MAKALAH DIABETES MILITUS
PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK
Dosen Pengampu : apt. Kiki Damayanti, M.Farm Disusun Oleh :
Golongan III Kelompok 5 / Kelas A2
Galuh Lita Nanda 20105011077
Anni Oktafiani S. 20105011080
Retno Wulandari 20105011083
Karillda Agnoin W. 20105011087
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS WAHID HASYIM
SEMARANG 2023
I. Pengertian Diabetes Militus
Diabetes melitus (DM) merupakan sekelompok kelainan metabolisme yang ditandai dengan peningkatan glukosa darah (BG) secara kronis dan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang tidak normal. Tanpa pengobatan yang efektif, DM dapat menyebabkan komplikasi akut seperti ketoasidosis diabetik (DKA) dan sindrom hiperglikemik hiperosmolar (HHS). Hiperglikemia kronis dapat menyebabkan komplikasi mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropatik. (DiPiro, 2020)
II. Etiologi Diabetes Militus
Etiologi dari penyakit DM yaitu gabungan dari faktor lingkungan, etiologi lain dari DM yaitu sekresi atau kerja insulin abnormalitas metabolik yang mengganggu sekresi insulin, abnormalitas mitokondria dan sekelompok kondisi yang menggangu tokransi glukosa. Diabetes militus dapat muncul akibat penyakit eksokrin pankreas terjadi ketika kerusakan pada mayoritas pankreas.hormon yang bekerja sebagai antagonis insulin juga dapat menyebabkan diabetes. (Lestari, 2021) III. Patofisiologi Diabetes Militus
Patofisiologi diabetes mellitus yaitu jumlah glukosa yang di ambil dan dilepaskan oleh hati dan digunakan oleh jaringan-jaringan perifer bergantung pada keseimbangan fisiologis beberapa hormon yang meningkatkan kadar glukosa darah. Insulin merupakan hormon yang menurunkan glukosa darah, di bentuk sel- sel beta di pulau langerhans pankreas. Hormon yang meningkatkan kadar glukosa darah antara lain: glukagon yang disekresi oleh korteks adrenal dan growth hormon membentuk suatu perlawanan mekanisme regulator yang mencegah timbulnya penyakit akibat pengaruh insulin (Price & Wilson, 2016).
Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin dan gangguan sekresi insulin yaitu retensi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Retensi insulin pada diabetes tipe II disertai penurunan reaksi intra sel sehingga insulin pada diabetes tipe II menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Jika sel-sel beta tidak mampu
mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II . menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II (ADA, 2018).
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel ẞ pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari diabetes mellitus tipe 2.
Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel ẞ terjadi lebih dini dan lebih berat dari pada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel B. organ lain seperti jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel a pankreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorbsi glukosa) dan otak (resistensi insulin), semuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada diabetes mellitus tipe II (Perkeni, 2021)
Adanya resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas untuk sekresi insulin merupakan kelainan dasar yang terjadi pada penyakit DM tipe II. Selain otot, liver dan sel beta pankreas, terdapat peran organ-organ lain yang berkontribusi terhadap terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe II. Organ-organ tersebut dan perannya adalah jaringan lemak dengan perannya meningkatkan lipolisis, gastrointestinal dengan defisiensi incretin, sel alpha pankreas dengan terjadinya hiperglukagonemia, ginjal dengan meningkatnya absorpsi glukosa, dan peran otak dengan terjadinya resistensi insulin, Keseluruhan gangguan terkait kelainan peran organ tersebut mengakibatkan kelainan metabolik yang terjadi pada pasien Diabetes Mellitus tipe II (Aini, 2017).
