• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lensa Kontak Sklera Sebagai Tatalaksana Keratokonus Derajat Lanjut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Lensa Kontak Sklera Sebagai Tatalaksana Keratokonus Derajat Lanjut"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO BANDUNG

Sari Kepustakaan : Lensa Kontak Sklera Sebagai Tatalaksana Keratokonus Derajat Lanjut

Penyaji : Gabriella Graziani

Pembimbing : Dr. dr. Karmelita Satari, SpM(K)

Telah diperiksa dan disetujui oleh Pembimbing

Dr. dr. Karmelita Satari, SpM(K)

Selasa, 16 Maret 2021

(2)

I. Pendahuluan

Keratokonus merupakan suatu kelainan kornea progresif noninflamasi yang ditandai dengan penipisan dan protrusi dari bagian sentral dan parasentral kornea.

Kondisi ini menyebabkan kornea berbentuk kerucut sehingga dapat menurunkan tajam penglihatan. Keratokonus lebih cenderung terjadi pada wanita dan awitan umumnya terjadi pada usia pubertas. Insidensi keratokonus lebih tinggi di negara- negara Timur Tengah, seperti Saudi Arabia dengan insidensi 20 dari 100.000 orang per tahun dan Iran dengan insidensi 24,9 dari 100.000 orang per tahun. Pada penelitian yang dilakukan oleh Jonas et al ditemukan bahwa prevalensi keratokonus di India cukup tinggi yaitu mencapai 2.3%.1–3

Penatalaksanaan keratokonus bervariasi bergantung pada tingkat keparahan dan progresivitasnya. Tujuan penatalaksanaan keratokonus termasuk restorasi tajam penglihatan dan koreksi tektonik kornea. Rehabilitasi visual dapat dimulai dengan pemberian kacamata pada tahap awal saat ditemukannya astigmatisma regular.

Progresivitas keratokonus dapat bersifat asimetris sehingga koreksi dengan kacamata dapat menyebabkan terjadinya aniseikonia akibat anisometropia refraktif.

Pada keratokonus derajat lanjut tersebut dapat dipertimbangkan penggunaan lensa kontak rigid gas-permeable (RGP) untuk memperbaiki tajam penglihatan. Jika tajam penglihatan pasien kurang memuaskan dengan penggunaan RGP konvensional, dapat dipertimbangkan alternatif lain seperti, lensa kontak hibrida, torik, piggyback, korneosklera, minisklera, dan lensa kontak sklera.1,4,5 Sari kepustakaan ini bertujuan untuk membahas mengenai penggunaan lensa kontak sklera sebagai tatalaksana keratokonus derajat lanjut.

II. Keratokonus

Keratokonus berasal dari Bahasa Yunani yaitu “kerato” yang berarti kornea dan

“konos” yang berarti kerucut. Penipisan stroma kornea dan astigmatisma merupakan karakter dari keratokonus yang dapat mengakibatkan penurunan tajam penglihatan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Bawazeer et al dan Balasubramanian et al diketahui bahwa keratokonus berkaitan dengan berbagai

(3)

faktor, diantaranya trauma minor, alergi, dan sering menggosok mata akibat kondisi atopi. Hal ini dapat memicu pelepasan sitokin dari lapisan epitelium kornea sehingga menyebabkan terjadinya apoptosis keratosit. Keratokonus diketahui berhubungan dengan beberapa kelainan sistemik seperti sindrom Down, sindrom Ehlers-Danlos, osteogenesis imperfecta, sleep apnea, dan prolaps katup mitral.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hamilton et al, 6-10% pasien keratokonus memiliki anggota keluarga dengan kondisi yang sama. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa kondisi keratokonus dapat diturunkan melalui pola pewarisan autosomal dominan.1,2,6,7

Gambar 2.1. Tanda keratokonus. (A) Munson sign, (B) Cincin Fleischer, (C) Vogt striae, (D) hydrops kornea.

