• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH MADZHAB ASY’ARI SEBAGAI RUJUKAN UMAT ISLAM DALAM ILMU TAFSIR, HADIST, FIKIH, USHUL FIKIH

N/A
N/A
Mifta Fitri

Academic year: 2024

Membagikan "MAKALAH MADZHAB ASY’ARI SEBAGAI RUJUKAN UMAT ISLAM DALAM ILMU TAFSIR, HADIST, FIKIH, USHUL FIKIH"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

MADZHAB ASY’ARI SEBAGAI RUJUKAN UMAT ISLAM DALAM ILMU TAFSIR, HADIST, FIKIH, USHUL FIKIH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Aswaja

Dosen Pengampu:

Mohamad Toha, M.E Disusun oleh Kelompok 10

1. Aril Oktavia 2. Anwar Ardadili 3. Debby Patrecia

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS KH. ABDUL CHALIM 2023

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya, Shalawat dan salam semoga dilimpahkan-Nya kepada Nabi Muhammad Saw, yang diutus sebagai rahmat bagi sekalian alam, beserta keluarga dan para sahabatnya, sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini yang berjudul “madzab asy’ari sebagai rujukan islam dalam ilmu tafsir, hadist, fikih, ushul fikih, sejarah, dan ilmu bahasa”

Dalam penyusunan makalah ini, kita ingin mengucapkan terima kasih kepada bapak Moch Ikhyak Ulumudin,S.Th.I, M.A selaku dosen pengampu mata kuliah Aswaja yang telah memberikan tugas makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca bahkan penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat mmberikan manfaat kepada kita sekalian.

Mojokerto,18 Desember 2023

Penulis

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...iii

BAB I PENDAHULUAN...1

1.Latar Belakang...1

2.Rumusan Masalah...4

3.Tujuan Penelitian...4

BAB II PEMBAHASAN...5

A. Madzab Asy’ari Sebagai Rujukan Umat Islam Dalam Ilmu Tafsir...5

B. Madzab Asy’ari Sebagai Rujukan Umat Islam Dalam Ilmu Hadist...10

C. Madzab Asy’ari Sebagai Rujukan Umat Islam Dalam Ilmu Fikih...14

D. Madzab Asy’ari Sebagai Rujukan Umat Islam Dalam Ilmu Ushul Fikih...18

E. BAB III PENUTUP...21

A. Kesimpulan...21

B. Kritik dan Saran...22 DAFTAR PUSTAKA

(4)

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Menurut Syekh Hasyim Asy'ari dalam Zidayat Ta'liyat, Ahlussunnah wal Jamaah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqih dan ahli ushul fiqih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi SAW dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelahnya.

Mereka adalah kelompok yang selamat (al-Fiqrah an-Najiyah). Saat ini, kelompok tersebut terhimpun dalam mazhab yang empat, yaitu mazhab Hanafi, Syafi'i, Maliki, dan Hambali.

Ilmu tafsir merupakan bentuk tarkib idhafi (kompositum) yang tersusun atas dua kata dasar, yaitu ilmu dan tafsir. Kemudian membentuk ma'na laqabi (makna istilah) sehingga ilmu tafsir menjadi nama suatu disiplin ilmu. Apabila ungkapan ini diuraikan kembali, tiap-tiap penyusunnya memiliki makna dasar relasionalnya. Secara umum, ilmu tafsir adalah ilmu yang bekerja untuk mengetahui arti dan maksud dari ayat-ayat al-Qur'an. Secara epistemologi ilmu tafsir adalah menggabungkan antara naql dan aql atau metode riwayah atau dirayah.

Seorang mufassir hendaknya mengedepankan metode naql sebelum aql sepanjang terdapat riwayat yang sahih. Oleh karena itu, secara hierarkis posisi metode naqli menempati posisi utama dalam pembahasan ilmu tafsir.Apabila tidak terdapat riwayat yang dapat dipercaya, peran ijtihad dengan mencurahkan segenap kemampuan nalar dapat dijadikan alternatif terbaik. Apabila tidak dapat dijelaskan dengan metode naql, metode aql berperan penting untuk menjelaskan maksud atau hikmah yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur'an, misalnya ayat-ayat tentang alam semesta.

Kata Hadits (dalam teks arab ثيدححح) menurut bahasa memiliki makna baru adapun bentuk jamaknya ialah Ahadits (dalam teks arab .(ثيداحححأ1] ] Sedangkan menurut Abdul Majid kata Hadits menurut

(5)

lemah lembut (ath-thariy) dan bermakna berita, pembicaraan atau perkataan (al-khabr wa al-kalaam).[2] Hal ini bisa dipahami ketika pada realitanya setiap yang disebut dengan hadis tidak akan pernah bisa lepas dari adanya unsur penyampaian sesuatu (berita) dari satu orang kepada orang lainnya.

