Makalah Studi Biografi Nabi Muhammad Saw
“Kondisi perkawinan sampai masa kerasulan nabi Muhammad Saw”
Dosen pengampu: Dra. Arfah Ibrahim, M. A.
Disusun oleh :
Sahibun Khalifa (230501004)
Program Studi Sejarah Dan Kebudayaan islam Fakultas Adab Dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Ar-raniry Darussalam Banda Aceh
2024/2025
Kata pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Kondisi perkawinan sampai masa kerasulan nabi Muhammad Saw”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal. Namun, makalah ini tidak akan selesai tanpa orang-orang tercinta di sekeliling saya yang mendukung dan membantu. Terima kasih saya sampaikan kepada:
1. Pimpinan Fakultas Adab dan Humaniora beserta jajarannya.
2. Dosen pengampu kami.
3. Teman-teman yang sudah membantu kami dalam membuat makalah ini.
Semoga segala kebaikan dan pertolongan semuanya mendapat berkah dari Allah Swt. Dan akhirnya kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, karena keterbatasan ilmu yang saya miliki. Untuk itu kami dengan kerendahan hati mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak demi membangun makalah ini.
Banda Aceh, 6 Februari 2024.
Sahibun Khalifa
Daftar Isi
Cover...
Kata Pengantar...ii
Daftar Isi...iii
Bab I : Pendahuluan...1
A. Latar Belakang...1
B. Rumusan Masalah...2
C. Tujuan Penulisan...2
Bab II : Pembahasan...3
A. Menjalin hubungan suci dengan Khadijah R. A...3
B. Renovasi Ka’bah dan keputusan Nabi Saw...4
C. Peristiwa Gua Hira’...6
Bab III : Penutup...8
A. Kesimpulan...8 Daftar Pustaka...
Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang
Sebelum kedatangan Islam dan masa kerasulan Nabi Muhammad SAW, masyarakat Arab hidup dalam lingkungan yang dipenuhi dengan tradisi suku dan kebiasaan lokal. Perkawinan lebih cenderung menjadi urusan suku dan kelompok, diatur oleh kebiasaan dan norma-norma yang berbeda di setiap wilayah. Praktek- praktek seperti "nikah mut'ah" atau pernikahan sementara, serta poligami yang tidak terbatas, merupakan bagian dari praktik-praktik jahiliyah yang ada pada masa itu. Wanita dalam masyarakat Arab pra-Islam sering kali tidak memiliki hak-hak yang sama dengan pria dalam hal pernikahan, warisan, atau bahkan hak untuk menolak pernikahan yang tidak diinginkan. Namun, dengan munculnya Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah dan penyebar ajaran Islam, terjadi revolusi moral dan sosial yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk perkawinan. Nabi Muhammad SAW tidak hanya membawa wahyu Allah yang mengatur pernikahan dan hubungan keluarga secara tegas, tetapi juga menjadi teladan hidup bagi umatnya dalam segala hal, termasuk dalam menjalani pernikahan yang adil dan penuh kasih sayang.
Dalam ajaran Islam, pernikahan dianggap sebagai salah satu ibadah kepada Allah. Al-Qur'an memberikan panduan yang jelas tentang bagaimana membangun hubungan pernikahan yang sehat dan harmonis, dengan menekankan pentingnya keadilan, kasih sayang, dan kerelaan untuk saling menghormati antara suami dan istri. Islam juga menghapuskan praktik-praktik jahiliyah yang tidak sesuai dengan ajaran agama, seperti nikah mut'ah, serta memberikan perlindungan hak-hak individu dalam pernikahan, terutama hak-hak perempuan. Nabi Muhammad SAW secara konsisten menegaskan perlunya menghormati hak-hak perempuan dalam pernikahan, termasuk hak mereka atas nafkah, keadilan dalam perlakuan, dan hak untuk mendapatkan pendidikan. Beliau juga memberikan contoh dalam kehidupan
pribadinya tentang bagaimana memperlakukan istri-istri beliau dengan penuh kasih sayang dan keadilan.
Dengan demikian, masa kerasulan Nabi Muhammad SAW membawa transformasi mendalam dalam konsep pernikahan dalam masyarakat Arab, menjadikannya sesuai dengan nilai-nilai Islam yang menghormati hak-hak individu, mendorong keadilan, dan mempromosikan kesejahteraan keluarga. Hal ini juga menjadi landasan bagi perkembangan sistem pernikahan dalam masyarakat Muslim yang berkembang setelahnya.
