini adalah bahasa rakyat, ungkapan tradisional, puisi rakyat, prosa rakyat, dan nyanyian rakyat. Folklor sebagian lisan merupakan folklor yang dibentuk dengan campuran antara lisan dan yang bukan lisan. Contoh untuk folklor jenis ini adalah kepercayaan rakyat berupa takhayul yang berupa lisan yang diikuti dengan gerak tubuh yang mempunyai makna gaib. Folklor bukan lisan merupakan folklor yang berbentuk bukan lisan walaupun dalam proses pembuatannya membutuhkan lisan.

Dalam bagian folklor ini berupa material dan bukan material.

Dalam penelitian ini, jenis folklor yang akan diteliti adalah folklor lisan berupa karya prosa.

Karya prosa memiliki alur cerita, tokoh, dan latar yang dapat memberikan gambaran religiositas masyarakat Betawi sehingga dapat memberikan pembaca cara hidup yang baik.

2.5 Roadmap Peneliti

Penelitian mengenai religiositas telah dilakukan sebelumnya oleh ketua peneliti. Hal ini terlihat dari tesis yang disusunnya berjudul Religiositas Profetik dalam Novel Di Bawah Lindungan Kabah karya HAMKA (Kajian Semiotik) tahun 2014. Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian ini, disusun sebuah artikel dengan judul yang sama dan diterbitkan di jurnal Bahtera:

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra volume 13 nomor 2. Penelitian mengenai kajian karya sastra menjadi fokus peneliti, hal ini juga terlihat dari penelitian lain Representasi Ekranisasi Novel Dear Nathan Karya Erisca Febriani yang dimuat di Jurnal Imajeri nomor 1 volume 1.

Berikut roadmap peneliti dalam bentuk bagan.

(14)

8

Tesis : Religiositas Profetik dalam Novel Di Bawah Lindungan Kabah karya

HAMKA (Kajian Semiotik) 2014

Artikel: : Religiositas Profetik dalam Novel Di Bawah Lindungan Kabah karya

HAMKA dimuat di jurnal Bahtera: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra volume 13 nomor 2, 2015

Artikel:

Representasi Ekranisasi Novel Dear Nathan Karya Erisca Febriani yang dimuat di Jurnal Imajeri nomor 1 volume 1, 2018

(15)

9 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menggali religiositas masyarakat Betawi dalam Folklor Jakarta. Untuk menggali religiositas ini, maka jenis folklor yang dikaji adalah folklor lisan dalam bentuk karya prosa. Untuk menggali ini, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Hal ini karena metode deskriptif kualitatif menurut Semi (2012: 30) merupakan metode yang menguraikan data dalam bentuk kata-kata atau gambar-gambar, bukan dalam bentuk angka-angka. Hal yang sama disampaikan oleh Moleong. Namun secara lebih praktis Moleong (2006: 11) menegaskan bahwa penelitian seperti ini akan berisi kutipan-kutipan data. Maka dari itu, instrumen penelitian akan berisi kutipan-kutipan dari Cerita Rakyat Betawi 1 dan Cerita Rakyat Betawi 2.

Kutipan-kutipan ini kemudian diinterpretasi sebagaimana umumnya penelitian kualitatif seperti yang diungkapkan oleh Ritchie dan Lewis (2003: 3) yang bertujuan untuk mengetahui fenomena perilaku, kepecayaan, nilai dan sebagainya. Dalam penelitian ini, tujuannya adalah untuk mengetahui religiositas masyarakat Betawi.

3.2 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah peneliti dibantu dengan tabel analisis. Adapun tabel analisisnya sebagai berikut:

No Kutipan religious belief

religious practise

religious feeling

religious knowledge

religious effect

3.3 Prosedur Pengumpulan Data

Langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam proses pengumpulan data adalah sebagai berikut.

1. Membaca karya Cerita Rakyat Betawi 1 dan Cerita Rakyat Betawi 2.

2. Menemukan religiositas dalam prosa (cerita rakyat/legenda).

(16)

10 3. Membuat tabel analisis berdasarkan kriteria analisis.

4. Mengelompokkan kriteria berdasarkan data analisis.

5. Memasukkan data yang diperoleh ke dalam tabel analisis.

3.4 Prosedur Analisis Data

Prosedur analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah prosedur analisis data yang dari teori Miles dan Huberman. Terdapat tiga macam kegiatan dalam analisis data kualitatif menurut Miles

dan

Huberman sebagaimana dikutip oleh Emzir (2012: 129), yakni reduksi data, model data, dan penarikan/verifikasi kesimpulan. Untuk lebih jelasnya perhatikan pemaparan berikut ini:

1. Reduksi data

Reduksi data merujuk pada proses pemilihan, pemfokusan, penyederhanaan, abstraksi, dan pentransformasian “data mentah” yang terjadi dalam catatan-catatan lapangan tertulis. Reduksi data terjadi secara kontinu melalui kehidupan suatu proyek yang diorientasikan secara kualitatif.

Reduksi data selanjutnya adalah proses membuat rangkuman, pengodean, membuat tema-tema, membuat gugus-gugus, membuat pemisahan-pemisahan. Reduksi data merupakan bagian dari analisis. Pilihan-pilihan peneliti, potongan-potongan data untuk diberi kode, untuk ditarik ke luar, dan rangkuman pola-pola sejumlah potongan, apa pengembangan ceritanya semua merupakan pilihan-pilihan analitis.

Dalam penelitian ini, tidak dilakukan penyederhanaan pada sumber data. Seluruh data yang ada dalam Cerita Rakyat Betawi 1 dan Cerita Rakyat Betawi 2, dipilah untuk kemudian dikategorikan dalam bentuk religiositas masyarakat betawi.

2. Model Data (Data Display)

Langkah kedua dari kegiatan analisis data adalah model data. Model merupakan suatu kumpulan informasi yang tersusun yang membolehkan pendeskripsian kesimpulan dan pengambilan tindakan. Bentuk yang paling sering dari pemodelan data kualitatif selama ini adalah teks naratif atau cerita.