Al-Fiqih dalam bahasa arab mengetahui sesuatu dengan mengerti (al-‘ilm bisyai’I ma’a al-fahm). Ibnu Al-Qayim mengatakan bahwa fiqih lebih khusus dari pada paham, yakni pemahaman mendalam terhadap berbagai isyarat Al-Quran, secara tekstual maupun kontekstual. Tentu saja, secara logika, pemahaman akan diperoleh apabila sumber ajaran yang dimaksudkan bersifat tekstual, sedangkan pemahaman dapat dilakukan secara tekstual maupun kontekstual. Hasil dari pemahaman terhadap teks- teks ajaran islam disusun secara sistematis agar mudah diamalkan. Oleh karena itu, ilmu fiqih merupakan ilmu yang mempelajari ajran islam yang disebut dengan syariat yang bersifat amaliah (praktis) yang diperoleh dari dalil-dalil yang sistemati. Rasyid Ridha mengatakan pula bahwa dalam Al- Qur’an banyak ditemukan kata-kata fiqih yang artinya adalah paham yang mendalam dan amat luas terhadap segala hakikat, yang dengan fiqih itu, seseorang ‘alim menjadi ahli hikmah (filosof), pengamal yang memiliki sikap yang teguh. Kata fiqih dan tafaqquh berarti “pemahaman yang dalam”, keduanya sering digunakan dalam Al-Quran dan Hadits.

Sebagaimana disebutkan dalam surat At-Taubah: 122. Rasulullah SAW.

telah memerintahkan beberapa di antara para sahabat untuk memahami secara mendalam (tafaqquh) atau telah memilih mereka sebagai ahli fiqih atau fuqaha (bentuk jamak dari faqih).

Secara terminologi Al-Quran dan sunnah, Fiqih adalah pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai perintah-perintah dan realitas Islam dan tidak memeiliki relevansi khusus dengan bagian ilmu tertentu. Akan tetapi, dalam terminology ulama, istilah fiqih secara khusus diterapkan pada pemahaman yang mendalam atas hukum-hukum Islam.

(6)

Secara etimologi ushul fiqh terdiri dari dua kata yaitu ushul dan fikih. Dilihat dari kata bahasa arab rangkaina kata ushul dan fiqhi tersebut dinamakan dengan tarkib idhafah, sehingga diri rangkaian dua kata itu membuat dua rangkaian kata ushul dan fiqhi. Kata ushul adalah bentuk jama’dari kata ashl yang menurut bahasa , berarti suatau yang di jadikan dasar bagi yang lain, atau bermakna fondasi sesuatu, baik bersifat materi maupun non materisihingga ushul fiqhi berarti suatu yang di jadikan dasar bagi fiqh. Secara terminologi banyak definisi yang diberikan para ulama tentang ushul fiqh. Namun di sini hanya akan dikemukakan beberapa definisi yang lengkap dan mudah dipahami. Salah satunya adalah definisi ushul fiqh yang dikemukakan oleh ulama ushul: M. Khudary Beik yaitu Ushul fiqh adalah ilmu tentang qaidah atau aturan-aturan, di mana dengan qaidah tersebut seorang mujtahid sampai (menemukan) hukum syar’i yang diambil dari dalilnya.”.Ali Hasaballahi lmu Ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang dengan kaidah tersebut menyampaikan untuk mengistinbathkan (mengeluarkan) hukum dari dalil-dalil yang terperinci.”

Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan ushul fiqh ilmu tentang kaidah- kaidah atau ketentuan-ketentuan dan pembahasan yang dijadikan sebagai sarana untuk memperoleh hukum-hukum syar’i yang berkaitan dengan amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci.” Menurut Abu Zahrah ushul fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggariskan jalan untuk memperoleh hukum syara’ yang bersifat amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci, maka dia adalah kaidah yang menjelaskan metode (thariqah) mengeluarkan hukum dari dalilnya.

(7)

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana madzab asy’ari sebagai rujukan umat islam dalam ilmu tafsir ?

2. Bagaimana madzab asy’ari sebagai rujukan umat islam dalam ilmu hadist ?

3. Bagaimana madzab asy’ari sebagai rujukan umat islam dalam ilmu fiqih ?

4. Bagaimana madzab asy’ari sebagai rujukan umat islam dalam ilmu ushul fiqih?

C. TUJUAN MASALAH

1. Untuk mengetahui madzab asy’ari sebagai rujukan umat islam dalam ilmu tafsir.

2. Untuk mengetahui madzab asy’ari sebagai rujukan umat islam dalam ilmu hadist.

3. Untuk mengetahui madzab asy’ari sebagai rujukan umat islam dalam ilmu fiqih.

4. Untuk mengetahui madzab asy’ari sebagai rujukan umat islam dalam ilmu ushul fiqih.

(8)

BAB II PEMBAHASAN

A. Madzab Asy’ari Sebagai Rujukan Umat Islam Dalam Ilmu Tafsir Tafsir Al-Qur'an (Arab: نآرححقلا ريححسفت) adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur'an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al-Qur'an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya.

Kebutuhan umat Islam terhadap tafsir Al-Qur'an, sehingga makna- maknanya dapat dipahami secara penuh dan menyeluruh, merupakan hal yang mendasar dalam rangka melaksanakan perintah Allah (Tuhan dalam Islam) sesuai yang dikehendaki-Nya.

Dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab, tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut Al-Qur'an dan isinya. Ilmu untuk memahami Al-Qur'an ini disebut dengan Ushul Tafsir atau biasa dikenal dengan Ulumul Qur'an (ilmu-ilmu Al-Qur'an). Terdapat tiga bentuk penafsiran yaitu Tafsîr bil ma’tsûr, at-tafsîr bir ra’yi, dan tafsir isyari, dengan empat metode, yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû’i.

Sedangkan dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sastra budaya kemasyarakatan.

