LAPORAN KASUS CKB
Oleh
dr. Ridwan Syalwacesario Ekanugraha
Dokter Pendamping dr. Hj Sumarmi
PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH 45 KUNINGAN
KABUPATEN KUNINGAN 2024
BAB I
LAPORAN KASUS
1.1. Identitas
Nama : An. SM
Usia : 8 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : -
Alamat : Dusun Sukacai, Cijemit Tanggal pemeriksaan : 27 Juni 2024
1.2. Alloanamnesis
Os jatuh di kamar mandi tempat mengaji di pesantren sekitar jam 15.00 WIB. Os mengatakan kepada keluarganya bahwa os tergelincir di kamar mandi dan terjatuh. Os langsung pulang ke rumah kemudian pada jam 17.30 WIB os mengeluhkan sakit kepala dan muntah 3x. Keluarga os membawa os ke RS X, di perjalanan os mengalami penurunan kesadaran. Os sempat ditangani di RS Juanda, kemudian dirujuk ke RSUD 45 jam 23.10 WIB.
1.2.1. Riwayat penyakit dahulu : - 1.2.2. Riwayat penyakit keluarga : - 1.2.3. Riwayat pengobatan :
1.2.3.1. Tatalaksana di RS X
O2 Nasal kanul 3 LPM
IVFD Asering 15tpm makro
Head up 30O
Inj. Mannitol 3x60ml
Ondancetron 3x3mg IV
Ceftriaxone 2x1,3gram IV
DC
NGT
1.3. Pemeriksaan fisis
Tanggal pemeriksaan : 27 Juni 2024
Lokasi : Ruangan ICU RSUD 45 Kuningan Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : E1M1V2 (4) Semi Koma Tekanan darah : 110/70 mmHg
Denyut nadi : 114x/menit Laju respirasi : 27x/menit
Suhu : 39,5 oC
SpO2 : 95% NK 3LPM
1.3.1. Primary survey
Airway : Gurgling (-), Stridor (-)
Breathing : Thorax simetris, SDV +/+, Rh-/-, Wh-/- RR 27x/menit
Circulation : TD 110/70mmHg
Disability : GCS E1V1M2 Pupil anisokor 3mm/2mm RC +/+
1.3.2. Status generalis
Kepala : Normocephali, Kepala sebelah kanan dari garis Tengah dahi 10cm ke arah kanan tampak luka memar, ukuran 3x1cm
Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-, Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), secret (-/-) Mulut : Bibir simetris, sianosis (-)
Telinga : Nyeri tarik (-/-), nyeri tekan tragus (-/-), serumen (-/-) Leher : Tiroid tidak membesar,
Thoraks :
Paru
Inspeksi : simetris kanan=kiri
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tampak
Palpasi : ictus cordis teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Kanan : SIC V LSD
Kiri : SIC V 1 jari lateral LMCS
Auskultasi : BJ I dan II, iregular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) N
Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
Palpasi : Supel, Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas :
Superior : Akral hangat, CRT (Capillary Refill Time) < 2 detik, edema (-/-), tremor (-/-)
Inferior : Akral hangat, CRT (Capillary Refill Time) < 2 detik, edema (-/-)
1.4. Pemeriksaan penunjang CT Scan Kepala non-kontras
1.5. Diagnosis kerja
Severe traumatic brain injury (STBI)/ CKB 1.6. Diagnosis banding
Traumatic epidural haematoma (EDH) 1.7. Tatalaksana
1.7.1. Tatalaksana di IGD
IVFD Asering 15 tpm makro
O2 Nasal kanul 3LPM
Head up 30O
Inj. Mannitol 3x60ml
Inj. Ceftriaxone 2x1,3gram IV
Inj. Ondancetron 3x3mg
DC
NGT
1.7.2. Tatalaksana Sp.BS
Pasien non-operative
Edukasi keluarga ad malam 1.7.3. Tatalaksana Sp.An
Acc masuk ICU 1.8. Prognosis
Quo ad vitam : ad malam Quo ad functionam : ad malam Quo ad sanationam : ad malam 1.9. Follow-up pasien
Tanggal 28 Juni 2024
S Penurunan kesadaran
O
KU : Tampak sakit berat
Kesadaran :GCS E1M1V1 (Coma) TD. : 110/70 mmhg
HR. : 102x/m RR :37x/mnt T : 36,5 ‘C
A
CKB
EDH Traumatic
P
IVFD Asering 15 tpm makro Mannitol 3x60ml
Ondancetron 3x3ml Ceftriaxone 2x1,3gram PCT 3x300mg
DC NGT
Tanggal 29 Juni 2024
S Penurunan kesadaran
O