Mengingat data dalam penelitian ini merupakan teks naratif yakni prosa dalam bentuk cerita raykyat/legenda, maka data yang yang terdapat dalam cerita akan ditafsirkan. Analisis yang dilakukan adalah menginterpretasi pernyataan-pernyataan

(17)

11 yang memuat unsur religious belief, religious practise, religious feeling, religious knowledge, dan religious effect.

3. Penarikan/Verifikasi Kesimpulan

Langkah ketiga dari aktivitas analisis adalah penarikan dan verifikasi kesimpulan.

Dari permulaan pengumpulan data, peneliti kualitatif mulai memutuskan “makna”

sesuatu, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan konfigurasi yang mungkin, alur kausal, dan proposisi-proposisi. Dalam proses ini, maka peneliti berupaya mengambil kesimpulan dari seluruh langkah yang telah dilakukan mulai dari tahap satu sampai tahap terakhir.

Selanjutnya, prosedur yang digunakan untuk menganalisis data adalah sebagai berikut.

1. Membaca ulang sekaligus menandai kalimat ataupun gagasan yang mengandung religiositas masyarakat Betawi.

2. Menganalisis nilai-nilai religiositas berdasarkan struktur prosa.

3. Mengelompokkan kalimat atau gagasan tersebut sesuai dengan unsur religiositas.

4. Mendeskripsikan unsur religiositas dalam Cerita Rakyat Betawi 1 dan Cerita Rakyat Betawi 2 ditinjau dari struktur karya prosa (cerita rakyat/legenda) di dalam pembahasan hasil analisis.

5. Menarik simpulan.

(18)

12 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Data

Data dalam penelitian ini merupakan religiositas masyarakat Betawi yang terdapat pada folklor Jakarta yang berupa cerita rakyat yang terkumpul dalam dua kumpulan cerita rakyat Betawi yang ditulis oleh berjudul Cerita Rakyat Betawi 1 dan Cerita Rakyat Betawi 2. Di dalam kumpulan Cerita Rakyat Betawi 1 terdapat enam cerita, yaitu Si Pitung (SP), Si Angkri Jagoan Pasar Ikan (SAJPI), Pangeran Sarif (PS), Entong Gendut dari Batuampar (EGDP), Si Jampang (SJ), dan Mirah Singa Betina dari Marunda (MSBDM) Dalam Cerita Rakyat Betawi 2 terdapat lima cerita, yaitu Bang Melong dari Maruga (BMDM), Pangeran Pecah Kulit (PPK), Nyai Dasima (ND), Murtado dari Kemayoran (MDK), dan Kaiin Bapa Kayah (KBK).

Pada umumnya cerita rakyat Betawi yang muncul berkisar pada tahun-tahun penjajahan Belanda. Oleh karena itu tema-tema cerita rakyat yang terdapat pada cerita rakyat Betawi ini memuat kisah heroik para pahlawan Betawi yang rela berkorban untuk memperjuangkan hak- hak masyarakat Betawi yang direbut oleh para penjajah. Telepas dari kisah patriotik tersebut, cerita rakyat ini juga menunjukkan religiositas masyarakat Betawi pada saat itu.

Deskripsi data berikut ini mencakup religiositas masyarkat Betawi yang terdiri dari religious belief, religious practise, religious feeling, religious knowledge, dan religious effect.

Selain itu, unsur yang membangun cerita pun tidak dilupakan agar ciri khas analisis karya sastra tidak hilang.

4.2 Hasil

Cerminan religiositas masyarakat Betawi ditinjau dari unsur religiositasnya, yaitu religious belief, religious practise, religious feeling, religious knowledge, dan religious effect.

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, ditemukan bahwa masyarakat Betawi memiliki prinsip religiositas yang jelas. Hal ini terlihat bahkan saat mendidik anak sejak kecil.

Masyarakat Betawi mengajarkan anak-anaknya untuk memasukkan anak ke pesantren atau belajar mengaji ke seorang ulama atau ustaz. Dengan kesadaran akan pentingnya ilmu agama ini, maka masyarakat Betawi pada dasarnya memiliki fondasi yang kuat untuk menciptakan masyarakat yang religius.

(19)

13 Hal ini kemudian tercermin dalam kehidupan mereka dalam folkor lisan dalam bentuk cerita rakyat ini. Dari sebelas cerita rakyat yang ada dari dua kumpulan cerita rakyat, ditemukan unsur-unsur religiositas masyarakat betawi pada sebelas cerita rakyat yang ada.

Hanya dua cerita rakyat yang tidak menunjukkan unsur-unsur religiositas tersebut. Cerita rakyat tersebut adalah Si Panjang dan Sarah Speck.

4.3 Pembahasan Religiositas Masyarakat Betawi dalam Folklor Jakarta 4.3.1 Religious Belief

1. “Sekali-sekali tidak perlu takut,” katanya, “tenanglah. Harta kita ini juga harta Tuhan. Jadi, tidak perlu dirisaukan.” (PS, hlm. 20).

Masyarakat Betawi memiliki kepercayaan yang besar terhadap Tuhan. Hal ini terlihat dari bagaimana tokoh Pangeran Sarif dalam menghadapi represi penjajah Belanda. Dalam alur tersebut dinyatakan bahwa Pangeran Sarif yakin bahwa harta yang didapatnya merupakan pemberian Tuhan. Oleh karena itu, ia tidak resah terhadap harta yang dimilikinya.

2. Anehnya pada penglihatan para penjahat, sapi-sapi gemuk itu seperti berada di seberang lautan sehingga mereka harus berenang susah payah untuk mencapainya. Kaki dan tangan mereka bergerak, tetapi tidak sampai juga. (PS, hlm. 21)

Kepercayaan kepada Tuhan membuat Pangeran Sarif dijaga oleh Tuhan. Hal ini mengakibatkan segala hal negatif yang akan menimpanya diberikan bantuan oleh Allah. Dalam alur cerita ini membuktikan hal tersebut, bagaimana para penjahat yang akan mencuri harta milik Pangeran Sarif kesulitan padahal Pangeran Sarif tidak ada di dalam rumah. Dalam bayangan para pencuri itu halaman Pangeran Sarif berubah menjadi lautan sehingga para pencuri itu harus berenang.

