• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah pendidikan multikultural k.2

N/A
N/A
Fatma Ayu Winata

Academic year: 2024

Membagikan "Makalah pendidikan multikultural k.2"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

MULTIKULTURALISME DALAM SEJARAH UMAT ISLAM Disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah

Pendidikan Multikultural dan Moderasi Beragama Disusun Oleh Kelompok 2:

Fatma Ayu Winata (0301212038) Aslamiyah Abda Daulay (0301213079) Muhammad Fachrezy Risdi (0301213153) Mhd. Akhirul Aman Dasopang (0301213163)

Dosen Pengampu: Dr. Meyniar Albina, MA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

MEDAN 2024

(2)

KATA PENGANTAR ميحرلا نمحرلا هللا مسب

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Swt. yang senantiasa memberikan limpahan rahmat dan karunia yang tak terhingga, sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya kami tidak akan mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat beserta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada baginda alam yaitu Nabi Muhammad Saw. dengan harapan kelak kita akan dapat memperoleh syafa’atnya di hari kemudian. Aamiin.

Makalah ini penulis susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Multikultural dan Moderasi Beragama yang mana makalah ini juga bertujuan untuk memperluas dan guna menambah wawasan kita semua seputar tentang

“Multikulturalisme dalam Sejarah Umat Islam”. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Dr. Meyniar Albina, MA selaku dosen mata kuliah Pendidikan Multikultural dan Moderasi Beragama yang telah membimbing kami untuk menyelesaikan makalah ini.

Penulis memohon maaf jika dalam pembuatan makalah ini masih banyak memiliki kekurangan baik dari segi penulisan, isi, bahasa, dan lain sebagainya. Maka penulis harapkan kritikan dan saran yang membangun guna menjadi perbaikan untuk pembuatan makalah di hari yang akan datang. Demikian yang dapat kami sampaikan sebagai pengantar kata, semoga makalah ini dapat dipahami oleh pembaca, dan semoga ilmu yang kita peroleh bermanfaat dan diberkahi oleh Allah Swt.

Medan, 20 September 2024

Kelompok 2

(3)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar... ii

Daftar Isi...iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Rumusan Masalah...2

C. Tujuan Penulisan...2

BAB II PEMBAHASAN A. Multikulturalisme pada Awal Islam...3

B. Multikulturalisme pada Masa Umayyah...6

C. Multikulturalisme pada Masa Abbasiyah...9

D. Multikulturalisme dalam Islam... 10

E. Contoh Multikulturalisme di Indonesia dan Dunia Islam...12

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan...14

B. Saran... 14

DAFTAR PUSTAKA...15

iii

(4)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Multikulturalisme, yang secara umum dipahami sebagai pandangan atau paham mengenai keragaman budaya dan perilaku yang diakibatkan oleh perbedaan ras, agama, dan struktur sosial, menjadi topik yang semakin relevan dalam memahami berbagai dinamika sosial di masyarakat modern. Namun, multikulturalisme bukanlah fenomena baru. Dalam sejarah umat Islam, konsep ini telah hadir dan berkembang sejak awal penyebaran agama Islam.

Islam sebagai agama universal memiliki pemeluk yang berasal dari berbagai latar belakang budaya, etnis, dan tradisi. Sejak masa Nabi Muhammad saw., Islam sudah berinteraksi dengan berbagai kebudayaan, dimulai dari masyarakat Arab yang sangat beragam dalam struktur sosial dan budaya. Nabi Muhammad saw. menunjukkan sikap yang akomodatif terhadap perbedaan budaya ini dalam menyebarkan ajaran tauhid. Sikap akomodatif ini terus berlanjut dalam sejarah penyebaran Islam ke berbagai wilayah, seperti Persia, Afrika Utara, dan Asia Tenggara, di mana Islam mampu hidup berdampingan dan bahkan berasimilasi dengan kebudayaan lokal.

Pada masa kejayaan Islam, khususnya di zaman Kekhalifahan Abbasiyah dan Andalusia, multikulturalisme memainkan peran penting dalam kemajuan ilmu pengetahuan, seni, dan budaya. Kota-kota seperti Baghdad dan Córdoba menjadi pusat peradaban yang kaya akan interaksi antara Muslim, Yahudi, dan Kristen, serta antara berbagai kelompok etnis yang berbeda. Harmoni ini menjadi cerminan dari semangat multikulturalisme yang tumbuh dalam sejarah Islam.

Namun, multikulturalisme dalam sejarah umat Islam tidak selalu berjalan tanpa tantangan. Ada banyak perbedaan dalam pemahaman, penafsiran, dan praktik sosial- budaya di kalangan umat Islam sendiri, yang sering kali memicu konflik. Meski demikian, Islam sering kali menjadi elemen pemersatu yang mampu mengakomodasi perbedaan tersebut dan menciptakan tatanan sosial yang plural. Kajian mengenai multikulturalisme dalam sejarah umat Islam penting untuk memahami bagaimana agama ini berinteraksi dengan keragaman budaya dan bagaimana pelajaran dari masa lalu dapat diterapkan dalam konteks dunia modern yang semakin plural dan multikultural. Fenomena ini, yang telah dimulai sejak masa klasik, memberikan dasar yang kuat untuk memahami perkembangan Islam di masa kini dan masa depan.

(5)

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana multikulturalisme dalam konteks awal Islam?