Dikutip dari Weisenthal, dkk.1

2.1 Manifestasi Klinis

Tanda awal terjadinya keratokonus dapat ditemukan melalui pemeriksaan biomikroskopi dan temuan histologi berupa robekan pada lapisan Bowman yang dapat diikuti dengan pertumbuhan jaringan fibrosa sehingga menimbulkan jaringan parut pada kornea. Seiring dengan progresivitasnya, penipisan kornea pada bagian apeks akan bertambah dan mengakibatkan astigmatisma iregular. Jika kondisi ini terus berlanjut akan menimbulkan robekan pada membrane Descemet yang diikuti

(4)

dengan masuknya cairan akueous ke stroma kornea sehingga menyebabkan edema kornea akut yang disebut hydrops.6,8

Penurunan tajam penglihatan merupakan tanda awal pada keratokonus. Pada pemeriksaan refraksi ditemukan astigmatisma myopia yang progresif serta terlihat pergerakan “scissors-like” pada pemeriksaan retinoskopi. Tanda khas yang terlihat pada pemeriksaan biomikroskopi antara lain Vogt striae, yaitu garis-garis halus paralel yang ditemukan pada stroma posterior pada bagian apeks kornea, dan cincin Fleischer, yaitu deposisi zat besi pada basal epitelium kornea. Rizzutti sign dapat terlihat saat kornea disinari dengan penlight dari arah temporal, cahaya akan difokuskan pada limbus nasal. Pada kasus keratokonus yang ekstrem, perubahan bentuk kornea menjadi kerucut dapat terlihat jelas pada saat pasien diminta melirik ke arah bawah, tanda ini disebut dengan Munson sign.7–9

Gambar 2.2. Gambaran topografi kornea normal.

Dikutip dari Weisenthal, dkk.1

2.2 Diagnostik Penunjang

Pemeriksaan keratometri dapat digunakan untuk mendeteksi keratokonus pada tahap awal. Permukaan kornea yang lebih curam pada bagian inferior menandakan

(5)

kecurigaan adanya keratokonus. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan antara lain topografi dan tomografi kornea (Gambar 2.2 dan Gambar 2.3). Pemeriksaan ini penting dalam menilai progresivitas keratokonus, fitting lensa kontak, dan pemantauan pasien paska operasi. Temuan penting dalam pemeriksaan ini termasuk superior flattening, inferior steepening, peningkatan rasio inferior-superior, serta angulasi aksis pola bow tie yang signifikan dibandingkan dengan kornea normal. 1,8

Gambar 2.3. Gambaran topografi kornea dengan keratokonus.

Dikutip dari Weisenthal, dkk.1

Pengukuran ketebalan dan elevasi kornea yang akurat merupakan hal yang penting dalam mendiagnosis keratokonus. Pencitraan scheimpflug dan ocular computed tomography (OCT) dapat menggantikan pakimetri ultrasonik dalam menilai ketebalan kornea pada keratokonus. Evaluasi berkala dibutuhkan untuk menentukan progresivitas keratokonus, seperti pada kondisi forme fruste keratoconus yang kemudian dapat berkembang menjadi simtomatik. Derajat keparahan keratokonus dapat dinilai menggunakan klasifikasi Amsler-Krumeich.

Kriteria yang dinilai dalam klasifikasi Amsler-Krumeich antara lain rerata kurvatura kornea pada bagian anterior, ketebalan kornea pada lokasi paling tipis, dan kelainan refraksi pada pasien. Namun seiring perkembangan teknologi pencitraan modern, sistem klasifikasi ini sudah mulai ditinggalkan dan muncul sistem klasifikasi baru yaitu klasifikasi Belin ABCD. Sistem klasifikasi Belin ABCD menilai radius

(6)

kurvatura anterior (ACR) dan posterior (PCR) kornea pada zona sentral, ketebalan kornea yang paling tipis, dan tajam penglihatan jauh terbaik (BDVA)8,10,11

Tabel 2.1 Klasifikasi Amsler-Krumeich Stadium Karakteristik

Stadium 1 Tingkat kecuraman minimal Miopia dan astigmatisma <5,00 D Rerata kurvatura sentral <48,00 D Stadium 2 Miopia dan astigmatisma 5,00-8,00 D

Rerata kurvatura sentral <53,00 D Tidak ditemukan jaringan parut kornea Ketebalan kornea minimal >400 μm Stadium 3 Miopia dan astigmatisma 8,00-10,00 D

Rerata kurvatura sentral >53,00 D Tidak ditemukan jaringan parut kornea Ketebalan kornea minimal 300-400 μm Stadium 4 Refraksi tidak dapat diukur

Rerata kurvatura sentral >55,00 D Ditemukan jaringan parut kornea Ketebalan kornea minimal 200 μm Dikutip dari Naderan, dkk.10

Tabel 2.2 Sistem klasifikasi Belin ABCD Kriteria

ABCD A

ACR B

PCR C

Pakimetri D

BDVA Sikatrik Stadium 0 >7.25 mm

(<46.5 D)

