MAKALAH
REKAYASA LAHAN BASAH
Dosen Mata Kuliah :
Dr. Ir. Hj. Kartini, M.T., IPU., ASEAN Eng., ACPE NIP. 195812151988102001
Dikerjakan Oleh : Kelompok 4
Felix Wesley Goewin D1011201001
Kevin Aglesio Silalahi D1011201012
James Liehan D1011201074
Serafina Gebria Adna D1011201146
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan berkah dan rahmat-Nya lah kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya dengan judul “Makalah Rekayasa Lahan Basah”.
Pada kesempatan ini kami juga ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Ir. Hj. Kartini, M.T., IPU., ASEAN Eng., ACPE selaku dosen mata kuliah Rekayasa Lahan Basah yang senantiasa membimbing dan mengajar mata kuliah ini. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman serta semua pihak yang telah membantu selama proses menyelesaikan tugas makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan pada tugas makalah ini, baik dari segi isi maupun dari cara penyusunannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif demi perbaikan dimasa yang akan datang.
Akhir kata, semoga tugas makalah ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita semua.
Pontianak, 22 September 2023
Kelompok 4
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ...ii
BAB 1 : PENDAHULUAN ... 1
1.1. Definisi Lahan Basah ... 1
1.2. Ciri-ciri Lahan Basah ... 2
1.3. Karakteristik Lahan Basah di KalBar ... 2
1.4. Fungsi Lahan Basah ... 7
1.5. Sifat Fisik dan Kimia Lahan Basah ... 8
1.6. Ciri-ciri Pertanian Lahan Basah ... 10
1.7. Contoh Pertanian Lahan Basah ... 10
BAB 2 : PEMBAHASAN ... 12
2.1. Jenis Tanaman Lahan Basah Jl. Purnama Dalam (Studi Kasus Lapangan) ... 12
2.2. Kondisi Sekitar Pintu Air di Purnama Dalam ... 13
2.3. Kondisi Saluran di Purnama Dalam ... 14
2.4. Kondisi Lahan Gambut di Jl. Purnama Dalam ... 17
BAB 3 : PENUTUP ... 18
3.1. Kesimpulan ... 18
3.2. Saran ... 18 DAFTAR PUSTAKA
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Definisi Lahan Basah
Lahan basah adalah istilah kolektif tentang ekosistem yang pembentukannya dikuasai air, dan proses serta cirinya terutama dikendalikan air. Suatu lahan basah adalah suatu tempat yang cukup basah selama waktu cukup panjang bagi pengembangan vegetasi dan organisme lain yang teradaptasi khusus (Maltby, 1986). Lahan basah ditakrifkan (define) berdasarkan tiga parameter, yaitu hidrologi, vegetasi hidrofitik, dan tanah hidrik (Cassel, 1997).
Lahan-basah didefinisikan pada pasal 1 ayat 1 konvensi. Definisinya secara lengkap adalah sebagai berikut, Lahan basah mencakup wilayah payau, rawa, gambut, atau perairan, baik alami maupun buatan, permanen atau sementara, dengan air yang mengalir atau diam (menggenang), tawar, payau, atau asin;
termasuk wilayah dengan air laut yang kedalamannya pada saat pasang rendah (surut) tidak melebihi enam meter‖. Definisi lahanbasah itu terkesan sederhana.
Kejelasannya hanya sampai pada apa yang dimaksud dengan lahan-basah serta mulai dari mana dan sampai di mana batas wilayah lahan-basah. Namun, apabila dikaji mendalam, lahan-basah merupakan aspek yang kompleks. Terdapat beberapa klasifikasi lahan-basah. Klasifikasi itu tampaknya bersifat dinamis.
Tidak mustahil klasifikasi berubah, ketika kondisi lapangan dan pandangan seseorang atau masyarakat tentang lahan-basah itu berubah pada masa mendatang.