2. Bagaimana multikulturalisme pada masa Dinasti Umayyah?

3. Bagaimana multikulturalisme dalam perkembangan masyarakat pada masa Abbasiyah?

4. Bagaimana multikulturalisme di dalam ajaran Islam?

5. Apa saja contoh konkret multikulturalisme di Indonesia dan negara-negara Islam lainnya?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui bagaimana multikulturalisme berkembang dalam konteks awal penyebaran Islam.

2. Untuk memahami bagaimana multikulturalisme diterapkan pada masa Dinasti Umayyah.

3. Untuk menganalisis perkembangan multikulturalisme dalam masyarakat pada masa Abbasiyah.

4. Untuk mengidentifikasi nilai-nilai multikulturalisme yang terkandung dalam ajaran Islam.

5. Untuk memberikan contoh nyata penerapan multikulturalisme di Indonesia dan negara-negara Islam lainnya.

v

(6)

BAB II PEMBAHASAN A. Multikulturalisme pada Awal Islam

Terdapat berbagai pandangan ahli yang menggambarkan kondisi keyakinan yang dianut penduduk Arab pada masa sebelum kedatangan Islam. Seperti yang dikutip oleh Abdul Aziz, apapun pendapat para ahli, pada masa menjelang kedatangan Islam (masa jahiliyah), bahwa orang Arab digambarkan menganut beraneka agama dan kepercayaan. Di antara mereka ada yang mengimani Allah dan ke-Esa-an-Nya. Ada pula yang beriman kepada Allah sekaligus menyembah berhala dengan keyakinan bahwa berhalaberhala itu mendekatkan mereka kepada Allah. Tetapi ada juga yang semata-mata menyembah berhala dan menganggapnya sebagai pemberi manfaat serta rejeki dalam kehidupan. Di antara mereka ada yang memeluk agama Yahudi, Nasrani dan Majusi. Sebagian mereka tidak menentukan sikap, dan karena itu tidak mengimani apapun. Sebagian lagi meyakini hukum Tuhan hanya berlaku dalam kehidupan dunia dan tidak ada kehidupan setelah mati. Sementara itu sebagian mereka juga beriman kepada roh-roh dan menyembah benda langit (Abdurahman 2016:40).

Masyarakat Arab pra Islam dikenal dengan kehidupan sosialnya dalam sistem q abilah. Ciri masyarakat kekabilahan tersebut, terutama dapat ditemukan pada masyarakat Arab di Mekah dan Madinah, dua kota yang memiliki kaitan historis sangat kuat dengan kelahiran Islam. Meskipun pada perkembangannya terjadi perubahan struktur sosial secara perlahan yang diakibatkan pengaruh faktor internal maupun eksternal, hal mana qabilah tetap merupakan unit politik utama di kedua kota itu.

Hingga menjelang kedatangan Islam, tidak ditemukan kesatuan unit politik atau kelompok sosial antar qabilah yang bersifat terpusat di tingkat kota, baik di Mekkah maupun Madinah. Melalui qabilah itu, Nabi Muhammad juga memanfaatkannya sebagai sarana dakwah. Penyebaran ajaran Islam yang awalnya sembunyi-sembunyi dilakukan kepada keluarga dan kerabat terdekat. Nabi Muhammad saw. adalah anggota Bani Hasyim, suatu qabilah yang kurang berkuasa dalam Suku Quraisy, yang memegang jabatan siqayah. Muhammad lahir dari keluarga terhormat yang relatif miskin. Ayahnya bernama Abdullah anak Abdul Muthalib, seorang kepala suku Quraisy yang besar pengaruhnya. Ibunya adalah Aminah binti Wahab dari Bani Zuhrah.

Tahun kelahiran Muhammad dikenal dengan nama tahun Gajah (570 M).

(7)

Dakwah Nabi Muhammad saw. pada awal kerasulannya memperoleh sambutan luas dari masyarakat lapisan bawah, terutama para budak. Hal ini mudah dipahami mengingat kondisi sosial mereka memamg sangat membutuhkan pembebasan.

Sebaliknya, sambutan dari masyarakat lapisan atas sangat sedikit, khususnya hanya datang dari istri Nabi, keluarga dan kerabat dekat saja. Tatkala Nabi Muhammad saw.

berdakwah secara terbuka, yakni tiga tahun setelah kerasulannya, tidak banyak pemuka Quraisy yang bersedia menyambutnya. Bahkan, pemimpin Quraisy mulai berusaha menghalangi dakwah Rasulullah. Semakin bertambahnya jumlah pengikut Nabi semakin keras tantangan dilancarkan kaum Quraisy.

Bagaimanapun, keselamatan Nabi Muhammad dan tugas awal kerasulan selama di Mekah sungguh tertolong oleh tradisi al’ashabiyyah al-qabaliyyah, yang berperan penting dalam menarik keluarga Bani Hasyim dan Bani Al-Muthalib untuk menjamin keselamatannya. Selama perlindungan kepadanya diberikan oleh anggota terkemuka Quraisy seperti Abu Thalib atau Khadijah, selama itu pula Muhammad aman dari upaya kekerasan fisik bukan hanya dari qabilah selain Quraisy, tetapi juga dari kalangan Quraisy sendiri. Di bawah naungan tradisi kekabilahan, hanya anggota sukunya sendiri yang berani menentang dengan cara-cara yang dapat diterima di dalam qabilah bersangkutan, dalam hal ini Quraisy, sementara qabilah lain tidak mungkin melakukan hal itu karena akan menimbulkan aksi balas dendam kekabilahan.