Hal ini membuktikan religiositas masyarakat Betawi terhadap Tuhan sangat tinggi. Dengan kepercayaan sepenuhnya terhadap kekuasaan Allah, akhirnya mendatangkan pertolongan dari Allah.

3. Karena para penjahat itu bertaubat, Pangeran Sarif memberikan bimbingan, “Ikutilah ucapanku!” Pangeran Sarif segera membacakan kalimat Syahadat perlahan-lahan dan kepala penjahat beserta gerombolannya menirukan. (PS, hlm. 21)

(20)

14 Sejalan dengan alur di atas, para gerombolan yang berniat jahat kepada Pangeran Sarif pada akhirnya bertobat dan kemudian bersyahadat dengan mempercayai bahwa Allah adalah Tuhan Maha Esa dan Muhammad adalah utusan-Nya. Alur ini menunjukkan bagaimana para gerombolan penjahat ini mengakui keesaan Allah yang merupakan salah satu bentuk dari religious belife.

4. Tukang rakit masih mengikuti terus. Setelah sadar dia heran sekali, ketika dia bermaksud balik memasuki terowongan sempit, terowongan itu sudah tidak ada lagi. (PS, 23)

Pangeran Sarif merupakan salah satu ulama yang berhasil berdakwah. Salah satu bentuk dakwahnya adalah dengan perjuangannya melawan Belanda. Dalam upaya tersebut, banyak kejadian yang tidak dapat diterima dengan akal sehat. Sebagai contoh dalam alur berikut, seorang mata-mata Belanda berniat jahat terhadap Pangeran Sarif. Namun saat ia mengikuti Pangeran Sarif, hal ajaib terjadi. Dalam alur ini, Pangeran Sarif menunjukkan kesaktiannya atas kepercayaannya terhadap Tuhan yang disadari sepenuhnya oleh Pangeran Sarif.

Kesaktiannya dalam bentuk mewujudkan fantasi ajaib dengan membuat sebuah terowongan yang sesungguhnya tidak ada.

5. … Pangeran Sarif juga menjawab penuh wibawa, “Jangan minta ampun kepadaku. Allah-lah tempat kamu memohon ampun. Allah-lah tempat kamu minta segalanya. Kamu harus memohon ampun kepada-Nya!” (PS, 24).

Dalam penokohan tentang Pangeran Sarif ini terlihat bagaimana Pangeran Sarif sosok yang memiliki religious belife yang tinggi. Hal ini terlihat bagaimana sikapnya menghadapi penjahat. Pangeran Sarif menasehati dengan bijak bahwa Allah merupakan tempat kita meminta segalanya. Berdasarkan hal ini maka terlihat bagaimana religiositas mayarakat Betawi.

6. “Syukurlah Raden. Semoga kemenangan di pihak kita.”

“Jelas kita yang harus menang, Tuan Gusti.” Raden Kartadria yakin sekali dengan rencananya.

(PPK, hlm. 31)

Dalam alur di atas menunjukkan bagaiman rasa syukur menunjukkan bentuk kepercayaan kepada Tuhan yang telah melindungi Raden Kartadria sehingga berhasil masuk Batavia dengan selamat. Dalam masa itu, Batavia dijaga ketat oleh Belanda sehingga jika malam tiba, siapapun

(21)

15 yang tidak dikenal akan ditembak mati jika tidak melapor. Bentuk rasa syukur ini merupakan salah satu unsur dari religious belief.

7. “Lari ke mana Sarina? Allah bersama kita. Kita tidak boleh mundur sedikit pun. Jangan pikirkan Ali…” (PPK, hlm. 32)

Religious belife dalam cerita rakyat Betawi ini terlihat dari penokohan Pieter Erberveld.

Orang Eropa keturunan Jerman yang bergaul dengan masyarkat kemudian masuk Islam. Ia kemudian dipanggil dengan Tuang Gusti. Dalam cakapan tersebut terlihat bagaimana bentuk kepercayaan kepada Tuhan sehingga tidak takut dengan ancaman Belanda jika Ali membocorkan rencana tersebut kepada penjajah. Kepercayaan tersebut berbentuk keyakinan bahwa Allah selalu bersama hamba-Nya.

8. Atas izinnya, Bapa Cungok membagi-bagikan buku kecil bertuliskan huruf Arab berisi buku- buku sejarah Jakarta dan zikir-zikir. Buku itu dianggap jimat oleh para pengikut yang menerimanya dan disimpan baik-baik di dalam dada. (KBK, hlm. 66)

Masyarakat Betawi pada masa lampau percaya terhadap jimat yang dapat membuat orang yang memegangnya memiliki kesaktian tertentu. Jimat ini berasal dari zikir-zikir. Zikir merupakan bentuk dari kepercayaan kepada Tuhan bahwa Tuhan itu ada dengan segala pujian kepada-Nya. Oleh karena itu, dalam alur cerita ini terlihat bagaimana bentuk kepercayaan terhadap Tuhan termanifestasikan melalui jimat yang akan melindungi si pengguna.

Berdasarkan hal ini, maka terlihat unsur religious belife.

9. Ketika sembahyang bersama di makam Pangeran Blongsong di Mangga Dua, mereka begitu histeris seperti terpanggil untuk cepat-cepat menghunus pedang. Mereka berteriak siap menaklukan kembali seluruh pulau Jawa yang sudah dikuasai tuan tanah dan babah-babah besar. (KBK, hlm. 69).

4.3.2 Religious Practise

1. Haji Naipin mempunyai banyak murid. Mereka taat dan patuh kepada gurunya. Siang malam mereka belajar mengaji, membaca, dan menulis bahasa Arab. Mereka juga menjalankan salat lima waktu. Pada bulan Ramadan mereka menjalankan ibadah puasa. (SP, hlm. 1)

(22)

16 Dalam alur cerita ini menunjukkan bagaimana masyarakat Betawi memiliki tradisi belajar ilmu agama. Selain itu, belajar ilmu agama, kegiatan lainnya adalah menjalankan salat dan puasa. Berdasarkan alur tersebut, hal ini menunjukkan bentuk dari religious practise.

