MAKALAH KELOMPOK 4 PSIKOLOGI ABNORMAL (Assosiative dan Somatoform Disorder)
Dosen Pembina:
Dr. Dina Sukma, S.Psi. M.Pd.
KELOMPOK 4
1. Azhiimul Kharisma Ananda (18006240) 2. Melurqeybya Putisaylane Samala (20006025) 3. Taufik Nurhasan (20006041)
JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan makalah ini dapat diselesaikan.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis mengalami berbagai kendala dan kesulitan, namun berkat rahmat Allah SWT, dan juga disertai kesabaran, ketekunan, dan usaha serta bantuan dari berbagai pihak yang telah tulus ikhlas, baik fasilitas tenaga dan pikiran sehingga makalah yang berjudul “Assosiative dan Somatoform Disorder” dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, diharapkan saran dan kritik yang membangun demi terciptanya tujuan yang ingin dicapai.
Atas bantuan dan kritikan serta saran dari semua pihak, maka penulis mengucapkan terima kasih. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Aamiin.
Padang, 20 September 2022
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...i
DAFTAR ISI ... ii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 3
C. Tujuan Penulisan ... 3
BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Assosiative, Dissosiative dan Somatoform Disorder ... 4
B. Jenis/Tipe Dissosiative ... 5
C. Jenis/Tipe Somatoform Disorder ... 9
D. Penanganan Gangguan ... 12
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ... 16
B. Saran ... 16
KEPUSTAKAAN ... 17
A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN
Seorang individu yang dikatakan sehat secara mental, salah satunya apabila dia merasa dirinya utuh dengan dasar satu kepribadian. Keutuhan diri terdiri dari integrasi atau gabungan dari fikiran, perasaan dan tindakan individu yang secara bersamaan membentuk suatu kepribadian yang unik. Individu harus mampu pula menyelaraskan pikiran, perasaan dan tindakannya. Apabila integrasi atau keutuhannya tersebut terganggu, salah satu akibatnya ialah muncul gangguan disosiatif (Fauziah dan Widuri, 2005: 39).
Gangguan disosiatif dan gangguan somatoform merupakan contoh dari gangguan kesehatan mental. Gangguan disosiatif secara umum berarti sebuah gangguan yang menyebabkan seseorang sulit menjalin hubungan sosial dengan baik dengan lingkungan sekitar, sejak seseorang memiliki kepribadian ganda.
Gangguan identitas disosiatif juga diartikan sebagai salah satu gangguan disosiatif yang paling serius. Gangguan disosiatif ini merupakan gangguan yang ditandai dengan adanya perubahan perasaan individu tentang identitas, memori, atau kesadarannya. Menurut Fauziah dan Widuri (2005: 39) individu yang mengalami gangguan ini memperoleh kesulitan untuk mengingat peristiwa- peristiwa penting yang pernah terjadi pada dirinya, melupakan identitas dirinya bahkan membentuk identitas baru.
Penyebab dari gangguan identitas disosiatif sejauh ini belum diketahui pasti, namun berdasarkan riwayat kehidupan para pasien, hampir 100% dari para pasien memiliki peristiwa traumatik, terutama pada masa kanak-kanaknya.
Peristiwa traumatik pada masa kanak-kanak biasanya meliputi penyiksaan fisik atau seksual. Peristiwa traumatik lainnya misalnya kematian saudara atau teman dan menyaksikan kematian tersebut ketika individu masih anak-anak. (Fauziah dan Widuri, 2005: 52). Selain itu, diketahui pula bahwa dua pertiga dari seluruh individu dengan gangguan identitas disosiatif pernah melakukan percobaan bunuh diri ketika mereka mengalami gangguan ini. Terapi yang dilakukan dalam penyembuhan gangguan identitas disosiatif adalah dengan
menggunakan terapi psikoanalisis. Terapi ini dicapai melalui penggunaan teknik psikoanalitik dasar.
Sedangkan gangguan somatoform yaitu suatu kelompok gangguan yang ditandai oleh keluhan tentang masalah atau simtom fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab kerusakan fisik. Jadi, simtom-simtom yang ada lebih merefleksikan faktor psikologis daripada organis. Gangguan somatoform juga merupakan gangguan yang tidak sepenuhnya dijelaskan oleh kondisi medis umum atau gangguan mental lain dan untuk memenuhi kriteria diagnostik harus disebabkan oleh adanya tekanan.
