MAKALAH
KONSEP FILSAFAT ISLAM DAN TASAWUF
Makalah ini disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah:Filsafat Islam dan Tasawuf
Dosen pengampu:
Dr. H. Muhammad Asrori, M.Ag
Oleh:
Alifia Zuhriatul Alifa (220101220008)
HALAMAN SAMPUL
Program Magister Pendidikan Agama Islam Pascasarjana Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang
2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil alamin segala puji kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat serta kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah sedikit tentang “Konsep Filsafat Islam dan Tasawuf”. Dan tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW. Yang telah menuntun kita dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang yakni addinul islam wal iman.
Sebelumnya kami mengucapkan terima kasih kepada yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. H. Muhammad Asrori, M.Ag., selaku dosen Filsafat Islam dan Tasawuf yang telah memberikan kami kepercayaan untuk menyelesaikan tugas makalah ini. Kami sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat dalam rangka memberikan wawasan tentang konsep Filsafat Islam dan Tasawuf.
Makalah tentang ini sangat dibutuhkan bagi kaum muda zaman sekarang, dengan tujuan memberikan pengertian terkait pentingnya berpikir kritis dalam memahami dan mempelajari tentang konsep filsafat Islam dan tasawuf serta hubungan antar keduanya.
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Filsafat Islam dan Tasawuf. Kami juga berharap semoga pembuatan makalah ini dapat bermanfaat bagi para membaca untuk menambah wawasan dan pengetahuan.
Malang, 8 September 2023
Penyusun
DAFTAR ISI
Contents
HALAMAN SAMPUL...i
KATA PENGANTAR...ii
DAFTAR ISI...iii
BAB I PENDAHULUAN...1
A. Latar Belakang...1
B. Rumusan Masalah...2
C. Tujuan Penulisan...2
BAB II PEMBAHASAN...3
A. Konsep Filsafat Islam...3
1. Definisi Filsafat Islam...3
2. Karakteristik Filsafat Islam...5
B. Konsep Tasawuf dalam Islam...8
1. Definisi Tasawuf...8
2. Objek Kajian Tasawuf...10
3. Tahapan dalam Tasawuf...12
C. Hubungan antara Filsafat Islam dan Tasawuf...15
BAB III PENUTUP...19
A. Kesimpulan...19
B. Saran...19
DAFTAR RUJUKAN...20
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selama ini sudah umum diketahui bahwa ada dua hal mendasar dalam studi pemikiran keislaman yang sering dianggap kontroversi; yakni tasawuf atau sufisme dan filsafat Islam. Filsafat Islam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan filsafat ilmu. Hanya saja, konteks filsafat Islam mengaitkan pemikiran manusia terhadap kehidupan dengan konteks spiritualitas dari agama Islam.
Filsafat Islam diklaim tidak sepenuhnya berasal dari pemikiran filsafat Yunani, tetapi banyak dilahirkan dari ajaran-ajaran filsuf muslim yang berada di wilayah Timur Tengah.
Filsafat Islam dan tasawuf seolah berbeda dan tidak memiliki titik temu serta persinggungan sejarah. Harun Nasution menyamakan filsafat Islam dengan mistisisme karena keduanya sama-sama menekankan perenungan.
Namun yang disebut mistisisme dalam Islam menurut Harun Nasution sebetulnya adalah salah satu genre atau cabang dari tasawauf, yaitu tasawuf falsafi. Jadi, mistisisme menurut Harun identik dengan tasawuf falsafi.
Tasawuf merupakan rumusan langsung dari perasaan seseorang yang mendambakan kehadirat ilahi, penyucian batin dan ketenangan hati. Para sufi seringkali mengharapkan adanya hubungan antara Tuhan dengan manusia dan apa yang harus dilakukan oleh manusia agar dapat berhubungan sedekat mungkin dengan Tuhan baik dengan pensucian jiwa dan latihan-latihan spritual. Sementara filsafat adalah rumusan teoritis terhadap wahyu tersebut bagai manusia mengenai keberadaan (esensi) sekaligus eksistensi manusia, Tuhan, dan proses penciptaan alam.
Maka dalam hal ini ilmu tasawuf tentunya mempunyai hubungan- hubungan yang terkait dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, baik dari segi
tujuan, konsep dan kontribusi ilmu tasawuf terhadap ilmu-ilmu tersebut dan begitu sebaliknya bagaimana kontribusi ilmu keislaman yang lain terhadap ilmu tasawuf.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep filsafat Islam?
2. Bagaimana konsep tasawuf dalam Islam?
3. Apa hubungan antara filsafat Islam dan tasawuf?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui konsep filsafat Islam.
2. Untuk mengetahui konsep tasawuf dalam Islam.
3. Untuk mengetahui hubungan antara filsafat Islam dan tasawuf.
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Filsafat Islam 1. Definisi Filsafat Islam
Filsafat berasal dari kata Yunani, yaitu philosophia, kata berangkai dari kata philein yang berarti mencintai, dan sophia berarti kebijaksanaan.
Philosophia berarti: cinta akan kebijaksaan (Inggris: love of wisdom, Belanda: wijsbgeerte, Arab: muhibbu al-hikmah). Orang yang berfilsafat atau orang yang melakukan filsafat disebut “filsuf” atau “filosof”, artinya pencinta kebijaksaan.
Pembentukan kata filsafat menjadi kata Indonesia diambil dari kata Barat fil dan safat dari kata arab sehingga terjadilah gabungan antara keduanya dan menimbulkan kata filsafat. Jadi, secara sederhana dapat dikatakan, filsafat adalah hasil kerja berfikir dalam mencari hakikat segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan universal.