2. “Kamu sudah pintar mengaji, ya?”

“Sedikit-sedikit, Yah” (SP, hlm. 1)

Religious practise lain terlihat pada penokohan anak si Pitung yang menyajikan profil santri yang belajar mengaji. Dalam dialog tersebut terlihat bagaimana religious practise dalam bentuk membaca Alquran. Dengan ini menunjukkan bahwa masyarakat Betawi memiliki ciri religioistas saat masih kecil, yaitu masih belajar mengaji.

3. Pada hari libur sehabis salat subuh, Pitung dibiarkan Pok Pinah tidur sampai siang bolong. (SP, hlm. 2)

Salah merupakan salah satu bagian dari religious practise. Dalam alur berikut ini menceritakan bagaimana Pitung merupakan sosok yang menjalankan perintah agama dalam bentuk salat. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan salah satu bentuk religiositas masyarakat Betawi dalam cerita rakyat Si Pitung.

4. Dia sempat bersalat lohor di mesjid. Setelah itu, ia melenggang pulang. (SP, hlm. 4)

Sama seperti kutipan sebelumnya. Sosok Si Pitung merupakan sosok yang menjalankan perintah Agama, yaitu mendirikan salat. Dalam alur tersebut menceritakan bagaimana Si Pitung salat lohor di masjid meskipun ia berada di pasar. Berdasarkan hal tersebut maka ini merupakan bagian dari religious practise.

5. Entong Gendut menjawab dari dalam akan bersembahyang dulu. Selesai sembahyang, Entong Gendut menampakkan diri. (EGdBA, 35)

Entong Gendut merupakan salah satu tokoh yang membela kaum lemah. Seorang yang jago silat ini juga sosok yang religius. Hal ini tercermin dari cerita rakyat Entong Gendut dari Batu Ampar. Saat Entong Gedut didatangi oleh Wedana Meester Cornelis yang dikawal oleh komandan pasukan serta polisi, ia tidak gentar bahkan lebih mendahulukan salat. Berdasarkan ini maka hal ini merupakan bagian dari religious practise.

6. Kadang-kadang saja dia pulang menemui ayahnya karena dia lebih senang tinggal di pesantren dengan kawan-kawannya. (SJ, hlm. 39)

(23)

17 Dalam alur di atas, Si Jampang telah memiliki anak. Berbeda dengan si Jampang yang suka merampok, anaknya merupakan seorang santri. Ia bahkan lebih senang tinggal di pesantren.

Hal ini menunjukkan bagaimana religious practise dipraktikkan dalam bentuk menjalankan kewajiban untuk menuntut ilmu sebagaimana hadis yang menyebut bahwa mencari ilmu merupakan kewajiban bagi seorang muslim.

7. “Mereka menyebut kehidupan berzina, tidak menikah sah sebagaimana ditetapkan Nabi Muhammad. Sekarang tinggal pilih hidup dikutuk masyarakat atau hidup dalam kedamaian dan menjalankan perintah-perintah agama dan menjauhi larangan-larangan-Nya sesuai hadis dan Quran?” (ND, hlm. 41)

Religious practise terdapat pula dalam kutipan cerita rakyat Betawi Nyai Dasima di atas.

Hal ini terdapat dalam alur saat Mak Buyung menasehati Nyai Dasima yang menjadi gundik dari Edward selama bertahun-tahun. Dalam pernyataan tersebut, Mak Buyung menasehati Nyai Dasima untuk menjalankan hidup sesuai dengan perintah agama.

8. Di ujung kampung, Murtado mendengar kawan-kawannya sedang asyik berkasidahan. Doa- doa untuk keagungan nabi Muhammad dibawakan dengan lagu merdu. (MDK, hlm. 56) Doa dan kasidahan kepada nabi Muhammad sering disebut dengan barjanzi. Dalam cerita Murtado dari Kemayoran hal tersebut diceritakan. Kegiatan berdoa dan berkasidah atau bersalawat ini merupakan bagian dari religious practise. Oleh karena itu, hal ini merupakan bagian dari religiositas masyarkat Betawi.

9. Santri-santri dari Banten hadir juga dalam selamatan itu. Mereka mengharapkan agar salah satu dari keturunan Maulana Hasanuddin kelak menjadi raja Banten. (KBK, hlm. 66)

Kegiatan selamatan merupakan salah satu kebudayaan yang sampai saat ini dilaksanakan oleh masyarakat Betawi. Rupanya kegiatan ini juga terdapat pada cerita Kaiin Bapa Kayah. Dalam alur ini menunjukkan bagaimana dalam proses untuk memperjuangkan kemerdekaan, mereka tidak lepas dari berdoa kepada yang Mahakuasa. Oleh sebab itu, hal ini termasuk ke dalam religious practise.

10. Di depan makam Pangeran Blongsong dan Ibu Mas Kuning, Kaiin Bapa Kayah membaca doa.

(KBK, hlm. 66)

Religious practise lainnya terdapat pada kegiatan berdoa yang dilakukan Kaiin Bapa Kayah. Pada alur tersebut diceritkan bagaimana sebelum mereka berjuang, selain selamatan.

(24)

18 Kaiin Bapa Kayah juga melakukan aktivitas berdoa. Doa untuk keselamatan saat memperjuangkan kemerdekaan.

11. Mereka berzikir lebih serius. Lalu pulang ke rumah masing-masing tanpa bersuara. (KBK, hlm.

66—67)

Kegiatan berzikir merupakan salah satu bentuk dari religious practise. Dalam alur ini disebut bahwa para pengikut Kaiin Bapa Kayah melakukan aktivitas berzikir dengan cara yang lebih serius. Cara ini diyakini dapat membantu mereka dalam proses perjuangan untuk melawan para penjajah.