Perubahan klasifikasi dapat berupa penambahan atau pengurangan jumlah atau pemodifikasian istilah (jumlahnya tetap seperti semula, tetapi dengan istilah atau kriteria berbeda dari yang pernah dikemukakan sebelumnya). Terdapat 3 kategori lahan-basah berdasarkan pada letaknya secara umum dan kaitannya dengan aktivitas manusia, yaitu lahan basah laut, lahan-basah daratan, dan lahan-basah buatan. (MA Soendjoto, 2015)
Indonesia mempunyai peraturan penundang-undangan yang mengatur penggunaan 1ahan, antara lain UURI No. 5 Th. 1967 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kehutanan, UURI No. 5 Th. 1990 tentang Konsenvasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Keppres RI No. 32 Th. 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung, dan yang terbaru UURI No. 23 Th. 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan-peraturan tersebut tidak mengatur lahan basah secara khusus, akan tetapi mencakupnya sebagai bagian dari lahan secara umum atau pencakupannya tertafsirkan secara tersirat. Berbeda dengan peraturan-peraturan tadi yang berkonsep konservasi, terbit Keppres RI No. 82 Th.
1995 yang jnstru berkonsep konvensi lahan, khususnya lahan gambut dan lahan basah lain yang berasosiasi. Penerbitan Keppres ini nempertajam kontroversi antara konversi dan konsenvasi di Indonesia.
1.2. Ciri-Ciri Lahan Basah
Lahan basah memiliki ciri khas dibandingkan lahan-lahan lain. Ciri-ciri khas tersebut adalah:
a. Tanah yang selalu lembab atau jenuh air b. Ketinggian permukaan air tanah yang rendah c. Vegetasi dan satwa yang khas
d. Penting bagi pemeliharaan badan-badan air, dan berpengaruh langsung pada perilaku hidrologi
Konvensi Ramsar memilahkan lahan basah berdasarkan ciri biologi dan fisik dasar menjadi 30 kategori lahan basah alami dan 9 kategori lahan basah buatan. Ketigapuluh kategori lahan basah alami dipilahkan lebih lanjut menjadi 13 kategori berair asin dan 17 kategori berair tawar. Lahan basah buatan mencakup waduk, lahan sawah, jejaring irigasi, dan lahan akuakultur (perkolaman tawar dan tambak). Untuk meringkus tinjauan, penggolongan lahan basah alami boleh dikurangi menjadi 7 satuan bentangclahan (landscape) yang seluruhnya merupakan komponen penting bagi penetapan kerangka perencanaan konservasi lahan basah. Ketujuh satuan bentanglahan tersebut adalah estuari, pantai terbuka, dataran banjir, rawa air tawar, danau, lahan gambut, dan hutan rawa (Dugan, 1990).
1.3. Karakteristik Lahan Basah di KalBar
Luas lahan basah di 1ndonesia diperkirakan 20,6 juta ha atau sekitar 10,8%
dari luas daratan Indonesia. Pada umumnya lahan basah dikelola menjadi areal
pertanian ataupun perkebunan. Sebagian besar lahan basah dimanfaatkan masyarakat untuk budidaya tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, karet, disusul tanaman pangan meliputi padi, jagung, selanjutnya tanaman hortikultura buah Sekitar 9,53 juta lahan basah di1ndonesia berpotensi untuk lahan pertanian, dengan rincian 6 juta ha berpotensi untuk tanaman pangan dan 4,186 juta ha telah direklamasi untuk berbagai penggunaan terutama transmigrasi (Rahmi obin, dkk.
2015).
Penggunaan lahan bersifat dinamis, artinya dalam jangka waktu tertentu dapat berubah ke penggunaan lain, baik ke pertanian maupun ke non-pertanian, sehingga diperlukan suatu usaha pemantauan untuk mengetahui perubahan tersebut. Menurut data hasil analisis citra landsat dan verifikasi di lapangan yang dilakukan tim peneliti pemetaan sumberdaya lahan (Suharta dan Suratman, 2004;
Chendy et al., 2005; Alkasuma et al., 2006; Hikmatullah et al., 2007), secara umum penggunaan lahan saat ini di wilayah Kalimantan Barat dapat dikelompokkan menjadi lahan pertanian dan lahan non-pertanian. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa penggunaan lahan untuk pertanian (sawah, tegalan, perkebunan, dan lain-lain) masih jauh lebih sempit dibandingkan dengan luas lahan yang tidak atau belum diusahakan. Hal ini berarti bahwa di wilayah tersebut masih terbuka kemungkinan perluasan lahan pertanian.
