• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH MASALAH WASTING DI INDONESIA

N/A
N/A
Eszha widnatusifah

Academic year: 2023

Membagikan "MAKALAH MASALAH WASTING DI INDONESIA "

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Program Indonesia Sehat merupakan program pembangunan kesehatan yang dicanangkan pada periode 2020-2024, dimana sasaran pokok pembangunan kesehatan tercantum dalam Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Salah satu sasaran pokoknya yaitu meningkatnya status kesehatan dan gizi ibu dan anak. (RPJM, 2020- 2024).

Sebanyak 45% kematian anak balita sebagian besar disebabkan karena masalah gizi. Status gizi yang baik adalah modal dasar dalam pencapaian sasaran pembangunan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, sasaran pokok upaya peningkatan status gizi masyarakat yang termasuk dalam target Sustainable Development Goals (SDGs)

“Mengentaskan Kelaparan / Zero Hunger” adalah: (1) Menurunnya prevalensi gizi kurang (underweight) pada anak balita dari 19,6%

menjadi 17,0%; (2) Prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak baduta (di bawah 2 tahun) menurun dari 32,9% menjadi

(2)

28,0%; (3) Prevalensi wasting (kurus) anak balita menurun dari 12%

menjadi 9,5% (BAPENAS,2014).

Masalah gizi merupakan gangguan pada beberapa segi kesejahteraan perorangan dan ataupun masyarakat yang disebabkan karena tidak terpenuhinya kebutuhan akan zat gizi yang diperoleh dari makanan. Masalah gizi tersebut dapat berupa masalah gizi makro dan masalah gizi mikro. Berdasarkan antropometri, status gizi dapat dikelompokkan underweight (BB/U), stunting/pendek (TB/U) dan Wasting/kekurusan (BB/TB). (Hendrayati, 2013). Salah satu kelompok rawan akan masalah gizi adalah balita. Hal ini dikarenakan pada masa balita memerlukan asupan zat gizi dalam jumlah besar untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Kesalahan dalam pemenuhan zat gizi balita akan membawa dampak terhadap pertumbuhan dan perkembangan saat dewasa.

Berdasarkan data dari UNICEF/WHO/World Bank Group tahun 2017 menunjukkan bahwa tren persentase kejadian wasting di dunia dari tahun 2000 sampai 2016 mengalami peningkatan. Dimana pada tahun 2000 sebanyak 5,0% atau 30,4 juta balita dan pada tahun 2016 meningkat menjadi 7,7% atau 51,7 juta balita.Dimana di Asia dianggap menjadi rumah atau tempat mayoritas balita yang menderita kekurusan (wasting) dan sangat kurus, dimana jumlah yang kurus sebanyak 35,9 juta sedangkan yang mengalami sangat kurus sebanyak 12,6 juta.

(3)

Data menunjukkan bahwa lebih dari setengah kasus wasting di dunia terjadi di Asia Tenggara yaitu sebanyak 27,6% atau 5,2 juta.

Dari prevalensi total wasting di dunia, 69% berada di wilayah Asia dan 23% berada di Afrika. Hasil dari Pemantauan Status Gizi (PSG) prevalensi kekurangan gizi pada balita khususnya wasting di Indonesia pada tahun 2016 mencapai 11,1%.7 Sedangkan, masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi wasting berkisar antara 10,0%-14,0%, dan dianggap kritis bila ≥ 15,0%.8 Sehingga, masalah wasting masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di Indonesia.

Di Indonesia, menurut Riskesdas kejadian wasting dari tahun 2010 hingga 2018 mengalami penurunan. Pada tahun 2010 prevalensi wasting pada balita sebesar 13,3%, kemudian pada tahun 2013 sebesar 12,1% dan pada tahun 2018 turun menjadi 10,2%. Meskipun prevalensi wasting di Indonesia menurun, akan tetapi wasting masih menjadi masalah besar di Indonesia.

Faktor yang menyebabkan wasting telah dijelaskan oleh United Nations International Children Emergency Fund (UNICEF) dan telah digunakan secara internasional. Pertama, penyebab langsung adalah asupan makanan atau infeksi, atau kombinasi keduanya. Kedua, faktor penyebab tidak langsung yaitu ketersediaan pangan tingkat keluarga, pola asuh, dan pelayanan kesehatan serta lingkungan. Ketiga, masalah utama yaitu kemiskinan, karakteristik keluarga, dan

(4)

sosiodemografi. Keempat, masalah dasar, yaitu krisis politik dan ekonomi.