Filsafat memiliki berbagai macam cabang yang dibedakan dari kajian dan pemikirannya. Salah satu cabang filsafat adalah filsafat Islam. Filsafat Islam itu sendiri adalah hasil pemikiran filsuf tentang ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis.1
Menurut Mustofa Abdur Razik, filsafat Islam adalah filsafat yang tumbuh di negeri Islam dan di bawah naungan negara Islam, tanpa memandang agama dan bahasa-bahasa pemiliknya. Menurut Ahmad Fu’ad al-Ahwani filsafat Islam ialah pembahasan tentang alam dan manusia yang disinari ajaran Islam.
Pendapat lain mengatakan bahwa filsafat Islam adalah filsafat Qur’aniah, yaitu filsafat yang berorientasi kepada al-Qur’an untuk mencari
1 Ismail. Filsafat Islam (Tokoh dan Pemikirannya). (Bogor: PT Penerbit IPB Press).
jawaban-jawaban mengenai masalah-masalah asasi filsafat kepada wahyu.2 Namun penamaan istilah filsafat Islam pada dasarnya adalah karena Islam ini bukan hanya sekedar agama namun termasuk juga di dalamnya kebudayaan. Jadi pemikiran filsafat ini juga tentunya terpengaruh oleh kebudayaan Islam tersebut, meskipun pemikiran itu banyak sumbernya dan berbeda-beda jenis orangnya. Corak pemikiran tersebut adalah Islam, baik tentang problema-problemanya, motif pembinaannya maupun tujuannya, karena Islam telah memadu dan menampung aneka kebudayaan serta pemikiran dalam satu kesatuan.3
Menurut Elvi Damayanti dalam bukunya yang berjudul History Of Filsafat Islam, filsafat Islam adalah suatu ilmu yang di dalamnya terdapat ajaran Islam dalam membahas hakikat kebenaran segala sesuatu. Filsafat Islam itu adalah filsafat yang berorientasi pada Al-quran, mencari jawaban mengenai masalah-masalah asasi berdasarkan wahyu Allah. Filsafat Islam sendiri merupakan filsafat yang diterapkan berdasarkan hukum dan ajaran yang berlaku dalam agama Islam.4
Filsafat Islam lahir dari aktivitas usaha penerjamahan naskah-naskah ilmu filsafat Yunan ke dalam bahasa Arab. Aktivitas ini berjalan selama masa khalifah Abbasiyah berkuasa. Meskipun demikian, filsafat Islam disebut tidak terpengaruhi oleh pemikiran filsafat Yunani sebab konsep pemikiran dan ajarannya bersumber dari al-Qur’an dan hadits yang dijadikan rujukan dalam ajaran Islam. al-Qur’an sendiri banyak membahas tentang konsep ketuhanan, manusia, alam semesta, moralitas, etika dan estetika, sehingga filsafat Islam lahir sebagai ajaran filsafat yang baru.
Berdasarkan beberapa penjelasan, dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam adalah berpikir secara sistematis, radikal dan universal tentang segala sesuatu berdasarkan ajaran Islam.
2 Endang Saifudin Anshari. Wawasan Islam (Pokok-pokok pikiran tentang Paradigma dan Sistem Islam). (Jakarta: Gema Insani). Hlm. 114.
3 Ahmad Hanafi. Pengantar Filsafat Islam. (Yogyakarta: Bulan Bintang. 1976). Hlm. 23.
4 Elvi Damayanti. History Of Filsafat Islam. (Purwokerto: AFA Group. 2020).
2. Karakteristik Filsafat Islam
Muhammad Iqbal dalam bukunya “Untuk Apa Belajar Filsafat Islam?” menjelaskan terkait karakteristik dan ciri khusus filsafat Islam, sebagai berikut:
a. Sebagai Filsafat Religius-Spiritual
Filsafat Islam disebut sebagai religius karena filsafat ini berasal dari ajaran Islam. Tokoh pemikirnya merupakan umat Islam yang hidup dengan kebudayaan Islam. Filsafat Islam juga hadir sebagai lanjutan dari pembahasan-pembahasan keagamaan dan teologi yang ada sebelumnya.
Oleh sebab itu, topik-topik pembahasan dalam Islam yang bersifat religius dan mengesakan Tuhan.
Spiritualitas ini mendorong para filosof untuk mensistensiskan filsafat dan agama. Filosof rasional-spiritual juga terlihat dari kepribadian- kepribadian mereka yang menarik. Al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dan banyak filosof lainnya merupakan orang-orang yang memiliki kesalehan luar biasa. Pemahaman mereka terhadap ilmu-ilmu keislaman dan tingkat “kepasrahan” mereka sangat tinggi. Ibn Sina biasa pergi ke masjid dan shalat saat menghadapi masalah pelik dan Ibnu Rusyd adalah qadhi, penulis kitab fiqh; Bidayah al-Mujtahid. Atau juga gerakan sufi al- Farabi.
b. Bersifat Rasional
Meskipun bersifat religius dan spiritual, filsafat Islam juga masih mengemukakan akal dan menafsirkan problematika di alam semesta berdasarkan akal dan logika. Akal manusia merupakan salah satu potensi jiwa. Ia ada 2 macam. Pertama, praktis bertugas mengendalikan badan dan mengatur tingkah laku. Kedua, teoritis khusus berkenaan dengan persepsi dan epistemology. Karena akal praktis inilah yang menerima persepsi-persepsi inderawi dan meringkas pengertian universal dengan bantuan akal aktif.