Menurut sistem klasifikasi tanah Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 2003) tanah-tanah diwilayah Kalimantan Barat dibedakan atas 6 ordo, yaitu Histosols, Entisols, Inceptisols, Spodosols, Ultisols, dan Oxisol
1. Histosols
Tanah ini dikenal sebagai tanah Organosol atau tanah gambut, yaitu tanah- tanah yang berkembang dari endapan bahan organik dalam suasana jenuh air. Ketebalan bahan organik bervariasi dari dangkal (300 cm), dan tingkat kematangan sangat bervariasi dari fibrik, hemik ataupun saprik. Di daerah dekat pantai, sebagian tanah gambut mengandung bahan sulfidik, seperti di sekitar wilayah Pontianak, Ketapang, Mempawah, dan Sambas. Tanah gambut lainnya tersebar di sekitar wilayah barat Putussibau dan utara Sintang. Gambut yang terdapat di sepanjang sungai atau yang terkena pasang surut, mendapat pengkayaan mineral atau unsur hara, sehingga kualitas kesuburannya lebih baik dibandingkan dengan gambut yang tidak mendapat pengkayaan mineral (gambut rawa dalam). Tanah gambut bersifat fragile (rapuh), seperti diperlihatkan oleh sifat kering tak dapat balik (irreversible drying), rawan kebakaran, daya sanggah rendah, mudah hanyut kalau kering, dan miskin hara (kecuali yang mendapat pengkayaan hara), sehingga diperlukan kehatihatian dalam pemanfaatannya untuk pertanian (Widjaja-Adhi et al., 2000). Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan tanah gambut untuk pertanian adalah tingkat kematangan, ketebalan, ada tidaknya pengkayaan, dan tekstur tanah mineral di bawah gambut (Hikmatullah, 2007).
2. Entisols
Tanah ini termasuk tanah-tanah muda yang belum memiliki horison penciri, sehingga disebut sebagai tanah yang belum berkembang. Sifat kimia Entisols sangat bervariasi tergantung dari sumber bahan induk dan lingkungan pembentukannya. Entisols terbentuk dari bahan endapan, yaitu aluvium sungai, marin, dan aluvio-marin pada wilayah datar sampai datar agak cekung, umumnya dipengaruhi oleh air tanah dangkal atau tergenang, sehingga drainase terhambat sampai sangat terhambat. Di dataran pantai, tanah ini dipengaruhi oleh pasang surut (intrusi garam), genangan, oksidasi
bahan sulfidik yang berpotensi membentuk tanah sulfat masam aktual, sehingga perlu hati-hati dalam pengelolaannya (Subagjo dan Widjaja-Adhi, 1998). Di dataran aluvial, tanah lebih banyak dipengaruhi oleh stratifikasi bahan endapan dan air tanah, dan bahaya banjir. Selain dari bahan endapan, tanah ini terbentuk dari bahan induk batuan intrusi pada posisi lereng curam di wilayah perbukitan dan pegunungan yang mempunyai solum tipis di atas batuan induk kukuh.
3. Inceptisols
Tanah ini tergolong tanah-tanah yang telah mengalami perkembangan profil, dicirikan oleh bentukan struktur yang cukup baik dan horizon penciri kambik. Penyebarannya sangat luas pada landform aluvial, fluvio-marin, dataran dan perbukitan tektonik dan volkanik. Di dataran aluvial pada wilayah datar atau cekung, tanah dipengaruhi oleh air tanah dangkal atau tergenang, yang menyebabkan tanah berdrainase terhambat yang dicirikan oleh banyak karatan atau glei di dalam penampang. Di dataran fluviomarin, tanah ini banyak mengandung bahan sulfidik pada kedalaman > 50 cm dari permukaan tanah. Pada landform tektonik dan volkan, tanah ini berkembang dari batuan sedimen dan batuan volkan tua, yang sifatsifatnya dipengaruhi oleh posisi lereng, drainase umumnya baik, pH masam sampai sangat masam, miskin hara, kapasitas tukar kation (KTK) tanah bervariasi, dan kejenuhan basa umumnya rendah.