Dampak yang dihasilkan dari tidak terpenuhinya gizi pada masa krusial tersebut yakni adanya gangguan metabolisme tubuh, mempunyai kecenderungan lebih tinggi untuk terkena infeksi, kemampuan kognitif yang menurun, menyebabkan hilangnya masa hidup sehat balita, serta dampak yang lebih serius adalah timbulnya kecacatan, tingginya angka kesakitan dan percepatan kematian dan kerugian ekonomi dan produktifitas. Gizi kurang pada balita, membawa dampak negatif terhadap pertumbuhan fisik maupun mental yang selanjutnya akan menghambat prestasi belajar. Hal tersebut tidak hanya mempengaruhi kesehatan di masa mendatang, tapi juga kualitas dan produktifitas manusia terhadap perekonomian negara (Andini, Erlita N.,dkk.,2020).

A. Rumusan Masalah

1. Bagaimana besar masalah wasting pada balita di Indonesia?

2. Bagaimana determinan wasting pada balita di Indonesia?

3. Bagaimana tindakan pengendalian wasting pada balita di Indonesia?

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran studi epidemiologi wasting pada balita di Indonesia

(5)

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui gambaran besar masalah kejadian wasting di Indonesia.

b. Untuk mengetahui determinan kejadian wasting di Indonesia.

c. Untuk mengetahui pengendalian kejadian wasting di Indonesia.

(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Wasting

Wasting adalah bagian dari kekurangan gizi. Menurut UNICEF, wasting adalah kurangnya berat badan terhadap tinggi badan sehingga tubuh anak tersebut tidak proporsional (low weight for height).

Standar Antropometri Anak digunakan untuk menilai atau menentukan status gizi anak. Penilaian status gizi Anak dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran berat badan dan panjang/tinggi badan dengan Standar Antropometri Anak. Klasifikasi penilaian status gizi berdasarkan Indeks Antropometri sesuai dengan kategori status gizi pada WHO Child Growth Standards untuk anak usia 0-5 tahun dan The WHO Reference 2007 untuk anak 5-18 tahun.

Indeks BB/PB atau BB/TB ini menggambarkan apakah berat badan anak sesuai terhadap pertumbuhan panjang/tinggi badannya. Indeks ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi anak gizi kurang (wasted), gizi buruk (severely wasted) serta anak yang memiliki risiko gizi lebih (possible risk of overweight).

Kondisi gizi buruk biasanya disebabkan oleh penyakit dan

(7)

kekurangan asupan gizi yang baru saja terjadi (akut) maupun yang telah lama terjadi (kronis).

Indeks Kategori Status Gizi

Ambang Batas (Z- Score) Berat Badan

menurut Umur (BB/PB atau BB/TB) anak usia 0-60 bulan

Gizi Buruk ( severly wasted)

<-3 SD

Gizi kurang (Wasted) -3 SD sd <-2 SD Gizi baik (normal) -2 SD sd +1 SD Berisiko gizi lebih >+ 1 SD sd +2 SD Gizi lebih (overweight) >+2 SD sd + 3 SD Obeseitas (Obese) >+3 SD

2.2 Dampak Wasting

Wasting merupakan ancaman serius pada kelangsungan hidup anak dan perkembangannya. Angka mortalitas pada anak kurus 33 33 (BB/TB Z-score <-2) dan anak sangat kurus (BB/TB Z-score <-3) menunjukkan tiga sampai sembilan kali lebih tinggi daripada anak yang tidak kurus. Selanjutnya, anak wasting yang bertahan hidup meningkatkan risiko tumbuh stunting.

Penelitian terbaru yang mengumpulkan data dari delapan studi longitudinal di Afrika, Asia dan Amerika Latin menunjukkan anak yang mengalami wasting pada bulan pertama kehidupannya berisiko tinggi mengalami retardasi pertumbuhan linier dan stunting pada usia 18-24 bulan, yang dapat mengakibatkan konsekuensi yang merugikan dan sering tidak

(8)

dapat dipulihkan, termasuk perkembangan kognitif dan kemampuan belajar yang buruk,berkurangnya massa tubuh tidak berlemak (otot, organ tubuh, dan tulang), perawakan dewasa yang pendek, produktivitas rendah, dan penghasilan berkurang.