KU : Tampak sakit berat
Kesadaran :GCS E1M1V1 (Coma) TD. : 74/42 mmhg
HR. : 136x/m
RR : Nafas spontan (-), Bagging (+) T : 38,5OC
A CKB
EDH Traumatic
P
IVFD Asering 15 tpm makro Mannitol 3x60ml
Ondancetron 3x3ml Ceftriaxone 2x1,3gram PCT 3x300mg
DC NGT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.10. Fisiologi
Konsep fisiologi yang berhubungan dengan cedera kepala termasuk tekanan intrakranial, doktrin Monro-Kellie, dan aliran darah seberal.5 1.10.1. Tekanan intrakranial
Peningkatan tekanan intrakranial dapat menurunkan perfusi serebral dan menyebabkan atau mengeksaserbasi iskemik. Tekanan intrakranial normal pada pasien dalam keadaan istirahat sekitar 10 mmHg. Tekanan lebih dari 22 mmHg, terutama jika menetap atau refrakter terhadap pengobatan, berhubungan dengan outcome yang buruk.5
1.10.2. Doktrin Monro-Kellie
Doktrin Monro-Kellie merupakan konsep yang simpel, vital dalam menjelaskan dinamika tekanan intrakranial. Doktrin menyebutkan bahwa volume total intrakranial harus konstan, karena kranium adalah kontainer rigid yang tidak dapat mengembang. Ketika volume intrakranial berlebihan, TIK meningkat. Darah vena dan CSF dapat dikompres dari kontainer, sebagai buffer tekanan. Sehingga, segera setelah injuri, suatu massa seperti bekuan darah dapat membesar sementara TIK tetap normal. Akan tetapi, ketika limit displacement CSF dan darah intravaskular terlah tercapai, TIK meningkat secara cepat.5
Konsep utama Volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat dasar dari tulang tengkorak yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume komponen-komponennya yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl).
Gambar 2.1 Doktrin Monro-Kellie dalam kompensasi intracranial terhadap ekspansi massa.
1.10.3. Tekanan perfusi otak
Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata- rata (mean arterial presure) dengan tekanan intrakranial. Apabila nilai TPO kurang dari 70mmHg akan memberikan prognosa yang buruk bagi penderita.4
1.10.4. Aliran darah otak (ADO)
Traumatic brain injury berat yang dapat menyebabkan koma ditandai dengan menurunnya aliran darah serebral selama beberapa jam pertama setelah trauma. Aliran darah serebral biasanya meningkat setelah 2 sampai 3 hari berikutnya, tapi pada pasien yang tetap koma, aliran darah serebral berada di bawah normal selama beberapa hari atau minggu setelah trauma. Terdapat bukti nyata bahwa level aliran darah serebral rendah tidak memenuhi kebutuhan metabolik otak segera setelah trauma. Iskemia serebral regional, bahkan global biasa terjadi setelah cedera kepala berat untuk alasan yang diketahui dan tidak tentu.5
1.11. Cedera kepala 1.11.1. Definisi
Cedera kepala didefinisikan sebagai trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanen. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
1.11.2. Epidemiologi
Cedera kepala sangat sering dijumpai. Di Amerika Serikat setiap tahunnya kejadian cedera kepala diperkirakan mencapai 500.000 kasus.
10% dari penderita cedera kepala meninggal sebelum datang ke rumah sakit.
Lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala. Menurut data yang didapatkan di Amerika kecelakaan terjadi hampir setiap 15 menit, dimana sekitar 60% diantaranya besifat fatal akibat terdapat cedera kepala. Cedera kepala masih merupakan penyebab utama kesakitan dan kecacatan pada usia <35 tahun. Dari seluruh kasus cedera kepala, 3-5% memerlukan tindakan operasi.
Di Indonesia tidak terdapat data nasional mengenai cedera kepala.