Penyatuan rasional dan spiritual terlihat jelas dalam berbagai diskursus yang dikaji oleh para filosof muslim. Teori Emanasi yang
dikembangkan al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu Sina membuktikan hal tersebut, dikatakan bahwa al-Farabi, merasa kecewa atas buku Metafisika Aristoteles. Dengan cara religius dan spiritual ini, filsafat Islam bisa mendekati filsafat skolastik, bahkan sejalan dengan filsafat kontemporer.
c. Bersumber dari al-Qur’an dan Hadist
Filsafat Islam berlandaskan pada prinsip agama Islam dalam hal ini al-Quran dan hadis. Maka sumber ilmu dalam filsafat Islam adalah dalil- dalil wahyu dan dalil-dalil rasional (‘aqli). Secara umum, seluruh sarjana baik timur ataupun barat meyakini bahwa al-Qur’an dan hadis berperan penting dalam perkembangan pemikiran filsafat dalam Islam.
Hal ini terlihat dari beberapa ide yang disampaikan oleh filsuf muslim, seperti al-Kindi yang membagi lapangan filsafat Islam menjadi tiga bagian, yakni ilmu fisika, ilmu matematika, dan ilmu ketuhanan.
Menurut Nasr ada beberapa hal yang dapat menjadi indikasi bahwa filosof muslim melandaskan pembahasannya pada al-Qur’an dan hadis, diantaranya: Pembahasan mengenai Penciptaan, landasan tekstual doktrin dapat ditemukan dalam ayat “Sesungguhnya apabila menghendaki sesuatu. Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah!", maka terjadi (kun fayakun)”. Dari doktrin ini para filosof mengkonsentrasik pemahaman mereka tentang “wujud" dan “kun" menunjukkan identitas wujud tersebut, wujud yang dibahas Ibn Sina lebih dari sekedar kata benda atau keadaan eksister melainkan sebagai kata kerja atau tindakan dari eksisten perenungan antara doktrin ini dalam kaitannya dengan pemikir Yunani, para filosof Islam mengembangkan doktrin tentang wujud murni yang berada di atas dan tidak bersambung dengan rantai wujud.
d. Objek yang dikaji
Filsafat Islam mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan metafisika atau non materi, seperti asal-muasal kehidupan dunia, akal aktif, dan sebagian pembahasan mengenai ruh. Mengkaji pula yang mencakup bidang fisik seperti alam raya, kosmologi namun tetap dikaitkan dengan bidang metafisis.
Karena metodologis filsafat yang berkaitan dengan ontologis (asal- usul hakikat), epistemologis (paradigma pengetahuan) dan aksiologis (persepsi nilai) memungkinkan seorang filosof melakukan telaah terhadap berbagai bidang keilmuan. Itu sebabnya seorang filosof muslim seperti al-Razi adalah seorang theolog, dokter, ahli kimia, ahli fisika, mufassir dan juga seorang filosof terkemuka. Namun, untuk menspesialisasi objek-objek kajian ini perlu ditelaah terlebih dahulu
“tema-tema yang dikaji dalam filsafat Islam". Tema disini dimaknai dengan kecenderungan yang diteliti oleh para filosof muslim. Dari pengetahuan tentang tema ini akan didapati substansi yang diteliti sebagai sebuah objek kajian filosof muslim.
Lebih global, Mulyadhi Kartanegara mengikhtisarkan tema tersebut yakni kajian mengenai Tuhan, alam dan manusia. Maka, Tuhan, alam dan manusia adalah objek dari filsafat Islam. Dimana kajiannya bisa jadi tertuju pada hal fisis atau metafisis tiga komponen tersebut. Dan untuk menspesialisasikan bidang kajian, karena pembahasan mengenai tiga objek tersebut juga melahirkan ilmu- ilmu lainnya. Ditetapkan beberapa tema yang hanya para filosof muslim saja yang membahasnya dan tidak menjadi pembahasan di bidang keilmuan lainnya.
e. Subjek pengkaji; filsafat Islam merupakan hasil telah dan analisis para filosof muslim, artinya kajian filsafat ini dilakukan oleh orang-orang Islam.
Selain karena faktor penggunaan bahasa, filsafat Islam jelas tak bisa dibuat semakna dengan filsafat Arab. Pertama, karena perkembangan filsafat ini berlangsung pada masa kejayaan Islam yang tidak terkait dengan dimensi “Dinasti" tertentu. Kedua, para filosof tidak seluruhnya merupakan orang Arab, Ibnu Sina adalah seorang Persia, al- Farabi bahkan adalah seorang Turki. Ketiga, intisari filsafat Islam berada di seputar wacana bagaimana para filosof Islam menafsirkan doktrin tauhid. Serta senantiasa ada ketegangan antara deskripsi al-Qur’an
tentang keesaan dan apa yang kaum Muslim kaji dari sumber-sumber Yunani.
Karenanya sulit menyebutkan filsafat yang dilakukan oleh non- muslim sebagai subjek pengkaji filsafat Islam. Para filosof muslim adalah warna tersendiri dalam perkembangan filsafat, kajiannya yang berdasarkan upaya “penafsiran" atau “perluasan makna" dari al-Qur’an dan hadis dan rasionalitas Yunani merupakan sebuah ide kreatif yang hanya filosof muslim saja-lah yang dapat melakukannya dan tidak non- muslim. Perbenturan pemikiran dengan mutakallimin yang melahirkan dorongan kreativitas berfikir mereka juga bagian dari pembentukan nuansa berfikir para filosof muslim.
Maka, filosof muslim tak pernah dan bukan hanya seorang filosof, filosof muslim adalah seorang intelektual dalam berbagai bidang. Mereka mengkaji filsafat tapi juga menguasai konsep syari’ah, mereka memahami al-Qur'an, seorang mufassir, seorang sufi bahkan ahli ilmu- ilmu kealaman. Integritas keilmuan mereka di berbagai bidang ini membuktikan bahwa tradisi ilmiah Islam adalah sebuah kesatuan antara Iman, Islam dan amal.
