LEMBAR KERJA MAHASISWA (Tutorial II dan III Skenario 4) UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI PRODI KEDOKTERAN GIGI
KODE DOKUMEN
FORM PP-05 LEMBAR KERJA MAHASISWA
Dosen Pengampu Mata kuliah : drg. Leni Rokhma Dewi Sp.PM Pokok Bahasan : Lupus Eritematosus
Model Pembelajara : Case Method
IDENTITAS MAHASISWA Nama/NIM/Kelas /2216101011/Tutorial 9
Nama Anggota kelompok
1. Vanesha Santoso/221610101096 2. Radila Rahmasari/221610101097
3. Geraldine Dwinugrahanti Yoanita/221610101098 4. Intantia Novianti Putri Azhari/221610101101 5. Wahyu Putri Maulidha/221610101102 6. Sevina Putri Salsabila/221610101103 7. Rosyida Qurrota A’yunin/221610101104 8. Kusumo Mukti Wibowo/221610101105 9. Ainun Pryanka Abdullah/221610101106
10. Muhammad Arsyad Syahabuddin/221610101107
Pertemuan Ke 5
Hari/Tanggal Rabu/ 1 November 2023
BAHAN DISKUSI
Bacalah dengan seksama skenario 2 yang telah diberikan. Diskusikan dengan metode 7 jump, tentukan Learning objectivenya. Gunakanlah literatur yang telah tertulis pada modul, atau mencari di media lain yang bisa dipertanggung jawabkan.
SKENARIO 2
LUPUS ERITEMATOSUS (drg Leni Rokhma Dewi Sp.PM)
Seorang wanita berusia 42 tahun datang ke poliklinik RGM Universitas Jember dengan keluhan utama kulit menebal kemerahan dengan pengelupasan halus pada hidung, bibir dan belakang telinga kiri, berlangsung selama +- 6 tahun. Awal mula hanya berupa bercak kecil kemerahan sebesar kacang kedelai, semakin lama semakin meluas, terasa perih jika terpapar sinar matahari. Kesehatan umum baik, pasien belum pernah periksa ke dokter, TD 110/70 mmHg dengan suhu afebris. Riwayat kesehatan keluarga, tidak ada yang mempunyai keluhan seperti pasien.
Pemeriksaan klinis (gambar) ekstra oral dijumpai plak eritem berbatas tegas dengan deskuamasi halus pada regio nasalis, regio labialis superior, bibir, dan perioral. Pada regio palpebra inferior dekstra et sinstra dijumpai makula hipopigmentasi. Pemeriksaan intra oral pada palatum dijumpai plak, eritem, dengan beberapa area berupa stria putih di tengah area eritem. Pemeriksaan penunjang darah lengkap, urin lengkap, faal ginjal dan faal hepar, gula darah, dan elektrolit normal, LED 30mm/ jam, dengan ANA Test 0,25. Dokter mendiagnosis sebagai lupus eritematosus.
Learning Objective
1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan definisi, etiologi dan predisposisi, klasifikasi, patogenesis, gejala dan gambaran klinis, dan pemeriksaan penunjang lupus
eritematosus.
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan definisi dan gejala klinis manifestasi sistemik lupus eritematosus (sistemik lupus eritematosus).
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan definisi dan gejala klinis manifestasi lupus eritematosus di rongga mulut (diskoid lupus eritematosus).
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tatalaksana diskoid lupus eritematosus (manifestasi di rongga mulut).
HASIL DISKUSI F. Step 6: Self-study
G. Step 7: Reporting
1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan definisi, etiologi dan predisposisi, klasifikasi, patogenesis, gejala dan gambaran klinis, dan pemeriksaan penunjang lupus eritematosus.
- (106) Lupus erythematosus merupakan penyakit autoimun. Penyakit autoimun adalah penyakit yang disebabkan oleh kesalahan tubuh dalam mengenali sel diri sendiri sehingga sistem imun yang seharusnya melindungi tubuh mengalami kelainan sehingga tidak dapat membedakan antara benda asing yang harus dimusnahkan dengan jaringan tubuh sendiri yang bermanfaat untuk kelangsungan hidup.
Etiologi:
1) Senyawa yang ada di tubuh yang normalnya disembunyikan dari sistem kekebalan tubuh, dilepaskan ke dalam sirkulasi.
2) Senyawa normal tubuh yang berubah.
3) Senyawa asing yang menyerupai senyawa tubuh alami.
4) Gangguan sel yang memproduksi antibodi.
5) Genetik 6) Humoral.
Definisi Lupus erythematosus
Lupus, dalam bahasa latin, berarti serigala. Hal ini dikaitkan dengan dokter abad ke- 12, Rogerius yang menjadi orang pertama yang menerapkan istilah lupus pada lesi wajah erosif yang mengingatkan pada gigitan serigala. Sedangkan erythematosus, berasal dari bahasa latin, erythros yang berarti kemerah-merahan. Dinamakan demikian, karena gangguan pada lupus berupa ruam kemerahan pada kedua pipi yang
melintasi tonjolan hidung. (Manole, dkk 2011). Terdapat istilah odapus merupakan singkatan dari orang dengan lupus.
Sistemic sendiri berarti berdampak pada seluruh tubuh atau sistem internal. Sehingga, Systemic Lupus Erythematosus (SLE) didefinisikan sebagai salah satu penyakit autoimun kronis, yang mana sistem imun menyerang sel dan jaringan tubuh sendiri, sehingga menyebabkan terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan.
Sedangkan, discoid berarti berbentuk cakram atau lingkaran. Discoid Lupus Erythematosus (DLE) didefinisikan sebagai salah satu penyakit dermatologis akibat autoimun kronis di mana ruamnya berbentuk cakram.
Etiologi Lupus Erythematosus
Etiologi belum diketahui secara pasti, sehingga sulit untuk menentukan tindakan preventif (pencegah) untuk penyakit ini dan lebih mengarah pada tindakan kuratif (pengobatan).
Faktor Predisposisi SLE 1. Faktor Endogen
1) Faktor Genetik
Berpengaruh dengan meningkatkan penemuan autoimun pada suatu individu dibanding dengan populasi lain. Pada keluarga dan kecenderungan meningkatnya SLE yang terjadi pada anak kembar identik, menggambarkan adanya kemungkinan faktor genetik berperan dalam penyakit ini. Namun hanya sekitar 5-10%. Gen-gen yang beresiko tinggi terutama Human Leukocyte Antigen-DR2 (HLA-DR2) yang menunjukkan sel-sel yang mampu memberikan antigen/zat asing ke sel darah putih, dan HLA-DR3 yang yang mengurus gen struktural dalam memproduksi berbagai jenis unsur penting pada darah dan jaringan sel LE, sehingga pada keadaan lebih lanjut akan mengalami defisiensi faktor komplemen C1, C2, dan C4.