(Insani ,2017) menjelaskan bahwa dampak wasting pada anak adalah anak dapat mengalami penurunan daya eksplorasi terhadap lingkungan disekitarnya, terjadi peningkatan frekuensi menangis, kurang perasaan gembira dan cenderung menjadi apatis. Bahkan dalam jangka panjang, anak tersebut akan mengalami gangguan kognitifnya, penurunan prestasi belajar, gangguan tingkah laku, bahkan peningkatan risiko kematian.

Hal ini dibuktikan dari data (UNICEF/WHO/World Bank Group, 2017) dijelaskan bahwa satu dari sepuluh balita dibawah lima tahun mengalami peningkatan risiko kematian akibat wasting.

Menurut (WHO,2014) secara global wasting menyumbang 4,7%

kematian pada balita usia dibawah 5 tahun. Sementara balita yang mengalami Severe Wasting (sangat kurus) rata-rata 11 kali lebih berisiko untuk meninggal dibandingkan balita normal.

Secara global severe wasting bertanggung jawab atas 2 juta kematian balita setiap tahun.

(9)

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Besar masalah wasting

Berdasarkan data dari UNICEF/WHO/World Bank Group tahun 2017 menunjukkan bahwa tren persentase kejadian wasting di dunia dari tahun 2000 sampai 2016 mengalami peningkatan. Dari prevalensi total wasting di dunia, 69% berada di wilayah Asia dan 23% berada di Afrika

(10)

Asia Selatan Afrika tengah dan Barat Timur tengah dan Afrika utara Afrika timur dan selatan Asia timur dan pasifik Eropa timur dan Asia tengah Amerika latin dan caribbean Amerika utara Dunia

0 2 4 6 8 10 12 14 16

14.8 8.2

6.7 6.7 3.7

2 1.3 0.4

6.9

Wasting

Sumber: WHO, 2019

Dapat dilihat dari grafik bahwa kejadian wasting di dunia tertinggi pada wilayah asia selatan dengan prevalensi sebesar 14,8% sedangkan prevalensi wasting terendah pada wilayah amerika utara sebesar 0,4%.

Prevalensi wasting di dunia pada tahun 2019 sebesar 6,9%.

Menurut WHO, pada tahun 2019 secara global, 47 juta anak di bawah lima tahun mengalami wasting dan sebanyak 14,3 juta di antaranya wasting parah yang berarti prevalensi masing-masing 6,9 persen dan 2,1 persen. Pada tahun 2019, lebih dari setengah dari semua anak yang wasting tinggal di Asia Selatan dan seperempat di Afrika sub- Sahara, dengan proporsi yang sama untuk anak-anak yang wasting.

Dengan prevalensi sebesar 14,8 persen, prevalensi wasting di Asia

(11)

Selatan mewakili situasi yang membutuhkan kebutuhan serius untuk intervensi dengan program perawatan yang tepat.

Sementara Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki masalah malnutrisi termasuk wasting. Masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi kurus antara 10,0- 14,0%, dan dianggap kritis bila ≥15,0% (WHO)

20070 2010 2013 2018

2 4 6 8 10 12 14 16

13.6 13.3

12.1

10.2

Wasting

Wasting

Berdasarkan grafik riskesdas dari tahun 2007 hingga 2018 prevalensi wasting mengalami penurunan dari tahun 2007 ke tahun 2018, walaupun prevalensi mengalami penurunan, penurunan prevalensi dinilai kurang pesat. Pada tahun 2018, secara nasional prevalensi wasting pada anak balita masih 10,2% yang artinya masalah kurus di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius.

(12)

3.2 Determinan Kejadian Wasting Pada Balita di Indonesia

Menurut penelitian pertama yang dilakukan pada tahun 2019 dengan judul “Analisis Faktor Risiko Wasting Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur Tahun 2019”

mengatakan bahwa ternyata variabel faktor risiko yang paling dominan terhadap kejadian wasting pada balita adalah penyakit infeksi dengan nilai odds ratio (OR) adalah 15,797 artinya balita yang mengalami penyakit infeksi memiliki peluang 15,7 kali mengalami wasting dibandingkan yang tidak mengalami penyakit infeksi.

Pada penelitian kedua yang dilakukan di pada balita di wilayah kerja puskesmas kota pontianak pada tahun 2016 mengatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara penyakit infeksi, pemberian ASI, dan kelengkapan imunisasi dengan kejadian wasting di Wilayah Kerja Puskesmas Saigon dan Puskesmas Perumnas II. Tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan dengan kejadian wasting di Wilayah Kerja Puskesmas Saigon dan Puskesmas Perumnas II.