Kekejaman yang dilakukan oleh penduduk Mekah terhadap komunitas muslim pada saat itu, mendorong Nabi Muhammad saw. untuk mengungsikan sahabatsahabatnya ke luar Mekah. Permusuhan yang kian hebat antar qabilah menyebabkan kaum muslimin meninggalkan Mekah demi menyelamatkan diri. Bagi mereka yang tidak mempunyai qabilah pelindung, seperti para budak, mereka berhijrah ke tempat lain adalah jalan terbaik. Sejarah mencatat sebagian besar muslimin yang hijrah pertama kali ke Habsyi (Ethiopia) terdiri dari warga Mekah kelas bawah. Tetapi, hijrah yang fenomenal ke Yatsrib sekitar tahun 622 M. bukan hanya memberikan tempat aman bagi muslimin Mekah, tetapi juga menyatukan kekuatan elemen Quraisy dengan kekuatan elemen Arab terkemuka di kota itu yang selalu terlibat permusuhan, yaitu al-Aus dan alKhazraj (Abdurahman 2016:41–42).

Selain sebagai kota suci yang ditunjuk Allah SWT, keistimewaan Madinah bukan terjadi begitu saja, akan tetapi melalui proses transformasi sosial yang tidak sederhana. Setelah mengganti nama Yastrib dengan Madinah, Nabi kemudian melakukan pemetaan dan sensus penduduk. Barangkali ini merupakan sensus penduduk

vii

(8)

pertama di dunia. Dalam sensus tersebut ditemukan kenyataan bahwa Madinah adalah sebuah kota yang multikultural. Heterogenitas masyarakat kota Madinah dapat dilihat dari hasil cacah penduduk yang dilakukan atas perintah Nabi, yaitu dari 10.000 jiwa penduduk Madinah kala itu kaum muslim adalah minoritas yakni 1500 orang (15%).

Mayoritas adalah orang musyrik Arab 4.500 orang (45%) dan orang Yahudi 4.000 orang (40%).

Tingkat heterogenitas ini lebih tinggi lagi manakala dipaparkan bahwa masingmasing kelompok Muslim, Musyrik Arab, dan Yahudi itu di dalamnya terdiri dari berbagai qabilah atau sub-kelompok. Kaum muslim sendiri terdiri dari dua kelompok besar Muhajirin (migran) dan Anshor (non-migran), yang masing-masing terdiri dari berbagai qabilah yang punya tradisi bermusuhan karena kuatnya akar sukuisme dalam masyarakat Arab. Meski begitu, uniknya kehidupan di Madinah dapat berlangsung dengan damai. Tidak mengherankan jika Madinah telah menjadi kota yang maju pada masa itu (Abdurahman 2014:66).

Nabi Muhammad saw. adalah tokoh yang patut dijadikan teladan dalam hal membumikan multikulturalisme. Ketika Nabi saw. hijrah ke Madinah, beliau mulai memimpin berbagai komunitas yang berbeda latar belakang agama, suku, politik yang disatukan dalam satu bingkai kepemimpinan agama sebagai payung hukum utama di atas tata sosial berdasarkan qabilah tertentu. Muhammad saw. adalah orang yang berhasil menjadi pemimpin seluruh komponen masyarakat. Di Madinah, berbagai budaya, agama dan aliran politik bisa disatukan sehingga kehidupan Madinah pada waktu itu dapat berlangsung damai. Muhammad saw. memimpin komunitas besar Yahudi yang banyak menguasai aspek ekonomi, politik dan kultur Madinah.

Nabi Muhammad saw. mampu menciptakan kedamaian di kalangan masyarakat multikultural dikarenakan beliau berhasil meletakkan dasar hubungan persahabatan yang baik dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Agar stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka. Ikatan perjanjian itu dituangkan dalam sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas. Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan. Kemerdekaan agama dijamin, dan seluruh anggota masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri dari serangan luar. Dalam perjanjian itu jelas disebutkan bahwa Nabi Muhammad menjadi kepala pemerintahan karena sejauh menyangkut peraturan dan tata tertib umum, otoritas mutlak diberikan kepada beliau. Dalam bidang sosial, beliau

(9)

juga meletakkan dasar persamaan antar sesama (Fridiyanto, Faisal Riza, and Firmansyah 2022:40).

Dengan menempatkan semua manusia pada derajat yang sama, Islam hendak memberikan ruang dan kesempatan yang sama pada semua manusia. Semua manusia berhak eksis dengan keragaman budaya, adat, dan keyakinan masing-masing. Nuansa demokratis dalam berkehidupan, berbangsa, dan bernegara menjadi ajaran yang sangat inheren dengan Islam. Nabi Muhammad saw. bersama para sahabatnya telah membangun Negara Madinah yang demokratis. Dalam pasal-pasal Piagam Madinah, misalnya, ditemukan spirit-spirit demokrasi yang mengental.

Refleksi multikultural yang terkandung dalam Piagam Madinah mengalami gejolak yang beragam. Kejelasan akan hak dan kewajiban muslim dan non-muslim mulai diporsikan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya dalam dakwah Islam.