Usaha menafsirkan Al-Qur'an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi ﷺ sendiri. ‘Ali ibn Abi Thâlib (w. 40 H), ‘Abdullah ibn ‘Abbâs (w. 68 H), ‘Abdullah Ibn Mas’ûd (w. 32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) adalah di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.[2]

Rujukan dalam Tafsir Al-Qur'an

(9)

Al-Utsaimin menjelaskan bahwa tafsir Al-Qur'an merujuk pada sumber-sumber berikut.[7]

َنوُنَز ْحَي ْمُه َلَو ْمِهْيَلَع ٌف ْوَخ َل ِ اا َءاَيِل ْوَأ انِإ َلَأ

Pertama: Kalamullah (Al-Qur'an ditafsirkan dengan Al-Qur'an), maksudnya ditafsirkan dengan ayat lain, karena Allah adalah Yang menurunkan Al-Qur'an sehingga lebih mengetahui apa yang dikehendaki ayat. Contoh:

firman Allah

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

—QS Yunus [10]: 62

Lafal "ِ اا َءاحححَيِل ْوَأ" (awliyâ` Allah, wali-wali Allah) ditafsirkan dengan firman-Nya pada ayat berikutnya:

َنوُقاتَي اوُناَكَو اوُنَمآ َنيِذالا

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.

—QS Yunus [10]: 63 firman Allah SWT

ُقِرااطلا اَم َكاَرْدَأ اَمَو

tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?

—QS At-Tariq [86]: 2

Lafal "قراحححطلا" (ath-thâriq, yang datang pada malam hari) ditafsirkan dengan firman-Nya pada ayat berikutnya:

(10)

ُبِقااثلا ُم ْجانلا

(yaitu) bintang yang cahayanya menembus,

—QS At-Tariq [86]: 3 firman Allah

اَهاَحَد َكِلَذ َدْعَب َض ْرَلاَو

Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya

—QS An-Nazi'at [79]: 30

Lafal "اَهاَحَد" (daḥâhâ, dihamparkan-Nya) ditafsirkan dengan firman-Nya pada ayat berikutnya:

اَهاَع ْرَمَو اَهَءاَم اَهْنِم َجَرْخَأ اَهاَس ْرَأ َلاَبِجْلاَو

Ia memancarkan daripadanya mata airnya dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya.

Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh,

—QS An-Nazi'at [79]: 30

Kedua: perkataan Rasulullah (maksudnya Al-Qur'an ditafsirkan dengan as-sunnah), karena Rasulullah adalah pembawa kabar dari Allah sehingga Rasulullah adalah manusia yang paling mengetahui maksud Allah pada firman-Nya. Contoh:

ٌةَداَيِزَو ىَنْسُحْلا اوُنَسْحَأ َنيِذالِل

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.

(11)

—QS Yunus [10]: 26

Nabi menafsirkan lafal "ٌةَداححَيِز" (ziyâdah, tambahannya) dengan 'melihat wajah Allah', berdasarkan riwayat dari Ibnu Jarir ath-Thabari dan Ibnu Abi Hatim tanpa adanya kesamaran dari Abu Musa[8] dan Ubay bin Ka'ab[9].

Ketiga: perkataan sahabat, terutama ulama mereka dan yang memiliki perhatian terhadap tafsir, karena Al-Qur'an turun dengan bahasa mereka, pada masa mereka. Mereka adalah orang-orang yang paling jujur dalam mencari kebenaran, lebih selamat dari hawa nafsu, dan lebih bersih dari perselisihan yang memecah belah mereka. Contoh:

َءاَسِنلا ُمُتْسَمل ْوَأ ِطِئاَغْلا َنِم ْمُكْنِم ٌدَحَأ َءاَج ْوَأ ٍرَفَس ىَلَع ْوَأ ىَض ْرَم ْمُتْنُك ْنِإَو

Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan

—QS An-Nisa' [4]: 43

Telah sahih kabar dari Ibnu Abbas RA bahwa dia menafsirkan 'menyentuh perempuan' dengan 'hubungan badan'.

Keempat: perkataan tabi'in yang perhatian untuk mengambil tafsir dari para sahabat[10], karena mereka adalah generasi terbaik setelah sahabat, lebih selamat dari hawa nafsu daripada generasi setelahnya, dan bahasa Arab belum banyak berubah pada masa mereka. Oleh karena itu, mereka lebih dekat kepada kebenaran dalam menafsirkan Al-Qur'an daripada generasi setelahnya. Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu' al Fatawa, "Apabila terdapat konsensus di antara para tabi'in, maka argumen mereka tidak dapat diragukan. Jika terdapat perbedaan, maka argumen-argumen mereka tidak bisa dipertentangkan dan tidak pula menentang argumen orang dari masa setelah mereka. Perbedaan itu dikembalikan kepada bahasa Al-Qur'an, sunnah, atau keumuman bahasa Arab atau perkataan sahabat atas hal itu."

(12)

Kelima: konsekuensi makna syar'i atau bahasa berdasarkan konteks terhadap suatu kalimat berdasarkan firman Allah yang artinya,

"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu,"[11] (QS An-Nisa' [4]: 105),

"Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur'an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya)," (QS Az-Zukhruf [43]: 3) dan "Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, suapay ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka." (QS Ibrahim [14]: 4) Jika makna syar'i bertentangan dengan makna bahasa, maka diambil konsekuensi makna syar'i, kecuali terdapat dalil yang menguatkan makna bahasa sehingga diambil konsekuensi makna bahasa.