Pada tahun 2005, di RSCM terdapat 434 pasien cedera kepala ringan, 315 pa sien cedera kepala sedang dan 28 pasien cedera kepala berat.4 Data yang didapat di Indonesia terjadi 55.498 kecelakaan lalu lintas dimana setiap harinya meninggal sebanyak 34 orang dan 80% penyebabnya adalah cedera kepala. Menurut data di RSCM, terjadi 96% trauma kapitis yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, dimana 76% diantaranya terjadi pada usia muda
± 25 tahun. Dari seluruh kasus cedera kepala, sebanyak 84% hanya memerlukan tindakan konservatif. Sekitar 28% saja penderita cedera kepala yang menjalani pemeriksaan CT-Scan.9
1.11.3. Etiologi
Sebagian besar pasien cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas, berupa tabrakan sepeda motor, mobil, sepeda dan penyebrang jalan yang ditabrak. Sisanya disebabkan oleh jatuh dari ketinggian, tertimpa benda (misalnya ranting pohon, kayu), olahraga, korban kekerasan baik benda tumpul ataupun tajam, kecelakaan kerja, kecelakaan rumah tangga, kecelakaan olahraga, trauma tembak, dan lain sebagaiannya.6
Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera y ang terjadi akibat benturan langsung maupun tidak langsung dan cedera sekunder yaitu cedera yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea/hipotensi sistemik.
Berdasarkan Advanced Trauma Life Support (ATLS) klasifikasi berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi menjadi :2
Cedera kepala tumpul biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atapun terkena pukulan benda tumpul.
Cedera kepala tembus biasanya disebabkan oleh luka tusukan, atau luka tembak.
Adapun mekanisme cedera kepala juga dapat dibagi menjadi :
Secara statis (Static Loading)
Beban statik timbul perlahan-lahan, dalam hal ini tenaga tekanan mengenai kepala secara bertahap. Walaupun mekanisme ini tidak lazim, namun hal ini bisa terjadi jika kepala mengalami gencatan atau efek tekanan yang lambat berlangsung >20 milisekon. Jika kekuatan tenaga tersebut cukup besar dapat mengakibatkan keretakan tulang (egg-shell fracture), fraktur multipel atau komunutif dari tengkorak atau dasar tulang tengkorak. Biasanya gangguan kesadaran atau defisit neurologis yang khas akibat mekanisme jenis ini masih tidak ada, kecuali bila deformitas tengkorak demikian hebatnya ehingga menimbulkan kompresi dan distorsi jaringan otak.13
Secara dinamik (Dynamic Loading)
Mekanisme cedera kepala yang lebih umum terjadi adalah akibat beban dinamik, dimana peristiwa tersebut berlangsung dalam waktu yang lebih singkat (<20 milisekon). Durasi pembebanan yang terjadi merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan jenis trauma kepala yang terjadi. Beban dinamik ini dibagi menjadi 2 jenis yaitu beban guncangan (impulsive loading) dan beban benturan (impact loading).13
1.11.4. Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan menjadi beberapa cara. Untuk kepentingan klinis, severitas cedera dan morfologi biasanya digunakan sebagai klasifikasi.10
Berdasarkan Beratnya Cedera Kepala
Skor Glasgow coma scale (GCS) digunakan sebagai patokan klinis yang objektif dalam menilai severitas cedera otak. Skor GCS 8 atau kurang biasanya didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat.
Pasien cedera otak dengan skor GCS 9 hingga 12 dikategorikan sebagai cedera sedang, dan individu dengan skor GCS 13-15 dikatakan cedera otak ringan. Dalam menilai skor GCS, ketika terdapat asimetri ekstremitas kanan/kiri bawah atau atas, pastikan respon motor terbaik untuk menghitung skor, karena skor ini merupakan prediktor terbaik dalam menilai outcome. Akan tetapi, respon kedua sisi tubuh, wajah, lengan, dan kaki tetap harus dicatat
Derajat cedera kepala berdasarkan skor Glasgow coma scale (GCS
Lesi fokal
o Epidural Hematoma atau hematoma ekstradural
Epidural hematom jarang terjadi, berkisar 0,5% pada pasien dengan cedera otak dan 9% pada pasien dengan traumatic brain injury yang mengalami komatus. Hematoma ini berbentuk tipikal bikonveks atau lentikuler karena pendorongan dura dari tulang tengkorak. Hematom in biasanya terletak pada regio temporal atau temporoparietal dan sering disebabkan robeknya arteri meningea media karena fraktur. Gumpalan ini secara klasik berasal dari arteri, akan tetapi, dapat juga terbentuk karena disrupsi sinus venosus mayor atau perdarahan fraktur tengkorak. Presentasi klasik epidural hematom adalah adanya lucid interval antara waktu terjadinya cedera dan defisit neurologis
o Subdural Hematom
