• Tidak ada hasil yang ditemukan

LITERASI MATEMATIS SISWA SMK

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "LITERASI MATEMATIS SISWA SMK "

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

p-ISSN : 2503-4723 e-ISSN : 2541-2612

29

PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING (PBL) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN

LITERASI MATEMATIS SISWA SMK

1Dwi Pratiwi, 2Sendi Ramdhani

1,2 FKIP Universitas Suryakancana, Cianjur [email protected]

[email protected]

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini untuk: (1) mengetahui apakah peningkatan kemampuan literasi matematis siswa yang memperoleh model PBL lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa; (2) mendeskripsikan kemampuan literasi matematis siswa dilihat dari setiap indikator pada kemampuan literasi level 4. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan desain penelitiannya adalah nonequivalent control group design dan deskriptif kualitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa X di sebuah SMK Negeri di Cianjur dengan sampel sebanyak dua kelas secara purposive sampling. Salah satu kelas sebagai kelas eksperimen menggunakan pembelajaran model PBL dan kelas lain sebagai kelas kontrol menggunakan pembelajaran biasa. Instrumen penelitian meliputi tes kemampuan literasi matematis level 4. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa; (1) peningkatan kemampuan literasi matematis siswa yang memperoleh model PBL lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa; (2) Persentase siswa dalam menjawab soal aspek literasi matematis yang mencakup indikator pertama, ketiga dan keempat lebih baik pada kelas kontrol sedangkan kelas eksperimen lebih unggul di indikator kedua.

Kata Kunci: kemampuan literasi matematis level 4; Problem Based Learning (PBL)

Abstract

The aims of this research were: (1) to investigate whether the improvement of mathematical literacy ability of students who obtained the PBL model is better than the students who received the common learning; (2) to describe the ability of students' mathematical literacy seen from each indicator on level 4 literacy capability. This research was a quasi- experiment research, with the design was nonequivalent control group design. Population in this research was all students of grade X at SMK Negeri 1 Cianjur with two classes became the sample which chosen randomly. One class as an experimental class used PBL model and other class as a control class used common learning setting. The instruments of this research were a level 4 mathematical literacy ability test and a behavior-scale questionnaire. Based on the results of research and discussion it can be concluded that;

(1) the improvement of students' mathematical literacy ability that received PBL model was better than students who have common learning; (2) The percentage of control class students is better at answering aspects of mathematical literacy that include the first, third and fourth indicators, while the experimental class is superior in the second indicator.

Keywords: level 4 mathematical literacy ability; Problem Based Learning (PBL PENDAHULUAN

(2)

Jurnal Gammath, Volume (2) Nomor (2), September 2017

2

Menurut pandangan formalis, matematika adalah perubahan struktur abstrak yang didefinisikan secara aksioma dengan menggunakan logika simbolik dan notasi matematika (Wijayanti, 2012). Jadi, matematika adalah ilmu yang membahas pola, tingkatan, yang berhubungan dengan pikiran manusia.

Pada faktanya, matematika kita pakai dalam kegiatan sehari-hari seperti dalam kegiatan perdagangan, ekonomi, teknologi, dan lain sebagainya. Demikian pentingnya, matematika juga dijuluki sebagai queen of sciences (ratunya para ilmu) sekaligus juga pelayannya. Matematika memiliki peranan yang cukup penting khususnya dalam ilmu sains, dengan belajar matematika kita dilatih untuk senantiasa berpikir logis dan kritis dalam memecahkan permasalahan. Selain itu, kejujuran, ketekunan dan keuletan kita juga akan terlatih dengan matematika.

Menyadari betapa perlu dan dekatnya matematika dengan kehidupan kita sehari-hari, sudah barang tentu mempelajarinya pun adalah penting. Pentingnya matematika, setidaknya dapat kita lihat dalam kurikulum matematika di sekolah yang mendapat porsi jam lebih banyak daripada mata pelajaran lainnya. Mulai jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT) pelajaran matematika itu ada dan dipelajari baik secara global maupun spesifik, bahkan pada jenjang prasekolah pun, matematika sudah mulai diperkenalkan. Menurut Cokroft matematika perlu diajarkan kepada siswa karena (1) selalu digunakan dalam segala segi kehidupan, (2) semua bidang studi memerlukan keterampilan matematika yang sesuai, (3) merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat dan padat, (4) dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara, (5) meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian dan kesadaran keruangan, dan (6) memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang (Permatasari et al, 2015:

1). Berdasarkan penjelasan diatas dijelaskan bahwa salah satu alasan perlunya matematika diajarkan kepada siswa karena matematika selalu digunakan dalam segala segi kehidupan.