B. Rumusan Masalah
1) Menjalin hubungan suci bersama Khadijah R. A 2) Renovasi Ka’bah dan Pengambilan keputusan 3) Gua Hira’
C. Tujuan Penulisan
1) Menjelaskan pernikahan nabi Muhammad Saw dengan Khadijah 2) Menceritakan proses renovasi ka’bah dan keptusan mengenai Hajar
Aswad
3) Menjelaskan peristiwa yang di alami nabi Saw di Gua Hira’
Bab II Pembahasan
A. Menjalin hubungan suci dengan Khadijah R. A
Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza bin Qushay adalah seorang wanita yang berwatak teguh, tangguh, terhormat, kaya, dan cantik, dari keluarga Qushay yang mulia nasabnya dan luhur derajatnya. Semasa zaman jahiliyyah dia disebut Ath-Thahirah dan Sayyidatu Quraisy. Sebagai seorang janda, banyaklah lelaki yang melamarnya, tetapi dia selalu menolak. Namun sepulang Muhammad saw. dari perjalanan ke Syam, Khadijah menyuruh seseorang supaya datang kepadanya dan menganjurkannya menikah. Konon, Khadijah menyuruh saudara perempuannya, dan ada pula yang mengatakan, dia menyuruh seorang mantan budaknya, Nafisah binti Munyah.
Setelah tiba di Makkah dan menyadari kesuksesan dagangnya yang luar biasa, Khadijah merasa seperti menemukan sesuatu yang sangat diinginkannya, terutama setelah pembantunya, Maisarah, memberikan laporan positif tentang Nabi Muhammad ﷺ. Kejujuran, kecerdasan, dan sifat mulia Nabi membuat Khadijah semakin yakin. Meskipun sudah banyak pemimpin dan pemuka yang berusaha menikahinya sebelumnya, Khadijah menolak mereka. Namun, dia teringat akan seorang sahabatnya, Nafisah binti Munyah, dan meminta bantuannya untuk membuka jalan menuju pernikahan dengan Nabi Muhammad ﷺ.1
Nabi Muhammad ﷺ menerima tawaran tersebut, dan proses pernikahan pun dimulai. Paman-paman Nabi Muhammad ﷺ bertemu dengan paman Khadijah untuk mengajukan lamaran, dan akad nikah dilangsungkan di hadapan anggota suku Bani Hasyim dan Bani Mudhar. Peristiwa ini terjadi dua bulan setelah Nabi Muhammad ﷺ kembali dari perjalanannya ke Syam. Sebagai bagian dari tradisi pernikahan, Nabi Muhammad ﷺ memberikan maskawin berupa dua puluh ekor onta muda kepada Khadijah. Pernikahan ini tidak hanya mengikat hubungan
1 Syafiyyurrahman Al – Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Pustaka Al – Kautsar, 1997), Hlm. 56.
pribadi mereka, tetapi juga memiliki dampak besar dalam sejarah awal Islam, karena Khadijah menjadi salah satu pendukung utama dan penopang awal Islam.
Pada usia empat puluh tahun, Khadijah adalah seorang wanita yang sangat dihormati, cantik, cerdas, dan kaya pada masanya. Sebagai istri pertama Rasulullah, dia tetap menjadi satu-satunya wanita yang dinikahinya hingga kematiannya. Semua anak Khadijah, kecuali Ibrahim yang lahir dari Mariah Al- Qibthiyah, dilahirkan dari rahimnya. Al-Qasim, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, Fathimah, dan Abdullah adalah putra-putri mereka. Abdullah juga dikenal sebagai Ath-Thayyib dan Ath-Thahir. Sayangnya, semua putra mereka meninggal saat masih kecil, sementara semua putri mereka memeluk Islam dan bahkan ikut hijrah. Namun, kecuali Fathimah, mereka semua meninggal sebelum Khadijah wafat. Fathimah meninggal enam bulan setelah kepergian Khadijah untuk bersatu dengan beliau.2
B. Renovasi Ka’bah dan keputusan Nabi Saw mengenai Hajar Aswad Pada usia nabi mencapai 35 tahun, kaum Quraisy bersatu dalam keputusan mereka untuk hendak melakukan renovasi pada Ka'bah. Pada saat itu, Ka'bah terdiri dari susunan batu yang lebih tinggi dari manusia, mencapai 9 hasta, yang telah dibangun sejak zaman Isma'il. Namun, bangunan tersebut tidak memiliki atap, sehingga menjadi sasaran pencuri yang seringkali mengambil barang-barang berharga di dalamnya. Kondisi ini membuat Ka'bah semakin rentan, dengan dindingnya yang mulai retak. Lima tahun sebelum kenabian, Makkah dilanda banjir besar yang mengancam Baitul-Haram, menghadirkan ancaman runtuh bagi Ka'bah. Di tengah kebimbangan, kaum Quraisy menghadapi pertanyaan apakah mereka harus merenovasi Ka'bah atau membiarkannya tetap seperti adanya.3 Akhirnya, mereka sepakat untuk hanya menggunakan bahan-bahan bangunan berkualitas dalam renovasi, menolak menerima upah dari aktivitas yang dianggap tidak bermoral seperti prostitusi, sistem perdagangan riba, atau penjarahan harta orang lain. Meskipun demikian, mereka tetap merasa takut untuk mengganggu
