• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lembaga Adat Sebagai Perekat Budaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Lembaga Adat Sebagai Perekat Budaya"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

Lembaga Adat Sebagai Perekat Budaya Achmad Herman

Kekisruhan dan konflik beberapa bulan yang lalu yang terjadi akibat pembentukan Lembaga Adat Daerah (LAD) di Kabupaten Gowa, menarik bagi penulis untuk memberikan kontribusi pemikiran. Perspektif penulis berangkat dari tesis ketika menempuh pendidikan magister ilmu politik di Universitas Gadjah Mada pada tahun 2003 yang berjudul “Revitalisasi Lembaga Adat menurut UU No 22 Tahun 1999” (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Selatan). Kala itu atau tiga belas tahun lalu, penulis sudah berpikir bahwa Lembaga Adat adalah suatu keniscayaan politik yang akan direvitalisasi dalam konteks penguatan lembaga pemerintahan.

Tulisan ini tidak berpretensi mendukung atau menolak terhadap apa yang dilakukan oleh seseorang atau sebuah lembaga namun hanya memberikan perenungan bagi kita semua agar kekisruhan dan konflik yang terjadi bisa diselesaikan dengan baik tanpa ada yang merasa termarginalisasi.

Sebenarnya, wacana merevitalisasi lembaga adat, awalnya muncul tatkala UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah hadir sebagai upaya untuk membawa perubahan kehidupan pemerintahan daerah yang akuntabel dan bisa dipercaya. Selain itu, akan tercipta perwujudan peningkatan prakarsa dan peran serta rakyat daerah, pengembangan demokrasi dan kedaulatan rakyat serta pemberdayaan masyarakat. Tidak bisa dipungkiri, lahirnya UU tersebut merupakan penguatan terhadap basis politik dan ekonomi lokal yang selama ini tereliminasi oleh UU No 5 Tahun 1975 di era Orde Baru. Hadirnya UU tersebut membuka ruang bagi terbentuknya sebuah wadah atau lembaga yang bisa mewadahi dan memediasi antara kepentingan pemerintah dan rakyatnya terutama dalam pengambilan keputusan atau kebijakan tertentu. Di level lokal, kemungkinan bangkitnya atau direvitalisasinya lembaga adat sangat signifikan.

(2)

Di Sulawesi Selatan (sebelum terbentuknya Sulawesi Barat), dalam kultur politiknya dikenal sebutan antara lain Bate Salapang di Gowa, Ade Pitu di Bone, Puangku ri Wajo di Tanah Wajo, Sappulo Sokko Ada’ di Tanah Mandar (sekarang menjadi Sulawesi Barat). Bahkan di Toraja, Tongkonan adalah simbolisasi peran yang besar dalam sistem kekeluargaan dan kegotongroyongan yang termanifestasi dalam jabatan Toparenge (Pemikul Tanggung Jawab).

Keseluruhan lembaga adat tersebut memiliki konsep yang pada dasarnya mempunyai nilai yang sama dalam aspek norma, adat atau hal-hal yang ideal yang menyangkut perilaku seseorang dalam kegiatan sosial kemasyarakatan yang dikenal dengan konsep pangngaderreng atau pangngadakkang.

Olehnya itu, urgensi hadirnya lembaga adat dalam era reformasi atau terkadang disebut era otonomi daerah mutlak diperlukan agar kepentingan pemerintah tidak saling berbenturan dengan kepentingan masyarakat. Perlu dipahami bahwa dahulu kehadiran lembaga adat diprakarsai oleh adanya hukum adat. Ini merupakan dasar hukum kemasyarakatan yang berarti bahwa setiap masalah harus selalu dimusyawarahkan untuk mencapai mufakat melalui adat dan senantiasa cenderung kepada perbaikan dan perdamaian tanpa mengandung dendam.

Jika berdasarkan hal ini, maka lembaga adat wajib direvitalisasi dengan tujuan agar setiap persoalan kemasyarakatan dapat dicarikan solusi terbaik tanpa harus melalui proses pengadilan dan pengerahan massa. Lembaga Adat diharapkan sebagai jembatan budaya dan perekat yang memperkaya nilai-nilai kearifan lokal dalam berdemokrasi.

Apa yang terjadi di Kabupaten Gowa mungkin telah menjadi multitafsir atas komoditas politik dalam konteks produk kultural. Di satu sisi berpendapat bahwa proses politik (perda) yang menetapkan seorang pemimpin dengan sebutan Sombayya adalah sama dalam konteks penyebutan Kepala Daerah. Sedangkan di sisi yang lain mempunyai argumentasi bahwa istilah Sombayya adalah istilah yang melekat secara kultural dalam konteks kerajaan. Pemaknaan kata

(3)

sombayya” menjadi polemik (bahkan terjadi tindakan anarkis) karena istilah ini (hampir) tidak pernah digunakan dalam kosakata pemerintahan yang ada sebelumnya. Apalagi istilah ini melekat dalam Peraturan Daerah yang berkaitan dengan Lembaga Adat Daerah. Merujuk dari pemahaman sebelumnya, maka lembaga adat sangat erat dengan produk kultural di era kerajaan.

Menurut pemikiran penulis, penggunaan istilah ini tidak keliru, tetapi mestinya dibarengi dengan penggunaan istilah yang lain dalam aturan jabatan yang lain, jadi tidak hanya melekat pada satu jabatan yakni Kepala Daerah. Namun, hal tersebut sebaiknya perlu disosialisasikan terlebih dahulu sebelum diimplementasikan. Kemudian, mencari mekanisme aturan main agar produk kultural tidak dipahami sebagai komoditas politik untuk kepentingan tertentu.

Revitalisasi lembaga adat adalah pekerjaan rumah yang sangat konstruktif apalagi di era sekarang yang sarat dengan konflik komunal yang sangat membutuhkan pendekatan kultural.

Namun, revitalisasinya perlu dirumuskan secara komprehensif, pelibatan segenap pihak serta kajian akademis yang mendalam tentang gagasan dan mekanisme lembaga adat yang pernah ada di masa lalu. Karena gagasan tersebut mampu menciptakan suatu kondisi masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Mungkin yang dipikirkan bukanlah persoalan semantik atau istilah kata terhadap Lembaga Adat, tetapi yang diperlukan adalah mengembalikan fungsinya sebagaimana mestinya, atau mungkin sebaiknya Lembaga Adat harus berada pada struktur yang informal. Agar lembaga adat tidak mengganggu sistem pemerintahan yang telah berjalan selama ini, bahkan bisa menjadi fungsi mekanisme check and balances. Hasil revitalisasi bertujuan juga untuk memberikan prototipe baru bagi daerah lainnya, tidak hanya di Sulawesi Selatan melainkan daerah lainnya di Indonesia yang sarat dengan budaya dan kearifan lokal yang majemuk dalam bingkai NKRI.

(4)

Penulis adalah Staf Pengajar Fisip Universitas Tadulako Palu Sulawesi Tengah. Penulis lahir dan besar di Kota Makassar (dahulu bernama Ujung Pandang).

Referensi

Dokumen terkait

PEMBAHASAN Masyarakat Adat Wetu Telu Masyarakat hukum adat mempunyai nilai- nilai adat yang harus dilestarikan sebagai budaya dan identitas masyarakat Indonesia untuk pembangunan

Article IX Section 1.—The Committee shall make provisions for interpreting the Honor System to the members of the Freshman class within three weeks after the opening of each school