2) Faktor Stress
Stres fisik maupun psikis yang berlebihan membuat sistem imun menurun sehingga Odapus rentan terhadap infeksi virus. Jika terjadi keganasan limporetikuler, antinuclear antibodi (ANA) dalam tubuh Odapus akan meningkat.
3) Faktor Endokrin
Pada Odapus perempuan dipengaruhi oleh status hormon estrogen. LES dicirikan dengan hilangnya toleransi pada kompartemen sel T dan sel B, sehingga menyebabkan hiperreaktivitas sel B dengan pembentukan autoantibodi patogenik. Dalam konsentrasi yang tinggi, seperti yang ditemukan pada kehamilan, estrogen menstimulasi sekresi IL-4, IL10, tumor growth factor TGF , dan interferom IFN , dan menahan produksi tumor --
-- -- -- -- -- -- -- -- -- -- -- --
-- - -
necrosis factor TNF-α.
Sedangkan pada Odapus laki-laki, ditemukan tingkat hormon androgen dan testosteron yang lebih rendah dibandingkan laki-laki normal.
4) Antibodi dan Kompleks Imun
Sel B (imunitas humoral) yang normalnya memproduksi imunoglobulin akibat rangsangan benda asing, sel tersebut berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma membentuk antibodi untuk tubuh. Pada Odapus, sel B terlalu banyak bekerja dan menghasilkan terlalu banyak imunoglobulin dan terjadilah autoantibodi.
2. Faktor Eksogen
1) Sinar Ultraviolet (UV)
Sinar ultraviolet dapat merangsang peningkatan hormon estrogen yang cukup banyak sehingga mempermudah terjadinya reaksi autoimun. Sinar ultraviolet menyebabkan sel-sel kulit melepaskan substansi (sitokin, prostaglandin) yang memicu inflamasi. Yang kemudian diserap ke dalam aliran darah dan terbawa ke bagian tubuh lainnya. Akibatnya timbul inflamasi pada berbagai organ tubuh yang terserang SLE.
2) Faktor Infeksi
Virus menyerupai zat asing yang menghidupkan autoimun. Terjadi reaksi silang RNA virus yang ditemukan pada jaringan ikat Odapus dan membuat respon imun abnormal. Virus-virus yang terlibat dalam predisposisi terjadinya SLE diantaranya myxovirus, reovirus, parainfluenza, Epstein- Barr, dan onco atau retrovirus jenis C.
3) Makanan dan Minuman
Makanan dan minuman dalam kemasan, terutama minuman berjenis isotonik yang mengandung zat pengawet, seperti Natrium Benzoate, dan Kalium Sorbet serta yang mengandung kafein menyebabkan gejala SLE. Selain itu, makanan yang mengandung L-canavanine dan biasa terdapat pada jenis polong-polongan, dan pemanis buatan (Aspartam), serta sayuran yang mengandung belerang, misalnya kubis.
4) Faktor Obat-obatan
Terdapat lebih dari 80 jenis obat yang dapat menyebabkan drug- induced lupus (Kemenkes, 2018). Termasuk obat-obatan dari jenis hydralazine (obat hipertensi) dan procainamide (untuk mengobati detak jantung yang tidak teratur), bahkan pil-pil pengendali kehamilan pada perempuan. Sedangkan untuk pengobatan yang dilakukan dalam kedokteran gigi yang dianggap sebagai faktor predisposisi terjadinya SLE adalah
tambalan amalgam, yang disebabkan oleh kandungan merkurinya. Hal ini karena tambalan amalgam bisa melepaskan uap metil merkuri di rongga mulut baik saat makan atau minum yang panas maupun saat mengunyah permen karet. Akibatnya karena merkuri dianggap sebagai antigen berbahaya, maka oleh sel T bergerak menyerang dan menghancurkan pengaruh merkuri yang ada. Karena antibodi pada Odapus sendiri sangat berlipat ganda menyebabkan terjadi alergi dan terus berpengaruh pada semua organ tubuh.
Faktor Predisposisi Endogen DLE (Amanda, 2022):
1) Predisposisi genetik dengan alel kompleks histokompatibilitas utama (MHC) HLA-DQA1 dan DRB1. Alel ini berhubungan dengan sistem Human Leukosit Antigen (HLA), yang memainkan peran penting dalam sistem imun.
2) Single nucleotide polymorphism (SNP) yang terkait dengan gen TYK2, IRF5, CTLA4 dapat memengaruhi respon imun dan berkontribusi dalam perkembangan penyakit DLE.
- Tyrosine Kinase 2 (TYK2) adalah gen yang mengodekan enzim tyrosine kinase yang terlibat dalam regulasi sinyal seluler dan fungsi sistem imun.
- Gen Interferon Regulatory Factor 5 (IRF5) mengodekan faktor regulasi yang berperan dalam pengaturan respon imun, khususnya respon interferon tipe I.
- Gen Cytotoxic T-Lymphocyte Antigen 4 (CTLA4) mengodekan protein CTLA-4 yang berperan dalam pengaturan respons imun dengan menghambat aktivitas sel-sel T.
3) Interferon, khususnya tipe 1, menjadi sitokin kunci dalam patogenesis.
- Aktivasi Sel Dendritik, peningkatan aktivitas interferon tipe I dapat mengaktifkan sel dendritik, yang kemudian dapat memicu respons autoimun dengan mempromosikan presentasi antigen yang tidak normal.
- Aktivasi Sel B, Interferon tipe I dapat merangsang sel B untuk memproduksi antibodi, termasuk autoantibodi yang menyerang komponen seluler dan jaringan tubuh sendiri.
- Peradangan, Interferon tipe I memiliki kemampuan untuk meningkatkan peradangan dalam tubuh sehingga menyebabkan gejala discoid rash.
4) IRF5 dan TYK2 terlibat dalam regulasi interferon.
- IRF5, sebagai faktor transkripsi yang mengatur ekspresi IFN-1.
- TYK2 adalah enzim tirokinase yang terlibat dalam pengaktifan reseptor interferon tipe 1.
5) Polimorfisme integrin alpha M (ITGAM) memberikan risiko DLE yang lebih besar dibandingkan lupus eritematosus sistemik (SLE).
ITGAM adalah gen yang mengodekan komponen dari reseptor adhesi seluler, yang juga dikenal sebagai CD11b/CD18. Reseptor ini terutama ditemukan pada sel-sel imun, termasuk sel makrofag dan sel neutrofil.
- (102) Lupus Eritematosus didefinisikan sebagai salah satu penyakit autoimun kronis, yang mana imun menyerang sel dan jaringan tubuh sendiri, sehingga menyebabkan terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan. LE timbul dengan remisi dan eksaserbasi, namun tidak bersifat menular.