Pada masa peperangan, tujuan dari gerakan milisi bukan hanya memerangi kaum Quraisy Mekah yang menentang Islam, namun juga sebagai bentuk perluasan kekuasan Islam baik secara geografis maupun perluasan area dakwah. Maka dari itu, bukan hanya penduduk Mekah, namun semua kabilah Arab (non-muslim) terlibat permusuhan dengan Madinah baik langsung ataupun karena terikat dalam perjanjian (Abdurahman 2016:44).

B. Multikulturalisme pada Masa Umayyah

Sebagai dinasti pertama dalam Islam, Daulah Umayyah memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan fondasi-fondasi kekuasaan Islam, khususnya dalam konteks pembangunan kebudayaan Islam. Telah umum diketahui bahwa Daulah Umayyah, khususnya yang berpusat di Damaskus terkenal dengan kebijakan Arabisasi.

Namun, sebagaimana dijelaskan Gerald Hawting, arus “Arabisasi” tidak lebih dari sekedar konstruksi dan ekspansi kebudayaan yang ditandai dengan penggunaan bahasa Arab di seluruh wilayah kekuasaan Islam Daulah Umayyah saat itu. Meskipun seringkali diasosiasikan dengan arus Islamisasi, tetapi Arabisasi, lanjut Hawting, berbeda dengan Islamisasi. Perbedaan ini ditunjukan oleh fakta bahwa beberapa komunitas, seperti golongan Yahudi dan Kristen tetap menjadi bagian penting dari kota Damaskus sejak dikuasai Daulah Umayyah. Baik golongan Yahudi maupun Kristen tetap mempertahankan tradisi keagamaan mereka meskipun mereka telah meninggalkan bahasa sehari-hari yang mereka gunakan sebelum kedatangan Islam, dan menggantinya dengan bahasa Arab (Busthomi and Rudy Catur Rohman Kusmayadi 2024:79).

ix

(10)

Meskipun terkenal dengan kebijakan politik Arabisasi, heterogenitas sosial dan kultural telah terwujud di bawah kekuasaan Daulah Umayyah. Muslim-Arab mulai melakukan kontak budaya dengan berbagai peradaban dunia yang lebih tua, misalnya Persia dan Mesir, bahkan Eropa di semenanjung Iberia. Kondisi ini mendorong adanya saling-pinjam dan saling pengaruh-mempengaruhi antar entitas budaya. Proses akulturasi tentu tidak terlepas dari peran para khalifah Daulah Umayyah yang juga mendorong terjadinya akulturasi budaya tersebut. Aspek-aspek budaya yang paling menonjol dalam merepresentasikan bentuk-bentuk kreatif sebagai hasil dari silangbudaya di antaranya dalam aspek ilmu pengetahuan dan seni bangunan- arsitektural.

Fakta multikulturalisme pada masa ini juga dapat dilihat dari struktur sosial.

Masyarakat di Damaskus terdiri dari empat komponen utama, yaitu bangsa Muslim Arab, bangsa-bangsa Muslim non-Arab, bangsa-bangsa non-Arab, dan budak. Bangsa Muslim-Arab menempati kelas tertinggi dalam stratifikasi sosial di Damaskus, mereka adalah para elit penguasa Daulah Umayyah, baik dari keluarga kerajaan maupun kelompok aristokrat Arab. Pengeluaran negara untuk membiayai golongan teratas ini cukup tinggi. Ketika Khalifah al Walid I berkuasa, anggaran pemerintah untuk subsidi golongan atas yang berada di Damaskus mencapai 45.000. Sedangkan ketika Marwan I menjadi khalifah, kota Hims beserta distriknya menganggarkan dana sebesar 20.000 untuk biaya pensiun pada pejabat kekhalifahan. Meskipun menempati strata tertinggi dalam pelapisan sosial di kota Damaskus, bukan berarti golongan Muslim-Arab adalah golongan mayoritas. Philip K. Hitti mencatat bahwa meskipun Damaskus, sebagai ibu kota kekhalifahan Daulah Umayyah Timur-- telah bertransformasi menjadi sebuah kota dengan ciri khas Islam, secara umum penduduk Damaskus, bahkan hingga ke kota-kota kecil, pedesaan, dan daerah pegunungan, adalah penganut agama Kristen.

Dalam catatan sejarah, konflik antar agama dalam kehidupan sosial di Damaskus relatif tidak ditemukan. Konflik sosial yang ada hanya terjadi di antara beberapa suku. Dua suku yang seringkali terlibat dalam konflik adalah suku Himyariyah dan Mudariyah. Kerukunan antar umat beragama ini didorong oleh kebijakan pemerintah Daulah Umayyah yang memiliki perhatian berimbang dan adil terhadap penganut agama lainnya. Para khalifah Daulah Umayyah memberikan perlindungan secara proporsional terhadap tempat-tempat suci agama-agama di Damaskus, seperti gereja, katedral, sinagoge, dan tempat suci lainnya. Pihak penguasa Daulah Umayyah bahkan pernah mengambil kebijakan perbaikan bangunan gereja

(11)

Kristen di wilayah Edessa yang rusak karena bencana gempa bumi. Biaya rehabilitasi bangunan itu diambil dari dana yang dihimpun dari umat Islam.