2 Ibid.
3 Ibid.
bangunan tersebut secara signifikan. Akhirnya Al-Walid bin Al-Mughirah Al- Makhzumi mengawali perobohan bangunan Ka'bah, lalu diikuti semua orang, setelah tahu tidak ada sesuatu pun yang menimpa Al-Walid. Mereka terus bekerja merobohkan setiap bangunan Ka'bah hingga sampai Rukun Ibrahim. Setelah itu mereka siap membangunnya kembali.
Mereka membagi sudut-sudut Ka'bah dan mengkhususkan setiap kabilah dengan bagiannya sendiri-sendiri. Setiap kabilah mengumpulkan batu-batu yang bagus dan mulai membangun. Yang bertugas menangani urusan pembangunan Ka'bah ini adalah seorang arsitek berkebangsaan Romawi yang bernama Baqum.4
Ketika pembangunan mencapai bagian Hajar Aswad, terjadi perselisihan tentang siapa yang berhak meletakkan kembali Hajar Aswad itu di tempatnya semula. Perselisihan ini berlangsung selama empat atau lima hari tanpa penyelesaian yang jelas, bahkan semakin memburuk dan hampir berujung pada pertumpahan darah di tanah suci. Abu Umayyah bin Al-Mughirah Al-Makhzumi mengusulkan solusi untuk mengakhiri perselisihan tersebut dengan menyerahkan keputusan kepada siapa pun yang pertama kali masuk lewat pintu masjid. Usulan ini diterima oleh semua pihak. Kehendak Allah menetapkan bahwa orang yang berhak adalah Rasulullah. Ketika hal ini diketahui, mereka berbisik-bisik, "Dia adalah Al-Amin. Kami ridha dengan pilihan ini. Dia adalah Muhammad Ibn Abdillah".5
Setelah berkumpul di sekelilingnya dan memberitahunya tentang situasi, Nabi Muhammad ﷺ meminta sehelai selendang dan meletakkan Hajar Aswad di tengah-tengahnya. Kemudian, ia meminta pemimpin-pemimpin suku yang berselisih untuk memegang ujung-ujung selendang tersebut, lalu memerintahkan mereka untuk mengangkat bersama-sama. Ketika mendekati tempatnya, beliau mengambil Hajar Aswad dan menempatkannya kembali pada tempat semula.
4 Nama aslinya adalah pachomius.
5 Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: PT. Pustaka AntarNusa, 2006), Hlm. 71.
Tindakan ini merupakan solusi yang sangat efektif dan diterima dengan baik oleh semua pihak.6
C. Peristiwa Gua Hira’
Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Arab masa itu bahwa golongan berpikir mereka selama beberapa waktu tiap tahun menjauhkan diri dari keramaian orang, berkhalwat dan mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka dengan bertapa dan berdoa, mengharapkan diberi karunia dan pengetahuan. Pengasingan untuk beribadat semacam ini mereka namakan tahannuf dan tahannus. Di tempat inilah Muhammad Saw mendapat tempat yang paling baik guna mendalami pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam dirinya itu. Juga di tempat ini ia mendapatkan ketenangan hidup serta obat penawar hasrat hati yang ingin menyendiri, ingin mencari jalan memenuhi kerinduannya yang selalu makin besar, ingin mencapai ma'rifat serta mengetahui rahasia alam semesta. 7
Singkat cerita, Tatkala ia sedang dalam keadaan tidur dalam gua itu, ketika itulah datang malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata kepadanya: أرقا
"Bacalah!" Dengan terkejut Muhammad menjawab: رقأ "Saya tak dapat membaca."