Matematika yang digunakan dalam segala segi kehidupan disebut literasi matematika.

Literasi matematika diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk merumuskan, menerapkan dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks, termasuk kemampuan melakukan penalaran secara matematis dan menggunakan konsep, prosedur, dan fakta untuk menggambarkan, menjelaskan atau memperkirakan fenomena/kejadian. Literasi matematika membantu seseorang untuk memahami peran atau kegunaan matematika di dalam kehidupan sehari-hari sekaligus menggunakannya untuk membuat keputusan- keputusan yang tepat sebagai warga negara yang membangun, peduli dan berpikir.

Programme Internationale for Student Assesment (PISA) merupakan suatu studi internasional yang salah satu kegiatannya adalah menilai kemampuan literasi matematika, IPA dan bahasa yang dirancang untuk siswa usia 15 tahun di suatu negara. Siswa yang berumur 15 tahun tentu saja belum dapat banyak belajar, tetapi mereka harus memiliki landasan yang kuat untuk kehidupan mendatang. Landasan tersebut berupa pemahaman proses dan prinsip-prinsip khususnya matematika, serta menggunakannya dalam situasi yang beragam. Untuk maksud tersebut PISA diselenggarakan, yaitu melalui tes yang dilakukan dengan mengukur kemampuan siswa yang bersifat lintas-disipliner (across disciplinary) yang berkaitan dengan kehidupan nyata dan pemahaman prinsip-prinsip bukan hanya penguasaan siswa terhadap suatu pengetahuan semata. Kemampuan literasi matematika siswa Indonesia masih rendah. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan PISA pada tahun 2000, 2003, 2006, 2009, 2012, dan 2015. Indonesia selalu masuk dalam 10 negara dengan kemampuan literasi matematika yang rendah (Mahdiansyah dan Rahmawati, 2014a).

PISA melakukan studinya setiap 3 tahun sekali, hal tersebut menyebabkan beberapa tingkatan siswa tidak bisa menjadi subjek penelitian PISA. Misalnya siswa kelas X tahun ini tidak bisa menjadi subjek penelitian PISA karena pada studi terakhir PISA tahun 2012 siswa dikelas tersebut rata-rata masih berusia 14 tahun dan pada studi PISA tahun 2015

(3)

3 mendatang siswa-siswa tersebut sudah berusia 17 tahun sehingga tidak mungkin menjadi subjek penelitian PISA (Puspitasari et al, 2015: 2).

Hasil terbaru penelitian PISA pada tahun 2015, Indonesia menempati peringkat 69 dari 76 negara dengan skor Indonesia dalam matematika yaitu 386. Hasil survey di atas menunjukkan bahwa Indonesia selalu masuk dalam 10 negara dengan kemampuan literasi matematika yang rendah. Rata-rata skor internasional untuk kemampuan literasi matematika adalah 500 (level 3), sedangkan rata-rata skor literasi matematika siswa Indonesia adalah 386 (level 1) (Mahdiansyah dan Rahmawati, 2014b).

Penilaian literasi matematis yang dilakukan oleh studi PISA ini terdiri dari 6 tingkatan atau level. Soal literasi matematis level 1 dan 2 termasuk kelompok soal dengan skala bawah yang mengukur kompetensi reproduksi. Soal literasi matematis level 3 dan 4 termasuk kelompok soal dengan skala menengah yang mengukur kompetensi koneksi.

Sedangkan, soal literasi matematis level 5 dan 6 termasuk kelompok soal dengan skala tinggi yang mengukur kompetensi refleksi. Berdasarkan data OECD (Maryanti, 2012:6) dalam setiap konten matematika yang diujikan dalam studi PISA, rata-rata siswa Indonesia menduduki peringkat level 2 ke bawah. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan literasi siswa Indonesia hanya sampai pada kompetensi reproduksi yaitu kemampuan siswa untuk mengoperasikan matematika pada konteks yang sederhana. Adapun level tertinggi yang mampu dicapai siswa Indonesia adalah level 3. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa minat siswa-siswa Indonesia untuk mempelajari matematika masih rendah. Matematika masih dianggap sebagai kumpulan angka-angka dan rumus- rumus. Siswa hanya menghapalkan rumus-rumus matematika tanpa tahu makna dan cara mengaplikasikan konsep-konsep tersebut dalam permasalahan yang dihadapi sehari-hari.