Terkait dengan eksistensi perempuan pada masa Daulah Umayyah di Damaskus, hal tersebut memiliki relevansi tersendiri dengan nilai-nilai kesejajaran dalam konsep multikulturalisme. Secara umum, perempuan di Damaskus memang ditempatkan secara terpisah dengan laki-laki di ruang publik. Namun hal tersebut tidak berarti mendorong terjadinya diskriminasi dan penindasan. Bahkan perempuanperempuan di Damaskus memiliki kesempatan dan akses yang sama dengan laki-laki, khususnya dalam pengembangan keilmuan dan pendidikan. Pihak Daulah Umayyah memberikan kebebasan kepada perempuan untuk mengembangkan minat dan hasrat mereka yang tinggi terhadap aktifitas di bidang pendidikan. Sejarah mencatat bahwa ada beberapa ilmuan populer dari kalangan perempuan di Damaskus pada masa Daulah Umayyah, seperti Putri Husain dan Sakhina. Hal ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah Daulah Umayyah yang cenderung egaliter dan tidak diskriminatif, khususnya terkait dengan keberadaan dan peran perempuan di sektor publik (Fridiyanto et al. 2022:55).

Demikian pula dengan struktur masyarakat pada masa Umayyah di Andalusia.

Komposisi penduduk Andalusia saat Daulah Umayyah berkuasa sangat beragam.

Kelompok penduduk muslim utama yang berdiam diri di Andalusia adalah komunitas Muslim-Arab dan suku Berber. Keduanya merupakan aktor penting dalam proses pembebasan Andalusia untuk menjadi pusat kekuasaan Daulah Umayyah di Barat.

Kelompok penduduk lainnya adalah komunitas Kristen sebagai penduduk asli Andalusia. Sebagian anggota komunitas ini ada yang kemudian memeluk Islam setelah pembebasan Andalusia dari penindasan bangsa Ghotia Barat. Komunitas Muslim-Arab yang menetap di Andalusia pasca pembebasan berasal dari wilayah selatan Arab (Suku Yamani) dan wilayah utara Arab (Suku Mudhari). Mayoritas Suku Mudhari mendiami kota Toledo, Saragosa, Sevilla, Valencia, dan lain-lain. Sementara itu, Suku Yamani kebanyakan menetap di Granada, Cordoba, Sevilla, Murcia, dan Badajoz (Fridiyanto et al. 2022:88).

Baik komunitas Muslim-Arab, Kristen, maupun Yahudi memerankan peranan penting dalam perkembangan kebudayaan di kota Cordoba. Kolaborasi budaya antara Islam, Kristen, dan Yahudi merupakan salah satu identitas kebudayaan di Andalusia, khususnya kota Cordoba pada masa Daulah Umayyah. Khalifah Abdurrahman I bahkan menggunakan sebagian gereja Santo Vinsensius sebagai tempat ibadah umat Islam,

xi

(12)

sedangkan bagian gereja lainnya dipergunakan oleh komunitas Kristen. Hal tersebut merupakan simbol kerukunan antar-umat beragama di Andalusia. Komunitas Kristen tetap diperbolehkan menggunakan gereja-gereja mereka dan para pemuka agama Kristen tetap diizinkan untuk menggunakan pakaian keagamaan mereka.

Pemerintahan Daulah Umayyah di Andalusia juga mengeluarkan kebijakan yang mendorong terjadinya proses imitasi dan akulturasi budaya antara entitas sosial yang ada di Andalusia. Daulah Umayyah terkenal dengan kebijakan-kebijakannya yang sangat menghormati pemeluk agama non-Islam, khususnya Kristen dan Yahudi. Baik komunitas Kristen, Yahudi, maupun Muslim-Arab dapat berinteraksi secara bebas dan setara dalam aturan sosial yang berlaku. Khusus terhadap komunitas Kristen dan Yahudi, pemerintah Daulah Umayyah bahkan menempatkan keduanya ke dalam jabatan pejabat sipil maupun militer. Terhadap komunitas Kristen, pemerintah Umayyah memilihkan seorang pemimpin komunitas (Count) yang berasal dari anggota komunitas mereka sendiri. Komunitas Kristen juga memiliki perwakilan untuk menyampaikan aspirasi mereka di istana kekhalifahan Daulah Umayyah, sedemikian pula pihak Daulah Umayyah juga menunjuk orang tertentu sebagai pemungut pajak terhadap komunitas Kristen (Abdurahman 2016:45).

C. Multikulturalisme pada Masa Abbasiyah

Sebelum kekuasaan Bani Abbasiyah, Irak dan khususnya Baghdad sudah memiliki tradisi yang kuat dan mapan. Dua peradaban besar sebelum Islam, yaitu Romawi Timur (Bizantium) dan Persia, telah berkembang di wilayah ini. Tradisi pra- Islam di Irak meliputi berbagai aspek, seperti struktur keluarga patriarkis, masyarakat agraris, pendatang, ekonomi pasar, serta pengaruh agama monoteistik. Selain itu, wilayah bekas kekuasaan Romawi Timur juga menjadi tempat berkembangnya aliran- aliran Kristen seperti Ortodoks, Monofisit di Abesinia dan Gassania, serta Nestorian di Suriah dan Irak. Situasi multikultural ini menggambarkan keragaman agama, ideologi, kebudayaan, dan tradisi sosial yang dihadapi oleh Islam pada masa Dinasti Abbasiyah(

Hasanah and Verawati 2022:201).