B. Konsep Tasawuf dalam Islam 1. Definisi Tasawuf
Alwi Shihab mengungkapkan bahwa para ahli dalam bidang tasawuf hampir sepakat tentang sulitnya merumuskan definisi dan batasan tegas pengertian tegas tasawuf. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan spiritual yang terdapat pada setiap agama, aliran filsafat, dan peradaban. Dimana esensi tasawuf yang berpangkal pada pengalaman rohaniah yang hampir tidak mungkin dijelaskan secara tepat melalui bahasa lisan. Masing-masing orang yang mengalaminya memiliki penghayatan yang berbeda dari orang lain sehingga pengungkapannya juga melalui cara yang berbeda.5 Oleh
5 Eep Sopwana Nurdin. Pengantar Ilmu Tasawuf. (Bandung: Aslan Grafika Solution. 2020) Hlm.
1
karena itu, wajar apabila setiap orang menyatakan pengalaman pribadinya dalam konteks pemikiran dan kepercayaan yang berkembang pada masyarakat.6
Definisi tasawuf secara terminologis merupakan sesuatu yang relatif rumit, karena dunia tasawuf bersifat subjektif. Para sufi memiliki pengalaman-pengalaman yang berbeda sehingga sulit didefinisikan secara objektif. Walaupun demikian, para ulama berusaha memberikan definisi tasawuf sejauh pantauan mereka terhadapnya. Berikut adalah beberapa definisi sebagaimana dikutip oleh Abdul Fattah Muhammad Sayyid Muhammad.7
Amin Kurdi mendefinisikan Tasawuf sebagai “suatu yang dengannya diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa; cara membersihkannya dari yang tercela; dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji; cara melaksanakan suluk; dan perjalanan menuju keridhaan Allah serta meninggalkan larangan-Nya.”8 Tasawuf menurut Ma’ruf al-Karkhi, adalah
“mengambil hakikat dan meninggalkan yang ada di tangan makhluk.9 Menurut Hasan ats-Tsauri tasawuf berarti membenci dunia dalam usahanya mendekati dan mencintai Allah semata. Junaid al-Baghdadi berpendapat sebagai dikutip oleh Bachrun Rif’i, tasawuf adalah membersihkan hati dari sifat-sifat yang menyamai Binatang; menekankan sifat bashariyah;
menjauhi hawa nafsu; memberikan tempat bagi sifat kerohanian; berpegang pada ilmu kebenaran; mrngamalkan sesuatu yang lebih utama ats ndasar keabadiannya; serta menepati janji kepada Allah dan mengikuti syari’at Rasulullah.
Ibnu Arabi memberi definisi berikut:
6 Alwi Shihab, diterjemahkan oleh Muhammad Nursamad dengan judul Islam Sufistik at-Tasawuf al-Islami wa Atsaruhu fi al-Tasawuf sl-Indunisy al-Mu’ashir. “Islam Pertama” dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia. (Bandung: Mizan. 2002) Hlm. 27
7 Sayyid Muhammad Ahmad. Tasawuf antara a-Ghazali dan Ibnu Taimiyah (Terjemah).
Muhammad Muhson Anasy. (Jakarta: Khalifa. 2005) Hlm. 12
8 Amin al-Kurdi. Tanwir al-Qulub fi Mu’amalah ‘Alam al-Ghuyub. (Surabaya: Bungkul Indah) 9 As-Suhrawardi. Awarif al-Ma’arif, Khamisy Ihya’ ‘Ulum al-Din. (Singapura: Mar’i) Hlm. 406.
يهلإالإا قلخلإا وه فوصتلإا
Tasawuf adalah akhlak yang bersifat ketuhanan.10 Abdul Karim al-Jili mendefinisikan sebagai berikut:
ةيرشبلإا تإارودك نم افص نم يفوصلإا هتإاذو هتافصو قحلإا ءامسأب
Seorang sufi adalah orang yang membersihkan dari kotoran-kotoran kemanusiaan dengan nama-nama Allah yang maha benar, sifat-Nya dan dzat-Nya.11
Sekian definisi di atas masih belum mencapai jami’ dan mani’. KH.
Said Agiel Siradj memberi definisi bahwa tasawuf adalah pengetahuan yang paling tinggi untuk mencapai derajat ma’rifat setelah kenabian (Nabi Muhammad); bahwa ia adalah sebuah penyaksian yakni metode untuk penyaksian kebenaran Allah SWT.
Tasawuf termasuk suatu disiplin ilmu yang tumbuh dari pengalaman spiritual yang mengacu pada kehidupan moralitas yang bersumber dari nilai- nilai Islam. Namun begitu, dari serangkaian definisi yang ditawarkan para ulama, ada satu asas yang disepakati, yakni tasawuf adalah moralitas- moralitas yang berasaskan Islam. Artinya bahwa pada prinsipnya tasawuf bermakna moral dan semangat Islam, karena seluruh ajaran Islam dari berbagai aspeknya masalah prinsip moral.12
2. Objek Kajian Tasawuf
Dalam suatu hadits diriwayatkan:
10 Ibnu Arabi. Ishthalahat ash-Shufiyah. (Mesir: al-Fikr al-Qahirah). Hlm. 28)
11 Abd al-Karim. al-Jili. al-Munadharah al-Ilahiyah (Kaoiroh: Dar- al-Manar) Hlm. 170
12 Rivay Siregar. Tasawuf daru Sufisme Klasik ke Neo Sufisme. (Jakarta: Raja Grapindo Persada.
1999) Hlm. 32
لاق رماع نع ءايركز انثدح مىعن وبإا اانثدح لوسر تعمس لوقي ريشب نب نامعنلإا اتعمس نيب للحلإا لوقي املسو هيلع هللإا ىلص هللإا ريثك اهملعي ل تاهبشم امهنيبو نيب مإارحلإاو هنيدل إاربتسإا تاهبشملإا ىقتإا نمف سانلإا نم ىعري عإارك تاهبشلإا يف عقو نمو هضرعو كلم لكل نإاو لإا هعقإاوي نإا كشوي ىمحلإا لوح نإاو لإا همراحم هضرإا ىف هللإا ىمح نإا لإا ىمح هلك دسجلإا حلص ةحلص إاذإا ةغضم دسجلإا ىف بلقلإا يهو لإا هلك دسجلإا دسف تدسف إاذإاو
Artinya: Sesuatu yang halal adalah jelas dan yang haram adalah jelas. Diatara keduanya ada suatu perkara yang mutasyabihat. Tidak banyak manusia yang mengerti tentang hal yang mutasyabihat. Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang subhat (tidak jelas antara halal dan haram) maka akan terjaga agamanya dan barangsiapa yang tidak dapat menjaganya maka seperti penggembala kambing yang menggembala di ladi\ang luas yang di mungkinkan kambing tadi memakan makanan yang bukan berasal dari ladang milik yang mempunyai kambing tersebut. Ingat semua itu ada pemiliknya. Ingat sesungguhnya dalam jasad manusia ada segumpal darah, jika itu baik maka akan baik yang lainnya dan jika jelek maka jelek yang lainnya, apakah dia itu, ia adalah qalb atau hati.
Dari hadits tersebut nampak bahwa objek kajian tasawuf adalah hati atau jiwa manusia. Pembahasannya tidak secara fisik, karena hal tersebut lebih banyak ke masalah fisiologi manusia atau bilogi, namun pembahasan tasawuf lebih banyak menekankan pada masalah jiwa manusia secara immateri.
Adapun menurut al-Kurdi yang menjadi obyek kajian ilmu tasawuf adalah amalan hati (batin) dan perasaan dalam hal membersihkan atau menyucikan diri. Sedangkan menurut Ibn ‘Ata-illah dalam kitabnya al-Hikam
mengemukakan bahwa obyek ilmu tasawuf adalah al-Nufus wa al-Qulub wa al-Arwah (masalah jiwa, hati dan ruh).
Dari pendapat Amin al-Kurdi dan Ibn ‘Ata-illah tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa yang menjadi obyek kajian ilmu tasawuf adalah hal-ihwal batin, yang menyangkut jiwa, hati dan ruh.
Tasawuf adalah aspek ruhani, (esoteris) dalam Islam. Cara pendekatannya pun harus mendekati ruhaniah. Diantara unsur ruhani yang terdapat pada diri manusia adalah ruh. Terkait dengan ini, dikatakan bahwa ada tiga unsur yang terdapat pada diri manusia, yaitu ruh, akal, dan jasad.
Kemuliaan manusia dibandingkan dengan makluk lain adalah karena manusia memiliki unsur ruh Ilahi, Ruh yang dinisbatkan Allah SWT.
Ruh inilah yang menjadikan manusia memiliki sisi kehidupan ruhani, dimana kecondongan ini juga dimiliki oleh manusia dalam setiap agama.
Karena perasaan itu merupakan fitrah manusia. Dengan demikian, yang menjadi kajian objek tasawuf adalah “jiwa” manusia. Tasawuf membahas tentang sikap jiwa manusia dalam berhubungan dengan Allah SWT. Dan sikap- Nya dalam berhubungan sesama makhluk. Dalam hal ini, tasawuf bertugas membersihkan hati itu dari sifat-sifat buruk dan tercela (al-madzmumah) dalam kaitan hubungan tersebut. Bila hati sudah bersih dari kotoran-kotoran, niscaya kehidupan ini akan menjadi baik dan harmoni kehidupan akan terjamin secara stabil.
Hati dalam bahasa arab disebut al-qalb. Menurut ahli biologi, qalbu adalah segumpa darah yang terletak di dalam rongga dada, agak ke sebelah kiri, warnanya agak kecoklatan dan berbentuk segi tiga. Tapi yang dimaksudkan disini ialah bukan hati yang terbentuk dari segumpa darah yang bersifat materi itu, namun yang dimaksudkan hati disini adalah yang bersifat immateri. Hati yang berbentuk materi menjadi objek kajian biologi. Sementara hati immateri menjadi objek kajian tasawuf.
Al-Ghazali menjelaskan hati immateri ini dalam kitab Ihya ‘Ulum ad- Din, Menurut al-Ghazali hati adalah karunia Allah yang halus dan indah, bersifat immateri, yang ada hubungannya dengan hati materi. Yang halus dan indah inilah yang menjadi hakikat kemanusiaan dan yang mengenal dan mengetahui segala sesuatu. Hati ini juga menjadi sasaran perintah, sasaran hukuman, sasaran cela dan tuntutan (taklif) Tuhan.
3. Tahapan dalam Tasawuf
Didalam ajaran tasawuf apabila seseorang ingin mencapai maqom yang sempurna (wusul) dalam perjalanan spiritualnya maka haruslah menempuh tiga jalan ini yaitu, takhali, tahali, dan tajali:
a. Takhalli
Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, dari maksiat lahir dan maksiat batin. Di antara sifat- sifat tercela yang mengotori jiwa (hati) manusia adalah dengki, buruk sangka, sombong, membanggakan diri, pamer, kikir dan sifatsifat tercela yang lain.13
Pembicaraan tentang sikap atau kelakuan yang tercela ini dalam tasawuf atau akhlak lebih didahulukan daripada pembicaraaan tentang sikap atau kelakuan yang terpuji rena ia termasuk usaha takhliyah (mengosongkan diri dari sifat- sifat tercela) sambil mengisinya (tahliyah) dengan sifat- sifat yang terpuji.
Membersihkan diri dari sifat tercela menurut orang sufi dipandang penting karena sifat-sifat tersebut merupakan najis maknawi (najasah ma’nawiyah). Adanya najis-najis ini pada diri seseorang menyebabkan mustahil bisa dekat kepada Tuhan, seperti halnya mempunyai najis dzati (najash suriyah) ia tidak dapat melakukan ibadah yang diperintahkan Tuhan.