>5.90 mm (<57.25 D)

>490 μm =20/20 (=1.0) -

Stadium I >7.05 mm (<48.0 D)

>5.70 mm (<59.25 D)

>450 μm <20/20 (<1.0) -, +, ++

Stadium II >6.35 mm (<53.0 D)

>5.15 mm (<65.5 D)

>400 μm <20/40 (<0.5) -, +, ++

Stadium III >6.15 mm (<55.0 D)

>4.95 mm (<68.5 D)

>300 μm <20/100 (<0.2) -, +, ++

Stadium IV <6.15 mm (>55.0 D)

<4.95 mm (>68.5 D)

= 300 μm <20/400 (<0.05)

-, +, ++

Dikutip dari Gomes, dkk.5

(7)

2.3 Tatalaksana

Tatalaksana keratokonus merupakan suatu hal yang kompleks dan bervariasi bergantung pada progresivitasnya. Menurut Global Consensus on Keratoconus and Ectatic Disease, progresivitas ektasia didefinisikan sebagai perubahan yang konsisten pada 2 dari 3 parameter, yaitu tingkat kecuraman dari permukaan anterior kornea, tingkat kecuraman dari permukaan posterior kornea, dan perubahan tingkat ketebalan kornea dari bagian perifer sampai ke daerah paling tipis pada kornea.

Tujuan dari tatalaksana keratokonus adalah restorasi tajam penglihatan normal dan/atau koreksi tektonik dari lapisan kornea.1,4,12

Kacamata dapat diberikan pada kasus keratokonus stadium awal sebagai tatalaksana non bedah. Namun, penatalaksanaan dengan kacamata sulit untuk mencapai tajam penglihatan yang diinginkan pada kasus keratokonus derajat lanjut karena terdapat astigmatisma iregular yang tinggi dan anisometropia yang signifikan. Pada kondisi ini, terapi lensa kontak dapat dipertimbangkan karena dinilai dapat mencapai tajam penglihatan yang diinginkan. Hal ini disebabkan karena lensa kontak dapat mengatasi iregularitas permukaan kornea. Tipe lensa kontak yang digunakan berbeda-beda bergantung pada derajat keparahan keratokonus. Soft lens, soft toric, atau custom soft toric contact lenses digunakan pada stadium awal untuk koreksi miopia, astigmatisma regular, dan astigmatisma iregular ringan. Seiring progresivitas keratokonus, lensa kontak yang digunakan dapat diubah menjadi jenis rigid gas-permeable (RGP) atau lensa kontak khusus termasuk lensa kontak hibrida, piggyback, atau lensa kontak sklera.4,12,13

Pada kasus-kasus keratokonus yang sedang hingga berat, dapat dilakukan tatalaksana bedah seperti penetrating keratoplasty (PK), deep anterior lamellar keratoplasty (DALK), ultraviolet crosslinking (UV-CXL), dan intrastromal corneal ring segments (ICRS). Prosedur DALK dan PK diindikasikan untuk pasien keratokonus stadium 4 menurut klasifikasi Amsler-Krumeich dan jika ditemukan sikatrik kornea yang signifikan paska hydrops. Pada kasus keratokonus yang stabil, dimana koreksi kacamata dan penggunaan lensa kontak meencapai tajam penglihatan yang memuaskan, tidak perlu dilakukan intervensi bedah, namun pasien harus diedukasi untuk menghindari menggosok mata serta penggunaan

(8)

antihistamin topikal. Pemerikssaan oftalmologi yang menyeluruh termasuk topografi kornea, penting untuk dilakukan setiap 6 bulan sekali terutama pada pasien-pasien usia muda. 4,12,13

Gambar 2.4. Algoritma tatalaksana keratokonus.

Dikutip dari Gomes, dkk.5

Terapi UV-CXL dapat dipertimbangkan pada kasus keratokonus yang progresif dengan syarat ketebalan kornea minimal 400 μm. Alternatif lain untuk terapi keratokonus yaitu implantasi ICRS. Kriteria pasien untuk prosedur ICRS antara

(9)

lain, intoleransi penggunaan lensa kontak, tidak ditemukan jaringan parut pada lapisan kornea, dan tajam penglihatan setelah koreksi di bawah 0,9. Algoritma pentalaksanaan keratokonus dapat dilihat pada gambar 2.4.4,12–14