Agama Buddha juga masuk ke Persia, bahkan keluarga Bani Abbasiyah menjalin hubungan erat dengan keluarga Barmaki, yang dulunya beragama Buddha dan kemudian memeluk Islam. Keluarga ini berperan penting dalam pemerintahan Abbasiyah sebagai gubernur dan menteri keuangan, serta mendidik Khalifah Harun al- Rasyid. Namun, karena pertimbangan politik, keluarga ini akhirnya dimusnahkan oleh salah satu khalifah Abbasiyah.

(13)

Menurut orientalis Ignasz Goldziher, tradisi Arab dan non-Arab saling melengkapi, menciptakan formula budaya baru. Perkembangan pemikiran Islam dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Yunani, hukum Romawi, dan politik Persia, sementara tasawuf Islam diperkaya oleh pemikiran Neoplatonisme dan Hindu.

Perdagangan pada masa Abbasiyah juga menunjukkan hubungan multikultural yang kuat, dengan pelabuhan-pelabuhan seperti Baghdad, Basrah, dan Kairo menjadi pusat perdagangan global. Pedagang Muslim menjelajahi wilayah seperti Cina, Maroko, dan Spanyol, membawa barang-barang seperti kurma, gula, kain wol, dan barang dari baja serta gelas. Pada masa ini, etika multikultural diterapkan dalam perdagangan, yang menggabungkan nilai-nilai Islam dengan etika agama-agama lain yang berkembang di Persia.

Meskipun Bani Abbasiyah menerapkan hukum Islam, mereka tetap memberi kebebasan kepada masyarakat lokal untuk mempraktikkan budaya dan nilai-nilai mereka. Kelompok dzimmy, seperti orang Kristen dan Yahudi, mempertahankan bahasa dan budaya asli mereka, seperti bahasa Aram di Suriah dan Irak, bahasa Iran di Persia, serta bahasa Koptik di Mesir. Bahasa Arab baru menjadi dominan pada akhir masa pemerintahan Abbasiyah, meskipun tidak pernah sepenuhnya menggantikan bahasa lokal seperti Persia atau Suriah. Abbasiyah juga mengadopsi konsep politik dan budaya Persia, terutama tradisi raja-raja Sasan, yang menyatukan agama dan negara dalam satu kesatuan (Abdurahman 2016:48).

D. Multikulturalisme dalam Islam

Multikulturalisme menurut Islam adalah sebuah aturan Tuhan (sunnatullah) yang tidak berubah, juga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Islam sangat menghargai multikulturalisme karena Islam adalah agama yang mengakui perbedaan setiap individu untuk hidup bersama dan saling menghormati satu dengan yang lainnya.

Mundzier menyebutkan Islam adalah agama universal yang menjunjung tinggi nilai- nilai kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui adanya keragaman latar belakang budaya dan kemajemukan. Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang berisi pesan-pesan yang seharusnya menjadi pedoman bagi umat manusia terhadap upaya menjaga kerukunan dan kedamaian dalam kehidupan yang multikultural (Suparman 2017:186).

Pertama, Al-Qur’an menyebutkan manusia diciptakan dari diri yang satu, dalam Surat Al Hujurat ayat 13, yang artinya sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan manusia dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian dijadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar manusia saling kenal mengenal.

xiii

(14)

Sesungguhnya yang paling mulia diantara manusia disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sesuai Surat Al Baqarah ayat 213 yang artinya manusia itu adalah umat yang satu, setelah perselisihan, maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keteranganketerangan yang nyata karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah SWT memberikan petunjuk orang-orang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya dan Allah SWT selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.

Kedua, Hadis Nabi Muhammad Rasulullah SAW tentang multicultural. Seperti semua hamba Allah SWT adalah bersaudara, yang artinya Diriwayatkan olaeh Abu Hurairah RA dari Nabi Muhammad SAW bersabda: Takutlah kalian terhadap persangkaan buruk, sesungguhnya prasangka buruk adalah seburuk-buruknya pemberitaan dan janganlah kalian mencari aib orang lain, mendengki, membenci dan saling bermusuhan. Jadilah hamba Allah yang saling bersaudara.

Toleransi dalam Islam dapat dilihat pada masa awal Islam, para penguasa Muslim dalam waktu relatif singkat telah menaklukkan beberapa wilayah sekitarnya seperti; Mesir, Siria dan Persia. Ketika para penguasa Muslim menaklukkan daerah tersebut, di daerah tersebut telah ada dan berkembang beberapa pusat ilmu pengetahuan. Setelah daerah tersebut dikuasai Islam, kegiatan keilmuan masih berjalan dengan baik tanpa ada campur tangan dari penguasa Muslim. Di samping itu, komunitas non-Muslim seperti Kristen, Yahudi, dan bahkan Zoroaster dapat hidup dan menjalankan ibadah mereka masing-masing dengan relatif bebas di bawah kekuasaan para penguasa Muslim. Khususnya sejarah Indonesia menunjukkan bahwa Islam masuk melalui budaya seperti para sunan yang memasukkan nilai-nilai Islam dengan tatacara menyelaraskannya dengan budaya penduduk setempat, contoh wayang merupakan tatacara sunan mengganti kebiasaan penduduk Jawa dalam membuat patung sebagai pengaruh dari Hindu-Budha (Yusuf 2018:99–100).

Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud mengajarkan manusia untuk menciptakan perdamaian dan rasa aman bagi kehidupan seluruh umat manusia tanpa membedakan suku, ras, agama, dan antar golongan, yang artinya Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, barang siapa yang menyakiti seorang kafir dzimmi, maka

(15)

aku kelak yang akan menjadi musuhnya dan siapa yang menjadikanku sebagai musuhnya, maka aku akan menuntutnya pada hari kiamat.

Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis tersebut, maka dapat dipahami bahwa multikulturalisme pada dasarnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Islam memandang multikulturalisme pada dasarnya sebagai bentuk toleransi yang tinggi terhadap perbedaan yang ada selama tidak melanggar batasbatas syariat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Tetapi yang bisa kita lihat dalam lingkungan masyarakat yang masih memegang kental tradisi adat istiadat. Keanekaragaman yang ada bukan sebuah permasalahan namun justru menjadi suatu kekayaan yang bisa saling melengkapi dalam membangun peradaban masyarakat (Suparman 2017:190).

E. Contoh Multikulturalisme di Indonesia dan Dunia Islam

Indonesia merupakan negara multikulturalisme terbesar di dunia, karena kondisi kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Contoh multikulturalisme di Indonesia sebagai berikut. (1) Masyarakat Bali yang sangat menerima perbedaan kebudayaan serta keberagaman lainnya yang sangat berbeda dari kebudayaan yang mereka miliki; (2) Toleransi kehidupan beragam didalam masyarakat yang dapat mempererat hubungan dan kesatuan dalam bernegara; (3) Saling berbaur antara satu dengan yang lain tanpa memperhatikan latarbelakang orang-orang yang memiliki satu visi dan misi dengan kita; (4) Tidak saling menyinggung kepercayaan yang dianut oleh masyarakat lainnya; dan (5) Orang yang berasal suku Jawa, Bali dan Madura yang berbeda dalam satu organisasi yang sama. Mereka tidak mempermasalahkan latar belakang suku yang dimiliki karena memiliki tujuan bersama untuk dicapai dalam organisasi tersebut (Saihu 2019:170).

Proses multukulturalisme di Indonesia tak hanya berlangsung dengan damai dan harmonis, akan tetapi terdapat beberapa kasus multikulturalisme mengakibatkan perpecahan dan konflik, seperti: (1) Pembakaran Pasar Glodok, yaitu peristiwa Mei Kelabu yang terjadi di Jakarta; (2) Peristiwa Ambon-Maluku, merupakan konflik antara Suku Bugis-Buton-MakasarAmbon, Islam berkonflik dengan Umat Kristen disana; (3) Peristiwa Sambas & Palangkaraya merupakan permasalahan yang terjadi antara suku Melayu, Dayak, serta Tionghoa yang melawan suku Madura; (4) Peristiwa Poso, merupakan permasalah terjadi antara umat Islam dan Kristen yang ada di Poso dengan adanya unsur-unsur pemicu dari luar; (5) Peristiwa Aceh, merupakan permasalahan yang terjadi antara orang-orang Aceh dengan transmigrasi dari Jawa. Peristiwa Gerakan

xv

(16)

Aceh Merdeka (GAM); (6) Penghancuran bangunan masjid-masjid milik Ahmadiyah yang ada di Parung, Bogor dikarenakan adanya perbedaan perbedaa yang terjadi.

Sepanjang sejarah peradaban manusia, agama dan keyakinan sebetulnya telah banyak memberikan sumbangsih besar bagi terciptanya perdamaian di muka bumi.

Akan tetapi, karena pengetahuan dan kedewasaan masyarakat yang kurang mengenal toleransi, persoalan agama justru kerap menjadi pemicu lahirnya konflik horizontal.

1. Konflik Ambon (Islam vs Nasrani). Contoh konflik antar agama yang pertama adalah konflik atau kerusuhan yang terjadi di Kota Ambon, Maluku pada 19 Januari 1999. Konflik ini dipicu permasalahan sederhana, yakni tindak penolakan yang dilakukan orang Muslim terhadap seorang warga nasrani. Konflik semakin membesar setelah ada banyak isu yang berembus dan membakar amarah kedua belah pihak, yakni orang Muslim dan orang Nasrani. Dari laporan yang ada, konflik Ambon disebut menyebabkan tewasnya 12 orang dan ratusan orang terluka. Konflik ini kemudian mereda setelah upaya rekonsiliasi dilakukan oleh pemerintah daerah setempat.

2. Kerusuhan Poso (Islam vs Nasrani). Kerusuhan Poso yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah juga merupakan contoh konflik antar agama yang memberikan dampak cukup serius. Konflik yang berlangsung antara umat Islam dan Nasrani ini bahkan berlarut-larut dan terbagi menjadi 3 bagian karena kurangnya penanganan. Ketiga babak kerusuhan poso tersebut yaitu Poso I terjadi antara 25 s/d 29 Desember 1998, Poso II terjadi antara 17 hingga 21 April 2000, sementara Poso III terjadi antara 16 Mei hingga 15 Juni 2000. Tidak diketahui seberapa besar jumlah korban dan kerugian yang diderita karena konflik ini. Yang jelas setelah penandatanganan Deklarasi Malino pada 20 Desember 2001, antar kedua pihak yang bertikai, kondisi Poso berangsur membaik. Deklarasi Malino sendiri diinisiasi oleh Jusuf Kalla.