4. Spodosols
Tanah ini dikenal juga sebagai tanah Podsol, yaitu tanah-tanah yang terbentuk dari bahan induk endapan pasir kuarsa halus atau dari batupasir.
Penyebarannya pada bagian lereng bawah, yang merupakan peralihan dari dataran lahan kering ke lahan rawa/gambut. Bentuk wilayah agak datar sampai berombak dengan vegetasi khas jenis perdu, cemara, pakis-pakisan, harendong, kantong semar, dan rumput-rumputan. Tanah ini dicirikan oleh horison albik berwarna putih pucat dengan tekstur pasir, dan horison spodik (Bhs, Bs) berwarna coklat tua pada kedalaman ≤100 cm. Horison spodik terbentuk dari hasil akumulasi dan sementasi liat, koloid humus, dan besi, yang berada di bawah horison albik. Sementasi menyebabkan terbentuknya
lapisan padat dan kompak, yang membatasi perkembangan perakaran tanaman. Tanah mempunyai tekstur kasar, pH masam sampai sangat masam, miskin hara, dan KTK tanah sangat rendah, yang mencerminkan tanah ini kurang berpotensi untuk pertanian. Kesuburannya tergantung pada lapisan atas yang biasanya banyak mengandung bahan organik. Sifat-sifat tanah Spodosols di daerah ini sama dengan yang dijumpai di Kalimantan Timur (Prasetyo et al., 2006) maupun di Kalimantan Tengah (Sosiawan et al., 1995).
5. Ultisols
Tanah ini dikenal secara populer dengan sebutan tanah Podsolik, yaitu tanah-tanah yang telah berkembang lanjut, terutama terbentuk dari batuan granit/granodiorit dan sedimen masam pada landform tektonik dan volkanik dengan bentuk wilayah berombak hingga berbukit. Tanah ini dicirikan oleh horison argilik atau kandik. Tekstur halus sampai agak halus, pH masam sampai sangat masam, kadar bahan organik rendah, kation dapat ditukar (Ca2+, Mg2+, K+, dan Na+) dan KTK-liat rendah, serta mineral liat didominasi oleh mineral kaolinit. Penelitian tanah-tanah yang berkembang dari batuan granit (Suharta dan Prasetyo,1986) dan batuan granodiorit (Subagjo dan Buurman, 1980) di Kalimantan Barat memperlihatkan hasil yang sama dengan sifat-sifat tanah Ultisols tersebut di atas. Penelitian tanah Ultisols dari batuan sedimen masam yang dilakukan di daerah Sasamba Kalimantan Timur (Prasetyo et al., 2001) menunjukkan sifat-sifat yang sama dengan Ultisols di Kalimantan Barat.
6. Oxisol
Tanah ini dikenal sebagai tanah Laterit, yaitu tanah-tanah yang telah mengalami pelapukan sangat lanjut (tua), yang dicirikan oleh horison oksik pada kedalaman < 150 cm dari permukaan tanah. Tanah terbentuk dari batuan volkan tua (basalt, gabro), batuan intrusi (granit, granodiorit) atau dari batuan sedimen (batuliat, batupasir) pada wilayah berombak sampai berbukit. Penampang tanah umumnya dalam sampai sangat dalam, struktur berbutir atau remah, gembur, pH masam, KTK-liat dan KTK efektif rendah, miskin hara, dan cadangan mineral sangat rendah (< 5%). Tanah dari bahan
volkan mempunyai muatan positif dan didominasi mineral gibsit dan kaolinit. Beberapa penelitian tanah Oxisols dari batuan volkan basalt dan granit yang dilakukan di Kalimantan Barat menunjukkan dominasi mineral liat kaolinit dan gibsit, KTK-efektif dan KTK-liat sangat rendah, retensi P sangat tinggi, pH masam, bermuatan positif, miskin hara, dengan kandungan C organik rendah (Suharta dan Prasetyo, 1986; Alkasuma, 1994; Suharta et al., 1995). Di Kalimantan Selatan, tanah-tanah Oxisols atau tanah-tanah berpelapukan lanjut yang berkembang dari batuan volkan tua juga pernah diteliti sifat-sifatnya oleh Anda et al. (2000) dan Hidayat et al. (2002) dengan sifatsifat yang serupa dengan tanah-tanah Oxisols di Kalimantan Barat.