III. Lensa Kontak Sklera

Menurut Scleral Lens Education Society (SLS), lensa kontak sklera didefinisikan sebagai lensa menutupi seluruh kurvatura kornea, termasuk limbus dan melekat sepenuhnya pada konjungtiva di atas sklera serta berukuran 6 mm lebih besar dari diameter iris horizontal yang terlihat (HVID). Lensa kontak sklera tidak bersentuhan langsung dengan permukaan kornea. Ruang antara lensa kontak sklera dan permukaan kornea terisi oleh cairan normal salin non preservatif yang dituangkan ke dalam lensa sebelum dipasangkan. 15,16

Gambar 3.1. Anatomi lensa kontak sklera. (A) zona optik, (B) zona transisi, dan (C) zona haptik.

Dikutip dari Michaud, dkk.15

Lensa kontak sklera memiliki 3 zona terpisah, yaitu zona optik, zona transisi, dan zona haptik sepert terlihat pada gambar 3.1. Zona optik merupakan bagian sentral dari lensa kontak yang memiliki kekuatan refraktif. Zona optik biasanya lebih besar 0,2 mm dari HVID. Zona transisi dimulai dari daerah perifer zona optik sampai ke daerah dimulainya zona haptik. Daerah pada bagian perifer dari zona transisi sampai ke tepi lensa kontak disebut zona haptik. Permukaan lensa pada zona haptik dapat berbentuk melengkung atau mendatar sesuai dengan permukaan perlekatannya.15,17

RGP Lensa kontak

hibrida

Lensa kontak sklera

A

C B

(10)

3.1 Desain dan Material Lensa Kontak Sklera

Desain lensa kontak sklera ada 2 tipe yaitu, tipe ventilasi udara (fenestrated) dan ventilasi cairan (non-fenstrated). Sistem ventilasi ini berguna dalam penyediaan oksigen pada permukaan okular. Availabilitas oksigen dapat ditingkatkan dengan penggunaan material dengan nilai Dk yang tinggi. Nilai Dk mencerminkan permeabilitas oksigen, dimana D merupakan koefisien difusi oksigen dan k merupakan konstanta kelarutan oksigen. Ketebalan lensa mempengaruhi transmisibilitas oksigen dalam material lensa kontak. Pada awalnya, lensa kontak sklera dibuat dengan menggunakan material polymethyl methacrylate (PMMA).

Menurut studi yang dilakukan oleh Tan et al, terdapat komplikasi fisiologis yang terjadi karena hipoksia akibat penggunaan material PMMA, seperti edema dan neovaskularisasi kornea. Saat ini, lensa kontak sklera dibuat dengan material dengan permeabilitas oksigen yang tinggi, yaitu fluorosilicone acrylate.16,18

Gambar 3.2. (A) Keratokonus tanpa lensa kontak sklera. (B) Keratokonus dengan lensa kontak sklera.

Dikutip dari Boschnik, dkk.19

3.2 Fitting Lensa Kontak Sklera

Prosedur fitting lensa kontak sklera memerlukan pengukuran parameter anatomis seperti HVID, ketinggian sagittal kornea (SHC), radius zona optik bagian belakang (BOZR), diameter zona optik bagian belakang (BOZD), dan radius sklera bagian belakang (BSR). Penghitungan ketinggian sagital didapatkan dari pemeriksaan OCT anterior. Lensa kontak sklera dengan fitting yang baik ditandai dengan zona haptik yang sejajar tanpa adanya blanching pembuluh darah, clearance apeks kornea setebal 200 μm, dan clearance daerah limbus setebal 100

(11)

μm. Pada evaluasi zona haptik, jika BSR terlalu curam maka akan menyebabkan oklusi pada pembuluh darah perifer dan jika BSR terlalu datar maka akan menyebabkan oklusi pembuluh darah mid perifer (Gambar 3.3). Pada kasus ektasia kornea, diameter lensa kontak yang besar lebih disarankan karena akan memiliki area pergerakan yang lebih luas sehingga mencegah kelebihan tekanan dan terasa lebih nyaman.15,20,21

Gambar 3.3. (A) Blanching pembuluh darah perifer, (B) tepi lensa kontak terangkat, (C) fitting ideal.

Dikutip dari Van Der Worp.20

Gambar 3.4. (A) Insufisiensi clearance apeks kornea, (B) clearance apeks kornea berlebihan, (C) clearance apeks kornea yang ideal.

Dikutip dari Van Der Worp.20

Gambar 3.5. (A) Bearing pada area limbus, (B) clearance berlebihan pada area limbus, (C) clearance ideal pada area limbus.