Klasifikasi Lupus
1) Systemic lupus erythematosus (SLE)
Suatu penyakit autoimun tubuh yang melakukan reaksi berlebihan terhadap stimulus asing dan memproduksi banyak antibodi ataupun protein-protein yang melawan jaringan tubuh. Sistem imun ini tidak dapat membedakan antara senyawa asing dan jaringan tubuhnya sendiri sehingga menyebabkan antibodi bereaksi menyerang jaringan dan sel tubuhnya sendiri (autoantibodi). Bisa menyerang organ bahkan multiorgan dengan gambaran klinik yang sangat bervariasi, diantaranya sendi, kulit, ginjal, paru-paru, jantung, pembuluh darah, sistem syaraf, otak dan rongga mulut yang bisa berakibat fatal dan menyebabkan kematian.
2) Cutaneous lupus erythematosus
Cutaneous Lupus Erythematosus (CLE) memiliki manifestasi dermatologis yang beragam, yang terkadang dapat berkaitan maupun tidak dengan perkembangan penyakit lupus sistemik. Diagnosis dari penyakit- penyakit ini membutuhkan klasifikasi yang sesuai dengan subtipe melalui beberapa pemeriksaan seperti pemeriksaan fisik, pemeriksaan laborat, histologi, serologi antibodi, dan terkadang imunofluoresens secara langsung, sekaligus untuk menyingkirkan penyakit sistemik. Penatalaksanaan lupus kulit meliputi edukasi yang tepat terhadap perlindungan terhadap paparan sinar matahari dengan agen topikal maupun sistemik. Agen sistemik diberikan pada kasus dimana terjadi penyebaran, bekas luka atau parut, atau penyakit dengan kekambuhan
a. Acute Cutaneous LE (Lupus Kutaneus Akut)
Lesi akut bisa berupa malar rash dan fotosensitivitas. Dimana malar rash merupakan daerah kemerahan pada pipi dan hidung berbentuk seperti
kupu-kupu, yang biasanya muncul dalam hitungan hari atau minggu. Selain kemerahan, penderita juga merasa nyeri dan gatal pada lesi tersebut.
Adapun fotosensitivitas disebabkan oleh paparan sinar UV. Dimana sinar UV akan merusak jaringan kulit, dan jaringan yang rusak ini akan menjadi pencetus dari reaksi lupus. Lesi ini dapat berupa makula atau kemerahan diffuse yang terjadi di daerah yang terpapar sinar UV.
Selain itu ada lupus bullosa, yang muncul berupa lenting seperti lepuh.
Lesi ini terjadi pada daerah yang sering terpapar sinar UV.
b. Subacute Cutaneous LE
Lesi ini berupa lesi polisiklik annular, yang di atasnya bersisik, kemerahan, dan tidak tampak adanya jaringan parut. Lesi ini biasanya juga terdapat pada daerah yang terpapar sinar UV
c. Chronic cutaneous LE
- Discoid Lupus Erythematosus
Lesi CDLE nampak berbatas tegas, berskuama, makula atau papula eritematous yang secara bertahap menjadi plak diskoid dengan indurasi (lesi berbentuk koin) dengan skuama menempel yang nyeri jika dikelupas. Plak ini cenderung menginfiltrasi hingga folikel rambut yang menghasilkan parut alopesia. Seiring dengan waktu lesi ini akan atropi dan terjadi hiperpigmentasi perifer dengan depigmentasi sentral - Lupus Erythematosus profundus / panniculitis
LEP muncul sebagai plak dan nodul eritematosa, berlekuk-lekuk, dan lunak.
- Tumidus lupus erythematosus
Lupus eritematosus tumid dianggap sebagai jenis lupus eritematosus kulit kronis yang langka. Lupus eritematosus tumid ditandai dengan papula yang halus, tidak berbekas, berwarna merah muda hingga ungu pada kulit tanpa perubahan kulit lainnya yang tampak jelas, seperti jaringan parut. Pasien dengan lupus eritematosus tumid biasanya tidak memiliki gejala lupus eritematosus sistemik atau lupus eritematosus kulit lainnya. Papula muncul di area wajah yang terpapar sinar matahari, punggung atas, area V pada leher, batang tubuh, dan lengan, dan lebih jarang pada paha dan kaki. Papula biasanya memengaruhi kedua sisi tubuh secara merata, tetapi mungkin hanya memengaruhi satu sisi. Biasanya, papula akan hilang tanpa meninggalkan bekas luka Patogenesis Sistemik Lupus Eritematosus :
Patogenesis LES dapat dibagi menjadi 3 tahap:
1. Predisposisi genetik dan paparan lingkungan
Predisposisi genetik memegang peranan yang penting dalam patogenesis LES, dibuktikan secara tidak langsung melalui tingginya persentase concordance pada anak kembar monozigot (14-57%) dan adanya agregasi familial (10%).
Penelitian mengenai dasar genetika LES menemukan bahwa mayoritas LES merupakan poligenik, melibatkan hingga 120 gen dalam menentukan kerentanan individu. Sebagian kecil LES yang bersifat monogenik mengikuti pola pewarisan Mendel.
Faktor lingkungan berupa sinar ultraviolet (UV), rokok, silika, pelarut, dan infeksi berperan sebagai pemicu pada individu yang rentan secara genetik.
Sinar UV B memicu terjadinya LES melalui apoptosis keratinosit, redistribusi antigen nuklear ke permukaan sel, serta produksi bentuk autoantigen baru.
Sinar UV, rokok, debu silika, dan infeksi dapat menginduksi stres oksidatif.
Paparan debu silika dapat berasal dari bahan bangunan seperti semen, batu bata, dan tembok.
Infeksi virus Epstein-Barr, cytomegalovirus, parvovirus, dan human herpes virus dapat memicu dan menyebabkan eksaserbasi LES melalui mekanisme mimikri molekuler atau respon imun inat dengan jaras yang sama dengan yang dipicu oleh autoantigen nuklear.
2. Hilangnya toleransi
Kegagalan toleransi sistem imun akibat faktor genetik, lingkungan, maupun hormonal menyebabkan produksi autoantibodi. Sel T memiliki peran penting dalam produksi autoantibodi melalui membantu diferensiasi, proliferasi, dan maturasi sel B serta perubahan produksi autoantibodi sel B dari IgM menjadi IgG. Pada pasien LES juga terdapat defek multipel pada cekpoin toleransi perkembangan sel B yang menghindarkan sel B autoreaktif dari apoptosis dan anergi. Sel B ini kemudian akan mengalami maturasi menjadi sel B plasmasitoid yang mensekresi autoantibodi.
3. Aktivasi sistem imun.
Self-antigen nuklear dilepaskan melalui proses apoptosis beserta kematian spesifik neutrofil yang menghasilkan neutrophil extracellular traps (Gambar 1).