Akibatnya, matematika dianggap sebagai mata pelajaran hapalan yang mudah terlupakan.

Noor memaparkan hasil penelitian Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) ada tiga penyebab utama mengapa indeks literasi matematika siswa di Indonesia sangat rendah yaitu lemahnya kurikulum di Indonesia, kurang terlatihnya guru- guru Indonesia dan kurangnya dukungan dari lingkungan dan sekolah (Rizali, 2008).

Ditambah lagi fakta-fakta di lapangan menyebutkan bahwa kemampuan matematis siswa Indonesia masih sangat rendah. Hal ini berdasarkan hasil tes Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) pada tahun 2007 yang menunjukkan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi (high order thinking) siswa Indonesia kurang dari satu persen di bawah rata-rata internasional yaitu sebesar 2 persen sedangkan siswa di negara Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura di atas 40 persen (Rizali, 2008).

Hasil penelitian menunjukkan, 76,6 persen siswa Indonesia setingkat sekolah menengah pertama (SMP) ternyata 'buta' matematika (Pranoto, 2011). Ironisnya, kondisi tersebut ditemukan di tengah berbagai prestasi anak Indonesia dalam olimpiade-olimpiade sains internasional. Studi lainnya dari The Program for International Student Assessment (PISA) pada 2010 memperlihatkan kondisi serupa. Posisi Indonesia ada di peringkat ketiga dari bawah, lebih baik daripada Kirgistan dan Panama. Menurut pendefinisian level profisiensi matematika dari Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), siswa di bawah level dua dianggap tidak akan mampu berfungsi efektif di kehidupan abad 21 (Wijayanti, 2012).

Seorang guru haruslah memilih dan memilah metode pembelajaran yang sesuai untuk dapat meningkatkan kemampuan matematika siswa khususnya kemampuan literasi matematis. Karena menurut Polya (Sumardyono, 2007:6), pekerjaan utama seorang guru matematika adalah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk membangun kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika. Guru telah mencoba mengatasinya misalnya dengan memperbanyak kegiatan diskusi dan dengan pembelajaran berbasis problem solving. Namun upaya ini seringkali tidak mencapai harapan terutama disebabkan tersitanya banyak waktu sehingga efektivitas dan efisiensi pembelajaran dirasakan menurun, sehingga seringkali guru kekurangan waktu untuk membahas semu atopik. Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran seringkali dilakukan kembali melalui pendekatan

(4)

Jurnal Gammath, Volume (2) Nomor (2), September 2017

4

konvensional. Dalam kegiatan pembelajaran matematika konvensional ini, diakui bahwa guru terlalu mendominasi pembelajaran, kurang memberi kesempatan pada siswa untuk menemukan strategi sendiri dalam memecahkan permasalahan, konsep matematika sering disampaikan secara algoritmik dan prosedural, dan siswa sering kali dilatih menyelesaikan banyak soal tanpa pemahaman yang mendalam, siswa kurang diberi kesempatan dan fasilitas untuk melakukan diskusi, negosiasi, dan presentasi. Akibatnya, kemampuan literasi matematika siswa tidak berkembang sebagaimana mestinya.

Mengatasi permasalahan tersebut tampaknya akan sulit jika dilakukan oleh pihak tertentu dan dilakukan secara kompartemen, namun memerlukan upaya beberapa pihak dan dilakukan secara kompak. Oleh karena itu kegiatan kolaborasi antara guru, siswa, dan dosen untuk mengkonstruksi komponen-komponen pembelajaran matematikayang berpotensiuntuk menumbuhkembangkan kemampuan literasi matematika siswa perlu segera dilakukan. Sehingga diperlukan suatu solusi untuk memecahkan masalah tersebut, yaitu diperlukannya model pembelajaran yang melibatkan siswa menjadi aktif, dan dapat melatih kemampuan literasi matematis siswa. Pembelajaran tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan model pembelajaran problem based lerning (PBL).

Peran guru dalam problem based lerning (PBL) adalah menyajikan masalah yang kontekstual dan bermakna, mengajukan pertanyaan, dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog. Problem based lerning (PBL) tidak dapat dilaksanakan tanpa guru mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara terbuka. Secara garis besar, PBL terdiri dari menyajikan situasi masalah yang autentik dan bermakna sehingga dapat memberikan kemudahan kepada siswa untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri.

