• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH ARBITRASE BADAN ARBITRASE MUAMALAH INDONESIA

N/A
N/A
thamara riani

Academic year: 2023

Membagikan "MAKALAH ARBITRASE BADAN ARBITRASE MUAMALAH INDONESIA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH ARBITRASE

BADAN ARBITRASE MUAMALAH INDONESIA

Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Arbitrase HALAMAN COVER

Disusun Oleh Kelompok 3 _ HESy.5

- Nahdia Isni Jauharani - Nurul Khasanah Rangkuti - Abdul Prayoga Razali - Ragil Saputra

Dosen Pengampu: Fitri Mehdini Addieningrum M.Hum

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SAYRIAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

2023

(2)

ΚΑΤΑ PENGANTAR

Assalamu Alaikum Wr. Wb

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan pengetikan makalah ini dengan tepat waktu. Tak lupa shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, rasul yang membimbing ummat manusia dari alam kegelapan menuju ke alam yang terang menerang Terima kasih penulis ucapakan kepada Dr. H. Rahman Ambo Masse. Lc, M.Ag Mata kuliah Arbitrase Syariah yang telah memberikan pengarahan terkait tugas makalah ini. Tanpa bimbingan dari beliau mungkin, penulis tidak akan dapat menyelesaikan tugas ini sesuai dengan format yang telah ditentukan.

Makalah ini membahas tenang "Arbitrase Syariah Indonesia" Penulis menyadari bahwa di dalam pembuatan makalah ini sangat banyak kekurangannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar penulis dapat

memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terdapat di dalamnya agar makalah ini bisa sempurna. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih banyak. Sekian dari penulis.

Wassalamu Alaikum Wr. Wb

Batam, 11 Desember 2023

Kelompok 3

(3)

Daftar Isi

ΚΑΤΑ PENGANTAR ... 1

Daftar Isi ... 3

BAB I PENDAHULUAN ... 4

1.1 Latar Belakang ... 4

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penulisan ... 5

BAB II PEMBAHASAN ... 6

2.1 Pengertian Arbirase Syariah ... 6

2.2 Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) ... 8

2.3 Lingkup Kewenangannya BASYARNAS ... 9

2.4 Kedudukan Hukum Arbitrase Syariah di Indonesia ... 9

2.5 Penyelesaian Senketa Litigasi Dan Non Litigasi ... 9

2.6 Contoh Perkara Yang Dapat Diselesaikan Oleh BASYARNAS ... 12

BAB III PENUTUP ... 13

3.1 Kesimpulan ... 13

3.2 Saran ... 13

DAFTAR PUSTAKA ... 14

(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap individu atau kelompok menghendaki hidup damai dan tenteram serta selalu berusaha menghindari munculnya sengketa, walaupun demikian dalam kenyataan kesalah fahaman sebagai penyebab sengketa tersebut terkadang sulit dihindari. Kesalah fahaman dimaksud ada yang dapat diselesaikan oleh mereka sendiri dan ada pula yang memerlukan campur tangan pihak lain serta memerlukan penyelesaian secara serius, bahkan ada pula yang menjadi hangat dan sengit jika kemudian tidak kunjung ditemukan cara yang tepat untuk menyelesaikannya.

Sengketa ini merupakan problema sosial yang langsung bersentuhan. dengan hukum dan memerlukan pemecahan secara integral. Terlebih lagi karena manusia sebagai mahluk sosial maka sangat diperlukan cara penyelesaian yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Hal demikian untuk melengkapi fakta dan teori dalam menghadapi sengketa agar kita tidak terjebak dalam empirisme dan masuk pada batasan teoritikal yang tanpa nilai (makna) sehingga kehilangan idealisme. Padahal sesungguhnya makna itulah yang akan dicari yakni nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.