Subdural hematom lebih sering terjadi dibanding epidural hematom, angka kejadian mencapai 30% pada pasien dengan cedera otak berat. SDH berasal dari shearing kecil pada permukaan atau pembuluh darah bridging korteks serebri. Berlawanan dengan bentuk lentikuler epidural hematom pada CT scan, subdural hematom sering tampak mengikuti kontur otak. Kerusakan akibat subdural hematom akut biasanya jauh lebih berat daripada epidural hematom karena adanya cedera parenkim konkomitan.10
o Hematoma subarachnoid
Paling sering ditemukan pada cedera kepala, umumnya menyertai lesi lain. Perdarahan terletak diantara arachnoid dan piamater serta mengisi ruang subarachnoid.6,13
o Hematoma intraserebral
Hematoma intraserebral merupakan hematoma yang
terbentuk pada jaringan otak (parenkim) akibat robekan pembuluh darah. Terutama melibatkan lobus frontal dan temporal (80-90%), tetapi dapat juga melibatkan korpus kallosum, batang otak dan ganglia basalis.6,13
o Hematoma intraserebellar
Hematoma intraserebellar merupakan perdarahan yang terjadi pada serebellum. Lesi ini jarang terjadi pada trauma, umumnya merupakan perdarahan spontan.6,13
1.11.5. Manifestasi klinis
Menurut Reisner, gejala klinis cedera kepala yang dapat membantu mendiagnosis adalah battle sign (warna biru atau ekimosis dibelakang telinga di atas os mastod), hemotipanum (perdarahan di daerah membrane timpani telinga), periorobital ekhimosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung), rhinorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari hidung), otorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari telinga).11,12
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk cedera kepala ringan adalah pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh, sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan, mual dana tau muntah, gangguan tidur dan Nafsu makan yang menurun, perubahan kepribadian diri dan letargik. Tanda- tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala berat adalah perubahan ukuran pupil (anisokoria) , trias Cushing (denyut jantung menurun, Hipertensi dan depresi pernafasan) apabila meningkatnya tekanan intracranial, terdapat pergerakan atau posisi abnormal ekstremitas.11,12
1.11.6. Tatalaksana
1.11.6.1. Primary survey
Lakukan primary survey pada seluruh pasien cedera kepala, terutama pasien dengan penurunan kesadaran, meliputi pemeriksaan dan penatalaksanaan :
a) A = Airway (Jaga jalan nafas dengan perlindungan terhadap servikal
spine).
Langkah pertama pada ABC adalah Airway/saluran nafas (A) dan membebaskan jalan nafas dari benda-benda obstruktif. Namun, jika pernafasan tampak terancam, intubasi nasotrakeal atau endotrakeal dengan leher pada posisi netral harus dilakukan dengan sangat hati-hati sesegera mungkin. Kadang kala, trauma pada wajah mencegah pemasangan intubasi, dan krikotiroidektomi atau trakeostomi dapat menjadi pilihan jika diperlukan.
b) Breathing (pernafasan).
Setelah saluran nafas dibebaskan, langkah berikutnya adalah Breathing/pernafasan (B). Rata-rata dan ritme pernafasan, juga suara nafas, harus dievaluasi. Perubahan pola pernafasan dapat mencerminkan disfungsi sistem saraf pusat pada level tertentu. Lesi hemisferik bilateral yang dalam dan basal ganglia dapat menyebabkan respirasi Cheyne-Stokes (pernafasan dengan periode hiperventilasi dan apnea yang silih berganti), dan hiperventilasi neurogenik sentral dapat diakibatkan oleh lesi pada mesensefalik atau pontine bagian atas. Pernafasan ataksik muncul pada fase terminal, dimana hanya medullary yang masih dapat berfungsi.
Analisa gas darah harus diperiksa pada semua pasien dengan cedera kepala, karena hipoksemia sering terjadi. Oksigen harus diberikan untuk menjaga kadar PaO2 dalam batas normal; hiperventilasi direkomendasikan untuk menjaga PaCO2 diantara 25 dan 30 mmHg, karena hipokarbia merupakan serebral vasokontriktor yang kuat, mengurangai volume darah otak dan, oleh sebab itu, tekanan intrakranial. Foto polos dada harus diperoleh untuk memastikan tidak ada cedera pada rongga dada seperti pneumothorak, kontusi paru atau aspirasi.
c) Circulation (nadi, tekanan darah, tanda-tanda syok dan kontrol perdarahan)
Kemudian perhatian diarahkan pada status Circulatory/sirkulasi (C) pasien, yang dapat digambarkan oleh
tekanan darah. Karena shok jarang terjadi akibat cedera kepala murni, pemeriksaan dengan teliti harus dilakukan untuk mencari penyebab lain (yaitu, ruptur lien atau fraktur tulang panjang).