1.4. Fungsi Lahan Basah
Nilai lahan merupakan gabungan tiga parameter, yaitu fungsi yang dapat dikerjakan, hasilan (product) yang dapat dibangkitkan, dan tanda pengenal (attribute) berharga pada skala ekosistem yang dapat disajikan. Tiap lahan basah tersusun atas sejumlah komponen fisik, kimia, dan biologi, seperti tanah, air, spesies tumbuhan dan hewan, serta zat hara. Proses yang terjadi antarkomponen dan di dalam tiap komponen membuat lahan basah dapat mengerjakan fungsi- fungsi tertentu, dapat membangkitkan hasilan, dan dapat memiliki tanda pengenal khas pada skala ekosistem. Tidak semua ciri (characteristic) ada pada tiap lahan basah. Maka tidak semua lahan basah dapat menjalankan semua fungsi dan tidak senmua fungsi dapat dikerjakan sama di tiap lahan hasah (Dugan, 990).
Fungsi khusus terpenting lahan basah mencakup pengimbuhan (recharge) dan pelepasan (discharge) air bumi (ground water), pengendalian banjir, melindungi garis pantai terhadap abrasi laut, penambatan sedimen, toksikan, dan hara, serta pemendaman (sequestering) karbon khususnya di lahan gambut.
Hasilan yang dapat dibangkitkan ialah sumberdaya hutan, sumberdaya pertanian, perikanan, dan pasokan air. Tanda pengenal berharga pada skala ekosistem ialah keanekaan hayati, keunikan warisan alami (geologi, tanah, margasatwa, ikan, edafon, vegetasi), dan bahan untuk penelitian ilmiah. Lahan basah, khususnya lahan gambut, merupakan gudang penyimpan informasi, sangat berguna tentang
lingkungan purba (paleoenvironment) berkenaan dengan ragam vegetasi, keadaan iklim, lingkungan pengendapan, dan pembentukan gambut sendiri (dimodifikasi dari Dugan, 1990; dan Page, 1995).
Soal fungsi dan tanda pengenal berharga mensyaratkan konservasi penuh, sedang persyaratan dalam soal hasilan berkisar antara kenservasi penuh dan konversi lengkap. Pasokan air memerlukan konservasi penuh. Pengembangan sumberdaya pertanian menghendaki konversi lengkap. Pengembanqan sumberdaya hutan dan ikan dapat mensyaratkan konversi lengkap, cukup dengan konversi terbatas, atau tidak perlu konversi. Pengembangan sumberdaya hutan untuk hasilan alami, seperti bahan tumbuhan obat atau rempah, damar, getah, dan madu, tidak memerlukan konversi. Untuk hasilan kayu dari hutan alam tidak diperlukan konversi, akan tetapi dapat mengakibatkan konversi tanpa diniati karena mengusik ekosistem melampaui batas daya 1entingnya (resilience).
Diperlukan konversi lengkap untuk hasilan kayu dan hutan tanaman. Pengusahaan akuakultur tambak mengkonversi lengkap lahan basah mangrove. Pengembangan sumberdaya perikanan di perairan umum tidak memerlukan konversi. Dalam sistem tertentu, antara lain beje masyarakat Dayak Kalimantan Tengah.
dipenlukan konversi terbatas dengan menggali handil yang berujung di cekungan berair. Handil digunakan untuk menggiring ikan dari sungai masuk ke dalam cekungan berair dan kolam alami digunakan untuk menjebak dan menangkap ikan.