Setiap tatanan masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh kesepakatan dalam proses perkara atau untuk menyelesaian sengketa di kalangan mereka. Masyarakat mulai meninggalkan cara cara kebiasaan beralih ke cara cara

formal menurut hukum yang berlaku yang diakui oleh negara. Dalam memahami hukum masyarakat kerap kali memandang pandang sebagai hal yang skeptis, yakni dipandang sebatas mengenai ilmu tentang peradilan, atau bahkan hukum diidentikkan dengan.

peradilan.

Pandangan yang demikian terkadang mengakibatkan hukum bermakna sangat sempit.

Padahal jauh lebih luas, termasuk di dalamnya pemecahan sengketa tanpa melalui jalur peradilan dapat diartikan sebagai hukum itu sendiri. Cara penyelesaiannya seringkali diawali dengan nasehat nasehat keagamaan. tentang arti pentingnya persaudaraan sedemikian rupa, sehingga perselisihan dapat diselesaikan secara damai dan orang yang bersengketa saling memafkan. Apabila salah satu pihak yang dirugikan, pihak lainnya secara rela mengembalikan hak saudaranya itu, atau sebaliknya pihak yang merasa dirugikan secara suka rela demi kepentingan perdamaian menggugurkan haknya dan bisa jadi disatu kali kedua belah pihak sama-sama mengalah yakni saling mengalah demi perdamaian.

Praktik inilah yang disebut dengan bertahkim kepada seorang yang ahli untuk

meminta diselesaikan atau diputus-kan perkara diantara mereka. Hanya saja masyarakat belum mengenal dengan istilah arbitrase (hakam). Dengan demikian dalam makalah ini penulis akan membahas tentang Arbitase syariah di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian arbitrase Syariah?

(5)

2. Bagaimana ruang lingkup arbitrase Syariah?

3. Bagaimana kedudukan hukum arbitrase syariah dalam hukum Nasional di Indonesia?

4. Bagaimana perbandingkan penyelesaian sengktea litigasi dan non litigasi?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini, selain untuk melengkapi tugas-tugas persyaratan guna memenuhi tugas mata kuliah sim Bank Syariah, juga mempunyai tujuan

pembahasan yang sesuai dengan permasalahan yang diajukan antara lain:

1. Untuk mengetahui pengertian arbitrase Syariah ? 2. Untuk mengetahui ruang lingkup arbitrase Syariah?

3. Untuk mengetahui kedudukan hukum arbitrase syariah dalam hukum Nasional di Indonesia?

4. Untuk mengetahui perbandingkan penyelesaian sengktea litigasi dan non litigasi?

(6)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Arbirase Syariah

Secara etimologias, kata arbitrase dapat dipedanakan dengan istilah tahkim. Tahkim berarti, Pertama, menyerahkan penyelesaian suatu masalah hukum kepada seseorang.

Kedua, Mencegah kerusakan atau mendamaikan. Ketiga, mengangkat seorang hakam.

Menurut Sallam Madkur kedudukan Tafkim lebih rendah dari peradilan atau biasa disebut uasi peradilan. Menurutnya tahim adalah menunjuk dan mengangkat seorang hakim untuk memutus perkara bagi para pihak berdsarkan hukum Islm (syariat).

Secara terminology, Abdul Karin Zaidan mendefenisikan tahkim sebagai pengangkatan atau penunjukan (secara suka rela) dari dua orang yang bersengketa terhadap seseorang yang dapat menyelesaikan persoalan hukum. di antara keduanya dan hasilnya menjadi putusan hukum seperti layaknya putusan adhi atau hukum.

Secara oprasional, arbitrase syariah dapat didefenisikan sebagai penyelesaian sengketa oleh kedua pihak atau lebih di luar pengadilan yang mengutamakan prindip perdamaian atau sukarela, terhadap suatu persoala hukum sesuai dengan kewenangan yang diatur menurut ajaran Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan defenisi diatas terdapat lima unsur dalam arbitrase syariah (tahkim), yaitu:

a. para pihak yang mengadakan perjanjian (mencamtumkan klausul).

b. objek atau persoalan yang disengketakan.

c. arbiter yang situnjuk.

d. syariah (hukum Islam) sebagai dasar hukum penyelesaian sengketa, e. perdamaian (ishlah) sebagai tujuan penyelesaian sengketa.