PBL merupakan suatu model pembelajaran dimana siswa dihadapkan pada masalah autetik (nyata) sehingga diharapkan dapat menyusun pengetahuan sendiri, mengembangkan kemampuan berfikir tingkat tinggi dan keterampilan penyelesaian masalah, memandirikan siswa dan meningkatkan kepercayaan dirinya. Menurut Ibrahim dan Nur (Nurhadi et al, 2004:57-59), tujuan PBL adalah untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir dan pemecahan masalah, belajar tentang berbagai peran orang dewasa malalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi, dan menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri.

Berdasarkan pengertian yang dikemukakan tersebut, maka pembelajaran dengan menggunakan model problem based learning (PBL) akan mempunyai kontribusi yang sangat tinggi terhadap kemampuan literasi matematis siswa. Hal ini juga mendukung pernyataan bahwa model ini cocok untuk meningkatkan kemampuan literasi matematis siswa yang dilihat dari hasil.

Berdasarkan latar belakang yang diutarakan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui apakah peningkatan kemampuan literasi matematis siswa yang memperoleh model pembelajaran PBL lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa; (2) mengetahui bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran problem based learning dalam meningkatkan kemampuan literasi matematis siswa; (3) mengetahui apakah terdapat hubungan yang positif antara sikap siswa terhadap pembelajaran yang menggunakan model problem based learning dengan peningkatan kemampuan literasi matematis.

METODOLOGI PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuasi eksperimen.

Dimana pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling.

Dipilihnya dua kelas untuk dijadikan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dari kedua kelas yang digunakan sebagai sampel, ada dua perlakuan berbeda. Sehingga diperoleh hasil yaitu kelas X AK 4 dengan jumlah siswa 34 orang sebagai kelas eksperimen dimana proses

(5)

5 pembelajarannya menggunakan model problem based learning (PBL) dan kelas X AK 3 dengan jumlah siswa 36 orang sebagai kelas kontrol dimana proses pembelajarannya menggunakan model pembelajaran biasa. Penelitian ini menekankan pada pengaruh model pembelajaran problem based learning terhadap peningkatan kemampuan literasi matematis siswa di kelas/kelompok eksperimen maupun kelas kontrol. Kedua kelas tersebut diberikan pretest dan posttest sebagai perbandingan dari keberhasilan pembelajaran tersebut.

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain kelompok kontrol non- ekuivalen (Nonequivalent Control Group Design). Adapun desain penelitiannya digambarkan sebagai berikut:

O1 X O2

O3 O4

Keterangan :

O1 : pretest kelompok eksperimen O2 : posttest kelompok eksperimen O3 : pretest kelompok kontrol O4 : posttest kelompok kontrol

X : Perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran PBL.

Sebelum dilakukan tindakan, kedua kelas terlebih dahulu diberikan tes awal (pretest) yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan literasi matematis siswa. Setelah melaksanakan pretest, kelas eksperimen diberikan pembelajaran matematika dengan model problem based learning sedangkan kelas kontrol diberikan pembelajaran matematika dengan model pembelajaran biasa. Setelah materi selesai, kedua kelas diberi tes akhir (posttest) yang bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan literasi matematis siswa setelah pembelajaran. Tes kemampuan literasi matematis terdiri dari 5 butir soal yang sudah divalidasi dimana untuk penskoran tiap butir soal yang dijawab disesuaikan dengan pedoman penskoran kemampuan literasi matematis level 4.

Penelitian ini juga menggambarkan kemampuan literasi matematis siswa level 4, sehingga termasuk penelitian deskriptif kualitatif. Analisis data dilakukan dengan menginvestigasi hasil tes. Adapun analisis yang dilakukan sebagai berikut,

𝑃 = 𝑓 𝑁%

Di mana:

P = Angka persentase

f = Frekuensi yang sedang dicari persentasenya

N = Number of Casses (Jumlah frekuensi/banyaknya individu)

HASI PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Data kuantitatif literasi matematis level 4 siswa diperoleh dari hasil pretest, posttest dan indeks gain. Analisis Data Gain (Normalized Gain) ini digunakan untuk mengetahui peningkatan kemampuan literasi matematis siswa, baik siswa kelas eksperimen yang pembelajarannya menggunakan model problem based learning (PBL), maupun kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran biasa.Uji inferensi yang dilakukan pada data peningkatan kemampuan literasi matematis ini mencangkup uji normalitas, uji homogenitas, dan uji perbedaan rata-rata. Berikut uraian dari uji inferensi untuk data peningkatan kemampuan literasi matematis siswa.

