• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH TOKSIKOLOGI KARBAMAT DAN ORGANOFHOSFAT

N/A
N/A
yohana jenita

Academic year: 2025

Membagikan "MAKALAH TOKSIKOLOGI KARBAMAT DAN ORGANOFHOSFAT"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH TOKSIKOLOGI

Yohana Jenita Plala Gening (2209010007)

PROGRAM STUDI S1 KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA KUPANG

2025

(2)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Insektisida merupakan bahan kimia yang digunakan untuk mengendalikan populasi serangga yang dapat merugikan tanaman, hewan ternak, dan manusia. Jenis insektisida beragam, namun secara umum diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerjanya. Dua jenis insektisida yang banyak digunakan dan memiliki peranan penting dalam pengendalian hama adalah karbamat dan organofosfat (Gupta, Insecticide Poisoning, 2024).

Karbamat adalah golongan insektisida yang bekerja dengan cara menghambat enzim asetilkolinesterase (AChE) dalam sistem saraf serangga. AChE merupakan enzim penting dalam proses penghantaran sinyal saraf, dan penghambatannya menyebabkan penumpukan asetilkolin (ACh) di sinaps, yang pada akhirnya menyebabkan kematian serangga. Contoh insektisida karbamat yang umum digunakan antara lain aldicarb, carbaryl, carbofuran, methomyl, dan propoxur. Karbamat umumnya dianggap lebih aman daripada organofosfat karena efeknya bersifat reversibel, artinya penghambatan AChE bersifat sementara dan AChE dapat pulih kembali setelah karbamat dihilangkan dari tubuh (Gupta & Doss, 2024).

Organofosfat merupakan insektisida yang juga bekerja dengan cara menghambat AChE, namun efeknya bersifat ireversibel. Organofosfat membentuk ikatan kuat dengan AChE, sehingga enzim tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik dan mengakibatkan kematian serangga. Contoh insektisida organofosfat yang umum digunakan antara lain azinphos-methyl, chlorpyrifos, coumaphos, diazinon, dichlorvos, dimethoate, disulfoton, fenthion, malathion, methyl parathion, naled, oxydemeton-methyl, parathion, phorate, phosmet, temephos, tetrachlorvinphos, dan trichlorfon. Organofosfat umumnya memiliki tingkat toksisitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan karbamat karena efeknya yang bersifat permanen (Gupta &

Doss, 2024).

Meskipun memiliki efek yang berbeda, baik karbamat maupun organofosfat dapat menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan manusia dan hewan jika digunakan tanpa memperhatikan dosis dan cara pemakaian yang tepat. Makalah ini akan membahas

perbandingan efek toksikositas dari kedua jenis insektisida tersebut dengan merinci mekanisme kerjanya, gejala keracunan, dan penanggulangannya. Perbedaan tingkat toksisitas dan efek jangka panjang yang ditimbulkan akan dibahas secara detail untuk memberikan pemahaman

(3)

yang lebih baik mengenai potensi bahaya dan pentingnya penggunaan insektisida secara bertanggung jawab (Gupta & Doss, 2024).

Karbamat dan organofosfat merupakan dua kelas insektisida yang bekerja dengan cara menginhibisi enzim asetilkolinesterase (AChE) pada sistem saraf serangga (Falah, 2008).

Meskipun keduanya memiliki mekanisme kerja yang serupa, terdapat perbedaan dalam struktur kimia, efek toksik, dan persistensi di lingkungan. (Falah & Kimia, 2008)

Karbamat memiliki ikatan karbamat, sementara organofosfat mengandung gugus fosfat.

Karbamat umumnya memiliki toksisitas yang lebih rendah dan waktu paruh yang lebih pendek dibandingkan organofosfat. Organofosfat cenderung lebih persisten di lingkungan dan dapat menyebabkan keracunan kronis pada manusia dan hewan, termasuk kerusakan saraf dan kanker (Falah & Kimia, 2008)

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana mekanisme aksi/patogenesa dari organofosfat dan karbamat?