Material tersebut mengalami akumulasi karena gangguan pada klirens debris nekrosis. Self-antigen tersebut kemudian dipresentasikan melalui HLA oleh sel dendritik folikuler terhadap sel B autoreaktif. Hal ini menyebabkan aktivasi dan diferensiasi dari sel T CD4+ autoreaktif, sehingga melepaskan interferon (IFN)- γ. Rilis interleukin (IL)-1 dan tumor necrosis factor (TNF) oleh sel dendritik matur mengaktivasi sel B sehingga berdiferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi autoantibodi. Autoantibodi akan bereaksi membentuk kompleks imun yang mengandung self-antigen nuklear. Kompleks tersebut mengalami uptake termediasi reseptor Fc dan mengaktivasi sel dendritik plasmasitoid.
Peningkatan ekspresi IFN tipe 1 oleh sel dendritik plasmasitoid merupakan booster utama aktivasi sistem imun.
Patogenesis dari Diskoid Lupus Eritematosus terdapat empat tahap yaitu
1. Paparan terhadap sinar UV yang merangsang keluarnya mediator proinflamatori dari epidermis dan dermis seperti IL-1 dan TNF α
2. Mediator ini merangsang perubahan dari sel epidermis dan dermis termasuk induksi dan adesi dari molekul-molekul serta mengawali translokasi autoantigen intraseluler seperti Ro/SSA ke permukaan epidermis
3. Autoantibody kemudian berikatan dengan autoantigen yang telah bertranslokasi 4. Memicu terjadinya keratin sitotoksik akibat sel limfoid yang diambil dari sirkulasi melalui mekanisme autoantibody-dependent sitotoksis seluler. (Dutz 2007)
- (097) Terdapat banyak gambaran klinis pada penderita LES, gambaran klinis secara umum dapat dijumpai panas, tanda-tanda inflamasi meningkat, kelelahan, dan penurunan berat badan. Pada dermatological dapat ditemukan ulser mulur, ruam malar, fotosensitivitas, ruam discoid, subacute cutaneous lupus, purpura, dan vasculitis. Pada lesi yang bersifat sub akut atau sering dikenal juga dengan istilah SCLE (Sub acute Cutaneous Lupus Erythematosus) biasanya lesi bersifat simetrik, superfisial dan tidak mengalami jaringan parut. Pada lesi yang bersifat kronik lesinya mempunyai ciri-ciri khusus yaitu, plak yang sering kali berwarna kemerahan, seolah- olah kulit menebal dan disertai dilatasi folikel rambut. Kelainan pada kulit yang kronik ini umumnya terjadi di daerah yang terpapar dengan sinar matahari secara langsung seperti pada muka, leher, kulit kepala dan belakang telinga dan punggung atas. Pada muskuloskeletal dapat ditemukan poli arthritis dan myalgia. Pada renal dapat ditemukan proteinuria, hematuria, dan uraemia. Pada kardiak dapat ditemukan pericarditis, myocarditis, dan hipertensi. Pada respirasi ditemukan fibrosis paru. Pada perut dapat ditemukan sakit perut, dan hepatitis. Pada hematologis dapat ditemukan anemia, thrombocytopenia, dan leukopenia. Penderita LES pada perempuan pada usia reproduktif lebih dominan bila dibandingkan laki-laki, namun menurut jurnal yang saya baca penjelasan pasti mengenai mengapa LES jarang terjadi pada laki-laki masih belum jelas tetapi pada hal ini sering dikaitkan bahwa keterlibatan faktor hormonal yang biasanya terjadi pada saat pubertas dan usia reproduktif yang mana hormon estrogen berperan dalam menstimulasi Sel T dan sel B.
Lalu pemeriksaan penunjangnya ada ANA test, C3 dan C4 komplemen, analisis urine, dan LED sel.
1. ANA test : antinuclear antibody merupakan antigen spesifik yang terdapat pada inti sel dan mampu menyerang struktur subseluler dan organel sel seperti permukaan sel, sitoplasma, nucleus dan nucleolus. Autoantibodi ini dapat
membantu dalam diagnosis dan prognosis suatu penyakit autoimun. Terdapat 2 jenis pemeriksaan ANA yaitu pemeriksaan generik imunofloresens (IF-ANA) dan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
A. ANA-IF dilakukan dengan cara mengamati sel secara langsung pada mikroskop. Darah yang akan digunakan di ambil serumnya lalu diinkubasi dengan sel hep-2. Setelah inkubasi lalu ditambahkan anti bodi anti IgG yang ditempeli zat immunofluoresens yang akan berpendar apabila terkena sinar ultraviolet. Lalu akan diperiksa pada mikroskop fluoresensi lalu akan ada pola-pola pada sel.
B. ELISA dilakukan dengan cara mengambil serum darah lalu diencerkan lalu diletakkan di panel. Lalu ditambahkan antibodi anti IgG yang akan mengikat antibodi yang tertinggal yang akan ditandai dengan warna yang berpendar apabila disinari Cahaya ultraviolet kemudian akan diamati dalam mikroskop.
Hasilnya bisa terlihat seperti ini:
● ANA positif, titer 1:80
● ANA positif, titer 1:160
● ANA positif, titer 1:320
Makin besar angka yang tertera pada titer, makin tinggi pula kadar antibodi antinuklear pada darah. Kadar antibodi antinuklear yang tinggi menunjukkan kemungkinan yang besar untuk penyakit autoimun.
2. LED test atau tes laju endap darah menggunakan dua metode yang paling umum digunakan yaitu metode Westergreen dan Wintrobe, namun yang paling sering digunakan yaitu metode westergreen. Pemeriksaan LED ditujukan untuk melihat kecepatan darah dalam membentuk endapan. Laju endap darah dilakukan untuk menilai kecepatan eritrosit atau sel darah merah mengendap dalam tabung pengukuran yang diukur selama 1 jam. Dari pemeriksaan ini dapat diketahui seberapa parah peradangan yang terjadi yang mana saat terjadi peradangan darah akan lebih mudah menggumpal. Nilai normal LED untuk metode westergreen yaitu
- Wanita : 0-15 mm/jam - pria : 0-10 mm/jam
- (107) Faktor predisposisi Discoid Lupus Eritomatous adalah merokok. Saat merokok, DNA dalam tubuh mendapatkan dampak yang beragam, diantaranya yaitu perubahan susunan DNA. Antibodi tubuh yang tersusun atas rangkaian DNA menjadi terpengaruh. Selain itu, keratinosit dapat memberikan efek pada SLE dan DLE.