Gangguan somatisasi dibedakan dari gangguan somatoform lainnya karena banyaknya keluhan dan melibatkaan sistem organ yang multiple (seperti gastrointestinal dan neurologis). Gangguan ini bersifat kronis dengan gejala ditemukan selama beberapa tahun, dimulai sebelum usia 30 tahun dan disertai dengan penderitaan psikologis yang bermakna, seperti gangguan fungsi sosial, pekerjaan, dan perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan. Gejala dan keluhan somatik adalah cukup serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinis bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala.
Intervensi yang biasanya digunakan untuk membantu mengatasi gangguan somatisasi yaitu dengan menggunakan Rational Emotif therapy (RET) dan terapi kognitif perilaku. Cognitive-Behavior Therapy (CBT) adalah istilah umum untuk cabang psikoterapi yang menggunakan cara perubahan kognitif dan perilaku serta untuk memahami dan mengobati masalah kesehatan. CBT berorientasi pada pemecahan masalah, pengobatan, upaya kolaboratif, di mana terapis dan individu bekerja bersama-sama membangun gagasan tentang sumber masalah dan strategi untuk penyelesaiannya. Secara teoritis CBT dapat digunakan untuk mengatasi gangguan somatisasi, karena dengan terapi ini seseorang diajari bagaimana memahami bahwa adanya hubungan antara emosi, pikiran dan perilaku yang dihasilkan. Terapi CBT untuk somatisasi yang
difokuskan pada manajemen stres, regulasi aktivitas, emosional kesadaran, kognitif restrukturisasi dan komunikasi interpersonal
Berdasarkan penjelasan di atas, gangguan yang dialami individu sangatlah perlu untuk diberikan penanganan. Maka dari itu makalah kali ini membahas tentang “Assosiative, Dissosiative dan Somatoform Disorder” sehingga bisa diberikan penanganan yang tepat terkait situasi yang dialami individu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari makalah ini sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan gangguan asosiatif, disosiatif dan gangguan somatoform?
2. Apa saja jenis-jenis/tipe gangguan disosiatif?
3. Apa saja jenis-jenis/tipe gangguan somatoform?
4. Bagaimana penanganan gangguan disosiatif dan gangguan somatoform?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi gangguan asosiatif, disosiatif dan somatoform disorder 2. Mengetahui jenis-jenis/tipe gangguan disosiatif
3. Mengetahui jenis-jenis/tipe gangguan somatoform disorder
4. Mengetahui dan memahami cara penanganan gangguan disosiatif dan gangguan somatoform
A. Pengertian
BAB II KAJIAN TEORI
1. Assosiative dan Dissociative
Menurut Soekanto dan Sulistyowati (2015: 83-84) secara umum asosiatif merupakan hubungan masyarakat dalam bentuk penyatuan, sedangkan disosiatif adalah interaksi sosial yang mengarah pada bentuk pemisahan dan terbagi. Bentuk-bentuk interaksi dari proses asosiatif antara lain yaitu kerja sama, akomodosi, asimilasi dan akulturasi. Sedangkan hubungan disosiatif memiliki tiga bentuk, yaitu persaingan, kontroversi dan konflik.
Menurut Davidson dan Neale (dalam Fauziah dan Widuri, 2005: 39) gangguan disosiatif adalah gangguan yang ditandai dengan adanya perubahan perasaan individu tentang identitas, memori atau kesadarannya. Individu yang mengalami gangguan ini memperoleh kesulitan untuk mengingat peristiwa- peristiwa yang pernah terjadi pada dirinya, melupakan identitas dirinya bahkan membentuk identitas baru.
Semiun (2007: 390) juga berpendapat bahwa gangguan disosiatif merupakan gangguan atau perubahan dalam fungsi integratif yang normal dari identitas, inatan atau kesadaran. Artinya, dalam gangguan-gangguan disosiatif, ada suatu pemisahan yang berat atas fungsi-fungsi kepribadian sampai individu tidak menyadari atau kehilangan kontak dengan aspek-aspek yang penting dari kepribadiannya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa gangguan disosiatif disorder merupakan gangguan yang muncul akibat peristiwa traumatik dalam kehidupan dan digunakan sebagai pertahanan diri menghadapi peristiwa tersebut.