12. Atas anjuran Kaiin Bapa Kayah, mereka bersembahyang lebih khusuk. Besoknya dilanjutkan dengan berpuasa dan membaca zikir sepanjang hari. (KBK, hlm. 67)

Usaha lainnya selain zikir, para pengikut Kaiin Bapa Kayah juga melakukan puasa dan zikir. Puasa dan zikir ini merupakan bagian dari religious practise. Alur ini menunjukkan bagaimana religiositas masyarakat Betawi dalam beribadah kepada yang Mahakuasa.

13. Atas perintah Sairin alias Embah Cawang yang pandai mendatangkan hujan abu itu, penyerbuan dilakukan tanggal 24 Februari 1924 atau bulan Jawa 4 Rajab. Beberapa minggu sebelumnya seluruh pengikut mempersiapkan diri sambil berpuasa, membaca zikir, dan membagi-bagikan jimat. (KBK, hlm. 69)

Sejalan dengan kutipan sebelumnya, persiapan dalam menghadapi para penjajah adalah dengan melakukan ibadah atau amalan-amalan yang diperintahkan Allah. Adapun ibadah sebagaimana yang terdapat dalam alur di atas adalah puasa dan zikir sehingga hal ini merupakan bagian dari religious practise.

4.3.3 Religious Feeling

1. “Jangan minta ampun padaku,” jawab pangeran Syarif, “minta ampun kepada Allah. Allah- lah tempat kalian memohon segalanya, termasuk ampun kalian. Itu pun kalau kalian bersungguh-sungguh.” (PS, hlm. 21)

Dalam cerita Pangeran Sarif tersebut diceritakan mengenai bagaimana para penjahat yang ingin mencuri ketakutan akan kesaktian Pangeran Sarif. Oleh karena itu, para penjahat tersebut meminta ampun. Menanggapi peristiwa ini Pangeran Syarif dengan menyampaikan

(25)

19 bahwa ampunan hanya milik Allah, manusia tidak berhak mengampuni. Hal ini menunjukkan bahwa Pangeran Sarif memiliki religious feeling.

2. Entong gendut bersuara lantang. Teriakan-teriakan Allahu Akbar menggema. (EGDBA, hlm.

37)

Kisah Entong Gendut dari Batu Ampar menyajikan perlawanan masyarakat Betawi atas tindakan penjajah Belanda yang semena-mena terhadap mereka dalam bentuk pembagian hasil pertanian yang tidak layak dengan menaikkan biaya pajak. Selain itu juga akibat adanya kegiatan kompenian yang melakukan kerja bakti tanpa upah untuk kepentingan tuan tanah.

Dalam alur di atas, Entong Gendut dibantu dengan warga sekitar berupaya untuk melakukan perlawanan. Mereka kemudian meneriakkan Allahu Akbar sebagai bentuk dari religious feeling bahwa Allah akan menolong mereka dengan kemahabesaran-Nya.

3. “Tapi Ayah juga harus tidak bikin malu lagi. Yang alim Yah, seperti biasanya orang-orang Banten. Masak kerja-kerja Ayah tiap hari merampok terus? Tidak bosan dikejar-kejar polisi?

Di pesantren sudah dibicarakan orang terus. Meskipun tidak terus terang di telinga saya, tetapi darah saya mendidih. Bukan lantaran marah, tetapi malu sekali, Yah.” (SJ, hlm. 39)

Percakapan tersebut terjadi pada alur saat ayah si Jampang berdialog dengan putranya yang sedang pulang dari pesantren. Cerita ini menunjukkan religious feeling dari anak si Jampang yang malu karena ayahnya perampok. Sikap malu ini muncul lantaran anaknya paham bahwa sebetulnya ayahnya telah dipergunjingkan karena seorang yang senang merampok. Anaknya sadar betul bahwa semua tindakan manusia diketahui Allah.

4. “Hubungan Neng dengan tuan baik sekali,” kata Mak Buyung pada suatu siang, “hanya sayang, Tuan Edward bukan lelaki idaman. Selama kenal dengan saya, Neng benar-benar tampak menyembunyikan kesedihan. Apakah Neng menyesal telah berhubungan gelap dengan lelaki Eropa? Jangan khawatir Neng. Saya berusaha membikin tenteram hati Neng.

Bacalah doa lima kali dalam sehari dan lepaskan diri Neng dari lelaki Eropa itu!” (ND, hlm.

37)

Dalam cerita Nyai Dasima ini terlihat bagaimana religious feeling yang dirasakan oleh Dasima yang sedih karena hidup menjadi seorang wanita simpanan. Kesedihan ini muncul karena apa yang dilakukannya telah melanggar norma agama. Oleh karena itu alur ini menunjukkan bagaimana sisi religius Dasima.

(26)

20 4.3.5 Religious Knowledge

1. Dia selalu berpedoman pada ajarannya gurunya, Haji Naipin. Sebagai muridnya, Pitung harus melindungi nasib orang banyak. (SP, hlm. 5)

Dalam kutipan yang terdapat pada alur cerita Si Pitung terlihat bagaimana unsur religious knowledge ditunjukkan oleh Pitung yang memahami konsep ajaran di dalam Islam sebagaimana yang diajarkan oleh gurunya. Bahwa seorang manusia harus melindungi manusia lainnya sebagaimana di dalam hadis bahwa seorang muslim dengan muslim lainnya seperti sebuah bangunan yang saling menguatkan satu sama lainnya.

2. Pekerjaan Pengeran Sarif adalah mengajar murid-muridnya menulis huruf arab dan dilatih membaca serta mempelajari Alquran. (PS, hlm. 20)

Dalam cerita Pangeran Sarif. Pangeran Sarif merupakan tokoh ulama yang rajin mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat Betawi. Hal ini terlihat pada alur di atas yang menceriatkan Pangeran Sarif yang sedang mengajarkan menulis arab dan membaca Alquran.

Upaya ini merupakan bagian dari religious knowledge. Berkat pemahamannya terhadap hadis mengenai keutamaan mengajarkan Alquran, maka Pangeran Sarip melakukan hal itu.