IV. Faktor Resiko Diabetes Militus
Faktor yang dapat mempengaruhi kadar glukosa dalam darah adalah:
a. Konsumsi karbohidrat
Karbohidrat adalah salah satu bahan makanan utama yang diperlukan oleh tubuh. Sebagian besar karbohidrat yang kita konsumsi terdapat dalam bentuk polisakarida yang tidak dapat diserap secara langsung. Karena itu, karbohidrat harus dipecah menjadi bentuk yang lebih sederhana untuk dapat diserap melalui mukosa saluran pencernaan (ADA, 2018)
b. Aktifitas fisik
Ketika tubuh tidak dapat mengkompensasi kebutuhan glukosa yang tinggi akibat aktifitas fisik yang berlebihan, maka kadar glukosa tubuh akan menjadi terlalu rendah (hipoglikemia). Sebaliknya, jika kadar glukosa darah melebihi kemampuam tubuh untuk menyimpannya disertai dengan aktifitas fisik yang kurang, maka kadar glukosa darah menjadi lebih tinggi dari normal (Mutiawati, 2020)
c. Penggunaan obat
Berbagai obat dapat mempengaruhi kadar glukosa dalam darah, diantaranya adalah obat anti psikotik dan steroid. Obat anti psikotik atipikal mempunyai efek samping terhadap proses metabolisme. Penggunaan klozapin dan olanzapin seringkali dikaitkan dengan penambahan berat badan sehingga pemantauan akan asupan karbohidrat sangat diperlukan. Penggunaan antipsikotik juga dikaitkan dengan kejadian hiperglikemia walaupun mekanisme jelasnya belum diketahui. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh penambahan berat badan akibat resistensi insulin (Sihsinarmiyati, 2020) d. Stress
Stres, baik stres fisik maupun neurogenik, akan merangsang pelepasan ACTH (adrenocorticotropic hormone) dari kelenjar hipofisis anterior.
Selanjutnya, ACTH akan merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan hormon adrenokortikoid yaitu kortisol. Hormon kortisol ini kemudian akan menyebabkan peningkatan kadara glukosa dalam darah. Hormon ini meningkatkan katabolisme asam amino di hati dan merangsang enzim-enzim kunci pada proses glukoneogenesis. Akibatnya proses glukoneogenesis meningkat. Selain itu, stres juga merangsang kelenjar adrenal untuk menyekresikan epinefrin. Epinefrin menyebabkan glikogenolisis dihati dan otot dengan menstimulasi enzim fosforilase (Widiastuti, 2022).
e. Alkohol
Konsumsi alkohol dikaitkan dengan hipoglikemia. Sebagian pecandu alkohol mengalami hipoglikemia akibat gangguan metabolisme glukosa.
Metabolisme alkohol (etanol) melibatkan enzim alkohol dhidrogenase (ADH) yang terutama terdapat di hati. Proses perubahan etanol menjadi asetaldehit menghasilkan zat reduktif yang berlebihan di hati, terutama NADH (ADA, 2018).
Menurut Kemenkes RI, (2021) faktor risiko diabetes melitus dapat dikelompokkan menjadi faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidakdapat dimodifikasi adalah ras dan etnik, umur, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan diabetes melitus, riwayat melahirkan bayi.
V. Manifestasi Klinis Diabetes Militus
Gejala Diabetes Melitus adalah sebagai berikut : a. Meningkatnya buang air kecil (poliuria)
Sel-sel tubuh tidak dapat menyerap glukosa sehingga ginjal mencoba mengeluarkan glukosa sebanyak mungkin. Akibatnya, penyandang DM menjadi lebih sering kencing dari pada orang normal.
b. Rasa haus berlebih (polidipsi)
Hilangnya air dari tubuh karena sering buang air kecil, penyandang DM merasa haus dan membutuhkan banyak air untuk mengganti cairan yang hilang.
c. Penurunan berat badan
Pada penyandang diabetes, hormon insulin tidak mendapatkan glukosa untuk sel yang digunakan sebagai energi, sebagai gantinya tubuh mencari protein dari otot sebagai sumber alternatif bahan bakar.
d. Sering lapar
Rasa lapar berlebihan merupakan tanda diabetes. Ketika kadar gula darah menurun drastis, tubuh mengira belum mendapatkan makanan dan membutuhkan glukosa untuk sel.
e. Masalah pada kulit
Kulit gatal, mungkin akibat kulit kering seringkali menjadi tanda peringatan diabetes, seperti itu juga kondisi kulit lainnya, misalnya kulit menjadi gelap di sekitar daerah leher atau ketiak.
f. Penyembuhan luka lambat
Lambatnya penyembuhan luka terjadi karena pembuluh darah mengalami kerusakan akibat glukosa dalam jumlah berlebihan yang mengelilingi pembuluh darah dan arteri.