13 Asmaran AS. Pengantar Studi Tasawuf. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994). Hlm. 67.
Maksiat lahir dan batin itulah yang mengotori jiwa manusia setiap waktu, terlebih maksiat batin yang merupakan bagian dari penyakit hati.
Semua kotoran dan penyakit hati merupakan dinding-dinding tebal yang membatasi pada diri seseorang dengan Tuhan-Nya. Untuk itu kedua maksiat tersebut harus dibersihkan terlebih dahulu, yaitu membersikah diri dari sifat- sifat yang tercela agar dapat mengisi dengan sifat-sifat yang terpuji untuk memperoleh kebahagiaan hakiki.14
b. Tahalli
Tahalli yakni mensucikan atau menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji, dengan ta’at lahir dan taat batin.15 Tahalli juga berarti menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sifat, sikap serta perbuatan yang baik.
Berusaha dalam setiap saat gerak perilaku selalu berjalan di atas ketentuan agama, baik kewajiban yang bersifat ketaatan lahir maupun yang bersifat batin. Yang dimaksud dengan ketaaatan lahir adalah kewajiban yang bersifat formal seperti melaksanakan shalat, puasa ramadhan, mengeluarkan zakat, melaksanakan haji dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan ketaatan batin adalah iman, ikhlas dan lain sebagainya.
Tahalli yang dilakukan dengan cara menghiasi atau mengisi diri seseorang dengan sifat- sifat terpuji dengan taat sepenuhnya lahir dan batin.
Pada tahap ini merupakan bagian dari pengisi jiwa yang telah dikosongkan dari sifat- sifat tercela. Dengan kata lain sesudah tahap pembersihan diri dari segala sifat tercela (takhalli) dapat dilalui kemudian usaha ini harus berlanjut ketahap berikutnya yaitu tahalli untuk memperoleh segala sifat terpuji. Diantaranya zuhud, qona’ah, sabar, tawakkal, mujahadah, ridha, syukur, ikhlas dan lainya.
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa bersifat baik atau berakhlak mulia artinya menghilangkan semua kebiasaan yang tercela yang telah dijelaskan
14 Zahri Mustofa. Ilmu Tasawuf. (Surabaya: Bina Ilmu. 1976). Hlm. 77.
15 Zahri Mustofa. Pengantar Studi Ilmu Tasawuf. (Surabaya: Bina Ilmu. 1976). Hlm. 77.
oleh ajaran agama dan bersamaan dengan itu membiasakan sifat yang baik, mencintai dan melakukannya. Dalam bahasan lain sebagaimana Imam al- Ghazali mengatakan yang dikatakan budi pekerti yang baik ialah membuat kerelaan seluruh makhluk, baik dalam keadaan lapang maupun susah.
Untuk merehabilitis sikap mental yang tidak baik, menurut orang sufi tidak akan berhasil apabila terapinya hanya dari aspek lahiriah saja.
Makanya pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf seorang murid diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat. Tujuannya adalah untuk menguasai hawa nafsu, menekanya sampai ke titik terendah; atau apabila mungkin mematikan sama sekali. Jiwa manusia, kata Al-Ghazali dapat dilatih, dikuasai, diubah dan dapat dibentuk sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri. Dari satu latihan akan menjadi kebiasaaan dan dari kebiasaan akan menghasilkan kepribadian.16
Menurut Al Ghazali, jiwa manusia dapat diubah, dilatih, dikuasai, dan dibentuk sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri. Perbuatan baik yang sangat penting di isikan kedalam jiwa manusia dan dibiasakan dalam perbuatan agar menjadi manusia paripurna (insan kamil).17
c. Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan mental itu disempurnakan pada fase tajalli. Tajalli berarti terungkapnya nur ghaib untuk hati. Dalam hal ini kaum sufi mendasarkan pandapatnya pada firman Allah dalam al-Qur’an surat An- Nur: 35 yang artinya : ”Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi”.18 Tajalli ialah lenyap atau hilangnya hijab dari sifat- sifat kebasyariahan (kemanusiaan), jelasnya nur yang selama itu ghaib, fananya atau lenyapnya segala yang lain ketika nampaknya wajah Allah.
16 Zahri Mustofa. Pengantar Studi Ilmu Tasawuf. (Surabaya: Bina Ilmu. 1976). Hlm. 73 17 Samsul Munir Amin. Ilmu Tasawuf. (Jakarta: Hamzah. 2012). Hlm. 214-220.
18 Abdul Mustaqiem. Akhlak Tasawuf. (Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2007).
Berdasarkan ayat Al-Qur’an diatas, kaum sufi yakin bahwa seseorang dapat memperoleh pancaran nur llahi. Demikian Allah tampak dengan af’al, amsa’, sifat dan zat-Nya. Mustahil orang dapat menutupi cahaya, sedang cahaya itu terpancar dalam segala yang tertutup. Apalagi Allah adalah cahaya langit dan bumi.
Imam Al-Ghazali pernah mengatakan bahwa: “tersingkapnya hal- hal yang ghaib yang menjadi pengetahuan kita yang hakiki karena nur yang dipancarkan Allah ke dalam dada (hati) seseorang”.
C. Hubungan antara Filsafat Islam dan Tasawuf
Seringkali tasawuf dan filsafat dipandang sebagai sesuatu yang berlawanan. Keduanya kerapkali dipahami secara dikotomis, baik secara epistimologis maupun sosio-historis. Secara epistimologis, ilmu tasawuf dianggap sebagai sebuah disiplin ilmu yang menitikberatkan pada intuisi, ilham, dan bisikan hati, meski kadang-kadang ia bertentangan dengan prinsip- prinsip rasionalitas. Sementara itu, disiplin filsafat dianggap sebuah disiplin yang sangat patuh terhadap prinsip-prinsip rasionalitas.