Hal itu dikarenakan Al-Qur'an turun untuk menjelaskan syariat, bukan untuk menjelaskan bahasa. Contoh terjadinya perselisihan makna bahasa dan syar'i, kemudian diambil makna syar'i, firman Allah tentang orang- orang munafik:

ًادَبَأ َتاَم ْمُهْنِم ٍدَحَأ ىَلَع ِلَصُت لَو

Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka,

—QS At-Taubah [9]: 84

(Dalam ayat terdapat kata yang bermakna as-shalah, kemudian diterjemahkan 'menyembahyangkan.') Salat secara bahasa artinya doa, sedangkan secara syar'i dalam ayat ini adalah berdiri di samping jenazah untuk mendoakannya dengan cara-cara khusus. Dengan demikian makna syar'i didahulukan, karena memang hal itulah yang dimaksud oleh Yang berbicara dan yang dipahami oleh yang mendengar. Adapun larangan berdoa untuk mereka secara mutlak diambil dari dalil lain.

(13)

Contoh terjadinya perselisihan makna bahasa dan syar'i, kemudian diambil makna bahasa dengan dukungan dalil, firman Allah SWT

ْمِهْيَلَع ِلَصَو اَهِب ْمِهيِكَزُتَو ْمُهُرِهَطُت ًةَقَدَص ْمِهِلاَوْمَأ ْنِم ْذُخ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka.

—QS At-Taubah [9]: 103

(Dalam ayat terdapat kata yang bermakna as-shalah, kemudian diterjemahkan 'mendoalah.') Maksud salat di sini adalah doa berdasarkan dalil HR Muslim[12] dari Abdullah bin Abi Aufa bahwa Nabi pernah ketika menerima zakat orang-orang, berdoa (bersalawat) untuk mereka.

Kemudian datang Abi Aufa menyerahkan zakatnya, kemudian Nabi berdoa, "Allâhumma shalli 'alâ âli Abî Awfa (Ya Allah, semoga salawat tercurahkan kepada keluarga Abi Aufa)."[13]

B. Madzab Asy’ari Sebagai Rujukan Umat Islam Dalam Ilmu hadist Keberadaan Madzhab al-Asy’ari tidak boleh dipandang miring, keliru apalagi sesat. Para ulama pengikutnya berperan membangun peradaban dan ilmu pengetahuan Islam. Termasuk dalam bidang ilmu hadis. Kontribusi para ulama madzhab al-Asy’ari terhadap perkembangan ilmu musthalah hadis tidak dapat diabaikan. Bahkan menurut catatan al-Baghdadi, mayoritas ulama ahli hadis menganut madzhab Imam Abu Hasan al-Asy’ari.

Dalam kitabnya Ushul al-Din, Abu Mansur al-Baghdadi berpendapat: “Tak seorang pun dari ahli kalam yang memiliki pengikut sebanyak beliau, karena semua ahli hadits dan semua ahl al-ra’yi yang

(14)

tidak mengikuti Mu’tazilah adalah pengikut madzhabnya” (al-Baghdadi, Ushul al-Din, hal. 309).

Pendapat ini diperkuat oleh Imam Tajuddin al-Subki yang mengatakan: Wa huwa ya’nī madzhaba al-Asyā’irah, madzhabul muhadzitsīn qadīman wa hadītsan (Dan ia, yakni madzhab Asya’irah adalah madzhab para ahli haditsdari dulu dan sekarang”. (al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra, juz 4, hal. 32).

Informasi tersebut juga dapat dibaca dalam kitab Tadzkirah al- Huffazh karya Imam al-Dzahabi dan Tabaqat al-Huffadz karya Imam al- Suyuthi. Dalam kitab ini juga didapati selain ahli hadis banyak yang bermadzhab al-Asy’ari di bidang akidah, mereka juga bermadzhab Syafi’i dalam bidang fikih.

Dukungan dan legitimasi para ahli hadis terhadap madzhab al- Asy’ari menjadi kekuatan tersendiri. Sehingga madzhab al-Asyari kemudian diikuti oleh para sufi dan ahli fikih.

Imam Abu Hasan al-Asy’ari juga turut membantu pengikut Imam Ahmad bin Hanbal dalam menghalau mu’tazilah. Sejak tragedi yang disebut mihnah al-Qur’an di zaman imam Ahmad hingga generasi para pengikutnya, mu’tazilah menghegemoni sebagian pemikir. Hingga tampil imam Abu Hasan al-Asy’ari menghalau mu’tazilah dengan logika-logika Kalam yang belum digunakan imam Ahmad. Keberhasilan Kalam imam Asy’ari ini disambut oleh pengikut madzhab Hanbali generasi awal dan para ahli hadis. Keberhasilan imam Abu Hasan al-Asy’ari menangkis logika-logika sesat mu’tazilah secara rasional itu menambah garansi para ahli hadis untuk diikuti.

Tercatat para ahli hadis yang bermadzhab Asy’ari banyak yang memberi sumbangan dalam penyusunan ilmu musthalah hadis. Pada awal abad ketiga hijriyah pembahasan ilmu musthalah hadis dan kaidah- kaidahnya belum tersusun rapi sistematis dalam satu naskah. Baru pada tahun-tahun berikutnya Imam Ali bin al-Madini, guru imam al-Bukhari,

(15)

sistematis (Musthafa Assiba’i, al-Hadis Sebagai Sumber Hukum Serta Latar Belakang Historisnya, hal. 172).

Kemudian tampil al-Hafidz Abu Bakar al-Khatib al-Baghdadi seorang ahli fikih, sejarah dan hadis bermadzhab Asy’ari. Beliau dicatat sebagai perintis dalam penulisan ilmu dirayah hadis (ilmu kritik hadis).