g. Infeksi jamur
Diabetes meningkatkan kerentanan terhadap berbagai infeksi. Jamur dan bakteri dapat tumbuh subur di lingkungan yang kaya akan gula.
h. Iritasi genetalia
Kandungan glukosa yang tinggi dalam urun membuat daerah genital jadi seperti sariawan dan akibatnya menyebabkan pembengkakan dan gatal
i. Pandangan kabur
Pembuluh darah di retina menjadi lemah setelah bertahun-tahun mengalami hiperglikemia dan mikro-aneurisma, yang melepaskan protein berlemak yang disebut eksudat.
j. Kesemutan atau mati rasa
Kesemutan dan mati rasa ditangan dan kaki, bersamaan dengan rasa sakit yang membakar atau bengkak adalah tanda bahwa syaraf mengalami kerusakan karena diabetes (Kemenkes RI, 2019)
VI. Algoritma Diabetes Militus
Algoritma terapi farmakologi Diabetes Melitus Tipe 2 menurut PERKENI (2021) :
Penjelasan untuk algoritma pengobatan DM tipe 2 (Gambar 3)
1. Untuk pasien DM tipe 2 dengan HbA1c saat diperiksa < 7,5% maka pengobatan dimulai dengan modifikasi gaya hidup sehat dan monoterapi oral.
2. Untuk pasien DM tipe 2 dengan HbA1c saat diperiksa ш 7,5%, atau pasien yang sudah mendapatkan monoterapi dalam waktu 3 bulan namun tidak bisa mencapai target HbA1c < 7%, maka dimulai terapi kombinasi 2 macam obat yang terdiri dari metformin ditambah dengan obat lain yang memiliki mekanisme kerja berbeda.
Bila terdapat intoleransi terhadap metformin, maka diberikan obat lain seperti tabel lini pertama dan ditambah dengan obat lain yang mempunyai mekanisme kerja yang berbeda.
3. Kombinasi 3 obat perlu diberikan bila sesudah terapi 2 macam obat selama 3 bulan tidak mencapai target HbA1c < 7%.
4. Untuk pasien dengan HbA1c saat diperiksa > 9% namun tanpa disertai dengan gejala dekompensasi metabolik atau penurunan berat badan yang cepat, maka dapat diberikan terapi kombinasi 2 atau 3 obat, yang terdiri dari metformin (atau obat lain pada lini pertama bila ada intoleransi terhadap metformin) ditambah obat dari lini ke 2.
5. Untuk pasien dengan HbA1c saat diperiksa > 9% dengan disertai gejala dekompensasi metabolik maka diberikan terapi kombinasi insulin dan obat hipoglikemik lainnya.
6. Pasien yang telah mendapat terapi kombinasi 3 obat dengan atau tanpa insulin, namun tidak mencapai target HbA1c < 7% selama minimal 3 bulan pengobatan, maka harus segera dilanjutkan dengan terapi intensifikasi insulin.
7. Jika pemeriksaan HbA1c tidak dapat dilakukan, maka keputusan pemberian terapi dapat menggunakan pemeriksaan glukosa darah.
VII. Terapi Farmakologi dan Terapi Non Farmakologi Diabetes Militus
Tatalaksana non farmakologis terdiri atas edukasi, nutrisi medis, dan latihan fisik. Edukasi dilakukan dengan tujuan untuk promosi kesehatan, sebagai bagian dari upaya pencegahan dan pengelolaan DM secara holistik. Contohnya saja seperti cara merawat luka pada kaki yang terdapat ulkus dan selalu menggunakan alas kaki.