2. Somatoform Disorder
Gangguan somatoform berasal dari bahasa Yunani yaitu “Soma” yang artinya tubuh. Dalam gangguan somatoform masalah-masalah psikologis
yang muncul dalam bentuk gangguan fisik. Simtom-simtom fisik dari gangguan somatoform tidak dapat dijelaskan secara fisiologis dan berada dalam keadaan tak sadar, hal tersebut diduga karena adanya faktor-faktor psikologis yang diperkirakan merupakan kecemasan, sehingga diasumsikan memiliki penyebab psikologis.
Menurut Fauziah dan Widuri (2005: 25) somatoform adalah kelompok gangguan yang meliputi simtom fisik, misalnya nyeri, mual dan pusing serta juga tidak dapat ditemukan penjelasan yang jelas secara medis. Selain itu, somatoform juga diartikan sebagai individu yang mengeluhkan gejala-gejala gangguan fisik, yang terkadang berlebihan, tetapi pada dasarnya tidak terdapat gangguan fisiologis yang jelas (Ardani, 2011: 91).
Jadi, gangguan somatoform disorder merupakan kelompok gangguan yang ditandai oleh keluhan tentang masalah atau simtom fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab kerusakan fisik.
B. Jenis/Tipe Dissosiative
Menurut Fauziah dan Widuri (2005: 43-55) gangguan disosiatif dibagi atas empat macam gangguan, yaitu:
1. Amnesia Disosiatif
Amnesia disosiatif atau dahulu disebut dengan amnesia psikogenik merupakan tipe paling umum dalam gangguan disosiatif. Individu yang mengalami amnesia disosiatif dapat secara mendadak kehilangan kemampuan untuk mengingat kembali informasi tentang dirinya sendiri ataupun berbagai informasi yang sebelumnya telah ada dalam memorinya. Biasanya hal ini terjadi setelah individu mengalami stres atau peristiwa yang menekan seperti menyaksikan kematian seseorang yang dicintai.
Selain hilangnya memori, individu dengan gangguan ini biasanya tetap memiliki kemampuan untuk berbicara, membaca ataupun melakukan seluruh kemampuan yang telah diperolehnya selama ini. Individu tetap memiliki kapasitas atau kemampuan untuk mempelajari berbagai informasi baru yang ada. Gangguan amnesia ini dapat berlangsung hanya beberapa
jam, namun dapat pula berlangsung selama bertahun-tahun. Gangguan ini dapat menghilang secara tiba-tiba, sama seperti ketika gangguan ini muncul dan individu akan sembuh dengan sepenuhnya dengan kemungkinan kekambuhan yang relatif kecil.
Halgin dan Withbourne (2009: 276)menjelaskan ada empat bentuk amnesia disosiatif, yaitu:
a. Localize Amnesia
Bentuk umum dari localize amnesia adalah ketika individu lupa semua kejadian yang terjadi selama interval waktu tertentu. Biasanya interval waktu ini diikuti dengan cepat oleh kejadian yang sangat mengganggu, seperti kecelakaan mobil, kebakaran atau bencana alam.
b. Selective Amnesia
Dalam selective amnesia, individu gagal mengingat kembali beberapa hal, tetapi tidak semua hal, detail kejadian-kejadian yang terjadi selama periode waktu tersebut. Misalnya, orang-orang yang dapat selamat dari kebakaran dapat mengingat saat ambulans membawanya menuju rumah sakit, namun tidak dapat mengingat saat selamat dari rumah yang terbakar.
c. Generalized Amnesia
Sebuah sindrom ketika seseorang tidak dapat mengingat semua hal dalam kehidupannya
d. Continuous Amnesia
Mencakup kegagalan untuk mengingat kembali kejadian khusus dan mencakup waktu saat itu. Sebagai contoh, seorang veteran perang dapat mengingat masa kanak-kanak dan masa mudanya hingga dirinya masuk dalam militer. Namun, ia lupa semua hal yang terjadi setelah perjalanan pertamanya dalam tugas pertempuran.