2. Apa gejala klinis yang ditimbulkan dari organofosfat dan karbamat?

3. Apa saja diagnosa bandingnya?

4. Diagnosa laboratorik apa yang digunakan?

5. Bagaimana tindakan penanganannya?

6. Bagaimana program pencegahannya?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui mekanisme aksi/patogenesa dari organofosfat dan karbamat 2. Untuk mengetahui gejala klinis yang ditimbulkan dari organofosfat dan karbamat 3. Untuk mengetahui diagnosa bandingnya

4. Untuk mengetahui diagnosa laboratorik yang digunakan 5. Untuk mengetahui cara penanganannya

6. Untuk mengetahui cara pencegahannya

(4)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Mekanisme aksi/patogenesa dari organofosfat dan karbamat

1. Organofosfat

Insektisida organofosfat (OP) dan karbamat memiliki toksisitas yang disebabkan oleh penghambatan enzim asetilkolinesterase (AChE) di sistem saraf dan sambungan neuromuskular. OP menghambat AChE secara ireversibel melalui proses fosforilasi, sementara karbamat menghambatnya secara reversibel melalui karbamilasi.

Akibatnya, asetilkolin (ACh), neurotransmiter yang biasanya dihidrolisis oleh AChE, terakumulasi. Penumpukan ACh ini menyebabkan stimulasi berlebihan pada reseptor asetilkolin muskarinik (mAChR) dan nikotinik (nAChR). Stimulasi berlebihan ini memicu serangkaian gejala hiperkolinergik, termasuk peningkatan sekresi (air liur, lakrimasi, urinasi, dan diare), yang dikenal sebagai sindrom SLUD (Salivation, Lacrimation, Urination, Defecation), serta kejang otot dan fasikulasi (kontraksi otot yang tidak terkoordinasi). Namun, patogenesis toksisitas OP dan karbamat tidak terbatas pada efek kolinergik saja. Kejang dan kematian juga dapat terjadi melalui mekanisme non-kolinergik yang kompleks, melibatkan hiperstimulasi reseptor N- metil-D-aspartat (NMDA), serta gangguan pada sistem adenosinergik, GABA-ergik, dan monoaminergik. Eksposur yang berkepanjangan terhadap eksitotoksisitas (kerusakan sel saraf akibat stimulasi berlebihan) selama lebih dari satu jam dapat menyebabkan stres oksidatif dan nitrosatif, memicu peradangan dan degenerasi neuron di berbagai area otak, termasuk korteks serebral, amigdala, dan hipokampus—struktur otak yang berperan penting dalam inisiasi dan penyebaran kejang. Kerusakan

neurologis yang progresif ini akhirnya dapat menyebabkan kegagalan pernapasan dan kematian. Dengan demikian, toksisitas insektisida OP dan karbamat merupakan proses multifaset yang melibatkan baik efek kolinergik maupun non-kolinergik, yang

berujung pada kerusakan sistem saraf dan kematian(Gupta & Doss, 2024).

(5)

2. Karbamat

Toksisitas insektisida organofosfat (OP) dan karbamat berakar pada

kemampuannya untuk menghambat enzim asetilkolinesterase (AChE) di sistem saraf dan sambungan neuromuskular. Penghambatan ini mengakibatkan akumulasi

asetilkolin (ACh), neurotransmiter yang berperan penting dalam transmisi impuls saraf.

OP bekerja secara ireversibel dengan memfosforilasi AChE, sedangkan karbamat menghambatnya secara reversibel melalui proses karbamilasi. Akumulasi ACh yang berlebihan memicu stimulasi berlebih pada reseptor kolinergik, baik reseptor