- (105) Etiologi dari penyakit lupus eritematosus belum diketahui secara pasti, tetapi diduga terdapat beberapa faktor predisposisi yang berperan terhadap terjadinya lupus eritematosus. Faktor-faktor predisposisi endogen, diantaranya.
a. Faktor genetik
Faktor genetik diduga mempengaruhi kerentanan dan perkembangan maupun tingkat keparahan penyakit ini. Kecenderungan meningkatnya lupus eritematosus yang terjadi pada anak kembar identik menggambarkan adanya kemungkinan faktor genetik yang berperan dalam penyakit ini. Gen-gen yang memiliki resiko tinggi terjadinya lupus eritematosus terutama Human Leukocyte Antigen (HLA) yaitu pada gen HLA-DR2 yang menunjukkan sel-sel yang mampu memberikan antigen atau zat asing ke sel darah putih dan gen HLA-DR3 yang mengurus gen struktural yang memproduksi berbagai jenis unsur penting pada darah dan jaringan sel lupus.
b. Faktor stres
Stres yang berlebihan merupakan pemicu aktifnya lupus. Lupus eritematosus merupakan penyakit kronik yang dapat menyebabkan seseorang akan lebih rentan untuk merasa rendah diri, terbatas aktivitasnya, dan jauh dari pergaulan.
Hal ini dapat membuat penderita lupus stres dan membuat daya tahan tubuh menurun sehingga menimbulkan infeksi. Demam akan memperparah lupus karena seseorang membawa “gen” lupus bisa memicu proses melalui virus dan bakteri yang berkembang karena daya tahan tubuh menurun.
c. Faktor endokrin
Mekanisme hormon terhadap perkembangan penyakit ini tidak banyak diketahui. Estrogen berhubungan dengan stimulasi sel T dan sel B, makrofag serta sitokin. Progesteron mempengaruhi produksi autoantibodi. Dengan meningkatnya kadar estrogen pada perempuan penderita lupus yang sedang dalam masa hamil ditemukan remisi maupun kekambuhan. Diketahui pula pada saat periode menstruasi perempuan akan memiliki gejala lupus.
- (098) Pemeriksaan penunjang lain dapat dilakukan sesuai dengan keterlibatan organ tertentu, misal yaitu:
1) Kulit atau membran mukosa oral: biopsi (histologi, imunofluoresensi) 2) Sendi: foto polos konvensional, ultrasonografi muskuloskeletal, MRI 3) Otot: kreatinin kinase, elektromiografi (EMG), MRI, biopsi otot 4) Ginjal: ultrasonografi, biopsi ginjal
5) Jantung: ekardiografi, katerisasi jantung, MRI jantung, skintigrafi miokardium, angiografi koroner
6) Paru: foto toraks, high-resolution computes tomography, uji faal paru, bronchoalveolar lavage sesuai indikasi
7) Mata: funduskopi, pemeriksaan tertentu pada pasien dengan obat antimalaria 8) Sistem saraf pusat dan perifer: EEG, MRI, CT Scan, analisis serebrospinal,
angiografi, pemeriksaan neuropsikiatri, pemeriksaan konduksi saraf.
Biopsi kulit perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis pada pasien SLE, terutama jika tidak ditemukan kriteria klinis yang lain. Hasil biopsi menunjukkan perubahan kulit yang merupakan karakteristik penyakit lupus pada sebagian besar pasien.
Lupus Band Test (LBT) merupakan pemeriksaan biopsi kulit di area nonlesi yang tidak terpapar sinar matahari untuk melihat adanya deposisi IgG, IgA, dan IgM di sepanjang lapisan dermoepidermal. Deposisi imunoglobulin dan/atau komplemen di lapisan dermoepidermal merupakan gamabran histopatologis dari lupus eritemoatosus. LBT ditemukan positif pada 70% pasien dengan berbagai macam lesi lupus eritematosus jika pemeriksaan dilakukan di area kulit yang tampak normal.
Sementara itu, LBT ditemukan positif pada 80% pasien jika dilakukan di area lesi.
Hampir semua pasien dengan keterlibatan renal memiliki hasil LBT positif.
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan definisi dan gejala klinis manifestasi sistemik lupus eritematosus (sistemik lupus eritematosus).
- (096) Penyakit sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah penyakit kolagen-vaskular autoimun, yang melibatkan sistem mukokutan, muskuloskeletal, dan pembuluh darah yang ditandai dengan manifestasi klinis yang bervariasi, sehingga diperlukan pendekatan multidisiplin yang komprehensif. Penyakit SLE ditandai dengan self- tolerance yang hilang akibat fungsi imunologik yang abnormal dan produksi autoantibodi berlebih, diikuti dengan terbentuknya kompleks imun yang akan berdampak pada jaringan sehat. Penyakit ini tidak menular, tetapi didapatkan hampir seluruh penderita Systemic Lupus Erythematosus adalah perempuan (80%-89%).
Gejala klinis penyakit lupus ini, menurut Qimindra, sangat luas dan tergantung bagian tubuh mana yang terkena. Mulai dari yang ringan berupa bintik-bintik merah di kulit yang terasa gatal dan sakit, kerontokan rambut, sensitivitas terhadap cahaya terutama sinar matahari, serta nyeri sendi sampai yang berat karena menyerang organ tubuh yang vital seperti otak, jantung, paru-paru dan ginjal. SLE menyebabkan peradangan jaringan dan masalah pembuluh darah yang parah di hampir semua bagian tubuh, terutama menyerang organ ginjal. Jaringan yang ada pada ginjal, termasuk pembuluh darah dan membran yang mengelilinginya mengalami pembengkakan dan menyimpan bahan kimia yang diproduksi oleh tubuh yang seharusnya dikeluarkan oleh ginjal. Hal ini menyebabkan ginjal tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Penderita biasanya tidak menyadari adanya gangguan pada ginjalnya, hingga kerusakannya menjadi parah, bahkan mungkin baru disadari setelah ginjal mengalami kegagalan. Peradangan pada penderita SLE juga dapat terjadi pada selaput dalam,
selaput luar dan otot jantung. Jantung dapat terpengaruh meskipun tidak pernah mengalami gejala gangguan jantung. Masalah yang paling umum adalah terjadi pembengkakan pada endokardium dan katup jantung. SLE juga menyebabkan peradangan dan kerusakan kulit berupa ruam merah terutama di bagian pipi dan hidung disebut ruam kupu – kupu (Butterfly rash). Hampir seluruh penderita SLE mengalami rasa sakit dan peradangan sendi. SLE dapat mempengaruhi semua jenis sendi, namun yang paling umum adalah tangan, pergelangan tangan dan lutut.
Terkadang sendi sendi mengalami pembengkakan.Selain itu otot juga tidak luput dari serangan SLE. Biasanya penderita mengeluhkan rasa sakit dan melemahnya otot-otot atau jaringan otot mengalami pembengkakan. Pada stadium lanjut, SLE dapat menyebabkan kematian tulang yang disebut dengan osteonekrosis. Hal ini dapat menyebabkan cacat yang serius. SLE dapat menyerang sistem saraf dengan gejala sakit kepala, pembuluh darah di kepala yang tidak normal dan organic brain syndrome. Peradangan pada sendi dan otot yaitu masalah yang serius pada memori, konsentrasi dan emosi serta halusinasi. Selain itu, serangan pada paru-paru dan darah juga biasanya terjadi. Masalah pada jantung dapat berupa peradangan, perdarahan, penggumpalan darah pada arteri, kontraksi pembuluh darah dan pembengkakan paru- paru. Sedangkan penurunan jumlah sel darah merah dan sel darah putih sehingga menyebabkan anemia.