Al-Baghdadi menyusun kaidah-kaidah rawi dalam kitabnya al-Kifayah fi

‘ilmi Riwayah. Kaidah-kaidah menerima dan menyampaikan hadis ditulis oleh al-Baghdadi dalam kitabnya berjudul al-Jami’ li Adabis Syaikhi wa al-Sami’. Dua kitab ini merupakan kitab induk ilmu dirayah.

Sebab, kitab-kitab tentang ilmu dirayah setelah generasi al-Baghdadi kebanyakan menginduk kepada al-Baghdadi ini (Muhammad Idrus Ramli, Madzhab al-Asy’ari Benarkah Ahlussunnah wal Jama’ah, hal.

133).

Ulama madzhab Asy’ari lainnya yang memberi kontribusi dalam ilmu hadis di antaranya al-Qadhi Iyadh al-Andalusi al-Maliki. Seorang ahli fikih, teologi, sastra dan qadhi di Andalusia. Kitabnya al-Syifa bi Ta’rifi Huquqi al-Musthafa, kitab tentang keagungan Rasulullah Saw, banyak mengutib pembesar madzhab al-Asy’ari yaitu al-Baqilani dan imam al-Haramain.

Karya ilmu hadisnya yang terkenal adalah al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul al-Riwayah wa Taqyid al-Sima’. Kitab ini merupakan karya tentang ilmu riwayah dengan menjadikan kitab al-Kifayah fi ‘ilmi Riwayahi yang ditulis oleh al-Khatib al-Baghdadi sebagai referensinya.

Selain itu, terdapat karya kitab hadis lainnya yaitu; Tartib al-Madarik wa Taqrib al-Masalik, al-Ikmal fi Syarh Shahih Muslim, dan Syarh Hadis Umm Zar.

Setelah generasi Qadhi Iyadh dan Ibnu Shalah, terdapat karya ilmu hadis yang sistematis yaitu, Ikhtisharu Ulumi al-Hadis, ditulis oleh al-Hafidz Ibnu Katsir. Seorang mufassir yang pakar hadis bermadzhab Asy’ari. Dalam kitab Tafsirnya, kita dapati pendapatnya mengikuti metodologi tafwidh dan ta’wil. Kitab Ikhtisharu Ulumi al-Hadis

(16)

disambut baik para ulama sebagai referensi mempelajari musthalah hadis. Kitab ini disyarh oleh Ahmad Muhammad Syakir dengan judul Alba’itsul Hadits. Dalam bidang Jarh wa Ta’dil Ibnu Katsir menulis kitab berjudul al-Takmil fi Ma’rifati Tsiqat wa Dhu’afa wa Mahahil.

Dalam ilmu jarh wa ta’dil Ibnu Katsir berpendapat bahwa untuk menetapkan cacat tidaknya seorang rawi diperlukan pencantuman argumentasinya. Argumentasi ini menurut Ibnu Katsir harus mengandung deskripsi latar belakang kehidupan rawi selengkapnya, sehingga setiap orang yang menganalisisnya menempatkan masalahnya dalam konteks yang tepat.

Karya ilmu musthalah Ibnu Katsir kemudian diteruskan oleh al- Hafidz Zainuddin al-Iraqi dalam kitabnya berjudul al-Fiyat al-Hadis, kitab musthalah hadis dalam bentuk nadzam (syair) sebanyak seribu bait.

Al-Hafidz Zainuddin al-Iraqi diakui sebagai ulama yang menguasai berbagai cabang ilmu hadits. Terutama dalam bidang takhrij hadits. Beliau lah yang berjasa mentakhrij hadits dalam kitab Ihya

‘Ulumuddin. Karya hadis lainnya adalah; al-Taqyid wa Idhah lima Ubhima wa Ughliqa min Muqaddimat Ibn al-Shalah kitab berisi penjelasan terhadap kitab musthalah hadits karya Ibn Shalah (Muhammad Idrus Ramli, Madzhab al-Asy’ari Benarkah Ahlussunnah wal Jama’ah, hal. 133).

Imam al-Daruqutni al-Asy’ari juga disebut di antara jajaran pelopor ilmu Jarh wa Ta’dil. Al-Hafidz al-Imam al-Daruqutni menulis kitab hadis Sunan al-Daruquthni, al-‘Ilal dan al-Afrad. Kitab al-‘Ilal membahas tentang rawi-rawi yang dha’if. Kitab ini menjadi salah satu rujukan penting dalam ilmu jarh wa ta’dil.

Di jajaran perawi hadis kita juga mengenal Imam al-Baihaqi.

Selain ahli hadis beliau ahli kalam. Metodologi kalamnya yang mengikut imam Asy’ari dapat dibaca dalam kitabnya berjudul al-I’tiqad

(17)

ilmu hadis, beliau menulis Takhrij Ahadits al-Umm, al-Sunan al-Kubra, Ma’rifat al-Sunan wa al-Atsar.

Selain itu terdapat Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam al-Suyuthi dan Imam al-Nawawi, ulama madzhab al-Asy’ari yang karya hadisnya sangat dikenang oleh generasi ulama setelahnya.

Ibnu Hajar al-Asqalani bahkan dikenal dengan gelar Amir al- Mu’minin fi hadits, Imam al-Huffadz (pemimpin para ahli hadits) dan hafidz al-Dunya Muthlaqan (hafidz kaliber sedunia secara mutlak).