2. Fugue Disosiatif
Secara bahasa, fugue berasal dari bahasa latin “fugere” yang artinya melarikan diri. Menurut Semiun (2007: 293-294) disosiatif fugue adalah gangguan dengan gejala tiba-tiba meninggalkan rumah atau tempat kerja
dan tidak mampu mengingat masa lalunya yang kemudian rumah atau tempat kerja dan tidak mampu mengingat masa lalunya yang kemudian menggunakan suatu identitas yang baru. Keadaan fugue ini bisa berlangsung selama beberapa jam, beberapa hari, beberapa minggu, beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun.
Pada fugue disosiatif, memori yang hilang jauh lebih luas daripada amnesia disosiatif. Individu yang memiliki gangguan ini tidak hanya kehilangan semua ingatannya, seperti nama, keluarga atau pekerjaannya, namun mereka juga secara mendadak meninggalkan rumah dan pekerjaannya serta memiliki identitas yang baru. Dan individu yang mengalami fugue disosiatif sama sekali tidak menyadari bahwa dirinya sudah melupakan segala hal mengenai masa lalu dan identitasnya. Individu dengan fugue tidak tampak bertingkah laku lain daripada yang lain (tidak menarik perhatian dan tetap berlaku wajar) atau menampakkan adanya memori atau ingatan yang berkaitan dengan peristiwa traumatik yang telah dialaminya. Individu yang mengalami fugue disosiatif biasanya tampak tenang, biasa saja, bekerja pada pekerjaan yang sederhana, hidup ala kadarnya dan tidak menarik perhatian orang lain.
Individu yang menderita fugue sama sekali tidak sadar akan dirinya, meskipun dia melakukan sesuatu yang tidak berbeda dengan orang noral.
Penderita tidak ingat lagi siapa dirinya, dari mana dia berasal dan dimana dia berada sekarang. Kemudian pada saat disosiatif fugue berakhir, penderita akan kembali kepada identitas yang asli dan dia tidak dapat mengingat lagi apa yang terjadi selama fugue. Ciri lain dari fugue disosiatif ini adalah individu tidak menyadari sesuatu yang hilang dan menggunakan sesuatu yang baru (suatu identitas yang baru) secara tepat.
3. Gangguan Depersonalisasi
Menurut Semiun (2007: 396) gangguan depersonalisasi adalah suatu gangguan yang menyebabkan penderita kehilangan atau distorsi diri yang sifatnya sementara atau terjadi sekali-kali. Individu dengan gangguan depersonalisasi dapat berpikir bahwa dirinya robot, merasa bahwa dirinya
sedang bermimpi atau terpisah dari tubuh mereka, merasa melihat diri dari kejauhan dan mampu menonton diri mereka sendiri dalam suatu film.
4. Gangguan Identitas Disosiatif
DID atau biasa disebut gangguan identitas disosiatif adalah suatu keadaan yang mengisyaratkan bahwa seseorang memiliki minimal dua kepribadian atau alter yang terpisah. Dengan tipe, cara berpikir, merasa dan bertindak berbeda satu sama lain dan juga muncul pada waktu yang berbeda.
Gangguan identitas disosiatif juga merupakan bentuk disosiasi yang dramatis dimana penderita mengembangkan dua atau lebih kepribadian yang terpisah dan biasanya jelas berbeda. Hal ini disebabkan karena adanya kompleks kejiwaan dimana tata susunan kepribadian yang satu menunjukkan ciri-ciri terpisah dan berlawanan denga ciri-ciri tata susunan kepribadian yang lain, baik dari segi emosional maupun dari segi kognitif. Misalnya, teliti dan ceroboh, alim dan gairah, acuh tak acuh dan sebagainya.
Perubahan atau transisi dari satu kepribadian ke kepribadian yang lain biasanya berlangsung secara mendadak dan mengejutkan. Individu biasanya mengalami amnesia terutama berkaitan dengan apa yang dilakukan atau apa yang terjadi ketika suatu kepribadian sedang menguasainya. Individu biasanya tidak mampu mengingat apapun yang terjadi ketika kepribadian yang lain sedang dominan. Namun kadangkala, ada satu kepribadian yang tidak mengalami amnesia dan tetap memiliki kesadaran penuh akan keberadaan dan aktivitas kepribadian yang lain.
Kemunculan kepribadian yang lain dapat terjadi secara spontan.