- (098) Berdasarkan ACR untuk gejala dari SLE terbagi menjadi beberapa kriteria yaitu a) Ruam malar : Eritema yang menetap, rata atau menonjol, di atas area malar, tidak
melibatkan lipatan nasolabial.
b) Ruam diskoid: Bercak eritema menonjol dengan skuama keratotik yang lekat dan sumbatan fokilukar/follicular plugging. Pada lesi lanjut dapat ditemukan parut atrofi.
c) Fotosensitivitas : Ruam kulit yang disebabkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari berdasarkan anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
d) Ulkus mulut : Ulkus mulut atau nasofaring umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa.
e) Artritis nonerosif: Melibatkan dua atau lebih sendri perifer ditandai dengan nyeri tekan, bengkak, atau efusi.
f) Serositis (Pleuritis dan Perikarditis)
● Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura, atau
● Terbukti dari rekaman EKG atau pericardial friction rub atau terbukti efusi perkardium.
g) Gangguan ginjal
● Proteinuria menetap >0.5 gram/hari atau >3+ tanpa pemeriksaan kuantitatif,
atau
● Silinder seluler: dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular, tubular, atau campuran.
h) Gangguan neurologi
● Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik, atau
● Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik.
i) Gangguan hematologi
● Anemia hemolitik dengan retikulosis, atau
● Leukopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih, atau
● Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih, atau
● Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan.
j) Gangguan imunologi
● Anti-DNA: antibofi terhadap native DNA dengan liter yang abnormal, atau
● Anti-Sm: antibodi terhadap antigen nuklear Sm, atau
● Temuan positif antifosfolipid.
g) ANA: Titer abnormal antibodi antinukleat berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setara pada waktu kapanpun perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan lupus yang diinduksi obat.
- (104) Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam.Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologi dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE.
Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijjumpai dua atau lebih kriteria sebagaimana tercantum dibawah ini, yaitu. ( Arithitis Reum. 1999)
1) Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2) Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat badan
3) Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis
4) Kulit: ruam kupu-kupu (butterly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi membrana mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
5) Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik 6) Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7) Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.
8) Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9) Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali) 10) Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11) Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.
Kecurigaan tersebut dilanjutkan dengan melakukan eksklusi terhadap penyakit lainnya.
- (101) Sistemik Lupus Eritematosus merupakan lupus eritematosus yang mengenai sistemik sehingga menyerang ke banyak organ. Gejala umum seperti
.
demam, malaise, artralgia, mialgia, sakit kepala, dan kehilangan nafsu makan dan berat badan.Kelelahan nonspesifik, demam, artralgia, dan perubahan berat badan adalah gejala paling umum pada kasus baru atau kambuhnya SLE aktif berulang. Manifestasi pada muskuloskeletal seperti artralgia, mialgia, dan artritis nyata mungkin melibatkan sendi kecil di tangan, pergelangan tangan, dan lutut. arthritis SLE atau artralgia mungkin tidak simetris, dengan nyeri yang tidak proporsional dengan pembengkakan.
Artritis dan artralgia pada SLE cenderung berpindah-pindah, kekakuan di pagi hari biasanya diukur dalam hitungan menit. Artritis SLE umumnya dianggap tidak mengalami perubahan bentuk. Manifestasi dermatologis seperti butterfly rash, Livedo reticularis, ruam ungu kemerahan, biasanya muncul pada pasien dengan vaskulitis parah atau pada individu dengan peningkatan APL. Alopecia dengan kerontokan rambut yang tidak merata atau menyebar disertai jaringan parut di kulit kepala adalah manifestasi kulit lainnya. Fenomena Raynaud dapat menyebabkan perubahan warna jari menjadi kebiruan dan kulit menjadi pucat. ruam ungu-kemerahan muncul pada pasien sle dengan vaskularisasinya parah. Manifestasi ginjal yaitu dari hasil analisis urin pada pasien tanpa gejala seringkali menunjukkan hematuria dan proteinuria.
Gagal ginjal akut atau kronis dapat menyebabkan gejala yang berhubungan dengan uremia dan kelebihan cairan. Penyakit nefritik akut dapat bermanifestasi sebagai hipertensi dan hematuria. Secara umum, nefritis lupus terjadi pada lebih dari separuh pasien SLE. Nefritis lupus terutama disebabkan oleh pengendapan kompleks imun.
Manifestasi pada jantung seperti perikarditis yang bermanifestasi sebagai nyeri dada adalah manifestasi jantung paling umum dari SLE, bermanifestasi sebagai nyeri dada posisional yang sering hilang ketika pasien mencondongkan tubuh ke depan.
Miokarditis dapat terjadi pada SLE dengan gejala gagal jantung. Kasus Vaskulitis koroner yang bermanifestasi sebagai angina atau infark jarang dilaporkan.
- (106) 11 kriteria LES menurut ACr 1997:
1) Ruam malar 2) Ruam discoid 3) Fotosensitifitas 4) Seroiisis pleuritis 5) Perikarditis 6) Gangguan renal 7) Gangguan neurologi 8) Gangguan hematologic 9) Gangguan imunologi 10) ANA positif
11) Artritis
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis Penyakit LES memiliki sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria, namun salah satunya ANA positif (kriteria nomor 10), maka sangat mungkin penyakit LES dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis.
Manifestasi oral SLE meliputi ulkus mulut lesi diskoid, lichen planus-like lesion, kandidiasis oral, dan xerostomia.
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan definisi dan gejala klinis manifestasi lupus eritematosus di rongga mulut (diskoid lupus eritematosus).
- (103) Manifestasi oral dari discoid lupus erythematosus mirip dengan lichen planus.
Namun penting untuk diingat bahwa pendekatan terhadap kedua kondisi ini berbeda.
Oleh karena itu, diagnosis paling baik didasarkan pada kombinasi temuan klinis dan histopatologis. Manifestasi oral dari lupus eritematosus diskoid disebut sebagai “Lesi diskoid oral” dan terjadi pada sekitar 20% pasien. Hal ini dapat terjadi tanpa keterlibatan lesi kulit atau sebelum lesi kulit berkembang. Lesi diskoid oral adalah lesi keratinisasi kronis yang paling sering terjadi pada mukosa labial, batas vermilion, dan mukosa bukal.
Lesi kulit diskoid secara klinis merupakan lesi eritematosa yang berbatas tegas, menonjol, dan menyebar secara perlahan dengan bentuk yang tidak beraturan,
sementara bagian tengah lesi sembuh dengan pengeroposan, atrofi, dan jaringan parut. Lesi oral diskoid adalah lesi keratinisasi kronis pada mukosa mulut atau batas vermilion, menunjukkan area merah atrofi sentral dengan titik-titik kecil yang dikelilingi oleh zona batas striae putih yang menyebar dan telangiektasia. Meskipun terdapat istilah `discoid`, morfologi lesi bervariasi dan tidak dapat digunakan sebagai kriteria pasti.