Imam Jalaluddin al-Suyuthi menulis karya hadits yang popular di kalangan ulama hingga kini yaitu, al-Jami’ al-Shaghir, Jam’ul Jawami’,dan Tadrib al-Rawi. Beliau mendapat gelar al-musnid, al- hafidz, al-ushuli dan lain-lain.

Sumbangan tak kalah pentingnya diberikan oleh Imam al-Hafidz al-Nawawi al-Asy’ari. Dalam bidang hadis beliu menyandang gelar agung al-hafidz al-auhad (hafidz satu-satunya). Kontribusinya dalam bidang hadis beliau menulis syarh (penjelas) Shahih Muslim, Syarh al- Bukhari, al-Adzkar, al-Arba’in al-Nawawiyah, al-Irsyad fi Ulumi al- Hadits, Taqrib wa al-Taisir. Kitab-kitab teresebut mendunia, digunakan oleh berbagai kalangan kelompok.

Selain yang disebut di atas, masih banyak lagi yang ikut berperan membangun dan mempelopori perkembangan ilmu hadis.

Baik dalam bidang ilmu riwayah, dirayah dan jarh wa ta’dil. Atas jasa agung ini madzhab al-Asy’ari berabad-abad lamanya diikuti para ulama membangun ilmu pengetahuan dan peradaban Islam.

C. Madzab Asy’ari Sebagai Rujukan Umat Islam Dalam Ilmu fiqih Kata “fiqih” secara etimologis berarti "paham" atau "paham yang mendalam". Selain itu “fiqih” juga dapat dimaknai dengan

"mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik". Kalau dalam tinjauan morfologi, kata fiqih berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqhan yang berarti “mengerti atau paham”. Jadi perkataan fiqih memberi

(18)

pengertian kepahaman dalam hukum syari’at yang sangat dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Sedangkan definisi fiqih secara terminologi, para fuqoha’ (ahli fiqih) memberikan artian sesuai dengan perkembangan dari fiqih itu sendiri. Tepatnya pada abad ke-II telah lahir pemuka-pemuka mujtahid yang mendirikan madhab-madhab yang tersebar di kalangan umat Islam. Yang pertama yaitu Abu Hanifah ( yang memberikan pengertian fiqih sebagai berikut; نميبينملع ميتحىقحوياىمقوقحيا يييي.

Definisi ini meliputi semua aspek kehidupan, yaitu akidah, syari'ah dan akhlak tanpa ada pemisahan diantara aspek-aspek tersebut.

Pada masa imam Syâfi'i8 (150-204H/767-822M), para ulama’

Syafi’iyyah memberikan definisi yang lebih spesifik, hal ini karena ilmu fiqih cukup berkembang seiring tuntutan kebutuhan masyarakat dalam memperoleh jawaban atau kepastian hukum. Di antara definisi tersebut adalah sebagai berikut, “Ilmu yang menerangkan segala hukum agama yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf yang digali dari dalildalil yang jelas (terperinci)”

Pengertian fiqih yang dikemukakan tersebut lebih spesifik dari pada yang diketengahkan oleh definisi fiqih pada masa sebelumnya, yaitu dengan memunculkan term ahkam, af’aal al-mukallafin, dan istinbat yang tentunya hal ini penting dalam mengngkap hakikat dari ilmu fiqih. Dalam perkembangan selanjutnya, seiring berkembangnya berbagai disiplin keislaman yang mengharuskan pembidangan secara tegas terhadap fiqih, para ulama mulai memunculkan pengertian yang spesifik megenai ilmu fiqih. Al-Said al-Juraini sebagaimana dikutip oleh Nazar Bakry mengemukakan pengertian ilmu fiqih sebagai berikut;

“Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang amaliyah dan diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Fiqih adalah ilmu yang diperoleh dengan jalan ijtihad dan membutuhkan penalaran dan taammul”.

(19)

Pengertian yang dikedepankan oleh al-Said al-Juraini lebih spesifik daripada pengertian yang sebelumnya, yaitu dengan menyebutkan al-ahkam, al-syar’iyyah, al-‘amaliyyah, istinbat, ijtihad, nadhor. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, Zainuddin alMalibary salah satu ahli fiqih syafi’iyyah memberikan definisi yang hampir serupa dengan dengan pengertian said, namun pengertian ini lebih spesifik lagi, yaitu: هت قدأياهيبستكوقحية نلوعقحية نعرشقحيم كحلأ بينلعقح ييححيييييييييي ييححييييييييييييييييييييييية نلنححصفتقحي Kata "" dalam definisi tersebut menunjukkan bahwa hal-hal yang berada di luar apa yang dimaksud dengan kata "hukum", seperti zat, tidaklah termasuk dalam pengertian fiqh. Sedangkan penggunaan kata "" dimaksudkan bahwa fiqh itu menyangkut ketentuan yang berasal dari Allah sebagai pembuat syari’at10 atau tepatnya disandarkan kepada-Nya.

Kemudian kata “al-‘amaliyyah”11 itu menunjukkan bahwa ilmu fiqih itu sifatnya praksis (pengamalan), artinya bahwa fiqh itu hanya menyangkut perbuatan manusia yang bersifat lahiriyah, yang berarti masalah i’tiqodiyah (keimanan) seperti tetapnya sifat qudroh bagi Allah, tidak termasuk dalam lingkup fiqh. Kemudian mengandung pengertian bahwa fiqh itu hasil penggalian dan penemuan mujtahid atas ketentuan yang belum secara eksplisit disebut dalam nash. Dengan demikian mengecualikan ilmunya Allah yang sifatnya adalah dhorury.