Penyelesaian sengketa melalui jalur tahkim merupakan bagian dari sistem pengadilan swasta yang dapat dijadikan sebagai system non litigasi yang prosedur beracaranya mirip dengan system peradilan. Karena itu, untuk menjadikannya sebagai system peradilan yang implikasi amar putusannya dapat memiliki kekuatan hukum mengikat dan memaksa harus ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Takim atau arbitrase syariah tidak hanya ditetapkan berdasarkan keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia yang sifar amar putusannya tidak mengikat dan memaksa, namun harus ditunjuk langsung berdasarkan peraturan pemerintah atau perundang- undangan.

Badan arbitrase syariah BASYARNAS bagian dari struktur penegakan hukum (law enforchment). Friedman menganalisis bahwa efektifitas hukum dapat berjalan dengan baik apabila didukung oleh unsur-unsur, yaitu

a) Subtansi hukum atau mentri hukum berupa aturan perundang-undangan b) Penegakan dan penata hukum berupa penegak hukum

c) Culture hukum (budaya hukum).

(7)

Berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 ditentukan, "badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang". Yang dimaksud badan-badan lain, yaitu badan-badan yang tidak tersurat langsung dan diatur dalam konstitusi Negara. Selain itu, terdapat sejumlah lembaga yang negara yang kewenangannya langsung diberikan oleh undang-undang dasar yang memiliki fungsi, yaitu:

a) Hanya bersifat supporting atau penunjang terhadap kekuasaan kehakiman b) Pemberian kewenangan konstituonal yang eksplisit hanya bertujuan penegasan

kedudukan konstituonalnya yang independen.

c) Penentuan kewenangan pokoknya hanya bersifat by implication bukan dirumuskan secara tegas.

d) Keberadaan kelembagaanya atau kewenangannya tidak tegas ditentukan dalam undang-undang dasar melaikan hanya ditentukan berdasarkan Undang-undang.

Kedudukan BASYARNAS dalam struktur peradilan non litigasi secara yuridis formal tegas ditunjuk oleh perundang-undangan di Indonesia. Undang-undang NO.

30/1999 Tentang Arbitrqase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengatur tentang pilihan forum sengketa yang didasarkan atas perjanjian par pihak. Undang-undang tersebut secara umum mengatur penyelesaian sengketa non litigasi baik melalui lembaga arbitrase konvensional maupun syariah. Karena itu, sifat kedudukan dan amar

putusannya mendapatkan ligitimidasi undang-undang sehingga putusannya bersifat final dan mengikat, serta pengadilan tidak berhak mengadili sengketa yang menjadi

kewenangan arbitrase dan tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase. Hal yang sama ditegaskan dalam undang-undang No 48/2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 58, yaitu:

"Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat silakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa". Pasal 58. Yaitu: "1) Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar pengadilan yang

didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 2) Putusan arbirase bersifat finansial dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. 3) Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.”

Penjelasan pasal 59 ayat (1) menyebutkan bahwa “yang dimaksud dengan arbitrase dalam ketentuan ini termasuk juga arbitrase syariah". Secara redaksional ketentuan perundang-undangan di atas menegaskan kedudukan BASYARNAS sebagai lembaga non litigasi dalam penyelesaian sengketa para pihak. Secara sistematis undang-undang No. 30/1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dikuatkan dengan Undang- undang No. 48/2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Karena itu secara yuridis formal kedudukan BASYARNAS menjadi legitimed dan putusannya berlaku mengikat dan memaksa.1 Rahman Ambo Masse, Arbitrase Syariah (Yogyakarta: TrushMedia Publishing.2017), h.118

(8)

2.2 Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)

Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sebagai salah satu lembaga yang menawarkan jasa arbitrase untuk sektor bisnis ekonomi Islam atau bisnis berbasis syariah. Lembaga arbitrase yang mengklaim berdasarkan hukum Islam. Sebagai suatu Badan Arbitrase, BASYARNAS bertujuan menyelesaikan perselisihan atau sengketa keperdataan dengan prinsip mengutamakan perdamaian atau ishlah.