Diagnosis DLE oral bergantung pada pengenalan pola. Menurut World Health Organization , lesi oral DLE ditandai dengan:
1. Hiperkeratosis dengan keratotik plug.
2. Ketebalan stratum granulosum normal atau berkurang.
3. Akantosis tidak teratur bergantian dengan atrofi stratum spinosum.
4. Degenerasi likuifaksi fokal pada stratum basale.
5. Migrasi sel inflamasi ke epitel.
6. Penebalan membran basal membentuk pita fokal homogen, eosinofilik, dan PAS- positif.
7. Akumulasi perivaskular terutama limfosit jauh ke dalam jaringan ikat.
8. Vasodilatasi dan edema.
9. Degenerasi fibrinoid pada dinding pembuluh darah dengan reaksi PAS-positif Periodic Acid-Schiff (PAS) adalah metode pewarnaan yang digunakan untuk mendeteksi polisakarida, yang bermanifestasi sebagai glikogen, glikoprotein, glikolipid, dan musin dalam jaringan.
- (101) Discoid lupus erythematosus (DLE) adalah kondisi jaringan parut kronis pada kulit. DLE adalah subtipe lupus eritematosus kulit kronis. Hal ini ditandai dengan plak bersisik yang persisten di kulit kepala, wajah, dan telinga yang selanjutnya dapat berkembang menjadi jaringan parut, atrofi, dispigmentasi, dan kerontokan rambut permanen di area yang terkena. DLE secara klasik muncul dengan plak bersisik eritematosa hingga ungu, dengan penyumbatan folikel yang menonjol yang sering menyebabkan jaringan parut dan atrofi. DLE dapat terjadi tanpa adanya penyakit sistemik, atau dapat terjadi bersamaan dengan lupus eritematosus sistemik (SLE).
Lesi kulit DLE muncul pada area wajah dan leher yang terkena sinar matahari dengan eritema annular dan hiperkeratosis folikular. Plak khas di area malar wajah dan pangkal hidung dengan pola kupu-kupu. Lesi kulit mungkin disertai rasa gatal atau terbakar. Ketika lesi kulit berkembang, terjadi atrofi sentral, jaringan parut, telangiektasia, dan hipopigmentasi. Jaringan parut alopecia yang tidak dapat diperbaiki pada kulit kepala juga terjadi. Lesi oral terjadi pada sekitar 20% kasus dan biasanya mengenai bibir, langit-langit keras, dan mukosa bukal. Lesi DLE oral
ditandai dengan adanya eritema atau ulserasi sentral yang dikelilingi oleh papula hiperkeratosis atau striae yang menyebar.
Keterangan Gambar:
Lingkaran merah: Penyumbatan folikel Panah hitam: Pembuluh darah menebal Lingkaran kuning: Pigmentasi berbintik
Jaringan parut alopecia pada lupus eritematosus diskoid
Jaringan parut alopecia dengan penyumbatan folikel
Plak pipi inflamasi bekas luka akibat discoid lupus erythematosus
Conchal bowl discoid lupus erythematosus (Shuster sign)
Lesi bibir pada DLE ditandai dengan atrofi sentral yang dikelilingi oleh striae hiperkeratotik yang menyebar
Lesi mukosa mulut akibat DLE dengan gejala atrofi sentral dan erosi yang dikelilingi oleh striae hiperkeratotik yang menyebar
- (104) Lupus eritematous diskoid (LED) merupakan suatu penyakit autoimun yang mengenai jaringan konektif yang bersifat kronis. LED lebih sering terjadi pada orang berkulit hitam dibandingkan berkulit putih. Pada wanita lebih sering terjadi dibandingkan pria dengan perbandingan 2: 1. Walaupun LED dapat terjadi pada semua umur Nmun, lebih sering terjadi pada usia dekade ke empat. Pada wanita sering menderita lupus karena hormon estrogen dan prolaktin dapat menyebabkan suatu autoimun dengan peningkatan sel B matang yang autoreaktif
DLE menyerang kulit dan membran mukosa. Sebanyak 90,47% penderita DLE memiliki lesi oral dan lesi kulit. Sedangkan 9, 25 % hanya memiliki leso oral.
Penyebab LED belum diketahui secara pasti. Faktor genetik diduga sebagai salah satu predisposisi timbulnya penyakit ini, akan tetapi bagaimana hubungannya secara pasti belum diketahui. Hubungan yang positif dengan HLA-B7,-B8, -Cw7, -DR2, -DR3 dan DQw1 dilaporkan, namun tidak selalu dikonfirmasi. Beberapa faktor lingkungan
yang berhubungan dengan eksaserbasi LED yaitu trauma 11%, stress 12 %, paparan sinar matahari 5%, infeksi virus 3%, paparan dingin 2%, dan kehamilan 1 %. Di Leed (Inggris) dilaporkan bahwa dari 120 pasien lupus eritematosus terjadi eksaserbasi sekitar 68% akibat paparan sinar matahari. Sedangkan secara klinis dan histologis diperoleh sekitar 42% dari pasien LED muncul lesi yang diinduksi oleh paparan sinar UVB dan UVA
Gambaran Klinis
Pada awalnya berupa Makula eritema dan Papula atau plak kecil berbentuk koin (diskoid) dan berlanjut menjadi Hiperkeratotik dengan skuama yang melekat Selanjutnya akan melebar, dan pada tepi lesi menjadi eritem dan hiperpigmentasi, adanya skar atrofi pada bagian tengah lesi, telangektasi dan hipopigmentasi.
Lesi diskoid biasanya terlokalisasi diatas leher termasuk kulit kepala, batang hidung, daerah malar, bibir bawah dan telinga. Pada kulit kepala lesi awalnya berupa makula atau plak yang berkembang menjadi putih, atropi dan tidak berbulu . Eritema perifolikular dan adanya rambut anagen yang mudah dicabut merupakan tanda bahwa penyakit aktif dan membantu dalam memantau respon terapi. Pada suatu studi, terjadi keterlibatan mukosa mulut, hidung, mata dan vulva sekitar 24 % pada pasien LED.
Pada daerah bibir terdapat lesi berwarna abu-abu atau merah dan hiperkeratotik, kemudian atropi dan berupa daerah inflamasi. DLE umumnya terjadi pada membran mukosa bukal, gingiva, bibir, atau mukosa palatal.