Kata "" dalam definisi tersebut menjelaskan tentang dalil-dalil yang digunakan seorang faqih dalam penggalian dan penemuannya.

Karena itu ilmu yang diperoleh orang awam dari seorang mujtahid yang terlepas dari dalil tidak termasuk dalam pengertian fiqh, karena ia hanya taqlid (mengikuti) saja. Kemudian kata “" itu menunjukkan akan dalil- dalil yang digunakan fuqaha’ itu adalah dalil yang jelas (terperinci).

Semisal cara pengambilan hukum wajib pada sholat yang berasal dari ayat “aqimu alsholat”. Kata “aqimu” adalah amar yang dilalahnya (penunjukannya) adalah ke hukum wajib, jadi hukum sholat adalah wajib.

(20)

Dengan demikian fiqih akan mengarahkan terhadap suatu perbuatan itu bisa dihukumi wajib, haram, sunnah, makruh ataupun mubah, yang disebut dengan hukum taklifi (hukum yang berkenaan dengan perbuatan mukallaf). Ataupun mengarahkan pada hukum wad’i, yakni hukum yang tidak ada hubungannya dengan perbuatan mukallaf, seperti tenggelamnya matahari adalah tanda masuknya kewajiban sholat Maghrib.

Dengan memahami beberapa pengertian yang dikemukakan beberapa tokoh di atas nampak jelas bahwa hakikat ilmu fiqih meliputi hal-hal sebagai berikut;

1. fiqih adalah ilmu tentang hukum syara'

2. fiqih membicarakan 'amaliyah furû'iyyah mukallaf

3. pengetahuan tentang hukum syara' didasarkan pada dalil terperinci,

4. fiqih itu digali dan ditemukan melalui ijtihâd. Berdasar atas rumusan tersebut, memang fiqih disebut sebagai ilmu, meskipun ada yang berpendapat bahwa “fiqih” tidaklah sama dengan “ilmu”.

Karena ilmu harus bersifat koheren, sistematis, dapat diukur dan dibuktikan. Bahkan kadang didefinisikan secara ketat, ilmu haruslah empiris dan memiliki nilai kepastian.14 Sementara fiqih adalah sesuatu yang dapat dicapai oleh mujtahid dengan dzonnya, sedangkan ilmu haruslah tidak bersifat dzonniy. Namun demikian, karena dzon dalam fiqh itu dipandang cukup kuat, maka ia mendekati ilmu. Apalagi ukuran ilmu pada masa-masa itu belumlah sedetail dan serumit saat ini. Jadi dengan demikian ilmu fiqih bisa dipandang sebagai ilmu yang berdiri sendiri.

Kemudian ketika ilmu fiqih dikaitkan dengan hakekat sesuatu dalam perspektif filsafat, maka termasuk dalam wilayah ontologi.

Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu ini berusaha untuk

(21)

Philosophy, yang membahas esensi benda. Dapat juga dinyatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Dengan demikian ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan.

Kemudian jika dikaitkan dengan hakekat fiqih, maka perlu terlebih dahulu dikemukakan mengenai definisi fiqih dari beberapa tokoh yang selanjutnya ditelaah sesuai dengan kaidah filsafat ilmu.

Bertolak dari definisi fiqih yang telah dikemukakan oleh beberap tokoh ilmu fiqih di atas dapat disimpulkan bahwa hakekat ilmu fiqih adalah ajaran-ajaran Islam yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang diperoleh melalui penggalian atau istinbat dari dalil-dalil syraa’ oleh ahli fiqih.

D. Madzab Asy’ari Sebagai Rujukan Umat Islam Dalam Ilmu ushul fiqih Salah satu cabang keilmuan dalam khazanah intelektual Islam ialah ushul fiqih. Sebagai ilmu yang membahas tentang fondasi yang melatarbelakangi lahirnya hukum fiqih, urgensi ushul fiqih semakin meningkat terutama sebagai pegangan dalam menjawab berbagai persoalan hukum kekinian.

Dalam pemaparan kali ini, kami bahas pengertian ushul fiqih secara definitif sebagai pembelajaran bagi kita semua. Setidaknya pembahasan ini diharapkan akan bisa memberikan gambaran tentang perbedaan antara ushul fiqih dan fiqih, atau antara hukum dan fondasi penyusun hukum tersebut. Imam Abu Ishak As-Syirazi dalam Al- Luma’ menyebutkan: اهب لصوتي امو هقفلا اهيلع ىنبي يتلا ةلدلا يهف هقفلا لوصأ امأو لامجلا ليبس ىلع ةلدلا ىلإ Artinya, “Ushul fiqih ialah dalil-dalil penyusun fiqih, dan metode untuk sampai pada dalil tersebut secara global,”

(Lihat As-Syirazi dalam Al-Luma’ fî Ushûlil Fiqh, Jakarta, Darul Kutub Al-Islamiyyah, 2010 M, halaman 6).