muskarinik (mAChR) maupun nikotinik (nAChR). Hal ini memanifestasikan diri sebagai serangkaian gejala hiperkolinergik, yang meliputi peningkatan sekresi kelenjar (air liur, lakrimasi, berkeringat, dan diare – sering disingkat SLUD), kejang otot, dan fasikulasi (kontraksi otot yang tidak terkontrol). Namun, efek toksik OP dan karbamat tidak berhenti pada efek kolinergik saja. Kejang dan kematian yang dapat terjadi juga disebabkan oleh mekanisme non-kolinergik yang kompleks. Hiperstimulasi reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA), serta disfungsi pada sistem neurotransmiter lainnya seperti sistem adenosinergik, GABA-ergik, dan monoaminergik, berperan dalam patogenesis toksisitas ini. Jika eksitotoksisitas (kerusakan sel saraf akibat stimulasi berlebihan) berlangsung lebih dari satu jam, stres oksidatif dan nitrosatif akan terjadi, memicu peradangan dan degenerasi neuron di area otak vital seperti korteks serebral, amigdala, dan hipokampus. Area-area ini sangat penting dalam inisiasi dan

penyebaran kejang. Kerusakan neurologis yang progresif ini pada akhirnya

menyebabkan kegagalan pernapasan dan kematian. Oleh karena itu, toksisitas OP dan karbamat merupakan proses yang kompleks dan multi-faktorial, melibatkan baik efek kolinergik maupun non-kolinergik, yang berujung pada kerusakan sistem saraf dan kematian(Gupta & Doss, 2024).

2.2 Gejala klinis yang ditimbulkan dari organofosfat dan karbamat 1. Organofosfat

Pestisida organofosfat (OP) dikenal memiliki batas keamanan yang sempit dan kurva dosis-respons yang curam, yang berarti bahwa dosis yang sedikit lebih tinggi dari yang direkomendasikan dapat menyebabkan keracunan yang serius. Tanda-tanda keracunan OP umumnya merupakan hasil dari stimulasi kolinergik yang berlebihan, yang dapat dibagi menjadi tiga kategori utama: efek muskarinik, nikotinik, dan sentral. Efek

(6)

muskarinik biasanya muncul terlebih dahulu dan mencakup gejala seperti hipersalivasi (produksi air liur berlebihan), miosis (penyempitan pupil), peningkatan frekuensi buang air kecil, diare, muntah, kolik (nyeri perut), dan dispnea akibat bronkokonstriksi dan peningkatan sekresi bronkial. Sementara itu, efek nikotinik ditandai oleh

fasikulasi (kontraksi otot yang tidak terkontrol) dan kelemahan otot. Di sisi lain, efek sentral dapat mencakup kegugupan, ataksia (gangguan koordinasi gerakan), ketakutan, dan kejang, yang menunjukkan dampak pada sistem saraf pusat. Dalam kasus hewan ternak seperti sapi dan domba, keracunan OP sering kali menyebabkan depresi sistem saraf pusat yang parah, sedangkan pada anjing dan kucing, stimulasi sistem saraf pusat dapat berkembang menjadi kejang yang intens. Beberapa jenis OP, seperti

amidothioates, memiliki kemampuan penetrasi yang rendah ke dalam otak, sehingga gejala sistem saraf pusat yang muncul cenderung lebih ringan. Tanda-tanda keracunan biasanya muncul dalam hitungan menit hingga jam setelah terpapar, tetapi dalam beberapa situasi, gejala dapat tertunda hingga lebih dari dua hari. Tingkat keparahan dan perjalanan keracunan sangat dipengaruhi oleh dosis pestisida yang terpapar serta rute paparan. Dalam kasus keracunan akut, gejala klinis yang paling mencolok sering kali berupa gangguan pernapasan dan kolaps, yang dapat berujung pada kematian akibat kelumpuhan otot pernapasan. Selain dampaknya pada otak dan otot rangka, OP juga diketahui berdampak negatif pada berbagai sistem organ lainnya, termasuk sistem kardiovaskular, pernapasan, hati, serta fungsi reproduksi dan perkembangan, serta sistem kekebalan tubuh, sehingga menambah kompleksitas dan risiko yang terkait dengan paparan insektisida ini(Gupta & Doss, 2024).

2. Karbamat

Insektisida karbamat, serupa dengan organofosfat (OP), bekerja dengan menghambat enzim asetilkolinesterase (AChE) di sinaps saraf dan sambungan neuromuskular.