Berdasarkan hasil uji normalitas dan uji homogenitas diketahui bahwa data berdistribusi normal dan homogen sehingga lanjut uji perbedaan dua rata-rata. Adapun uji

(6)

Jurnal Gammath, Volume (2) Nomor (2), September 2017

6

Pretest Nilai Terendah

Posttest nilai Tertinggi

19,26 67,53

20,39 57,94

Diagram Kemampuan Awal dan Akhir Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

eksperimen kontrol

perbedaan dua rata-rata pada hasil indeks gain dilakukan uji satu pihak dengan hipotesis statistik sebagai berikut:

H0 : 1 = 2

H1 : 1>2

Keterangan:

1 : Peningkatan kemampuan literasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran problem based learning (PBL).

2 : Peningkatan kemampuan literasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran biasa.

Kriteria pengujian dengan menggunakan taraf signifikansi 5% sebagai berikut:

1) jika nilai 𝑆𝑖𝑔

2 ≥ 0,05 maka H0 diterima.

2) jika nilai 𝑆𝑖𝑔

2 < 0,05 maka H0 ditolak.

Adapun hasil pengolahan data menggunakan Uji T terdapat dalam tabel 3 sebagai berikut.

Tabel 3. Hasil Uji T Nilai Indeks Gain Uji Perbedaan Rat-rata

Levene Statistics Df Sig.(2-tiled)

0,181 68 0,015

Dari tabel 4.11 dapat dilihat bahwa nilai 𝑆𝑖𝑔

2 sebesar 0,0075. Karena nilai signifikannya kurang dari 0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima artinya peningkatan kemampuan literasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran problem based learning (PBL) lebih baik dari peningkatan kemampuan literasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran biasa secara signifikan.

Berdasarkan hasil pengolahan serta analisis data yang dilakukan, dapat disimpukan bahwa melalui hasil post-test nampak adanya peningkatan kemampuan literasi matematis siswa. Peningkatan ini tidak hanya terjadi pada siswa di kelas eksperimen, tetapi juga siswa di kelas kontrol. Meskipun peningkatan yang terjadi pada kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak terlalu tinggi, namun dari analisis post-test yang dilakukan peningkatan kemampuan literasi matematis siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi atau lebih baik dari kelas kontrol.

Berikut ini merupakan deskripsi perbandingan kemampuan literasi matematis awal dan akhir kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Gambar 1. Diagram Kemampuan Awal dan Akhir Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

Gambar 1 menunjukkan adanya perbedaan kemampuan literasi matematis awal dan akhir antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dilihat dari gambar sebelum diadakan perlakuan, kemampuan literasi matematis kedua kelas sama dan sesudah diadakan

(7)

7 perlakuan yang berbeda terhadap kedua kelas ternyata kemampuan akhir literasi matematis kelas eksperimen dan kelas kontrol meningkat. Kelas eksperimen meningkat sebesar 60%

dari rata-rata nilai 19,26 menjadi 67,53 sedangkan kelas kontrol meningkat sebesar 47%

dari rata-rata nilai 20,39 menjadi 57,94. Data disimpulkan bahwa pencapaian kemampuan literasi matematis siswa kelas eksperimen lebih baik dari kelas kontrol.

Berdasarkan analisis hasil penelitian dapat dilihat kemampuan awal literasi matematis level 4 yang ditunjukkan olehjawaban siswa atas 5 butir soal yang dikerjakan. Tingkat kesukaran ataupun proporsi menjawab benar pada setiap butir soal menunjukkan tingkat pencapaian siswa pada setiap butir. Dari hasil pengolahan data, ternyata cukup banyak siswa yang memberi jawaban tanpa penjelasan dan langkah kerja dalam mengerjakan soal- soal tersebut. Hal ini menunjukkan siswa dari kedua kelas kurang mampu memberikan penjelasan/uraian/argumen terhadap persoalan matematika yang diujikan dalam tes awal (pretest). Berdasarkan kompetensi koneksi level 4, butir soal literasi matematis terdiri dari 4 indikator, disajikan persentasi siswa dalam menjawab soal aspek literasi matematis dalam tabel berikut:

Gambar 2. Persentase Siswa Dalam Menjawab Soal Aspek Literasi Matematis

Persentase siswa dalam menjawab soal aspek literasi matematis yang mencakup indikator pertama, ketiga dan keempat lebih baik kelas kontrol sedangkan kelas eksperimen lebih unggul di indikator kedua. Hal ini disebabkan penggunaan model pembelajaran probelm based learning memberikan pengaruh pada pencapaian kemampuan literasi matematis level 4 siswa khususnya pada indikator kedua karena beberapa aspek yang ada dalam literasi matematis level 4 dilatih saat pembelajaran dengan model problem based learning ini dilakukan.