4.3.5 Religious Effect

1. Mereka mengharapkan si Pitung, anak mereka, menjadi orang yang saleh, dapat menjunjung nama baik orang tua dan dapat dibanggakan. (SP, hlm. 1)

Cerita Si Pitung menyajikan religious effect hal ini terlihat dari bagaimana orang tua si Pitung berharap agar anaknya menjadi orang yang saleh. Hal ini merupakan bagian dari efek terhadap pemahaman religius orang tua si Pitung. Oleh sebab itu, alur ini menggambarkan keadaan keluarga si Pitung yang religius.

2. Bang Piun dan Pok Pinah menitipkan anaknya ke guru mengaji yang terkenal di kampungnya, Rawabelong, yaitu Haji Naipin (SP, hlm. 1)

Agar anaknya menjadi saleh sebagaimana pada kutipan sebelumnya, dalam alur berikut ini, Bang Piun dan Pok Pinah mengirim anaknya untuk belajar mengaji ke Haji Naipin.

(27)

21 Kesadaran pentingnya ilmu agama merupakan bentuk dari religious effect yang dimiliki oleh orang tua dari si Pitung. Dengan demikian, kutipan ini merupakan bagian dari unsur religius.

3. Dia baru pulang saat matahari hampir terbenam, kemudian mengikat kambing-kambing itu di kandang. (SP, hlm. 2)

Si Pitung diberikan tanggung jawab oleh orang tuanya untuk membawa kambing ke padang rumput agar kambing-kambing tersebut mendapatkan makanan yang cukup. Dalam alur di atas Pitung menjaga kambing-kambingnya dengan baik bahkan ia baru pulang dari padang rumput saat sore hari. Hal ini menunjukkan religious effect dalam bentuk pemahaman Pitung terhadap amanah yang harus ia pikul dengan tanggung jawab yang penuh.

4. “Tadi aku bertemu siapa saja di pasar? O ya, aku ingat sekarang. Kawanan berandal pasar itu tentunya. Mereka mengajakku becakap-cakap dan salah seorang dari mereka merogoh kantongku. Akan kudatangi sekarang juga mereka itu!” (SP, hlm. 4)

Si Pitung merupakan anak yang berbakti kepada kedua orang tua dan senantiasa bertanggung jawab atas amanah yang diberikan orang tua kepadanya. Dalam alur ini, menunjukkan bagaimana tanggung jawab si Pitung terhadap uang hasil menjual binatang peliharaannya. Saat ia dalam perjalanan pulang, ia baru sadar bahwa uang yang diperolehnya dari hasil menjual binatang milik ayahnya dirampok oleh kawanan berandal pasar. Kesadaran itu kemudian membuatnya kembali lagi ke pasar untuk menemui berandal pasar dan mengambil uang miliknya. Hal ini menunjukkan religious effect yang dimiliki pitung berupa tanggung jawab atas amanah yang diberikan kepadanya.

5. Semakin gencar serangan lawan, semakin tangkas lompatan dan hindaran pitung menghadapi mereka. Kalau sudah tersudut, barulah pitung membalas. Itu pun tidak begitu sungguh- sungguh. Namun akibatnya beberapa dari mereka terpental sambil mengaduh. (SP, hlm. 4).

Sosok Pitung merupakan orang yang enggan melukai orang lain sebagai bentuk religious effect yang dimilikinya. Oleh karena itu, saat ia melawan berandal pasar ia tidak langsung menyerang. Ia hanya menghindari pukulan. Namun, ketika ia tersudut ia baru mebalas namun tidak sungguh-sungguh. Berdasarkan alur ini, penghayatan terhadap agama yang dianutnya membuatnya berlaku demikian.

(28)

22 6. Rais, pimpinannya, mendatangi Pitung. Atas nama kawan-kawannya di pasar, dia mengusulkan agar Pitung mau menjadi pemimpin mereka. Jadi jagoan copet pasar cukup lumayan, bujuknya. Pitung marah. (SP, hlm. 5)

7. Rais, pimpinannya, mendatangi Pitung. Atas nama kawan-kawannya di pasar, dia mengusulkan agar Pitung mau menjadi pemimpin mereka. Jadi jagoan copet pasar cukup lumayan, bujuknya. Pitung marah. (SP, hlm. 5)

Iming-iming untuk menjadi pimpinan berandal pasar oleh Rais bukan membuat Pitung senang, melainkan sebaliknya, ia marah. Kemarahan ini menunjukkan bagaimana religious effect yang ada pada Pitung membuatnya sadar bahwa mencopet adalah sesuatu yang dilarang dari ajaran agamanya selain juga ia paham bahwa Allah melihat semua yang dilakukannya.

8. Tetangga yang sangat menderita dan tidak punya sesuap nasi untuk hari esok, tiba-tiba mendapat sepikul beras beserta uang sekadarnya. Demikian pula satu keluarga yang terbelit utang dari tuan tanah tiba-tiba mendapat santunan (SP, hlm. 5)

Pitung sering disebut sebagai Robin Hood dari Betawi. Hal ini karena apa yang dilakukan Pitung sama seperti apa yang dilakukan oleh Robin Hood dalam dongeng Eropa. Pitung mencuri di rumah-rumah tuan tanah untuk kemudian membagikan kepada rakyat yang menderita. Hal ini dilakukan oleh pitung sebagai bentuk religious effect yang dimilikinya yaitu berupa membagi harta kepada orang yang membutuhkan sebagaimana pada alur di atas, bahwa tetangga yang tidak punya nasi, tiba-tiba mendapat sepikul beras dan uang, juga keluarga yang terbelit utang tiba-tiba mendapat santunan.

9. Hari itu juga tamatlah riwayat Pitung. Namun, karena jasa-jasanya bagi rakyat kecil yang pernah ditolong, Pitung selalu dikenang sebagai pembela rakyat kecil. (SP, hlm. 6)

Pitung mati setelah peluru menembus tubuhnya. Hal ini terjadi saat ia dikepung oleh Schout Heyne dan pasukkannya. Kematian tersebut kemudian ditangisi oleh rakyat kecil sebagaimana diceritakan pada alur diatas. Apa yang dilakukan Pitung dengan jasa-jasanya tersebut merupakan bagian dari religious effect yang dimiliki Pitung sebagai implementasi ajaran agamanya untuk berderma kepada orang yang tidak mampu. Dengan demikian dalam kutipan ini tercermin religious effect.