1.5. Sifat Fisik dan Kimia Lahan Basah
Menurut Wasis (2005), sifat fisika tanah merupakan komponen yang sangat penting dalam penyediaan sarana tumbuh tanaman dan mempengaruhi kesuburan tanah yang akan menunjang pertumbuhan tanaman. Produktifitas tanaman menentukan kondisi aerasi (pertukaran udara di dalam tanah), drainase (mengatur air dalam tanah), daya menahan beban, serta tingkat atau potensi degradasi lahan.
Sifat kimia tanah didefenisikan sebagai keseluruhan reaksi kimia yang berlangsung antar penyusun tanah serta antar penyusun tanah dan bahan yang ditambahkan dalam bentuk pupuk ataupun pembenah tanah lainnya. Faktor kecepatan semua bentuk reaksi kimia yang berlangsung dalam tanah mempunyai
kisaran agak lebar, yakni sangat singkat dan luar biasa lamanya. Pada umumnya, reaksi-reaksi yang terjadi didalam tanah diimbas oleh tindakan dan faktor lingkungan tertentu (Sutanto, 2005).
Pada tanah gambut memiliki sifat fisik dan kimia berupa : 1. Sifat fisik
Warna. Gambut berwarna coklat tua sampai kehitaman, meski bahan dasarnya berwarna kelabu, cokelat atau kemerah-merahan, tetapi setelah mengalami dekomposisi muncul senyawa humik berwarna gelap.
Berat isi. Berat isi tanah organik bila dibandingkan tanah mineral adalah rendah. Tanah gambut yang telah mengalami dekomposisi lanjut memiliki berat isi berkisar antara 0,2 - 0,3.
Kapasitas menahan air. Akibat berat isi yang rendah, maka gambut memiliki kapasitas menyimpan air yang besar, sekitar 2 - 4 kali dari berat bobot keringnya, bahkan gambut lumut yang belum terdekomposisi dapat menyimpan air 12 atau 15 bahkan 20 kali dari bobotnya sendiri.
Sifat kolidal. Tanah gambut memiliki luas adsorbsi yang besar, yaitu sampai 4 kali lebih besar dibanding liat montmorillonit.
2. Sifat kimia
Reaksi masam. Dekomposisi bahan organik akan menghasilkan asam- asam organik yang terakumulasi pada tubuh tanah, sehingga akan meningkatkan keasaman tanah gambut.
Sifat penyangga. Umumnya tanah gambut memperlihatkan daya resistensi yang nyata terhadap perubahan pH bila dibandingkan dengan tanah mineral. Akibatnya, tanah gambut membutuhkan lebih banyak kapur untuk menaikkan pH pada tingkat nilai yang sama dengan tanah mineral. Begitupun tanah gambut membutuhkan dosis pupuk yang lebih tinggi dari tanah mineral.
Kadar unsur hara. Kadar N dan bahan organik tinggi pada tanah gambut juga mempunyai perbandingan C dan N yang tinggi, namun
walaupun demikian proses nitrifikasi N juga tinggi, akibat tingginya kadar N, cukup Ca dan tidak aktifnya sebagian karbon dari bahan yang resisten, sehingga kegiatan organisme heterotropik tidak terlalu dirangsang, akibatnya organisme yang aktif dalam proses nitrifikasi memperoleh kesempatan melakukan aktifitasnya. Selain itu, kadar P dan K tanah gambut umumnya rendah dibanding tanah mineral, oleh sebab itu tanaman yang diusahakan diatas tanah gambut sangat respon terhadap pemupukan P dan K.
1.6. Ciri-Ciri Pertanian Lahan Basah
Lahan basah sangat unik dan memiliki kepentingan ekologis yang luas, mulai tingkat lokal hingga global. Lahan basah bisa diberdayakan secara produktif bagi ekonomi lokal, sumbangannya terhadap keanekaragaman hayati juga sangat signifikan. Ribuan jenis tanaman unik dan unggas khas yang bermigrasi biasanya singgah di kawasan lahan basah. Mengingat Lingkungan geografis dan sistem sosial budaya masyarakatnya telah menghasilkan barang yang mempunyai ciri, sifat dan kualitas tertentu. Barang-barang yang dapat diklasifikasikan mempunyai indikasi geografis tidak hanya barang hasil pertanian tetapi juga barang yang dihasilkan alam dan barang-barang yang dihasilkan manusia.