Kemampuan literasi matematis siswa dapat dikembangkan secara optimal karena: (1) pemberian masalah kepada siswa dapat membiasakan siswa menerapkan strategi pemecahan masalah yang tepat sehingga dapat menjawab permasalahan yang diberikan, (2) penyajian soal disesuaikan dengan konteks yang ada dalam kehidupan sehari-hari, sehingga siswa dapat membayangkan apa dan bagaimana menyelesaikan permasalahan yang diberikan, (3) model pembelajaran PBL dimulai dengan orientasi siswa terhadap masalah, kemudian menyelesaikan masalah tersebut dengan mendeteksi, mencari dan

0%

20%

40%

60%

80%

eksperi men

kontrol eksperi men

kontrol eksperi men

kontrol

Pretest Posttest Gain

Indikator 1 26% 35% 65% 69% 48% 53%

Indikator 2 29% 24% 65% 39% 50% 17%

Indikator 3 3% 2% 77% 79% 76% 78%

Indikator 4 2% 14% 66% 77% 66% 72%

(8)

Jurnal Gammath, Volume (2) Nomor (2), September 2017

8

menemukan penyebab utama dari timbulnya masalah, kemudian merancang dan mengimplementasikan sebuah solusi dan yang terakhir melalukan refleksi terhadap investigasi yang dilakukan. Hal ini sesuai dengan indikator kemampuan proses pada literasi matematis yang ingin ditingkatkan yaitu mampu merumuskan (formulate) masalah secara matematis, menerapkan (employ) konsep, fakta, prosedur, dan penalaran matematis, menafsirkan (interprate), menerapkan dan mengevaluasi hasil dari suatu proses matematika.

Meskipun indikator pertama (perumusan (formulate) masalah secara matematis), ketiga dan keempat (menafsikran (interprate), menerapkan dan mengevaluasi hasil dari suatu proses matematika) belum bisa meningkat secara signifikan dibanding kelas kontrol.

Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, contohnya bahwa pembelajaran seperti ini memerlukan waktu yang relatif lebih lama karena siswa harus lebih memahami soal-soal literasi matematis pada model probelm based learning ini yang dianggap sulit oleh siswa karena belum terbiasa dengan soal-soal yang bersifat non rutin sehingga siswa kurang optimal dalam menyelesaikan masalah literasi matematis. Namun dari hasil rata-rata keseluruhan peningkatan kemampuan literasi matematis kelas eksperimen lebih baik dari kelas kontrol dengan selisih 5% lebih unggul kelas eksperimen. Jadi, dapat disimpulkan peningkatan kemampuan literasi matematis level 4 siswa yang memperoleh pembelajaran problem based learning (PBL) lebih baik dari peningkatan kemampuan literasi matematis level 4 siswa yang memperoleh pembelajaran biasa.

Adapun kemampuan yang diukur pada soal no 1,2,3,4 dan 5 adalah kemampuan siswa dalam bekerja secara efektif dengan model yang jelas, dalam situasi yang konkrit tetapi kompleks yang mungkin melibatkan pembatasan untuk membuat asumsi, siswa dapat memilih dan menggabungkan representasi yang berbeda, termasuk pada simbol, menghubungkannya dengan situasi nyata, menggunakan berbagai keterampilannya yang terbatas dan mengemukakan alasan dengan beberapa pandangan dikonteks yang jelas, memberikan penjelasan dan mengomunikasikannya disertai argumentasi berdasar pada interpretasi dan tindakan mereka. Dari hasil analisis terhadap kemampuan literasi matematis siswa diperoleh bahwa kemampuan literasi matematis baik pada soal nomor 1,2,3,4 dan 5, rata-rata kelas eksperimen lebih unggul daripada kelas kontrol. Hasil pengerjaan siswa yang diberikan, diantaranya:

Soal nomor 1 ini menguji siswa untuk dapat mengemukakan alasan dan mengkomunikasikan penjelasan dengan memberikan argumen berdasarkan interpretasi terhadap permasalahan nilai perbandingan trigonometri pada sudut-sudut di semua kuadran dengan tepat. Kemampuan literasi matematis siswa untuk menyatakan kebenaran suatu pernyataan dengan memberikan argumen berdasarkan interpretasi terhadap permasalahan yang diajukan dengan pernyataan, karena pada umumnya siswa belum terbiasa dengan soal-soal yang berbentuk seperti ini.