Sejarah mencatat bahwa ide untuk melahirkan Badan Arbitrase Syariah Nasional muncul pada waktu Rakernas Majelis Ulama Indonesia tahun 1992, diwacanakan pendirian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang pendiriannya diawali dengan diskusi yang dihadiri pada pakar dari kalangan akademis, praktis hukum, ulama, dan praktis perbankan syariah. Pada rakermas majelis ulama Indonesia (MUI) yang merekomendasikan untuk membentuk lembaga arbitrase Muamalat(BAMUI) dan mendesak agar MUI segera merealisasikanya dalam waktu secepatnya. Karenqa itu, pada tanggal S mei 1992 MUI menerbitkan SK. No. Kep.392/MUI/V/1992 yang berisikan penunjukan kelompok kerja pembentukan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).

Pada tanggal 5 Jumadil Awal 1414 H/21 Oktober 1993 dihadapan. notaris Ny. Lely Roostiati Yudo Paripurno ditandatangani akte pendirian yayasan Badan Arbitrase Mu'amalat Indonesia yang dilakukan oleh KH. Hasan Basri dan HS Prodj okusmo dari unsur MUI pusat dan disaksikan oleh HM. Soedjono dan H. Zainulbahar Noor. SE sebagai dirut Bank Muamalat Indonesia. BAMUI merupakan badan otonom yang bersifat independen yang benaung dalam status hukum yayasan..

Secara sosiologis, eksistensi perbankan syariah semakin mendapat tempat di masyarakat Indonesia, karena itu, regulasi yang memanyungi perbankan syariah terus dikembangkan sebagai sarana adaftif untuk mengantisipasi laju pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia. Untuk mengantisipasi laju pertumbuhan perbankan syariah dan mengantisipasi potensi sengketa yang diakibatkan wanprestasi atas ikatan perjanjian yang telah dibangun, maka pada tahun 2003 Majelis Ulama Indonesia melalui SK No.

Kep09/MUI/XII/2003 tanggal 30 Syawal H/24 Desember 2003 M yang ditanda tangani oleh Dr. KH. MA. Sahal Mahfudh selaku ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUD dan Prof. Dr. H. M. Dien Syamsuddin selaku sekretaris MUI menetapkan:

1. Mengubah nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)

2. Mengubah bentuk badan hukum BAMUI dari yayasan menjadi badan yang berada dibawah MUI dan mempakan perangkat organisasi MUI

3. Tugas dan fungsi BASYARNAS bersifat otonom dan independen.

Tujuan pendirian BASYARNAS adalah untuk menyelesaikan sengketa- sengketa mengutamakan usaha-usaha perdamaian dan mediasi. Kehadiran lembaga arbitrase syariah ini juga mempertegas eksistensi dan keberlakuan hukum Islam di Indonesia.

Karena salah satu hukum beracara yang digunakan dalam proses penyelesaian sengketa adalah hukum Islam dan hukum perikatan Islam atau fiqih muamalah."2 Rahman Ambo Masse, Arbitrase Syariah (Yogyakarta: TrushMedia Publishing, 2017), h.101

(9)

2.3 Lingkup Kewenangannya BASYARNAS

Badan Arbitrase Syari'ah Nasional (BASYARNAS) berwenang:

a) Menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah (perdata) yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa, dan para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan

penyelesaiannya kepada BASYARNAS sesuai dengan prosedur BASYARNAS.

b) Memberikan pendapat yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa adanya suatu sengketa mengenai persoalan berkenaan dengan suatu perjanjian.