1.7. Contoh Pertanian Lahan Basah
Pertanian lahan basah adalah kegiatan pertanian menggunakan lahan basah (wetlands). Lahan basah yang dimaksud dalam jenis pertanian lahan basah ini mengacu pada tanah yang kontur lahannya merupakan jenis tanah yang jenuh dengan air. Menurut Maltby (1986) lahan basah adalah salah satu istilah ekosistem yang dibentuk oleh dominasi air, dan karakteristik serta prosesnya dikendalikan oleh air. Ini berarti bahwa tanah di lahan basah memiliki kadar air yang tinggi, bahkan tergenang air sepanjang waktu. Contoh pertanian lahan basah antara lain persawahan (padi), lahan gambut, rawa, dan hutan bakau.
Lahan gambut merupakan suatu ekosistem khas dari segi struktur, fungsi, dan kerentanan. Pemanfaatan lahan gambut yang tidak bertanggung jawab akan menyebabkan kehilangan salah satu sumber daya yang berharga karena sifatnya
yang tidak dapat diperbaharui (nonrenewable). Seperti yang dilaporkan, di Kalimantan Tengah banyak dijumpai lahan bongkor yaitu lahan gambut yang terdegradasi (rusak) karena mengalami subsidensi dan dibiarkan atau ditinggalkan oleh pengelolanya. Lahan gambut memerlukan pengelolaan yang berbeda dengan lahan lain (Notohadiprawiro, 2006).
Namun demikian, lahan gambut apabila dikelola dengan baik, tetap dapat diusahakan sebagai lahan pertanian. Pengembangan pertanian pada lahan gambut harus mempertimbangkan sifat tanah gambut. Menurut Mawardi et al, (2001), secara umum sifat kimia tanah gambut didominasi oleh asam-asam organik yang merupakan suatu hasil akumulasi sisa-sisa tanaman. Asam organik yang dihasilkan selama proses dekomposisi tersebut merupakan bahan yang bersifat toksik bagi tanaman, sehingga mengganggu proses metabolisme tanaman yang akan berakibat langsung terhadap produktifitasnya. Sementara itu secara fisik tanah gambut bersifat lebih berpori dibandingkan tanah mineral sehingga hal ini akan mengakibatkan cepatnya pergerakan air pada gambut yang belum terdekomposisi dengan sempurna sehingga jumlah air yang tersedia bagi tanaman sangat terbatas.
Diantara sifat inheren yang membatasi pengembangan usaha pertanian pada tanah gambut di daerah tropis adalah dalam keadaan tergenang, sifat menyusut dan subsidence (penurunan permukaan gambut) karena drainase, kering tidak balik, pH yang sangat rendah dan status kesuburan tanah yang rendah (Andriesse, 1988). Sifat-sifat gambut seperti kandungan air yang tinggi dan kapasitas memegang air 15-30 kali dari berat kering, rendahnya bulk density (0,05-0,4 g/cm3 ) dan porositas total diantara 75-95%, menyebabkan terbatasnya penggunaan mesin-mesin pertanian dan pemilihan komoditas yang akan diusahakan (Ambak & Melling, 2000). Sebagai contoh di Malaysia, tiga komoditas utama yaitu kelapa sawit, karet dan kelapa cenderung pertumbuhannya miring bahkan ambruk sebagai akibat akar tidak mempunyai tumpuan tanah yang kuat (Singh et al, 1986). Sifat lain yang merugikan adalah apabila gambut mengalami pengeringan yang berlebihan sehingga koloid gambut menjadi rusak.
Terjadi gejala kering tak balik (irreversible drying) dan gambut berubah sifat seperti arang sehingga tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air
(Subagyo et al, 1996). Gambut akan kehilangan air tersedia setelah 4-5 minggu pengeringan dan ini mengakibatkan gambut mudah terbakar.