Sumber lain mengatakan lesi oral DLE biasa muncul di palatum, mukosa bukal, gingival, mukosa labial, dan vermilion border Lesi discoid biasanya terlokalisasi di atas leher termasuk kulit kepala, batang hidung, daerah malar, bibir bawah dan telinga serta dapat terjadi pada daerah mukosa mulut, hidung, mata dan vulva. Pada daerah bibir biasanya terdapat lesi berwarna abu-abu atau merah dan hiperkeratotik, kemudian atropi dan berupa daerah inflamasi
Diagnosis banding, dermatitis seboroik, psoriasis, rosasea, lupus vulgaris, sarcoidosis, erupsi obat, aktinik keratosis, Bowen’s disease, liken planus, sifilis tersier, erupsi polimorfik yang ringan dan infiltrasi limfositik. Ketika penderita mengalami DLE pada rongga mulut, cukup sulit untuk membedakan antara DLE dan lichen planus oral atau leukoplakia.
Gambar DLE
Gambar 3.1 (a) Palatal large ulcerative lesion (Lt.) radiating and extending up to the cheek mucosa. (b) Small, circular lesion (Rt.) with radiating papules
Sumber : Journal of Indian Academy of Oral Medicine and Radiology 30(3):p 302-305, Jul–Sep 2018.
Gambar 3.2 Penderita LUpus Erimathosus Diskoid pada RSUP H. Adam Malik Medan.
Sumber : Riana MS, 2013. Lupus Erithomatosus. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara . Medan.
Pada gambar 3.2 pemeriksaan dijumpai plak eritem berbatas tegas dengan skuama yang halus pada regio nasalis, regio labialis superior, regio oralis , regio mandibularis dekstra dan regio mastoideus sinistra serta skar atrofi pada tengah lesi pada regio labialis superior. Sedangkan pada regio palpebra inferior dekstra et sinistra dijumpai makula hipopigmentasi.
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tatalaksana diskoid lupus eritematosus (manifestasi di rongga mulut).
- (107) Discoid Lupus Erythematosus (DLE) adalah kondisi kulit yang dapat
menyebabkan lesi pada kulit yang jika tidak diobati dengan cepat dapat menyebabkan parut permanen. Perawatan pertama yang umumnya direkomendasikan untuk DLE adalah perlindungan terhadap sinar matahari, penghindaran obat yang dapat meningkatkan sensitivitas kulit terhadap sinar matahari, dan penggunaan tabir surya secara teratur. Jika lesi DLE tidak merespon terhadap perawatan topikal dengan kortikosteroid atau inhibitor kalsineurin, maka perawatan sistemik mungkin diperlukan. Antimalarial seperti hidroksiklorokuin dan klorokuin adalah terapi sistemik utama untuk DLE, tetapi perlu memantau efek samping terutama terkait dengan mata. Pilihan perawatan lainnya termasuk retinoid topikal, vitamin A analog, dan beberapa agen imunomodulator dan imunosupresif.
Pengobatan DLE dengan obat-obatan tertentu seperti methotrexate dan mycophenolate mofetil juga mungkin diperlukan, tetapi memerlukan pemantauan ketat terhadap efek samping. Thalidomide dan lenalidomide telah digunakan dalam pengobatan DLE, namun memiliki efek samping serius termasuk teratogenitas. IVIG juga dapat digunakan sebagai terapi, tetapi memiliki biaya yang tinggi dan lesi kulit biasanya kembali setelah pengobatan. Perawatan DLE harus disesuaikan dengan kondisi pasien dan perlu mempertimbangkan efek samping yang mungkin timbul selama pengobatan. Pasien dengan DLE harus dipantau secara teratur, dan respons terhadap terapi dapat bervariasi. Selama setiap kunjungan, tanyakan pada pasien tentang gejala baru yang mungkin mengindikasikan penyakit sistemik. Pemeriksaan laboratorium rutin dapat dilakukan untuk evaluasi, termasuk hitung darah lengkap, tes fungsi ginjal, dan urinalisis. Penting untuk menghindari merokok, karena dapat mempengaruhi respons terhadap pengobatan. Ocular toxicity adalah risiko yang perlu diperhatikan ketika menggunakan antimalarial, dan pemeriksaan mata secara teratur diperlukan untuk menghindari retinopati.
- (105) Anamnesis terlebih dahulu, dilakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. diperlukan suatu edukasi dikhususkan untuk pasien dan rehabilitasi yang sangat efektif bagi pasien. mencegah paparan sinar matahari, diperlukan tabir surya. penggunaan krim atau salep sesuai resep dokter, diiringi dengan pemberian obat anti radang. nsaid atau obat anti malaria dapat menghentikan peradangan secara keseluruhan. terapi cahaya digunakan dalam beberapa kasus yg lebih rumit, perawatan gigi yang baik. A, tingkatannya kuat direkomendasikan.
semakin tinggi level of evidence maka kualitasnya semakin bagus.
Penyakit autoimun bisa terjadi secara sistemik tetapi juga bermanifestasi di oral. Pada lupus memberikan reaksi inflamasi yang luar biasa, sehingga obat anti inflamasi menjadi drug of choice. Harus berhati-hati dalam pemberian steroid. Anti-malaria bisa berisiko terhadap mata. Obat steroid bisa disesuaikan dengan penyakitnya.
Dokter gigi harus membantu meringankan gejala yang ada di rongga mulut. Penyakit lupus ini sudah menyebabkan rasa sakit dan berhubungan saraf sehingga termasuk lesi sekunder.
Daftar Pustaka
1. Amanda, Oakley. et all. (2022). Discoid Lupus Erythematosus.
2. American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus erythematosus guidelines. Arthritis Rheum 1999;42(9):1785-96
3. Cojocaru M, Cojocaru IM, Silosi I, Vrabie CD. Manifestations of systemic lupus erythematosus. Maedica (Bucur). 2011 Oct;6(4):330-6. PMID: 22879850; PMCID:
PMC3391953.
4. Journal of Indian Academy of Oral Medicine and Radiology 30(3):p 302-305, Jul–Sep 2018.
5. McDaniel B, Sukumaran S, Koritala T, et al. Discoid Lupus Erythematosus. [Updated 2022 Oct 30]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2023 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493145/
6. Riana MS, 2013. Lupus Erithomatosus. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara . Medan.
7. Roviati, Evi. 2012. SYSTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS (SLE): KELAINAN AUTOIMUN BAWAAN YANG LANGKA DAN MEKANISME BIOKIMIAWINYA.
JURNAL SCIENTIAE EDUCATIA VOLUME 1 EDISI 2.
8. Suparman, Erna. (2019). Lupus Eritematosus Sistemik (LES) pada Kehamilan. eISSN 2337-5949. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi - RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou, Manado, Indonesia.
9. Vleugels, Ann Ruth. 2020. Discoid Lupus Erythematosus. Medscape.
10. Sarah Yunara, Lita Diah Rahmawati. 2017. Laporan Kasus Cutaneus Discoid Lupus Erythematosus. Residen Penyakit Dalam Universitas Airlangga-RS dr.Sutomo Surabaya Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr.Soetomo.