Adanya BASYARNAS sebagai suatu lembaga permanen, berfungsi untuk

menyelesaikan kemungkianan terjadinya sengketa perdata di antara bank-bank syariah dengan para nasabahnya atau para pengguna jasa mereka pada khususunya dan antara sesama umat Islam yang melakukan hubungan- hubungan keperdataan yang menjadikan syariah Islam sebagai dasarnya, pada umumnya adalah merupakan suatu kebutuhan yang sungguh-sungguh nyata.3 Bp Lawyers "mengenal Lebih Jauh Tentang Arbitrase Syariah" https://blog.bplowers.co.id Nov.2018

2.4 Kedudukan Hukum Arbitrase Syariah di Indonesia

Secara yuridis formal, dasar hukum penanganan perselisihan dengan arbitrase

dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 pasal 3 ayat 1, yang berbunyi:

"Penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui

Arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan Arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk eksekusi (executoir) dari pengadilan."

Dalam perkembangannya, landasan dibolehkannya arbitrase ini pun didukung oleh hadirnya UU No. 30 Tahun 1999, yang menjelaskan bahwa setiap lembaga arbitrase akan sah secara hukum apabila telah memenuhi syarat/ketentuan yang diatur undang- undang.

Kedudukan hukum arbitrase syariah sendiri, dari segi kelembagaan berstatus yayasan yang dibentuk berdasarkan Akta Notaris Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993, dan berdasarkan surat dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor C-

190.H.T.03.07.TH.1992 tertanggal 7 Agustus 1992. Sementara jika dilihat dari tata hukum di Indonesia, lembaga arbitrase syariah ini juga memiliki kekuatan hukum. Hal ini mengingat, dalam hukum positif Indonesia, lembaga lain di luar lembaga peradilan diperbolehkan untuk menjadi penengah/wasit/hakim dalam penyelesaian sengketa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) memiliki kewenangan untuk terlibat dan menyelesaikan sengketa bisnis.

2.5 Penyelesaian Senketa Litigasi Dan Non Litigasi

Penyelesaian sengketa perbankan syariah secara non litigasi dapat ditempuh melalui jalur konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, penilian ahli, dan arbitrase. Penyelesaian

(10)

arbitarase didasarkan pada perjanjian para pihak, baik perjanjian sebelum terjadi sengketa (pactum de compromettendo) atau perjanjian setelah sengketa (akta

kompromis). Penyelesaian sengketa berdasarkan perjanjian merupakan kewenangan arbitase dan pengadilan berhak menolak dan tidak dapat mengintervensi sengketa yang telah dilimpahkan melalui arbitrase. Perjanjian yang dibuat secara tertulis dihadapkan pejabat yang berwenang merupakan undang-undang bagi yang membuatnya.

Penyelesaian sengketa secara litigasi dasar hukumnya telah jelas, yaitu merupakan kewenangan absolute pengadilan agama. Sedangkan penyelesaian sengketa ekonomi syaariah non litigasi didasarkan pada perjanjian para pihak, baik melalui pactum de compromettendo atau acte comporomise, biasa disebut dengan istilah submission agreement, yaitu sutu perjanjian berkenaan dengan sengketa yang telah terjadi.

Sedangkan eksekusi putusan BASYARNAS dilimpahkan kepada pengadilan negri berdasarkan UU No. 30/1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 61 "dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negri atas permohonan satu pihak yang bersengketa.4 Rahman Ambo Masse, Arbitrase Syariah (Yogyakarta:

TrushMedia Publishing.2017), h.119

1. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan (Litigasi)

Menurut Suyud Margono berpendapat bahwa:

"Litigasi adalah gugatan atas suatu konflik yang diritualisasikan untuk

menggantikan konflik sesungguhnya, dimana para pihak memberikan kepada seorang pengambilan keputusan dua pilihan yang bertentangan". Litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan, di mana semua pihak yang bersengketa saling berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-haknya di muka pengadilan.

Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah putusan yang menyatakan win-lose solution.

Prosedur dalam jalur litigasi ini sifatnya lebih formal (very formalistic) dan sangat teknis (very technical). Seperti yang dikatakan J. David Reitzel "there is a long wait for litigants to get trial", jangankan untuk mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap, untuk menyelesaikan pada satu instansi peradilan saja, harus antri menunggu. Prosedur penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di pengadilan (litigasi). lazimnya dikenal juga dengan proses persidangan perkara perdata. sebagaimana ditentukan berdasarkan hukum acara perdata.