Pada dasarnya keduanya memiliki beberapa persamaan. Dilihat dari objek kajiannya, objek kajian filsafat adalah masih dalam masalah ketuhanan di samping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. Sementara itu objek kajian tasawuf adalah Tuhan, yakni upaya-uapaya pendekatan terhadap- Nya. Jadi, dilihat dari objeknya, kedua ilmu itu membahas masalah yang berkaitan dengan ketuhanan.
Argumen filsafat dibangun di atas logika. Oleh karena itu, hasil kajiannya bersifat spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset, dan eksperimental). Kerelatifan hasil karya logika itu menyebabkan beragamannya kebenaran yang dihasilkannya.
Filsafat maupun tasawuf berurusan dengan hal yang sama yaitu kebenaran. Filsafat dengan wataknya sendiri pula, berusaha menghampiri
kebenaran, baik tentang alam maupun manusia (yang belum atau tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuaan karena berada di luar atau di atas jangkauanya), atau tentang Tuhan. Sementara itu, tasawuf juga dengan metodenya yang tipikal berusaha menghampiri kebenaran yang berkaitan dengan perjalanan spritual menuju Tuhan.
Tasawuf merupakan dimensi dalam agama Islam yang menekankan pada pengalaman spiritual dan pencarian kebenaran yang mendalam. Para sufi berusaha mencapai kesatuan dengan Tuhan melalui praktik-praktik khusus seperti dzikir, meditasi, dan pengendalian diri. Sementara itu, filsafat melibatkan penelitian rasional dan refleksi filosofis dalam menggali pemahaman tentang hakikat dan realitas kehidupan.
Meskipun tasawuf dan filsafat memiliki pendekatan yang berbeda, keduanya memiliki kesamaan dalam tujuan akhirnya, yaitu pencarian kebenaran dan pemahaman yang lebih dalam tentang hakikat kehidupan dan eksistensi manusia. Tasawuf memberikan pengalaman spiritual yang mendalam melalui praktek-praktek spiritual, sementara filsafat memberikan kerangka konseptual dan analitis untuk memahami alam semesta dan peran manusia di dalamnya. Dalam pandangan yang lebih luas, tasawuf dan filsafat dapat saling melengkapi dan berkontribusi satu sama lain dalam memperkaya pemahaman teologi dan ideologi.
Harmoni antara tasawuf dan filsafat terlihat dalam kontribusi tokoh- tokoh besar seperti Ibn Arabi, Al-Farabi, dan Ibn Sina. Mereka berhasil mengintegrasikan pemikiran filosofis dengan praktek-praktek spiritual sufi, membawa kedua dimensi ini ke tingkat yang lebih tinggi. Contohnya, Ibn Arabi mengembangkan konsep wahdat al-wujud (kesatuan eksistensi) yang menggabungkan pemikiran filosofis dengan pengalaman spiritual dalam tasawuf. Ia menunjukkan bahwa tasawuf tidak hanya bersifat eksklusif dalam domain spiritual, tetapi juga dapat menghasilkan pengetahuan dan pemahaman yang lebih luas tentang realitas yang lebih tinggi.
Dalam konteks pemahaman teologi, harmoni antara tasawuf dan filsafat juga dapat ditemukan dalam pemikiran para sufi seperti Jalaluddin Rumi.
Rumi, seorang penyair sufi terkenal, menggabungkan unsur-unsur filsafat dalam karya-karyanya yang penuh dengan makna spiritual. Puisi-puisi Rumi menggambarkan perjalanan menuju Tuhan dengan menggunakan bahasa metaforis dan simbolis yang mencerminkan pemikiran filosofis yang mendalam.
Harmoni antara tasawuf dan filsafat juga dapat ditemukan dalam pendekatan mereka terhadap konsep kebenaran. Tasawuf menekankan pada pengalaman langsung dan intuitif dalam mencapai pemahaman tentang hakikat yang lebih tinggi, sementara filsafat berusaha untuk memahami kebenaran melalui pemikiran rasional dan analisis konseptual. Namun, keduanya menyadari bahwa kebenaran sejati tidak dapat sepenuhnya dipahami melalui akal pikiran semata, melainkan juga melalui pengalaman spiritual yang mendalam. Dalam hal ini, tasawuf dan filsafat saling melengkapi dalam memperkaya pemahaman tentang kebenaran dan eksistensi manusia.
Pada intinya bahwa filsafat maupun tasawuf memliki kesamaan dalam segi objek kajiannya, yaitu tentang Tuhan dan segala yang berkaitan dengan- Nya. Namun dalam kajian objek tersebut hanya dibedakan dalam penamaannya saja. Filsafat di kenal dengan sebutan kajian tentang Wujud dan dalam ilmu tasawuf (irfan) dikenal dengan sebutan kajian tentang Al-Haq. Akan tetapi pada dasarnya keduanya mengkaji kajian tentang Tuhan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya.
Pembeda Filsafat Tasawuf
Objek kajian
Ketuhanan, alam, manusia, segala sesuatu yang ada (wujud)
Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadapnya (Al-Haq).
Metodologi Rasional (logika) Kasyf (pengalaman)
Dasar
Argumentasi (Pembuktian)
Dasar logika Dzauq/hati/rasa
Tujuan Untuk membuktikan adanya Allah, Islam menghendaki agar
Untuk mengenal Allah SWT secara hakiki,
umatnya memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi. mendekatkan manusia kepada Allah dengan sedekat-dekatnya, sehingga tidak ada penghalang antara manusia dengan Allah.