(22)

Maksudnya adalah bahwa ushul fiqih merupakan seperangkat dalil-dalil atau kaidah-kaidah penyusunan hukum fiqih serta metode- metode yang mesti ditempuh agar kita bisa memanfaatkan sumber- sumber hukum Islam untuk bisa memformulasikan sebuah hukum khususnya terkait sebuah persoalan kekinian. Kita juga bisa menengok pemaparan Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mustashfa: ِهْقِفْلا َلوُصُأ انَأ

ْنِم َل ُةححَلْمُجْلا ُثْيَح ْنِم ِماححَكْحَ ْلا ىَلَع اححَهِتَل َلَد ِهوححُجُو ِةححَفِرْعَم ْنَعَو ِماححَكْحَ ْلا ِهِذححَه ِةالِدَأ ْنَع ٌةَراَبِع

ُليِصْفاتلا ُثْيَح Artinya, “Ushul fiqih ialah istilah untuk (seperangkat) dalil- dalil dari hukum-hukum syariat sekaligus pengetahuan tentang metode penunjukan dalilnya atas hukum-hukum syariat secara global, bukan terperinci,” (Lihat Imam Al-Ghazali, Al-Mustashfa, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2002 M, halaman 5).

Dari keterangan di atas, kita dapat memahami perbedaan obyek kajian antara fiqih dan ushul fiqih. Wilayah pembahasan dalam fiqih ialah hukum tentang sebuah persoalan. Misalkan saja, ada sebuah persoalan, maka melalui fiqih kita akan membahas hukum persoalan tersebut apakah wajib, sunah, haram, dan lain sebagainya. Secara singkat, yang dibahas dalam fiqih ialah, “Ini hukumnya apa?” Oleh karena itu, jelas bahwa persoalan yang dibahas dalam fiqih sifatnya terperinci, artinya berlaku pada persoalan tersebut, namun tidak pada lainnya.

Fiqih berbeda dengan ushul fiqih. Wilayah yang dibahas ushul fiqih ialah pendefinisian apa itu hukum? Apa itu wajib, sunah, dan lain sebagainya? Bagaimana caranya melahirkan sebuah hukum?

Bagaimana bisa sesuatu dikatakan wajib? Siapa saja yang bisa mengeluarkan putusan hukum? Dan lain sebagainya. Ushul fiqih ini lebih merupakan sebuah aturan-aturan tertentu yang dijadikan pegangan atau kaidah bagi proses kelahiran sebuah hukum. Karena wilayah kerjanya yang semacam ini, maka ia berlaku secara global baik pada suatu persoalan hukum atau lainnya.

(23)

Sebagaimana kita ketahui, bahwa melahirkan sebuah jawaban persoalan hukum tidaklah mudah, khususnya jika hukum tersebut terkait dengan persoalan fiqih. Jika ada sebuah persoalan hukum terbaru, adalah mustahil jika kita langsung bisa mengeluarkan jawabannya tanpa proses berpikir terlebih dahulu. Ada seperangkat aturan yang harus dipenuhi untuk bisa melahirkan jawaban tersebut.

Salah satu contoh yang diangkat adalah pertanyaan, “Apa hukum menyebarkan berita bohong (hoaks)?” Kita tidak bisa langsung begitu saja mengeluarkan jawaban halal atau haramnya.

Untuk menuju kepada jawaban tersebut, kita perlu memahami dulu apa itu berita bohong (hoaks)? Selanjutnya kita merumuskan dulu apa itu halal dan haram. Dilanjut dengan memilah apa tujuan dari penyebaran berita bohong tersebut. Sesudah itu kita merujuk kepada sumber-sumber hukum dalam Islam yaitu Al-Qur’an, hadits, serta ijma’

para sahabat terkait persoalan tersebut. Terakhir, kita kerahkan kemampuan kita untuk meramu sumber-sumber hukum tersebut untuk menjadi jawaban bagi persoalan hukum yang diajukan.

Sesudah serangkaian proses tersebut dilalui, kita baru bisa mengajukan jawaban bahwa penyebaran berita bohong (hoaks) secara umum hukumnya adalah haram, sebagaimana secara umum kita tahu bahwa berbohong itu hukumnya haram. Namun pada beberapa persoalan, seperti jika bertujuan untuk menyenangkan istri, mendamaikan pihak yang bersengketa, dan lainnya, berbohong itu hukumnya halal.

BAB III

(24)

PENUTUP A. Kesimpulan

Tafsir Al-Qur'an (Arab: نآرقلا ريسفت) adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur'an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al-Qur'an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya. Kebutuhan umat Islam terhadap tafsir Al-Qur'an, sehingga makna-maknanya dapat dipahami secara penuh dan menyeluruh, merupakan hal yang mendasar dalam rangka melaksanakan perintah Allah (Tuhan dalam Islam) sesuai yang dikehendaki-Nya.

Kata Hadits (dalam teks arab ثيدححح) menurut bahasa memiliki makna baru adapun bentuk jamaknya ialah Ahadits (dalam teks arab .(ثيداحححأ1] ] Sedangkan menurut Abdul Majid kata Hadits menurut tinjauan Bahasa memiliki beberapa makna diantaranya baru (al jiddah), lemah lembut (ath-thariy) dan bermakna berita, pembicaraan atau perkataan (al-khabr wa al-kalaam).

Fiqih juga dapat dimaknai dengan "mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik". Kalau dalam tinjauan morfologi, kata fiqih berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqhan yang berarti “mengerti atau paham”. Jadi perkataan fiqih memberi pengertian kepahaman dalam hukum syari’at yang sangat dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Ushul fiqih merupakan seperangkat dalil-dalil atau kaidah-kaidah penyusunan hukum fiqih serta metode-metode yang mesti ditempuh agar kita bisa memanfaatkan sumber-sumber hukum Islam untuk bisa memformulasikan sebuah hukum khususnya terkait sebuah persoalan kekinian.

B. Kritik dan Saran

(25)

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.

Semoga makalah ini berguna bagi penyusun pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.

(26)

Referensi

Dokumen terkait