Kepribadian yang muncul tidak hanya satu jenis kelamin saja, namun terkadang juga ada laki-laki dan perempuan, berbagai macam usia dan ras, serta dari keluarga yang sangat berbeda dengan keluarga individu yang mengalami gangguan ini. Pada umumnya kepribadian yang muncul sangat bertolak belakang. Di suatu waktu muncul individu yang ekstrovert, di lain waktu muncul yang introvert dan menarik diri.
Menurut Fauziah dan Widuri (2005: 52) penyebab gangguan identitas disosiatif ini masih belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan
riwayat kehidupan individu yang mengalami gangguan ini, hampir seratus persen memiliki peristiwa traumatik, misalnya kematian saudara atau teman dan menyaksikan kematian tersebut ketika individu masih kanak-kanak.
C. Jenis/Tipe Somatoform
Terdapat beberapa jenis gangguan somatoform yaitu sebagai berikut:
1. Gangguan Nyeri (Pain Disorder)
Gangguan somatoform yang secara signifikan dipengaruhi oleh faktor- faktor psikologis dalam muncul, menetap dan parahnya rasa nyeri. Jenis nyeri yang dialami sangat heterogen misalnya nyeri punggung, kepala dan pelvis (panggul). Pada gangguan ini individu akan mengalami gejala sakit atau nyeri pada satu tempat atau lebih, yang tidak dapat dijelaskan dengan pemeriksaan medis (non psikiatri) maupun neurologis. Simtom ini menimbulkan stres emosional ataupun gangguan fungsional dan gangguan ini dianggap memiliki hubungan sebab akibat dengan faktor psikologis. Keluhan yang dirasakan oleh penderita gangguan ini sangat dipengaruhi oleh keadaan emosi, kognitif, atensi dan situasi.
Menurut Ardani (2011: 95) pasien pain disorder tidak mampu untuk bekerja dan menjadi tergantung dengan obat pereda rasa sakit. Rasa nyeri yang timbul dapat berhubungan dengan konflik atau stres dan dapat pula terjadi agar individu dapat terhindar dari kegiatan yang tidak menyenangkan dan juga untuk mendapatkan perhatian serta simpati yang sebelumnya tidak didapat. Nyeri yang dirasakan timbul dalam hubungan dengan adanya konflik emosional atau masalah psikososial yang cukup jelas untuk dapat dijadikan alasan dalam mempengaruhi terjadinya gangguan tersebut. Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan, baik personal maupun medis untuk yang bersangkutan.
2. Gangguan Dismorfik Tubuh
Gangguan ini merupakan gangguan dimana seseorang dipenuhi kekhawatiran dengan kerusakan penampilan yang hanya dalam bayangannya atau dilebih-lebihkan. Perempuan lebih cenderung untuk
memfokuskan pada bagian kulit, dada, paha dan kaki. Sedangkan pria lebih terfokus pada tinggi badan, ukuran alat vital atau rambut tubuh (Fauziah dan Widuri, 2005: 27).
Sebagian besar individu yang mengalami gangguan ini secara kompulsif akan menghabiskan berjam-jam setiap harinya untuk memperhatikan kekurangannya dengan berkaca di cermin. Dan sebagian yang lain bahkan mengurung diri di rumah untuk menghindari orang lain melihat kekurangan yang dibayangkannya. Faktor sosial dan budaya sangat berperan penting pada bagaimana seseorang merasakan apakah dirinya menarik atau tidak (Ardani, 2011: 96).
3. Hipokondriasis
Kata “hipokondriasis” berasal dari istilah medis lama
“hypochondrium” yang artinya “di bawah tulang rusuk” dan merefleksikan gangguan pada bagian perut yang sering dikeluhkan penderita hipokondriasis.
Hipokondriasis ini merupakan suatu gangguan somatoform dimana individu ketakutan mengalami suatu penyakit stres yang menetap terlepas dari kepastian medis yang menyatakan sebaliknya. Individu yang mengalami ini biasanya merupakan konsumen yang sering kali menggunakan pelayanan kesehatan, bahkan terkadang mereka menganggap dokter tidak kompeten dan tidak perhatian. Dalam teori disebutkan bahwa mereka bersikap berlebihan pada sensasi fisik yang umum dan gangguan kecil, seperti detak jantung yang tidak teratur, berkeringat, batuk yang kadang terjadi, rasa sakit, sakit perut, sebagai bukti dari kepercayaan mereka.