Ia merasa seolah malaikat itu mencekiknya, kemudian melepaskan seraya katanya lagi أرققققا "Bacalah Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi Muhammad menjawab: "Saya tidak dapat membaca". Ia merasa seolah malaikat itu mencekiknya sekali lagi, kemudian melepaskannya kembali seraya berkata: أرقا Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi Muhammad menjawab: أرقققأ اذاققم "Apa yang akan saya baca?" Se- terusnya malaikat itu berkata:
َمّلَع يذّلا ُمَرققْكَلا .ْمَلْعَي ْمَل اققَم َنا َققسْنللا َمّلَق َُكّبَرَو ْأَرققْقا ٍقققَلَع ْنلم َنا َققسْنل ْلا َقققَلَخ َقَلَخ يلذّلا َُكّبَر لمْسالب ْأَرْقا لمَلَقْلالب.
"Siarkanlah! (atau Bacalah!) dengan nama Tuhanmu dan Penjagamu Yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah beku. Siarkanlah! dan
6 Ibid.
7 Syafiyyurrahman Al – Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Pustaka Al – Kautsar, 1997), Hlm. 61.
Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan kepada manusia (menggunakan) pena. Mengajar manusia apa yang tak ia ketahui." (QS. Al – ‘Alaq : 1-5).8
Lalu ia mengucapkan bacaan itu. Malaikat pun pergi, setelah bacaan itu terbenam dalam qalbunya. Setelah wujud malaikat itu menghilang, Muhammad kembali dengan membawa wahyu yang telah disampaikan kepadanya. Jantungnya berdetak kencang, dan ia merasa ketakutan saat bertemu Khadijah, meminta agar diselimuti. Tubuhnya gemetar seolah dalam demam, namun ketakutannya perlahan mereda ketika ia memandang Khadijah dengan tatapan penuh harap.
"Khadijah, mengapa aku?" tanyanya, lalu ia menceritakan pengalamannya dan mengungkapkan kekhawatirannya akan dipengaruhi oleh perasaannya sendiri atau menjadi seperti seorang peramal.9
Bab III
8 Cordoba, Al-qur’anul karim, QS. Al – ‘Alaq / 96: 1 - 5.
9 Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: PT. Pustaka AntarNusa, 2006), Hlm. 82.
Penutup A. Kesimpulan
Kondisi pernikahan Nabi Muhammad SAW sampai masa kerasulannya mencerminkan hubungan yang erat dengan istrinya, Khadijah. Setelah menerima wahyu pertama dari malaikat Jibril, Nabi Muhammad mengalami kecemasan dan ketakutan, namun Khadijah memberikan dukungan dan ketenangan padanya. Hubungan mereka menjadi semakin kuat dan penuh kepercayaan, di mana Khadijah menjadi penopang bagi Nabi Muhammad dalam menghadapi tantangan kerasulan. Pernikahan Nabi Muhammad dengan Khadijah tidak hanya berdasarkan cinta dan dukungan emosional, tetapi juga mencerminkan kemitraan yang solid dalam menanggapi tugas kerasulan.
Khadijah tidak hanya menyediakan dukungan moral, tetapi juga sumber daya material yang memungkinkan Nabi untuk fokus sepenuhnya pada tugas kerasulannya.
Meskipun Khadijah wafat sebelum hijrah ke Madinah, hubungan mereka memberikan fondasi yang kokoh bagi Nabi Muhammad dalam menjalani misinya sebagai rasul. Kondisi pernikahan tersebut menunjukkan pentingnya dukungan dan kerjasama dalam menjalani tugas ilahi, serta betapa Khadijah memiliki peran signifikan dalam kehidupan Nabi Muhammad hingga masa kerasulannya.
Daftar Pustaka
Al – Mubarakfuri, Shafiyyurrahman. 1997. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka Al – Kautsar.
Haekal, Muhammad Husai. 2006. Sejarah hidup Muhammad. Jakarta: PT. Litera AntarNusa.
Utsman El-qurtuby. 2019. Al-qur’anul Karim. Bandung: Cordoba.