(29)

23 10. Mereka amat ditakuti penduduk, terutama di setiap warung makan di Pasar Ikan karena mereka tidak pernah membayar makanan yang telah dimakan. Pemilik warung menganggap hanya berderma saja kalau mereka datang. (SAJPI, hlm. 8)

Masyarakat Betawi tidak hanya dijajah oleh pemerintah Belanda, namun juga para berandal yang banyak ditemui di tanah Betawi. Salah satu kisah tersebut adalah Si Angkri Jagoan Pasar Ikan. Kisah ini menyajikan bagaimana Angkri yang semena-mena terhadap rakyat kecil. Ia makan namun tidak membayar. Meskipun demikian para pedagang tabah dan mengaggap apa yang dilakukan Angkri dengan tidak membayar sebagai derma. Berdasarkan hal tersebut terlihat bagaimana religious effect yang dimiliki oleh para pedagang tersebut.

11. Sementara itu Entong Gendut meneruskan bicaranya, “Wedana, ketauhilah. Aku amat malu kepada kawan-kawanku para tuan tanah. Mereka telah membakar rumah penduduk miskin.

Apa salah mereka? Hanya karena mereka petani miskin dan tidak mampu membayar pajak, lalu rumah mereka dihanguskan?Amat disayangkan!” (EGDBA, hlm. 35-36)

Dalam alur berikut ini diceritakan mengenai perjuangan Entong Gendut untuk membela rakyat miskin. Dalam upayanya tersebut ia menyampaikan kepada wedana tentang keadaan para tuan tanah yang telah menyiksa kaum miskin dengan melakukan berbagai kebijakan yang menyulitkan rakyat miskin. Berdasarkan kutipan di atas hal tersebut merupakan salah satu bentuk religious effect dari Entong Gendut yang berani membela hak orang miskin.

12. Bayi yang masih merah itu lahir dan menangis keras sekali. “Syukur anak pertamaku sudah lahir,” kata ayahnya. (SJ, hlm. 38)

Kutipan cerita Si Jampang ini menunjukkan bagaimana religious effect dari si Jampang yang bersyukur atas kelahiran anaknya. Dalam alur cerita di atas Jampang bersyukur karena anaknya lahir dan dapat menangis yang menunjukkan bahwa anaknya tersebut lahir dengan selamat.

13. “Tong, kamu harus lebih baik dari ayahmu. Jadi orang yang terpandang dan dihormati. Ke mana-mana diundang ceramah agama. Siapa yang bangga kalau bukan ayahmu?” (SJ, hlm.

39)

Pada alur berikut ini, Jampang berharap kepada anaknya agar anaknya tersebut dapat menjadi orang yang ahli agama sehingga diundang ceramah agama. Harapan jampang pada alur tersebut menunjukkan bagaimana seorang Jampang memiliki religius yang baik, lebih

(30)

24 spesifiknya pada religious effect yang senantiasa berharap agar anak-anak menjadi orang yang taat kepada agamanya.

14. Pada saat itulah Asni menceritakan asal usul dirinya. Dia datang ke Marunda untuk mencari kawanan perampok. Dulu perampok itu merampok rumah Babah Yong di Kemayoran. Kalau sampai gagal menangkap kawanan perampok itu, dia akan masuk penjara. (MSBDM, hlm.

52)

Untuk menunjukkan kebenaran, Asni dalam cerita rakyat berjudul Mirah Singa Betina dari Merunda mencari kawanan perampok yang telah merampok di rumah Babah Yong. Upaya mencari kebenaran ini merupakan bagian dari religious effect. Hal tersebut terlihat dari alur di atas yang menyampaikan bagaimana perjuangan Asni dalam mengungkap kebenaran. Jika ia gagal, ia akan dipenjara.

15. “Baik, baik,” jawab Bang Melong, “saya tidak janji kepada kalian menjalankan perbaikan.

Walaupun demikian saya akan berusaha. Siapa tahu mandor dan para centengnya bisa dilumerkan.” (BMDM, hlm. 2)

Cerita Bang Melong dari Meruga juga menunjukkan religious effect melalui tokohnya Bang Melong. Bang Melong yang mendengar bagaimana penderitaan rakyat mulai dari pembagian yang tidak merata sampai makan yang tidak layak. Mendengar itu ia berusaha untuk membantu mereka. Usaha tersebut menunjukkan bagaimana efek dari agama yang dianutnya yang mengajarkan untuk menolong orang yang membutuhkan.

16. “Sudahlah Mandor. Mereka tidak suka diperas. Mereka mau kerja dengan baik asal upahnya sesuai. Beberapa banyak nilai dari sepuluh sen sehari? Bangsa kita juga mereka itu. Apa senang kalau yang gendut hanya tauke pemilik tanah, yang bekerja sama dengan Tuan Cooler?” (BMDM, hlm. 4)

Dalam alur tersebut terlihat bagaimana sikap Bang Melong yang berupaya membela hak rakyat kecil yang diperas dengan upah yang tidak sesuai. Sikap Bang Melong tersebut menunjukkan bagaimana religious effect yang ada pada dirinya yang tidak senang melihat kemunkaran terjadi di sekelilingnya.

17. Assalamualaikum, Tuan Gusti,” terdengar salam dari luar ruangan.

“Alaikum salam,” jawab Pieter Erberveld dari dalam.

(31)

25 Tamu itu ternyata Raden Kartadria. Mereka tidak hanya bersalaman dengan hormat secara Islam, tetapi juga berpelukan erat tanda sudah lebih dari persaudaraan biasa. (PPK, hlm. 27)

Dalam kutipan tersebut terlihat bagaimana rasa persaudaraan sebagai sesama muslim dilakukan oleh dua orang yang tidak berkenalan secara langsung yaitu, Pieter Erberveld dan Raden Kartadria. Rasa persaudaraan ini bagian dari religious effect.