3. Konflik Palestina dan Israel (Islam vs Yahudi) Contoh konflik antar agama bukan hanya terjadi di Indonesia. Di belahan dunia lain, konflik semacam ini juga kerap terjadi dan bahkan berlarut-larut hingga saat ini. Misalnya konflik yang terjadi antara warga Muslim, Palestina dan warga Yahudi, Israel dalam perebutan wilayah suci Yerussalem.

4. Konflik Islam dan Hindu di New Delhi India. Konflik ini berawal dari pengesahan Amandemen Undang-undang Kewarganegaraan India (CAB) pada Desember 2019, menjadi polemik dan memicu kerusuhan antara pemeluk Hindu dan Islam di New Delhi, India (Mubit 2016:165).

(17)

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

Multikulturalisme telah menjadi bagian integral dari sejarah Islam sejak masa awal hingga pemerintahan berbagai dinasti Islam. Pada masa Nabi Muhammad SAW, konsep multikulturalisme tercermin dalam kehidupan masyarakat Madinah yang terdiri dari berbagai agama, suku, dan budaya. Nabi berhasil membangun tatanan sosial yang damai dan inklusif melalui Piagam Madinah yang menjamin hak-hak dan kebebasan beragama bagi semua golongan. Pada masa Dinasti Umayyah, meskipun kebijakan Arabisasi diterapkan, interaksi antarbudaya antara Muslim-Arab dan komunitas non- Muslim seperti Yahudi dan Kristen tetap berlangsung dengan harmonis. Ini terlihat dari kehidupan sosial yang multikultural di kota-kota besar seperti Damaskus dan Cordoba, di mana umat beragama dan etnis yang berbeda hidup berdampingan. Dinasti Abbasiyah, terutama dengan pusat kekuasaannya di Baghdad, melanjutkan tradisi multikultural ini.

Dalam sejarah Islam, multikulturalisme sudah diterapkan sejak zaman Nabi Muhammad di Madinah, di mana berbagai kelompok agama dan etnis hidup bersama dalam perdamaian. Penerapan multikulturalisme ini juga berlanjut dalam sejarah perkembangan wilayah Islam, seperti di Mesir, Siria, Persia, serta dalam proses penyebaran Islam di Indonesia melalui pendekatan budaya. Contoh multikulturalisme di Indonesia terlihat dalam masyarakat yang menghargai perbedaan budaya, agama, dan suku. Namun, ada juga contoh kasus konflik akibat ketidaktoleranan, seperti kerusuhan di Ambon, Poso, serta konflik antaragama di belahan dunia lain, seperti Palestina-Israel dan Islam-Hindu di India.

B. Saran

Sajian makalah ini tentunya penulis temukan dari beberapa sumber maupun rujukan yang masih bisa dijadikan pedoman bagi pendidik yang sedang berada di fase menjadi calon-calon pendidik. Kemudian, bermanfaat juga untuk dibaca oleh mahasiswa, khusus nya mahasiswa tarbiyah yang akan menjadi calon-calon pendidik di kemudian hari. Terakhir, kurang dan lebihnya kami sebagai penulis meminta maaf jika terdapat kekeliruan selama proses penyajian makalah ini.

xvii

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, Dudung. 2014. Komunitas-Multikultural Dalam Sejarah Islam Periode Klasik.

Yogyakarta: Ombak.

Abdurahman, Dudung. 2016. “Fenomena Mutlikulturalisme dalam Sejarah Islam Klasik.”

Thaqafiyyat 17(1).

Busthomi, Yazidul and Rudy Catur Rohman Kusmayadi. 2024. “Multikulturalisme Pada Masa Ummayah Dalam Sejarah Peradaban Islam.” Ta’wiluna: Jurnal Ilmu Al-Qur’an, Tafsir Dan Pemikiran Islam 5(1):79–96. doi: 10.58401/takwiluna.v5i1.1334.

Fridiyanto, Faisal Riza, and Firmansyah. 2022. Mengelola Multikulturalisme Agama, Politik, Pendidikan, Sosial Dan Budaya. 1st ed. Malang: CV. Literasi Nusantara Abadi.

Hasanah, Uswatun, and Heni Verawati. 2022. “Pendidikan Islam Multikultural : Analisis Historis Masa Dinasti Abbasiyah.” ASANKA : Journal of Social Science and Education 3(2). doi: 10.21154/asanka.v3i2.4847.

Mubit, Rizal. 2016. “Peran Agama dalam Multikulturalisme Masyarakat Indonesia.” Epistemé:

Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman 11(1):163–84. doi:

10.21274/epis.2016.11.1.163-184.

Saihu, Saihu. 2019. “Pendidikan Islam Multikulturalisme.” Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam 1(2):170–87. doi: 10.36670/alamin.v1i2.8.

Suparman, Heru. 2017. “Multikultural dalam Perspektif Alquran.” AL QUDS : Jurnal Studi Alquran dan Hadis 1(2):185. doi: 10.29240/alquds.v1i2.250.

Yusuf, Achmad. 2018. “Multikulturalisme dalam Perspektif Islam.” Edupedia 2(2):97–107.

doi: 10.35316/edupedia.v2i2.335.

Referensi

Dokumen terkait