Ciri utama dari gangguan ini ialah fokus atau ketakutan bahwa simtom fisik yang dialami seseorang merupakan akibat dari suatu penyakit serius yang mendasarinya, seperti kanker atau masalah jantung, sering berganti dokter, frustasi dengan dokter atau perawatan medis, hubungan sosial yang sering tidak baik, gangguan emosi, sering memeriksa tanda-tanda vital seperti denyut nadi atau tekanan darah, menghindari situasi yang membuat
merasa cemas, seperti berada di rumah sakit dan berpikir mempunyai penyakit setelah membaca atau mendengar tentang hal itu.
4. Gangguan Konversi
Istilah konversi berawal dari Freud yang berpendapat bahwa energi dari insting yang ditekan ke dalam saluran sensori-motorik dan mengganggu fungsi normal yang kemudian mengalami kecemasan serta konflik psikologi diyakini telah diubah menjadi simtom-simtom fisik. Gangguan konversi merupakan gangguan dengan karakteristik munculnya satu atau beberapa simtom neurologis yang ada (Fauziah dan Widuri, 2005: 29). Gangguan konversi juga diartikan sebagai gangguan yang terkait dengan kerusakan neurologis atau sejenisnya yang diindikasikan dengan simtom-simtom sensori atau motorik, seperti kehilangan penglihatan secara mendadak atau kelumpuhan meskipun organ-organ tubuh dan sistem saraf dalam kondisi baik.
Selain simtom-simtom fisik, gangguan konversi juga memiliki simtom psikologis yang dapat muncul akibat adanya situasi penuh stres. Simtom- simtom konversi biasanya berkembang pada masa remaja atau dewasa yang umumnya dipicu oleh stres yang dialami individu.
5. Gangguan Somatisasi
Gangguan ini pada awalnya dicetuskan oleh dokter berkebangsaan Prancis, Pierre Briquet dengan nama sindrom Briquet yang kemudian disebut sebagai gangguan somatisasi. Perbedaan antara gangguan somatisasi dengan gangguan somatoform lainnya adalah banyak terdapat keluhan dan sistem tubuh yang terpengaruh. Gangguan ini sifatnya kronis (muncul selama beberapa tahun dan terjadi sebelum usia 30 tahun) dan juga berhubungan dengan stres psikologis yang signifikan, dalam kehidupan sosial dan pekerjaan serta perilaku mencari pertolongan medis yang berlebihan (Fauziah dan Widuri, 2005: 33).
Gangguan somatisasi merupakan gangguan dengan keluhan yang berulang-ulang dan memerlukan perhatian medis, namun tidak memiliki sebab fisik yang jelas. Keluhannya dapat mengenai sistem atau bagian tubuh
manapun, tetapi yang paling lazim adalah yang mengenai keluhan gastrointestinal (perasaan sakit, kambung, muntah, mual dan sebagainya) serta keluhan-keluhan perasaan abnormal pada kulit (perasaan gatal, rasa terbakar, kesemutan, pedih) dan juga bercak-bercak pada kulit. Gangguan somatisasi umumnya bermula pada masa dewasa awal dan penyebab gangguan somatisasi juga banyak diakibatkan oleh kecemasan dan depresi, sejumlah masalah perilaku dan interpersonal seperti membolos kerja, catatan kerja yang buruk dan masalah perkawinan.
D. Penanganan Gangguan
Menurut Sutardjo (2005: 171) istilah penanganan (intervensi) merupakan istilah yang saat ini sangat umum digunakan orang untuk menunjuk pada berbagai macam tindakan yang dimaksudkan untuk memberikan kesembuhan atas gangguan kejiwaan atau pelurusan atas penyesuaian diri yang salah.
Intervensi juga digunakan dalam berbagai istilah lain yang digunakan untuk membantu orang yang terganggu secara kejiwaan (psychological disorders) atau memiliki masalah kejiwaan (psychological problems) dalam kehidupan sehari- harinya.