18. Bukan karena disuruh Bek, Murtado bertindak. Bukan pula karena ada pamrih terhadap Tuan Rusendal, Murtado cepat mengamankan kampungnya, Kemayoran. Murtado bertindak karena tetangga-tetangganya di Kemayoran. Mereka adalah para petani yang hidupnya sederhana dengan rumah tidak begitu besar. Mungkin ada beberapa yang agak mampu, mereka memiliki dua atau tiga ekor kambing dan sepasang kerbau. Semua harta itu diperlukan untuk menyambung hidup mereka sehari-hari. Kalau harta yang terbatas itu dirampok, bisa dirasakan bagaimana pahitnya. (MDK, hlm. 60)

Murtado merupakan orang Betawi yang jago silat. Kehebatannya itu tidak digunakan untuk pamer atau melakukan tindakan kejahatan lainnya. Hal ini karena religious effect yang dimiliki tokoh Murtado. Sebaliknya, sebagaimana terlihat dalam alur di atas Murtado membantu rakyat kecil dalam menumpas para perampok. Para perampok yang mencuri hewan ternak bahkan benda-benda berharga. Keresahan tersebut membuat Murtado bersemangat untuk mencari perampok. Bukan untuk pamer, bukan juga karena disuruh bek.

19. Perjuangan Kaiin Bapa Kayah seiring dengan tujuan perjuanganya. Kaiin menginginkan kembalinya tanah di Tangerang. Sairin menginginkan kembalinya kota Jakarta seluruhnya, yang kenyataannya sudah dikuasai tuan-tuan tanah Belanda. (KBK, hlm. 65—66)

Usaha Kaiin Bapa Kayah dalam alur ini menunjukkan religious effect. Hal ini karena ia ingin merebut kemerdekaan yang telah dikuasi tuan-tuan tanah Belanda sebagaimana tercermin dalam alur di atas. Keinginan tersebut merupakan bagian dari religious effect karena dengan pemahaman agama yang dimilikinya Kaiin berupaya memperjuangkan kebenaran.

(32)

26 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat dirumuskan hal-hal berikut,

1. Religiositas masyarakat Betawi dapat dijumpai dalam folklor lisan berupa karya prosa atau cerita rakyat. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, ditemukan unsur-unsur religiositas sebagai berikut yaitu religious belief, religious practise, religious feeling, religious knowledge, dan religious effect.

2. Bentuk religiositas yang paling banyak ditemukan di dalam cerita rakyat Betawi ini adalah religious effect yang ditemukan dalam 19 kutipan pada 10 cerita rakyat. Sementara jika

ditinjauh dari cerita rakyatnya, kisah Si Pitung menjadi cerita yang paling banyak bentuk religiositas masyarakat betawinya, yaitu sebanyak 13 kutipan.

3. Bentuk-bentuk religiositas ini ditemukan dalam unsur alur dan penokohan yang terdapat di dalam Cerita Rakyat Betawi I (enam cerita) dan Cerita Rakyat Betawi II (lima cerita).

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, berikut ini beberapa saran yang perlu diperhatikan 1. Penelitian ini hanya mengungkapkan religiositas masyarakat Betawi yang ditinjau dari segi

folklor lisan dalam bentuk karya prosa. Oleh karena itu, untuk melengkapi hasil penelitian ini maka diperlukan penelitian lanjutan dengan menganalisis pada bentuk foklor lisan lainnya, seperti pantun dan lagu.

2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai upaya mengenalkan kembali religiositas masyarakat Betawi pada masa lampau. Caranya adalah dengan menjadikan hasil penelitian

(33)

27 ini sebagai bahan pembelajaran sehingga dapat dikenal oleh generasi penerus, khususnya masyarakat Betawi.

(34)

28 BAB 6 LUARAN YANG DICAPAI

Luaran yang dicapai dalam penelitian ini adalah submit artikel di jurnal nasional Sinta 2, berikut keterangan lebih lanjut,

IDENTITAS JURNAL

1 Nama Jurnal Aksara

2 Website Jurnal http://aksara.kemdikbud.go.id/jurnal/index.php/aksara

3 Status Makalah Submitted

4 Jenis Jurnal Jurnal Nasional terakreditasi 5 Tanggal Submit 16 Juli 2019

6 Bukti Screenshot submit

(35)

29 DAFTAR PUSTAKA

Anton dan Marwati. 2015. Ungkapan Tradisional Dalam Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Bajo di Pulau Balu Kabupaten Muna Barat. Jurnal Humanika, No. 15, Vol. 3,

Desember 2015, hlm. 1—12.

Castles, L. 2007. Profil Etnik Jakarta. Jakarta: Masup Jakarta.

Danandjaja, James. (1997). Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta:

Pustaka Utama Grafiti.

Emzir. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta: Rajawali Press.

Küçükcan, Talip. 2005. Multidimensional Approach to Religion: a Way of Looking at Religious Phenomena. JSRI (10) Spring 2005: 60.

Mangunwijaya, Y. B. 1994. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Kanisius.

Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya.

Reitsma, Jan, Peer Scheepers, dan Manfred Te Grotenhuis. 2006. Dimensions of Individual Religiosity And Charity: Cross National Effect Differences In European Countries?

Review of Religtous Research 47(4) 2006: 347-362.

Ritchie, Jane and Jane Lewis (Ed.). 2003. Qualitative Research Practice: A Guide for Social Science Students and Researchers. London: SAGE Publications.

Rizal, J. J. 2008. Saling Silang Sejarah Orang Betawi. Diambil dari http://www.kampungbetawi.com/sohibul.php

Semi, M. Atar. 2012. Metode Penelitian Sastra. Bandung : CV Angkasa.

Sutaryanto dan Apri Kartikasari H.S. 2016. Folklor dan Peranannya Dalam

Menumbuhkembangkan Wawasan Multikultural Siswa Sekolah Dasar. Proceedings International Seminar FoE (Faculty of Education), Vol. 1 Mei 2016, hlm. 230—239.

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksanaan training di lakukan untuk menambah skill, pengetahuan dan pemahaman karyawan yang diharapkan dapat meningkatkan motivasi kerja karyawan, sebab