Gambar 3. Contoh Jawaban Nomor 1 Yang Tepat dan Benar

(9)

9 Gambar 4. Contoh Jawaban Nomor 1 Yang Kurang Tepat

Gambar 3. menunjukkan beberapa siswa sudah mampu menemukan kebenaran suatu pernyataan dengan memberikan ilustrasi melalui model/ mengetahui fakta/ mengetahui sifat serta hubungan dari fakta yang ada, dan memberikan argumen yang kuat untuk menarik suatu kesimpulan. Namun ada juga siswa yang menjawab pertanyaan point a dengan penjelasan yang keliru. Seperti pada Gambar 4. siswa mengabaikan konsep perbandingan trigonometri untuk sudut-sudut di semua kuadran.

Pada soal nomor 2 siswa diberikan soal untuk memilih konsep perbandingan trigonometri pada sudut-sudut yang saling berelasi di semua kuadran berdasarkan fakta atau sumber yang berbeda serta dapat menerapkan strategi pemecahan masalah yang sederhana dengan tepat seperti pada gambar 5. berikut ini.

Gambar 5. Contoh Jawaban Nomor 2 Yang Benar

Gambar 5. menunjukkan bahwa siswa sudah mampu menjawab pertanyaan yang diajukan dengan tepat dan lengkap. Dilihat dari langkah-langkah yang diambil siswa mampu memilih konsep yang sesuai untuk memecahkan masalah yang diberikan dan siswa mampu menerapkan strategi pemecahan masalah yang dipilih.

(10)

Jurnal Gammath, Volume (2) Nomor (2), September 2017

10

Gambar 6. Contoh Jawaban Nomor 2 Yang Kurang Tepat

Gambar 6. menunjukkan bahwa siswa sudah mampu menjawab pertanyaan meskipun masih kurang lengkap. Kesalahan yang terjadi umumnya pada soal no 2 ini adalah siswa tidak dapat membuktikan rumus yang diperolehnya berdasarkan fakta atau sumber yang sudah tersedia pada soal dan siswa juga belum tepat menerapkan rumus yang didapat dalam menyelesaikan masalah tersebut.

Soal nomor 3 ini menguji siswa untuk dapat mengidentifikasi masalah kontekstual yang berkaitan dengan nilai perbandingan trigonometri pada sudut-sudut istimewa ke dalam bentuk matematika dengan tepat. Adapun contoh jawaban siswa seperti pada Gambar 7 berikut ini.

Gambar 7. Contoh Jawaban Nomor 3 Yang Tepat dan Benar

(11)

11 Gambar 8. Contoh Jawaban Nomor 3 Yang Kurang Tepat

Gambar 7 menunjukkan bahwa siswa sudah benar mengidentifikasi dan merumuskan masalah secara matematis dengan menggunakan langkah-langkah secara runtun.

Sedangkan pada Gambar 8 siswa sudah mampu menjawab pertanyaan meskipun masih kurang lengkap. Kesalahan yang terjadi umumnya pada soal nomor 6 ini adalah siswa masih bingung dalam mengidentifikasi soal dan menentukan sisi yang belum diketahui pada soal sehingga langkah-langkah yang digunakan tidak runtun.

Soal nomor 4 diberikan kepada siswa agar dapat melakukan penalaran berdasarkan fakta-fakta yang diberikan dalam memecahkan masalah kontekstual yang berkaitan dengan nilai perbandingan trigonometri pada sudut-sudut di semua kuadran dengan benar. Adapun jawaban siswa seperti pada gambar 9 berikut ini.

Gambar 9. Contoh Jawaban Nomor 4 Yang Benar dan Tepat

Gambar 9 menunjukkan bahwa siswa sudah mampu menjawab pertanyaan dengan benar menggunakan informasi yang relevan, mengidentifikasi semua bagian yang penting dan menunjukan secara general hubungan antara bagian-bagian tersebut, memberikan

(12)

Jurnal Gammath, Volume (2) Nomor (2), September 2017

12

fakta-fakta yang jelas dalam proses perhitungan secara sistematis. Namun ada pula siswa yang menjawab pertanyaan dengan keliru seperti pada gambar 10 berikut ini.