Kateter vena sentral, pada subklavian atau vena jugular interna, seringkali memiliki peran yang tak ternilai dalam mengevaluasi dan mengobati pasien-pasien dengan cedera multipel. Bersamaan dengan nilai hematokrit, tekanan vena sentral dapat membedakan shok hipovolemik dengan beberapa kasus shok neurogenik yang disebabkan oleh cereda korda spinalis.
d) D = Disability (level kesadaran dan status neurologis lain).
Pada primary survey ini dilakukan pemeriksaan status neurologis dasar yang disebut AVPU (Alert, Verbal stimuli response, Painful stimuli response or unresponsive). Evaluasi neurologis yang cepat dan berulang dilakukan setelah selesai primary survey, meliputi derajat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda- tanda lateralisasi dan gejala cedera spinal. GCS adalah metode yang cepat untuk menentukan level kesadaran dan dapat memprediksi outcome pasien.
e) E = Exposure
Exposure (Seluruh tubuh pasien diekspose untuk pemeriksaan dan penanganan menyeluruh, dengan memperhatikan f aktor suhu dan lingkungan).
1.11.6.2. Secondary survey
Lakukan pemeriksaan serial (perhatikan skor GCS, tanda lateralisasi, dan reaksi pupil) untuk mendeteksi kerusakan neurologis sedini mungkin. Tanda awal yang diketahui dari herniasi lobus temporal (uncal) adalah pelebaran pupil dan hilangnya respons pupil terhadap cahaya. Trauma langsung pada mata juga dapat menyebabkan respons pupil abnormal dan mungkin membuat evaluasi pupil menjadi sulit. Namun, dalam penatalaksanaan trauma otak, cedera otak harus dipertimbangkan terlebih dahulu.
Pemeriksaan neurologis lengkap dilakukan selama secondary survei.1
Catat mekanisme cedera dan berikan perhatian khusus pada hilangnya kesadaran, termasuk lamanya waktu pasien tidak responsif, aktivitas kejang apa pun, dan tingkat kewaspadaan selanjutnya. Tentukan durasi amnesia untuk kejadian baik sebelum (retrograde) dan setelah (antegrade) insiden traumatis. Pemeriksaan serial dan dokumentasi skor GCS penting pada semua pasien.
Glasgow Coma Scale (GCS) 1.11.7. Diagnosis
Untuk pasien dengan cedera otak traumatis sedang atau berat, dokter harus mendapatkan CT scan kepala sesegera mungkin setelah normalisasi hemodinamik. Pemindaian CT juga harus diulang setiap kali ada perubahan dalam status klinis pasien dan secara rutin dalam waktu 24 jam dari cedera untuk pasien dengan kontusio intraparenchymal subfrontal / temporal,
pasien yang menerima terapi antikoagulasi, pasien yang berusia lebih dari 65 tahun, dan pasien yang memiliki perdarahan intrakranial dengan volume> 10 mL.2
Periksa CT scan pada semua pasien yang diduga cedera otak yang memiliki tengkorak terbuka yang dicurigai secara klinis fraktur, tanda fraktur tengkorak basilar, dan lebih dari dua episode muntah. Juga lakukan CT scan pada pasien yang lebih tua dari 65 tahun. CT juga harus dipertimbangkan jika pasien kehilangan kesadaran selama lebih dari 5 menit, retrogradeamnesia selama lebih dari 30 menit, mekanisme cedera yang berbahaya, sakit kepala parah, kejang, defisit memori jangka pendek, keracunan alkohol atau obat, koagulopati atau defisit neurologis fokal yang disebabkan oleh otak. Ketika parameter ini diterapkan pada pasien dengan skor GCS 13, sekitar 25% akan memiliki CT temuan indikasi trauma, dan 1,3% akan memerlukan intervensi bedah saraf1
Temuan CT yang signifikan termasuk pembengkakan kulit kepala dan hematoma subgaleal di daerah yang terkena dampak. Fraktur tengkorak dapat terlihat lebih baik dengan jendela tulang tetapi sering terlihat bahkan pada jendela jaringan lunak. Temuan CT krusial adalah darah intrakranial, kontusio, pergeseran struktur garis tengah (efek massa), dan pemusnahan tangki basal. Pergeseran 5 mm atau lebih sering mengindikasikan perlunya operasi untuk mengevakuasi bekuan darah atau kontusio yang menyebabkan pergeseran.1
Gambaran CT Scan STBI.
1.11.8. Tatalaksana
1.11.8.1. Severe traumatic brain injury (STBI)
Algoritma tatalaksana CKB menurut ATLS.