Namun, berbeda dengan OP, penghambatan AChE oleh karbamat bersifat reversibel.

Ikatan antara karbamat dan AChE relatif lemah, sehingga penghambatan aktivitas AChE dalam darah seringkali tidak terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium rutin.

Keracunan karbamat ditandai oleh berbagai gejala yang mencerminkan stimulasi berlebihan sistem kolinergik. Gejala-gejala ini meliputi hipersalivasi (produksi air liur berlebihan), hipermotilitas gastrointestinal (peningkatan aktivitas saluran pencernaan, menyebabkan kram perut, mual, muntah, dan diare), berkeringat berlebihan

(diaphoresis), sesak napas (dispnea), sianosis (kebiruan pada kulit dan membran

(7)

mukosa akibat kekurangan oksigen), miosis (penyempitan pupil mata), dan fasikulasi otot (kontraksi otot yang tidak terkontrol). Dalam kasus yang parah, fasikulasi otot dapat berkembang menjadi tetani (kontraksi otot yang menetap dan menyakitkan) yang kemudian diikuti oleh kelemahan dan kelumpuhan otot. Akronim SLUD (salivasi, lakrimasi, urinasi, dan diare) secara ringkas menggambarkan manifestasi klinis utama keracunan karbamat, yang secara keseluruhan menunjukkan toksidrom kolinergik. Kematian akibat keracunan karbamat biasanya disebabkan oleh kegagalan pernapasan dan hipoksia (kekurangan oksigen dalam jaringan tubuh). Hal ini terjadi karena bronkokonstriksi (penyempitan saluran napas) yang diinduksi oleh stimulasi kolinergik berlebihan, mengakibatkan peningkatan sekresi trakeobronkial (lendir di saluran pernapasan) dan edema paru (penumpukan cairan di paru-paru), yang menghambat pertukaran gas dan menyebabkan hipoksia yang fatal(Gupta & Doss, 2024).

2.3 Diagnosa Banding

1. Karbamat Menurut (Sliberman & Taylor, 2023):

 Inhibitor Kolinesterase:

- Insektisida: Karbamat dan organofosfat.

- Non-insektisida:

Piridostigmin (paling umum karena overdosis pada pengobatan miastenia gravis).

Fisostigmin, neostigmin, dan ekotiofat.

Donepezil (jarang terjadi karena digunakan untuk pengobatan demensia Alzheimer).

 Kolinomimetik:

- Obat: Karbakol, metakolin, dan pilokarpin.

- Agen non-farmakologis: Jamur yang mengandung muskarin.

 Alkaloid Nikotin:

- Nikotin dan koniin.

(8)

2. Organofosfat Menurut (Robb, Regina, & Baker, 2023):

 Radang perut

 Miastenia gravis

 Sindrom Eaton-Lambert

 Sindrom Guillain-Barre

 Botulisme

 Keracunan jamur, disebabkan oleh jamur Clitocybe dan Inocybe

 Keracunan nikotin, termasuk penyakit tembakau hijau

 Keracunan hemlock, disebabkan oleh Conium maculatum atau racun hemlock

 Toksisitas karbamat

 Toksisitas karbakol

 Toksisitas metakolin

 Toksisitas arekolin

 Toksisitas betanekol

 Toksisitas pilokarpin

 Toksisitas piridostigmin

 Toksisitas neostigmin

2.4 Diagnosa Laboratorik Menurut (Jali, 2025):

o Tingkat kolinesterase (ChE) darah: Dapat menunjukkan efek awal, tetapi tidak terkait dengan morbiditas atau mortalitas dan seringkali tidak tersedia dalam keadaan darurat.

o Tingkat eritrosit ChE: Penurunan lebih dari 20% dari rata-rata pada dua kesempatan, digabungkan dengan gejala klinis dan riwayat yang relevan, menunjukkan diagnosis dugaan.

o Tes kimia klinis: Digunakan di laboratorium untuk mendeteksi kelainan seperti peningkatan serum kreatin kinase fosfokinase atau alanin aminotransferase, yang dapat menunjukkan gagal organ multi-sistem, kerusakan hati, atau rabdomiolisis.

o Tingkat AChE dan butirilkolinesterase: Dapat diukur, baik secara spesifik maupun non-spesifik.