Dikutip dari Van Der Worp.20

Evaluasi clearance limbus dan clearance apeks kornea pada fitting lensa kontak dilakukan dengan menggunakan fluorescein. Ketinggian sagital berkaitan dengan

(12)

clearance apeks kornea. Jika clearance apeks kornea dinilai kurang adekuat, maka ketinggian sagital lensa kontak perlu ditingkatkan. Evaluasi clearance apeks kornea dapat dilihat pada Gambar 3.4. Dalam evaluasi clearance area limbus, jika zona haptik dan ketinggian sagital sudah benar, maka diperlukan penyesuaian dari base curve lensa kontak. Apabila ditemukan bearing pada area limbus, maka base curve perlu dibuat lebih mendatar. Sebaliknya, jika clearance pada area limbus berlebihan, maka base curve perlu dibuat lebih curam (Gambar 3.5).15,20,22

Gambar 3.6. (A) Metode tripod, (B) teknik penggunaan plunger saat melepas lensa kontak sklera.

Dikutip dari Van Der Worp.20

Saat prosedur fitting dilakukan, penting untuk melakukan edukasi pada pasien mengenai handling dan perawatan lensa kontak sklera. Cara pemasangan dan pelepasan lensa kontak dapat menggunakan plunger ataupun dengan metode tripod seperti terlihat pada Gambar 3.6. Saat melepas lensa kontak dengan plunger harus diperhatikan bahwa plunger diletakkan pada tepi lensa kontak. Apabila teknik yang digunakan tidak benar akan menimbulkan rasa nyeri dan komplikasi seperti abrasi kornea. Lensa kontak sklera harus disimpan di dalam larutan desinfektan untuk meminimalisir kemungkinan pertumbuhan bakteri dan mencegah terjadinya keratitis mikrobial.20,21

3.3 Penggunaan Lensa Kontak Sklera pada Keratokonus

Penggunaan lensa kontak sklera pada kasus keratokonus dipertimbangkan saat pasien tidak mencapai tajam penglihatan yang diinginkan dengan lensa kontak jenis lain, contohnya RGP. Lensa kontak sklera berkontribusi dalam menurunkan high

(13)

order aberration (HOA) pada keratokonus. Menurut studi yang dilakukan oleh Fuller et al, lensa kontak sklera menghasilkan tajam penglihatan yang lebih baik dibandingkan dengan kacamata. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Downie dan Marsack et al menunjukkan bahwa fitting lensa kontak sklera yang baik dapat menghasilkan HOA yang mendekati normal sehingga dapat memperbaiki tajam penglihatan. Pergerakan lensa kontak sklera yang lebih stabil juga turut berkontribusi dalam koreksi HOA yang tinggi. Dalam studi yang dilakukan oleh Koppen et al di Belgia dikatakan bahwa fitting lensa kontak sklera yang baik dapat menurunkan angka kebutuhan prosedur keratoplasti pada keratokonus.4,18,23,24 Terdapat beberapa hambatan yang dihadapi dalam penggunaan lensa kontak sklera, diantaranya keterbatasan finansial dan akses penyedia lensa kontak sklera, kemampuan pasien untuk menggunakan lensa kontak sklera, dan adanya sikatrik kornea yang akan mempengaruhi outcome tajam penglihatan setelah penggunaan lensa kontak. Kemampuan pasien dalam handling dan perawatan lensa kontak sklera penting untuk mencegah komplikasi yang dapat ditimbulkan, seperti keratitis mikrobial, pinguekulitis, mata merah terkait lensa kontak, dan abrasi kornea.

Handling dan perawatan lensa kontak yang kurang baik juga dapat menyebabkan kerusakan pada lensa kontak. Intervensi yang dapat dilakukan jika timbul komplikasi antara lain melakukan fitting ulang dan edukasi serta penyesuaian dalam handling dan perawatan lensa kontak.18,23,24

IV. Simpulan

Lensa kontak sklera dapat dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif tatalaksana keratokonus derajat lanjut. Penggunaan lensa kontak sklera dinilai efektif dalam memperbaiki tajam penglihatan dan lebih nyaman dibandingkan dengan lensa kontak jenis lain. Fitting lensa kontak sklera yang baik membutuhkan keahlian dokter mata dalam menentukan ukuran yang sesuai sehingga akan menghasilkan outcome tajam penglihatan yang maksimal dan kenyamanan bagi pasien.