Tahap akhir dari penyelesaian sengketa secara litigasi adalah berupa putusan hakim. Putusan pengadilan pun dirasakan tidak menyelesaikan masalah, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, kondisi ini

menyebabkan para pihak mencari alternatif lain yaitu penyelesaian sengketa di luar proses peradilan formal.

2. Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan (Nonlitigasi)

(11)

Dalam penyelesaian sengketa melalui non-litigasi, kita telah mengenal adanya penyelesaian sengketa alternatif atau Alternative Dispute Resolutin (ADR), yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka (10) Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan ADR, yang berbunyi sebagai berikut:

"Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli."

Akhir-akhir ini pembahasan mengenai alternatif dalam penyelesaian sengketa semakin ramai dibicarakan, bahkan perlu dikembangkan untuk mengatasi kemacetan dan penumpukan perkara di pengadilan maupun di Mahkamah Agung.

Penyelesaian sengketa melalui non-litigasi jauh lebih efektif dan efisien sebabnya pada masa belakangan ini, berkembangnya berbagai cara penyelesaian sengketa (settlement method) di luar pengadilan, yang dikenal dengan ADR dalam berbagai bentuk, seperti:

a. Arbitrase

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 30 Tahun 1999 menjelaskan bahwa,

"Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa". Arbitrase digunakan untuk mengantisipasi perselisihan mungkin terjadi maupun yang sedang mengalami perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara negosiasi/konsultasi maupun melalui pihak ketiga serta untuk menghindari penyelesaian sengketa melalui peradilan.

b. Negosiasi

Menurut Ficher dan Ury, negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Hal ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Susanti Adi Nugroho bahwa, negosiasi ialah proses tawar- menawar untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain melalui proses interaksi, komunikasi yang dinamis dengan tujuan untuk mendapatkan penyelesaian atau jalan keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi oleh kedua belah pihak.

c. Mediasi

Menurut Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses

perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu mediator.

Mediasi (mediation) melalui sistem kompromi (compromise) diantara para pihak, sedang pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator hanya sebagai penolong (helper) dan fasilitator.

d. Konsiliasi

(12)

Konsiliasi merupakan lanjutan dari mediasi. Mediator berubah fungsi menjadi konsiliator. Dalam hal ini konsiliator menjalankan fungsi yang lebih aktif dalam mencari bentuk-bentuk penyelesaian sengketa dan menawarkannya kepada para pihak. Jika para pihak dapat menyetujui, solusi yang dibuat konsiliator akan menjadi resolution.

e. Penilaian Ahli

Penilaian ahli merupakan cara penyelesaian sengketa oleh para pihak dengan meminta pendapat atau penilaian ahli terhadap perselisihan yang sedang terjadi.

Selain dari cara penyelesaian sengketa sebagaimana disebutkan di atas yang

didasarkan kepada Undang-Undang No 30 Tahun 1999, dalam sistem hukum Indonesia tentang hal tersebut telah diatur dalam Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana disebutkan dalam Pasal 58 dan Pasal 60, yang pada pokoknya menentukan tentang penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui mediasi.

Hasil akhir dari rangkaian proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dengan mengacu kepada ketentuan sebagaimana diatur alam Pasal 6 ayat 7 Undang-Undang No 30 Tahun 1999 yang berhasil maka akan menghasilkan kesepakatan atau perdamaian diantara para pihak.

2.6 Contoh Perkara Yang Dapat Diselesaikan Oleh BASYARNAS

BASYARNAS sejak berdirinya pada tahun 1993 sampai dengan tahun 2006 baru menyelesaikan perkara sebanyak 14 perkara dari berbagai perkara yang telah diajukan.

Adapun banyaknya perkara yang ditolak, dikarenakan perkara yang diajukan kurang memenuhi persyaratan, dari 14 perkara tersebut yang paling banyak terjadi adalah pada akad mudharabah dan murabahah dengan sistem profit and loss sharing.