Sedangkan pada penelitian ketiga yang dilakukan pada Balita Usia 6-59 Bulan tahun 2020 di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Penjaringan I Jakarta Utara mengatakan bahwa dimana riwayat penyakit infeksi merupakan factor yang paling dominan terhadap kejadian wasting pada balita usia 6-59 bulan, namun penelitian ini juga mendapatkan bahwa tidak terdapat hubungan antara pemberian ASI,

(13)

kelengkapan imunisasi serta asupan karbohidrat terhadap kejadian wasting pada balita usia 6-59 bulan.

Faktor yang paling dominan mempengaruhi kejadian wasting pada balita dari ketiga jurnal diatas adalah faktor penyakit infeksi.

Kurang gizi pada anak menurunkan sistem imun yang akhirnya akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit infeksi. Keadaan kurang gizi mempunyai efek terhadap mekanisme pertahanan terhadap antigen, serta berpengaruh juga terhadap respon imun yang lebih khusus.

Penurunan respon seperti itulah yang menyebabkan virus dengan mudah menginfeksi dan bereplikasi, sehingga timbullah penyakit infeksi pada anak tersebut. Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan gizi, dan keadaan gizi yang jelek dapat mempermudah terkena infeksi. Balita yang mengalami wasting dapat meningkatkan risiko kesakitan dan kematian anak. Anak yang wasting sangat mudah terkena penyakit infeksi.

ASI ekslusif juga berperan penting dalam mencegah wasting. Hal ini disebabkan karena ASI merupakan hal yang sangat penting bagi kesehatan dan kelangsungan hidup anak. ASI mengandung zat gizi yang paling sesuai dalam memenuhi kebutuhan gizi bayi untuk tumbuh kembang optimal. ASI mudah dicerna, diserap dan digunakan secara efisien oleh tubuh bayi. ASI melindungi bayi dari kejadian infeks.

Protein Protein mempunyai fungsi khas yaitu membangun, memelihara sel-sel dan jaringan tubuh. Sebelum menjalankan

(14)

fungsinya sebagai zat pembangun, asamasam amino esensial yang diperlukan harus tersedia terlebih dahulu. Pertumbuhan atau penambahan sel baru bisa dilakukan jika telah cukup tersedia gabungan asam amino yang sesuai dalam segi jenis dan jumlah.19,20 Protein juga memiliki fungsi utama membentuk antibodi. Tingginya tingkat kematian pada anak-anak yang menderita gizi kurang kebanyakan disebabkan oleh menurunnya daya tahan tubuh karena ketidakmampuannya membentuk antibodi dalam jumlah yang cukup.19 Kemampuan tubuh untuk menangkal serangan toksik dan melakukan detoksifikasi sangat tergantung pada enzim-enzim yang terdapat di dalam hati. Dalam keadaan kekurangan protein maka pembentukan enzim tersebut akan terhambat sehingga menjadi rentan terhadap penyakit.20 Asam amino yang berperan membentuk antibodi adalah glisin. Glisin mengikat bahan-bahan toksik dan mengubahnya menjadi bahan tidak berbahaya. Akibat kekurangan protein sistem imunitas dan antibodi berkurang, sehingga anak mudah terserang penyakit seperti pilek, batuk, diare atau penyakit infeksi yang lebih berat. Kekurangan protein ini banyak terdapat pada masyarakat sosial ekonomi rendah.

Akan tetapi terdapat perbedaan hasil antara kedua jurnal, pada jurnal kedua dikatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kelengkapan kartu imunisasi terhadap kejadian wasting pada balita, sedangkan pada jurnal ketiga dikatakan bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara kelengkapan kartu imunisasi terhadap

(15)

kejadian wasting. Pada jurnal kedua dijelaskan bahwa Imunisasi merupakan domain yang sangat penting untuk memiliki status gizi yang baik. Pemberian imunisasi terhadap anak tidak mudah terserang penyakit yang berbahaya menjadikan anak lebih sehat dengan tubuh/status sehat, sehingga asupan makanan dapat masuk dan diserap dengan baik. Nutrisi yang terserap oleh tubuh balita dimanfaatkan untuk pertumbuhannya, sehingga menghasilkan status gizi yang baik. Hal ini karena penyakit infeksi dan fungsi kekebalan saling berhubungan erat satu sama lain, dan pada akhirnya akan mempengaruhi status gizi berupa penurunan status gizi pada anak