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1. Jenis Tanaman Lahan Basah Jl. Purnama Dalam (Studi Kasus Lapangan)
Berikut jenis tanaman lahan basah yang terletak di jalan Purnama Dalam:
Tabel 2.1 Jenis Tanaman Lahan Basah
Gambar Keterangan
Pisang
Tebu
Ubi
Nanas
Rambutan
2.2. Kondisi Sekitar Pintu Air di Purnama Dalam
Gambar 2.1 Pintu Air
Gambar 2.2 Kondisi Sekitar Pintu Air
Pintu air merupakan salah satu bangunan penunjang pada suatu saluran pembawa maupun pembuang air irigasi. Ini diatur dan difungsikan untuk mengatur air di bagian pengambilan di suatu bendung, bendungan penahan banjir, maupun di tanggul sungai.
Pintu air juga merupakan bangunan yang berfungsi sebagai pengatur aliran air untuk pematusan (drainase), penyadapan, dan pengatur lalu lintas air irigasi . Pintu air sebagai penyadap berfungsi untuk mengatur besarnya debit air yang dialirkan ke dalam sistem saluran irigasi, sehingga pintunya dapat diatur dengan tujuan mencapai debit yang diinginkan.
Pada kondisi pintu air yang terletak di Purnama Dalam terlihat terjadinya sedimentasi disekitaran pintu air yang menghambat aliran air sehingga menyebabkan berkurangnya manfaat serta fungsi dari pintu air tersebut.
2.3. Kondisi Saluran di Purnama Dalam
Gambar 2.3 Kondisi Saluran Air Jalan Purnama Dalam Setelah Pintu Air
Gambar 2.4 Kondisi Saluran Air Ujung Jl. Purnama Dalam Setelah Pintu Air
Pada lokasi awal di jalan Purnama Dalam setelah pintu air, saluran air sudah dinormalisasi dan berfungsi dengan baik. Namun, kondisi di ujungnya saluran air semakin mengecil dan air tidak dapat mengalir dengan baik. Kondisi ini disebabkan karena sedimentasi yang terjadi di lokasi tersebut dan tidak adanya tindakan normalisasi yang dilakukan.
2.4. Kondisi Lahan Gambut di Jalan Purnama Dalam
Gambar 2.5 Kondisi Lahan Gambut
BAB 3 PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pada saat dilakukan pengamatan dilapangan kita mengetahui keadaan sekitar dari Jl. Purnama Dalam. Ada banyak keanekaragaman hayati yang didapat dalam wilayah tersebut seperti pisang, tebu, ubi, nanas, dan rambutan. Untuk kondisi saluran setelah pintu air, saluran air sudah dinormalisasi dan berfungsi dengan baik. Namun, kondisi di ujungnya saluran air semakin mengecil dan air tidak dapat mengalir dengan baik
3.2. Saran
Setelah dilakukan pengamatan dilapangan, ada beberapa saran yang dapat diberikan, yaitu :
1. Perlu dilakukannya normalisasi saluran yaitu dengan cara pengerukan dan pembersihan untuk menghindari pengdangkalan saluran.
2. Sebaiknya daerah yang sebenarnya berfungsi sebagai daerah resapan tidak dipergunakan untuk kepentingan lain yang dapat merugikan.
DAFTAR PUSTAKA
Tejoyuwono Notohadiprawiro. 2006. Lahan Basah: Terra Incognita. Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada.
MA Soendjoto, 2015. ”Potensi, Peluang, dan Tantangan Pengelolaan Lingkungan Lahan Basah Secara Berkelanjutan”. Prosiding Seminar Universitas Lambung Mangkurat.
Tejoyuwono Notohadiprawiro. 2006. Lahan Basah: Terra Incognita. Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada.
Hikmatullah, N. Suharta, dan A. Hidayat. 2008. Potensi Sumberdaya Lahan Untuk Pengembangan Komoditas Pertanian Di Provinsi Kalimantan Barat. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.
Tavinayati , M. Effendy , Zakiyah , M. Taufik Hidayat. 2016. Perlindungan Terhadap Hak Kekayaan Intelektual Indikasi Geografis Hasil Pertanian Lahan Basah Sebagai Produk Khas Propinsi Kalimantan Selatan. Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat.
Muriady, Windari, W., 2017. Karakteristik Lahan Basah. Universitas Syiah Kuala.