Persengketaan yang terjadi seperti:

1. Tidak memenuhi kewajiban, baik itu jangka pendek maupun jangka panjang seperti tidak membayar pada saat jatuh tempo.

2. Kewajiban-kewajiban nasabah kepada bank, terutama nasabah-nasabah besar.

Dan apabila keputusan Basyarnas belum final bagi para pihak yang bersengketa, mereka biasanya melakukan banding ke pengadilan agama. Arbiter (penyelesai masalah sengketa) di Basyarnas ada 5 orang yaitu: H. Yudo Paripurno, SH, H. Hidayat Achyar, SH, Achmad Djauhari, SH. Drs. H. Mochtar Luthfi, SH, dan Fatih.

Untuk memenuhi keinginan market, Basyarnas membuka perwakilan di Riau, Yogyakarta, Surabaya, Lampung dengan kepengurusan yang sama. Dan akan dibuka di Padang, Kalimantan Timur, Aceh dan Jawa Tengah. Adapun kantor pusat Basyarnas berada di Jl. Cikini Raya No. 60, Jakarta Pusat, Tel. 3144794, Fax. 3915479.5 Yunsah zaidah, "Lembaga Arbitrase Islam Di Indonesia" Tempo, 5 november 2018, him. 129.

(13)

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Secara etimologias, kata arbitrase dapat dipedanakan dengan istilah tahkim. Tahkim berarti, Pertama, menyerahkan penyelesaian suatu masalah hukum kepada seseorang.

Kedua, Mencegah kerusakan atau mendamaikan. Ketiga, mengangkat seorang hakam.

Secara terminology, Abdul Karin Zaidan mendefenisikan tahkim sebagai pengangkatan atau penunjukan (secara suka rela) dari dua orang yang bersengketa terhadap seseorang yang dapat menyelesaikan persoalan hukum di antara keduanya dan hasilnya menjadi putusan hukum seperti layaknya putusan adhi atau hukum.

Penyelesaian sengketa perbankan syariah secara non litigasi dapat ditempuh melalui jalur konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, penilian ahli, dan arbitrase. Penyelesaian arbitarase didasarkan pada perjanjian para pihak, baik perjanjian sebelum terjadi

sengketa (pactum de compromettendo) atau perjanjian setelah sengketa (akta kompromis).

Penyelesaian sengketa secara litigasi dasar hukumnya telah jelas, yaitu merupakan kewenangan absolute pengadilan agama. Sedangkan eksekusi putusan BASYARNAS dilimpahkan kepada pengadilan negri berdasarkan UU No. 30/1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 61 "dalam hal para pihak tidak

melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negri atas permohonan satu pihak yang bersengketa.

3.2 Saran

Berdasarkan pembahasan yang telah dibahas maka penulis menyarankan bahwa, dengan danya BASYARNAS sebagai suatu lembaga permanen, penulis menyarankan ini dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa perdata di antara bank-bank syariah dengan para nasabahnya atau para pengguna jasa mereka pada khususunya dan antara sesama umat Islam yang melakukan hubungan-hubungan keperdataan yang menjadikan syariah Islam sebagai dasarnya.

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Rahman Ambo Masse, Arbitrase Syariah (Yogyakarta: TrushMedia Publishing.2017), h.118

Ambo Masse Rahman. 2017. Arbitrase Syariah Formalisasi Hukum Islam Dalam Rana Sengketa Ekonomi Syariah Secara Non Litigasi". Yogyakarta: TrushMedia Publishing.

Arifin Muhammad. 2016. "Arbitrase Syariah Sebagai Pilihan Forum Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah" Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Yunsah zaidah, "Lembaga Arbitrase Islam Di Indonesia" Http://media.neliti.com Diakses Pada, 5 november 2018, hlm.129

BpLawyers. 2017. "mengenal Lebih Jauh Tentang Arbitrase Syariah"

https://blog.bplowers.co.id. Diakses Pada 5 november.2018

Referensi

Dokumen terkait