Gambar 10. Contoh Jawaban Nomor 4 Yang Kurang Tepat

Gambar 10 menunjukkan bahwa siswa belum bisa sepenuhnya mengidentifikasi semua bagian yang penting dan mengabaikan konsep tanda-tanda nilai perbandingan trigonometri untuk sudut-sudut di semua kuadran, ditambah lagi siswa masih bingung dalam membandingkan lawan dari sin dan cosecan dengan cos dan secan.

Soal nomor 5 ini menguji siswa untuk dapat melakukan penalaran berdasarkan fakta- fakta yang diberikan dalam memecahkan masalah kontekstual yang berkaitan dengan nilai perbandingan trigonometri pada sudut-sudut istimewa dengan benar. Adapun contoh jawaban siswa seperti pada gambar 11 berikut ini.

Gambar 11. Contoh Jawaban Nomor 5 Yang Benar

Gambar 12. Contoh Jawaban Nomor 5 Yang Kurang Tepat

(13)

13 Gambar 11 menunjukkan bahwa siswa sudah mampu menjawab pertanyaan dengan tepat dan benar dengan menggunakan informasi yang relevan, mengidentifikasi semua bagian yang penting dan menunjukkan secara general hubungan antara bagian-bagian tersebut, memberikan fakta-fakta yang jelas dalam proses perhitungan, dan sistematis.

Sedangkan pada Gambar 12 siswa belum bisa mengidentifikasi soal dengan tepat. Sebagian siswa kurang bisa melakukan penalaran berdasarkan fakta-fakta yang diberikan dalam soal dan merasa bingung dalam memecahkan masalah kontekstual sehingga alternatif yang diambil siswa langsung menentukan nilai perbandingan trigonometri tanpa melakukan proses pemecahan masalah.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan dan data-data yang diperoleh, peneliti dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Peningkatan kemampuan literasi matematis siswa yang memperoleh model pembelajaran problem based learning (PBL) lebih baik dari peningkatan kemampuan literasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran biasa secara signifikan.

2. Persentase siswa dalam menjawab soal aspek literasi matematis yang mencakup indikator pertama, ketiga dan keempat lebih baik kelas kontrol sedangkan kelas eksperimen lebih unggul di indikator kedua.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Maryanti, E. 2012. Peningkatan Literasi Matematis Siswa melalui Pendekatan Metacognitive Guidance. Tesis. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Tidak diterbitkan.

[2] Mahdiansyah dan Rahmawati. 2014. Mathematical Literacy Of Students At Secondary Education Level: An Analysis Using International Test Design with Indonesian Context. Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan. 20. (4), 452-469.

[3] Nurhadi. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Universitas Negeri Malang, Surabaya.

[4] Permatasari et al. 2015. Analisis Kesulitan Siswa Dalam menyelesaikan Soal Materi Aljabar Siswa Kelas VIII SMP Negeri 2 Bengil. Kadikma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015.

[5] Puspitasari et al. 2015. Analisis Kemampuan Literasi Matematika Siswa Kelas X MIPA 5 SMA Negeri 1 Ambulu Berdasarkan Kemampuan Matematika. Universitas Jember. Skipsi. Tidak Diterbitkan.

[6], Iwan. 2011. 76,6 Persen Siswa SMP Buta Matematika. Kompas [Online]. Tersedia:

http://edukasi.kompas.com/read/2011/01/31/19444535/76.6.Persen.Siswa.SMP.

Buta.Matematika.08 Juni 2016

[8] Rizali, A. 2008. Buta Matematika dan Ujian Nasional. [Online]. Tersedia: suaraguru.com. [18 Maret 2011].

[9] Septian, Ari. 2014. Buku Ajar Mata Kuliah Penelitian Pendidikan Matematika (Penelitian Eksperimen). Universitas Suryakancana Cianjur.

[10] Sumardyono. 2007.“Pengertian Dasar Problem Solving”. [Online].

Tersedia:erlisitonga.files.wordpress.com/2011/12/pengertiandasarproblemsolving_smd.pdf. 08 Juni 2017

[11]

Wijayanti, Anisa. 2012. Penerapan Model Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (Core) Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Skripsi.

Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Tidak Diterbitkan.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis diperoleh: (1) peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diberi pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi daripada yang

6.3 Odour Management To ensure that the generation of odour at the Site is appropriately minimised and managed, the following management measures will be implemented:  Customers of