Sedangkan pada jurnal ketiga dijelaskan bahwa brdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan tidak terdapat hubungan antara kelengkapan imunisasi terhadap kejadian wasting pada balita (p=1.000) dan diperoleh nilai OR = 1,000 (CI 95%) artinya kelengkapan imunisasi merupakan faktor risiko dari kejadian gizi kurus dan balita yang imunisasi tidak lengkap berpeluang 1,000 kali mengalami kejadian gizi kurus dibandingkan dengan balita imunisasi lengkap. Imunisasi bukan penyebab langsung dari masalah gizi. Imunisasi yang tidak lengkap akan berdampak timbul penyakit infeksi untuk jangka panjang.

3.3 Upaya Pengendalian stunting

Penyakit infeksi merupakan salah satu penyebab langsung yang mempengaruhi status gizi seperti wasting (UNICEF 1990), Untuk menanggulanginya perlu upaya peningkatan higiene dan sanitasi

(16)

lingkungan serta akses pelayanan kesehatan terutama pelayanan kesehatan dasar yang dilakukan melalui puskesmas, puskesmas pembantu, poskesdes, posyandu, polindes. Berdasarkan hasil penelitian perlu adanya peningkatan pengawasan oleh tenaga kesehatan terhadap status gizi balita yang dilihat dari penyakit infeksi dan asupan nutrisi yang dikonsumsi balita. Pengawasan tersebut diantaranya pembinaan posyandu dengan memberikan konseling terutama mengenai penyakit infeksi pada balita dan asupan nutrisi tinggi protein, menilai keadaan balita yang mengunjungi fasilitas pelayanan kesehatan maupun kegiatan di luar faskes seperti posyandu setiap bulan, komunikasi dan kerjasama secara intensif dengan kader penting dilakukan untuk menjangkau balita yang tidak pernah mengunjungi tenaga kesehatan agar status gizi nya tetap terpantau.

Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan dasar perlu melakukan kerjasama lintas program antara KIA dan Gizi dalam pembinaan posyandu dengan menggalakkan penyuluhan di setiap kegiatan posyandu balita mengenai pemberian makanan balita yang seimbang sesuai usia kebutuhan bayi terutama peningkatanan nutrisi tinggi protein dan pertolongan pertama pada balita yang mengalami penyakit infeksi. Penyuluhan sebagai upaya promotif dan preventif bagi balita dengan status gizi normal serta sebagai upaya kuratif dan rehabilitatif bagi balita dengan status gizi kurus.

(17)

Hal utama yang terpenting yaitu peran seluruh anggota keluarga dengan meningkatkan pemahaman, tindakan dan kesadaran orangtua mengenai gizi balita. Hal-hal dapat dilakukan diantaranya rutin mengunjungi posyandu setiap bulan sehingga status gizi balita dapat terpantau dengan baik dan tercipta keluarga mandiri sadar gizi, peningkatan bahan makanan tinggi protein (ikan, ayam, telur, kacangkacangan), pembuatan bahan makanan yang bervariasi agar tidak memperburuk kejadian gizi kurus pada balita dan pengolahan makanan yang higienis.

Selain telah dilakukan juga kegiatan surveilans gizi yang dimulai dari masyarakat di Posyandu, Puskesmas, dan Dinas Kesehatan.

Pengumpulan data individu yang teratur akan bisa mendeteksi secara dini masalah gizi yang dihadapi, sehingga analisis dan intervensi yang dilakukan akan tepat sasaran dan tepat waktu. Upaya lain dalam pencegahan masalah gizi adalah dengan perubahan perilaku masyarakat. Komitmen pemerintah baik pusat maupun daerah sudah tertuang dalam regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan daerah. Di wilayah Indonesia Timur sudah ada 10 kabupaten yang menerbitkan regulasi Komunikasi Perubahan Perilaku dalam upaya mencegah stunting dan masalah gizi lainnya.

(18)

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan

Referensi

Dokumen terkait

which reads as follows: Create a clearly understandable; source text oriented Afrikaans translation of the Bible that is suitable for reading and use in church services, as well as

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi asupan makan, penyakit infeksi, tingkat pengetahuan gizi ibu dan jumlah anggota keluarga dengan kejadian