1. Terapi Gangguan Disosiatif
a. Psikoanalisis untuk Identitas Disosiatif
Psikoanalisis berusaha membantu orang yang menderita gangguan identitas disosiatif untuk mengungkapkan dan belajar mengatasi trauma- trauma masa kecil. Mereka sering merekomendasikan membangun kontak langsung dengan kepribadian-kepribadian yang berubah-ubah. Setiap kepribadian diminta untuk berbicara tentang memori dan mimpi-mimpi yang mereka alami. Setiap kepribadian dapat diberikan keyakinan bahwa terapi mampu membantu mereka untuk memahami kecemasan mereka dan juga mampu membangkitkan pengalaman traumatis mereka secara aman serta menyadari berbagai pengalaman yang dialami.
b. Psikoterapi untuk Fugue Disosiatif
Psikoterapi berasal dari dua kata, yaitu “psyche” yang berarti “jiwa”
dan “therapy” yang berarti “pengobatan”. Jadi “psikoterapi” berarti
“pengobatan jiwa”. Psikoterapi merupakan usaha seorang terapis untuk memberikan suatu pengalaman baru bagi orang lain. Pengalaman ini dirancang untuk meningkatkan kemampuan seseorang dalam mengelola distres subjektif. Ini tidak dapat mengubah problem pasien yang ada, tetapi dapat meningkatkan penerimaan diri sendiri, membolehkan pasien untuk melakukan perubahan kehidupan dan menolong pasien untuk mengelola lingkungan secara lebih efektif.
Psikoterapi juga diartikan sebagai suatu intervensi interpersonal, relational yang digunakan oleh psikoterapis untuk membantu pasien atau klien dalam menghadapi masalah kehidupannya. Biasanya hal ini meliputi peningkatan perasaan sejahtera individual dan mengurangi pengalaman subjektif yang tidak nyaman. Psikoterapi untuk gangguan disositif sering mengikutsertakan trauma yang menimbulkan gejala disosiatif.
c. Obat untuk Amnesia Disosiatif
Treatment untuk gangguan disosiatif bermacam-macam dan sebagian besar dikarenakan kondisi yang bervariasi. Pemberian treatment ini bertujuan agar mampu membawa kestabilan dan integrasi dalam kehidupan individu yang mengalami simtom-simtom disosiatif. Hal terpenting dalam treatment ini yaitu mampu membangun sebuah lingkungan yang aman, jauh dari stressor yang mengancam dan kemungkinan dapat membangkitkan disosiatif.
Obat yang paling umum digunakan untuk mengatasi amnesia disosiatif adalah sodium pentobarbital dan sodium amobarbital. Jika amnesia yang dialami individu telah hilang, maka tenaga klinis akan membantu individu untuk menemukan kejadian yang telah dia alami serta faktor-faktor yang menyebabkan dirinya amnesia.
d. Psikoterapi Stres untuk Depersonalisasi
Modalitas utama pengobatan gangguandepersonalisasi adalah psikoterapi. Psikoterapi atau terapi kejiwaan bertujuan untuk menelusuri penyebab yang mendasari munculnya gangguan. Terapi ini juga membantu penderita gangguan depersonalisasi untuk berdamai dengan masa lalunya, mengumpulkan keutuhan jiwanya serta kembali menjalankan kehidupan pribadi dan sosial sehari-hari.
Pengobatan gangguan depersonalisasi juga dapat dilakukan dengan konseling psikologis dan dengan pemberian obatan medis pada kasus tertentu. Obat medis ini terutama diperlukan jika penderita gangguan depersonalisasi juga disertai dengan depresi atau gangguan cemas.
2. Penanganan Gangguan Somatoform
Secara umum, teknik kognitif-behavioral paling sering digunakan sebagai pencegahan respon restrukturisasi kognitif. Secara sengaja memunculkan kerusakan yang dipersepsikan di depan umum dan bukan menutupinya melalui riasan wajah dan pakaian. Menurut Ardani (2011: 100) dalam restrukturisasi kognitif, terapis menantang keyakinan klien yang terdistorsi mengenai penampilan fisiknya dan cara untuk menyemangati mereka untuk mengevaluasi keyakinan mereka dengan bukti yang jelas.
Adapun penanganan gangguan somatoform lainnya , sebagai berikut:
a. Terapi Pain Disorder
Terapi ini dijadikan sebagai pengobatan yang efektif dan cenderung memiliki berbagai macam hal seperti, memvalidasikan bahwa rasa nyeri itu adalah nyata dan bukan hanya ada dalam pikiran penderita, relaxation training (latihan relaksasi) dan memberi reward kepada individu yang berperilaku tidak seperti orang yang mengalami rasa nyeri.