Selanjutnya nutrisi medis, sama seperti anjuran makan untuk masyarakat umum,
anjuran makan bagi penderita DM adalah makanan seimbang yang menyesuaikan dengan zat gizi dan kebutuhan kalori dari masing-masing individu. Penderita DM perlu diberikan edukasi mengenai betapa pentingnya keteraturan terhadap jenis makanan, jadwal makan, dan jumlah kalori yang terkandung dalam makanannya, terlebih pada penderita DM yang mengonsumsi obat-obatan yang berfungsi untuk meningkatkan sekresi insulin atau menggunakan terapi insulin. Program latihan fisik secara teratur selama sekitar 30–45 menit sehari, dilakukan 3–5 hari dalam seminggu, dan total per minggu yaitu 150 menit. Usahakan jeda tidak lebih dari 2 hari berturut-turut antara dua latihan. Latihan fisik yang dianjurkan untuk penderita DM adalah latihan fisik dengan intensitas sedang dan bersifat aerobik seperti jogging, jalan cepat, bersepeda santai, dan berenang (Widiasari dkk., 2021) VIII. Monitoting Diabetes Militus
Menurut Keputusan Menteri Kesahatan RI (2020), monitoring pada pasien DM dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Pemeriksaan kadar glukosa darah 2. Pemeriksaan HbA1c
3. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) 4. Pemantauan benda keton
KASUS B (KELOMPOK 5)
Apoteker di apotek meneriman resep sebagai berikut :
Pertanyaan kasus :
1. Apakah komponen aktif masing-masing obat dalam resep?
Jawaban :
a) Galvusmet : metformin dan vildagliptin (MIMS)
- Setiap tablet mengandung Vildaliptin (mg) / Metformin (mg) : 50/50, 50/850, atau 50/1.000 : 1 tablet berdasarkan rejimen pasien saat ini, efektivitas, dan tolerabilitas.
KLINIK PRATAMA SEHAT BAHAGIA Jl. Baik Baik Saja Tanpamu no.13, Semarang
Telp. 081392429490 Dokter : dr. Gwenchana
SIP : 081081081
R/ Galvusmet 50mg/500 mg tab no XXX S 2 dd 1
…..paraf…..
R/ Forxiga 5 mg tab no XV S 1 dd 1
…..paraf…..
Pro : Bp. Pasien Umur/BB : 54 tahun
Alamat : Jl. Kenangan no. 33, Gunungpati Telp : 08123456789
b) Forxiga : Dapagliflozin (MIMS)
2. Hubungkan mekanisme aksi komponen aktif masing-masing obat dengan patofisiologi DM tipe 2! (PERKENI, 2021)
Jawaban :
Metformin :
Mekanisme metformin jika dikaitkan dengan patofisiologi DM 2 adalah sebagai berikut : a. Hepar
Pada pasien DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh hepar (hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses glukoneogenesis.
b. Otot
Pada pasien DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multipel di intramioselular, yang diakibatkan oleh gangguan fosforilasi tirosin, sehingga terjadi gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin
Vildagliptin :
Vildagliptin merupakan obat golongan penghambat Enzim Dipeptidil Pepsidase (DPP)-4.
Dalam mekanismenya yang dikaitkan dengan patofisiologi DM tipe 2 adalah sebagai berikut :
a. Kegagalan sel beta pancreas :
Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang.
Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini salah satunya adalah penghambat dipeptidil peptidase-4 (DPP-4).
b. Disfungsi sel alfa pancreas :
Sel alfa pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel alfa berfungsi pada sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan produksi glukosa hati (hepatic glucose production) dalam keadaan basal meningkat secara bermakna dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon salah satunya penghambat DPP- 4
c. Usus halus :
Glukosa yang ditelan memicu respons insulin jauh lebih besar dibanding bilar diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek inkretin ini diperankan oleh 2 hormon yaitu glucagon-like polypeptide-1 (GLP-1) dan glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide (GIP).
Pada pasien DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap hormon GIP.
Hormon inkretin juga segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah penghambat DPP-4.
Dapagliflozin :
Mekanisme dapagliflozin jika dikaitkan dengan patofisiologi DM tipe 2 adalah sebagai berikut :
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis DM tipe 2.
Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran enzim sodium glucose co-transporter -2 (SGLT-2) pada bagian convulated tubulus proksimal, dan 10% sisanya akan diabsorbsi melalui peran sodium glucose co-transporter - 1 (SGLT-1) pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urin. Pada pasien DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2, sehingga terjadi peningkatan reabsorbsi glukosa di dalam tubulus ginjal dan mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat reabsorbsi kembali glukosa di tubulus
ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urin. Obat yang bekerja di jalur ini adalah penghambar SGLT-2 contohnya Dapaglifozin
3. Buatlah etiket untuk masing-masing obat!
Jawaban :
etiket untuk obat Galvusmet 50mg/500 mg tab no XXX
Etiket untuk obat Forxiga 5 mg tab no XV
4. Apakah efek samping yang perlu disampaikan kepada pasien terkait penggunaan Forxiga?
Jawaban :
Pasien yang memakai obat ini harus mewaspadai gejala ketoasidosis diabetik, termasuk penurunan berat badan yang cepat, mual atau muntah, sakit perut, rasa haus yang berlebihan, pernapasan cepat dan dalam, kebingungan, rasa kantuk atau kelelahan yang tidak biasa, bau napas yang manis, rasa manis. atau rasa logam di mulut, atau bau berbeda pada urin atau keringat. Pasien harus segera menghubungi dokter atau rumah sakit terdekat jika mengalami gejala-gejala tersebut. Jika ketoasidosis diabetik dicurigai atau dikonfirmasi, pengobatan dengan inhibitor SGLT2 harus segera dihentikan dan tidak boleh dimulai kembali kecuali penyebab lain dari ketoasidosis teridentifikasi dan teratasi.
5. Bagaimana mekasime terjadinya efek samping pada jawaban pertanyaan nomor 4?
Jawaban :
Termasuk pengurangan sekresi insulin sel β pankreas dan peningkatan konsentrasi glukagon plasma karena stimulasi sel α pankreas secara langsung. Karena insulin merupakan penekan kuat lipolisis Jaringan Adiposa Putih dan ketogenesis hati, insulinopenia sendiri dapat menjelaskan sebagian atau mungkin seluruh ketoasidosis yang diamati dengan penghambatan SGLT2
DAFTAR PUSTAKA
[MIMS] Monthly Index of Medical Specialities, 2023, Galvusmet, Diakses pada 2023 Oktober 24 Pukul 12.34. Tersedia pada www.mims.com.
[MIMS] Monthly Index of Medical Specialities, 2023, Forxiga, Diakses pada 2023 Oktober 24 Pukul 12.45. Tersedia pada www.mims.com.
Aini, Nur., Aridiana, LM., 2017,Asuhan Keperawatan Pada Sistem Endokrin. Jakarta : Salemba Medika
American Diabetes Association, 2018, Standards of Medical Care in Diabetes-2018 M. Matthew C. Riddle, ed., Available at: https://diabetesed.net/wpcontent/uploads/2017/12/2018- ADA-Standards-of-Care.pdf
DiPiro, J. T., Schwinghammer, T. L. and Ellingrod, V. L., 2020, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Eleventh Edition, 11th edn, McGraw Hill, New York.
Kemenkes RI, 2019. Batas Ambang Indeks Masa Tubuh (IMT).
Kemenkes RI, 2020, Tetap Produktif, Cegah dan Atasi Diabetes Mellitus.Jakarta : Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI.
Kemenkes RI, 2020, Pedoman Nasional Pelayanan Tata Laksana Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa.
Lestari, dkk., 2021. Diabetes Militia, Review Etiologi, Patofisiologi, Gejala Penyebab, Cara Pemeriksaan, Cara Pengobatan, dan Cara Pencegahan. Makasar. UIN Abudin.
Perkeni, 2021, Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa di Indonesia, Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Price, SA, & Wilson, LM, 2016, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Volume 2.
Jakarta: EGC.
Sihsinarmiyati, A, 2020, Penerapan Manajemen Stress Dengan Masalah Gangguan Citra Tubuh Pada Pasien Diabetes Mellitus.
Widiastuti, A., Marni, Aditiya, NS., Irawan AM, 2022, Efektivitas Relaksasi Otot Progresif Pada Penderita Diabetes Mellitus. Prosiding Seminar Informasi Kesehatan Nasional (SIKesNas) 2022.
Widiasari, Kadek R., Wijaya, I Made K., Suputra, Putu A., 2021, Diabetes Melitus Tipe 2: Faktor Risiko, Diagnosis, dan Tata Laksana, Ganesha Medicina Journal, 1 (2), 114-120