(14)

13

DAFTAR PUSTAKA

1. Weisenthal R, Daly M, de Freitas D, Feder R, Orlin S. External Disease and Cornea. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology; hal.161–168.

2. Prakash G, Iwata T, editors. Advances in Vision Research. Vol. I. Japan:

Springer; hal. 363–369.

3. Mas-Aixala E, Gispets J, Lupón N, Cardona G. The variability of corneal and anterior segment parameters in keratoconus. Contact Lens and Anterior Eye.

2016;39:466–70.

4. Rico-Del-Viejo L, Garcia-Montero M, Hernández-Verdejo JL, García-Lázaro S, Gómez-Sanz FJ, Lorente-Velázquez A. Nonsurgical Procedures for Keratoconus Management. Journal of Ophthalmology. 2017;2017:1–17.

5. Gomes JAP, Tan D, Rapuano CJ, Belin MW, Ambrósio R, Guell JL, et al.

Global Consensus on Keratoconus and Ectatic Diseases. Cornea. 2015;34:359–

69.

6. Ozkurt Y, Atakan M, Gencaga T, Akkaya S. Contact Lens Visual Rehabilitation in Keratoconus and Corneal Keratoplasty. Journal of Ophthalmology.

2012;2012:1–4.

7. Bowling B. Kanski’s Clinical Ophthalmology. Ke-8. Sydney: Elsevier; 2016.

hal. 213–214.

8. Sinjab M. Quick Guide to the Management of Keratoconus. Damascus:

Springer; 2012. hal. 1–146.

9. Riordan-Eva P, Augsburger JJ. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology.

Ke-19. McGraw-Hill; 2018. hal. 301–303.

10. Naderan M, Jahanrad A, Balali S. Histopathologic findings of keratoconus corneas underwent penetrating keratoplasty according to topographic measurements and keratoconus severity. Int J Ophthalmol. 2017.

11. Martínez-Abad A, Piñero DP. New perspectives on the detection and progression of keratoconus. Journal of Cataract and Refractive Surgery.

2017;43:1213–27.

12. Andreanos KD, Hashemi K, Petrelli M, Droutsas K, Georgalas I, Kymionis GD.

Keratoconus Treatment Algorithm. Ophthalmol Ther. 2017;6:245–62.

13. Saraç Ö, Kars ME, Temel B, Çağıl N. Clinical evaluation of different types of contact lenses in keratoconus management. Contact Lens and Anterior Eye.

2019;42:482–6.

14. Parker JS, van Dijk K, Melles GRJ. Treatment options for advanced keratoconus: A review. Survey of Ophthalmology. 2015;60:459–80.

15. Michaud L, Lipson M, Kramer E, Walker M. The official guide to scleral lens terminology. Contact Lens and Anterior Eye. 2020;43:529–34.

16. Rathi V, Taneja M, Mandathara P, Sangwan V, Dumpati S. Scleral lens for keratoconus: technology update. OPTH. 2015;2013.

17. Vincent SJ, Fadel D. Optical considerations for scleral contact lenses: A review.

Contact Lens and Anterior Eye. 2019;42:598–613.

18. Fuller DG, Wang Y. Safety and Efficacy of Scleral Lenses for Keratoconus.

Optom Vis Sci. 2020;97:741–8.

(15)

14

19. Kramer EG, Boshnick EL. Scleral lenses in the treatment of post-LASIK ectasia and superficial neovascularization of intrastromal corneal ring segments.

Contact Lens and Anterior Eye. 2015;38:298–303.

20. Worp E. A Guide to Scleral Lens Fitting. Oregon: Pacific University Libraries;

hal. 1–67.

21. Efron N. Contact lens practice. New York, NY: Elsevier.; 2010.

22. Downie LE, Lindsay RG. Contact lens management of keratoconus: Contact lens fitting in keratoconus Downie and Lindsay. Clin Exp Optom.

2015;98:299–311.

23. Ling JJ, Mian SI, Stein JD, Rahman M, Poliskey J, Woodward MA. Impact of Scleral Contact Lens Use on the Rate of Corneal Transplantation for Keratoconus. Cornea. 2021;40:39–42.

24. Lim L, Lim EWL. Current perspectives in the management of keratoconus with contact lenses. Eye. 2020;34:2175–96.

Referensi

Dokumen terkait

Variable(s) entered on step 1: ROA, ACHANGE, LEV, RECEIVABLE, BDOUT, AUDCHANGE, CEODUAL,