Tabel 1. Karakteristik Filsafat dan Tasawuf
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan awal, bahwa tabel tersebut menjelaskan objek kajian ilmu kalam, filsafat dan tasawuf itu sama, yaitu kajian tentang Tuhan namun hanya dalam segi penamaannya saja yang berbeda. Adapun dalam segi perbedaanya jelas bahwa kalam menggunakan aqli yang diseimbangkan atau diperjelas oleh naqli, sedangkan filsafat hanya menggunakan aqli (rasional) saja, yaitu melakukan kajian secara empiris dan menggunakan akal secara prima, dan tasawuf dengan menggunakan metode rasa (rasio) dan hati (intuisi), dengan menggunakan pengalaman dengan melakukan tiga proses penting, yaitu takhali (pengosongan dir dari perbuatan buruk), tahali (penghiasan diri dengan perbuatan-perbuatan baik) dan tazali (penyucian diri).
Penting untuk diingat bahwa harmoni antara tasawuf dan filsafat bukan berarti penggabungan sepenuhnya atau penyatuan identitas keduanya. Tasawuf dan filsafat tetap memiliki pendekatan dan metodologi yang unik, tetapi mereka dapat saling berdialog dan memberi kontribusi satu sama lain dalam mencapai pemahaman yang lebih utuh tentang hakikat kehidupan.
Dalam penutup, tasawuf dan filsafat memiliki peran penting dalam pemahaman teologi dan ideologi. Melalui integrasi antara dimensi spiritual dan rasional, harmoni dapat ditemukan dalam upaya manusia untuk mencapai pemahaman yang lebih utuh tentang kebenaran dan eksistensi. Memahami dan menghargai kontribusi keduanya dapat membawa kita pada pemahaman yang lebih mendalam tentang diri kita sendiri, Tuhan, dan alam semesta yang ada di sekitar kita. Dengan demikian, pemahaman tentang tasawuf dan filsafat sebagai
teologi dan ideologi dapat membantu kita mengeksplorasi makna hidup dan memperkaya pemahaman kita tentang eksistensi manusia secara keseluruhan.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Definisi filsafat Islam adalah berpikir secara sistematis, radikal dan universal tentang segala sesuatu berdasarkan ajaran Islam. Sedangkan karakteristiknya antara lain; a) Sebagai Filsafat Religius-Spiritual, b) bersifat rasional, c) bersumber dari al-Qur’an dan hadis, d) objek yang dikaji; yakni kajian mengenai Tuhan, alam dan manusia, dan e) subjek pengkaji; filsafat islam merupakan hasil telah dan analisis para filosof muslim.
2. Tasawuf adalah moralitas-moralitas yang berasaskan Islam, dimana obyek kajian ilmu tasawuf adalah amalan hati (batin) dan perasaan dalam hal membersihkan atau menyucikan diri. Adapun tahapan-tahapan dalam tasawuf ada tiga, yaitu takhalli, tahalli, dan tajalli.
3. Hubungan filsafat Islam dan tasawuf adalah sama-sama berurusan dengan kebenaran. Filsafat dengan wataknya sendiri pula, berusaha menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun manusia (yang belum atau tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuaan karena berada di luar atau di atas jangkauanya), atau tentang Tuhan. Sementara itu, tasawuf juga dengan metodenya yang tipikal berusaha menghampiri kebenaran yang berkaitan dengan perjalanan spritual menuju Tuhan.
B. Saran
Demikian makalah ini saya susun, saya berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Oleh karena itu, menyarankan mempelajari lebih banyak lagi dan mencari referensi yang lain terkait filsafat Islam dan taswuf untuk menambah wawasan dalam memahami materi ini. Jangan pernah puas dengan makalah yang saya buat.
DAFTAR RUJUKAN
Abd al-Karim. al-Jili. al-Munadharah al-Ilahiyah. Kaoiroh: Dar- al-Manar.
Abdul Mustaqiem. (2007). Akhlak Tasawuf. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Ahmad Hanafi. (1976). Pengantar Filsafat Islam. Yogyakarta: Bulan Bintang.
Alwi Shihab, (2002) diterjemahkan oleh Muhammad Nursamad dengan judul Islam Sufistik at-Tasawuf al-Islami wa Atsaruhu fi al-Tasawuf sl- Indunisy al-Mu’ashir. “Islam Pertama” dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia. Bandung: Mizan.
Amin al-Kurdi. Tanwir al-Qulub fi Mu’amalah ‘Alam al-Ghuyub. Surabaya:
Bungkul Indah.
Asmaran AS. (1994). Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
As-Suhrawardi. Awarif al-Ma’arif, Khamisy Ihya’ ‘Ulum al-Din. Singapura:
Mar’i.
Eep Sopwana Nurdin. (2020). Pengantar Ilmu Tasawuf. (Bandung: Aslan Grafika Solution.
Elvi Damayanti. (2020). History Of Filsafat Islam. Purwokerto: AFA Group.
Endang Saifudin Anshari. (2020). Wawasan Islam (Pokok-pokok pikiran tentang Paradigma dan Sistem Islam). Jakarta: Gema Insani.
Ibnu Arabi. Ishthalahat ash-Shufiyah. Mesir: al-Fikr al-Qahirah.
Ismail. Filsafat Islam (Tokoh dan Pemikirannya). (Bogor: PT Penerbit IPB Press).
Rivay Siregar. (1999). Tasawuf daru Sufisme Klasik ke Neo Sufisme. Jakarta: Raja Grapindo Persada.
Samsul Munir Amin. (2012). Ilmu Tasawuf. Jakarta: Hamzah.
Sayyid Muhammad Ahmad. (2005). Tasawuf antara a-Ghazali dan Ibnu Taimiyah (Terjemah). Muhammad Muhson Anasy. Jakarta: Khalifa.
Zahri Mustofa. (1976). Pengantar Studi Ilmu Tasawuf. Surabaya: Bina Ilmu.