Menurut Ardani (2011: 98) secara umum disarankan untuk mengubah fokus perhatian dari apa yang tidak dapat dilakukan oleh penderita akibat rasa nyeri yang dialaminya, tetapi mengajari penderita
bagaimana caranya menghadapi stres, mendorong untuk mengerjakan aktivitas yang lebih baik dan meningkatkan control diri.
b. Terapi Hypochondriasis
Secara umum, pendekatan cognitive-behavioral terbukti efektif dalam mengurangi hypochondriasis. Cognitive-behavioral therapy bertujuan untuk mengubah pesimistis. Selain itu, pengobatan juga hendaknya dikaitkan dengan strategi yang mengalihkan penderita gangguan dari gejala-gejala tubuh dan meyakinkan merek auntuk mencari kepastian medis bahwa mereka tidak sakit.
c. Terapi Somatization Disorder
Para ahli kognitif dan behavioral meyakini bahwa tingginya tingkat kecemasan yang diasosiasikan dengan somatization disorder dipicu oleh situasi khusus. Akan tetapi, semakin banyak pengobatan yang dibutuhkan, bagi orang yang “sakit” sekian lama akan tumbuh kebiasaan akan ketergantungan untuk menghindari tantangan hidup sehari-hari daripada menghadapi tantangan tersebut layaknya orang dewasa.
Menurut Ardani (2011: 99) dalam pendekatan yang lebih umum mengenai somatization disorder, dokter hendaknya tidak meremehkan validitas dari keluhan fisik, tetapi harus diminimalisir penggunaan tes-tes diagnosis dari obat-obatan, mempertahankan hubungan dengan individu terlepas dari apakah mereka mengeluh tentang penyakitnya atau tidak.
A. Kesimpulan
BAB III PENUTUP
Secara umum asosiatif merupakan hubungan masyarakat dalam bentuk penyatuan, sedangkan disosiatif adalah interaksi sosial yang mengarah pada bentuk pemisahan dan terbagi. Gangguan disosiatif ini merupakan gangguan yang ditandai dengan adanya perubahan perasaan individu tentang identitas, memori, atau kesadarannya. Individu yang mengalami gangguan ini memperoleh kesulitan dalam mengingat peristiwa penting yang dialaminya, mereka cenderung melupakan identitas dirinya dan membentuk identitas baru.
Setiap identitas atau kepribadian penderita gangguan disosiatif, bisa muncul karena ada hal memicunya.
Sedangkan gangguan somatoform disorder merupakan kelompok gangguan yang ditandai oleh keluhan tentang masalah atau simtom fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab kerusakan fisik. Gangguan somatoform juga merupakan gangguan yang tidak sepenuhnya dijelaskan oleh kondisi medis umum atau gangguan mental lain dan untuk memenuhi kriteria diagnostik harus disebabkan oleh adanya tekanan. Gangguan somatisasi dibedakan dari gangguan somatoform lainnya karena banyaknya keluhan dan melibatkaan sistem organ yang multiple (seperti gastrointestinal dan neurologis).
B. Saran
Diharapkan seorang konselor dengan mempelajari Assosiative, Dissosiative dan Somatoform Disorder mampu memahami gangguan kejiwaan yang ada serta juga mampu memberikan penanganan yang tepat sesuai dengan kondisi yang dialami individu, sehingga individu mampu menjalani kehidupannya dengan lancar dan normal.
KEPUSTAKAAN
Ardani, Tristriadi. 2011. Psikologi Abnormal. Bandung: Lubuk Agung.
Fauziah, F. dan Widuri, J. 2005. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Halgin, R. P dan Whitbourne, S. K. 2009. Psikologi Abnormal (Perspektif Klinis Pada Gangguan Psikologis). Alih Bahasa: Aliya Tusyani. Jakarta: Salemba Humanika.
Semiun, Y. 2007. Kesehatan Mental I. Jakarta: Rineka Cipta.
Soekanto, Soerjono dan Sulistyowati, Budi. 2015. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta: Rajawali Pers.
Sutardjo, A. Wiramihardja. 2005. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: Refika Aditama.