(9)

o Reagen Ellman: Dapat digunakan untuk menilai aktivitas AChE.

1.5 Penanganan Menurut (Jali, 2025):

 Dekontaminasi:

o Segera singkirkan sumber paparan: Pindahkan korban dari area yang terkontaminasi.

o Lepaskan pakaian yang terkontaminasi: Buang pakaian atau bersihkan dengan hati- hati untuk menghindari paparan lebih lanjut.

o Cuci kulit dengan air dan sabun: Bersihkan kulit dengan air mengalir dan sabun selama 15-20 menit.

o Bilas mata: Jika insektisida mengenai mata, bilas mata dengan air mengalir selama 15-20 menit.

o Jangan induksi muntah: Hindari membuat korban muntah, karena hal ini dapat meningkatkan risiko aspirasi.

 Pertolongan Pertama:

o Jaga jalan napas: Pastikan korban dapat bernapas dengan mudah. Jika perlu, berikan bantuan pernapasan.

o Berikan oksigen: Jika korban mengalami kesulitan bernapas, berikan oksigen segera.

o Monitor tanda vital: Pantau detak jantung, pernapasan, dan tekanan darah korban secara berkala.

o Hubungi pertolongan medis: Segera hubungi dokter atau layanan darurat untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.

 Penanganan Medis:

o Antidote:

o Atropine: Digunakan untuk memblokir efek muskarinik dari akumulasi asetilkolin.

o Pralidoxime (2-PAM): Digunakan untuk mengaktifkan kembali enzim asetilkolinesterase yang dihambat oleh organofosfat.

o Edrophonium: Digunakan untuk mengaktifkan kembali asetilkolinesterase yang dihambat oleh karbamat.

(10)

 Perawatan suportif:

o Dukungan pernapasan: Ventilasi mekanik mungkin diperlukan untuk kasus yang parah.

o Cairan intravena: Digunakan untuk mengatasi dehidrasi dan menjaga keseimbangan elektrolit.

o Pengendalian kejang: Obat antikejang seperti diazepam dapat digunakan jika terjadi kejang.

1.6 Pencegahan dan Edukasi Klien Menurut (Jali, 2025):

A. Pencegahan:

- Penggunaan Terpadu Pengendalian Hama (IPM): Implementasi IPM menekankan

penggunaan berbagai metode untuk mengendalikan hama, mengurangi ketergantungan pada insektisida kimia dan dengan demikian menurunkan risiko keracunan.

- Penggunaan Alternatif yang Lebih Aman: Mengadopsi alternatif yang lebih aman seperti pestisida botani (berbasis tumbuhan) dan biopestisida (berbasis mikroorganisme) dapat mengurangi paparan bahan kimia berbahaya.

- Peningkatan Kesadaran dan Pendidikan: Program edukasi untuk petani dan masyarakat umum tentang penanganan pestisida yang benar, penyimpanan, dan pembuangan merupakan langkah penting untuk mencegah keracunan.

- Peraturan yang Lebih Ketat: Pengaturan yang ketat terhadap penjualan, distribusi, dan penggunaan pestisida yang sangat berbahaya akan membantu mengurangi akses terhadap bahan kimia berbahaya.

- Perlengkapan Pelindung Diri (APD): Selalu gunakan APD yang sesuai saat menangani pestisida untuk melindungi kulit, mata, dan saluran pernapasan dari paparan.

(11)

B. Edukasi Klien:

- Bahaya Penggunaan Pestisida yang Tidak Tepat: Jelaskan secara detail tentang efek negatif pestisida terhadap kesehatan manusia dan lingkungan, termasuk gejala keracunan, risiko jangka panjang, dan potensi kematian.

- Praktik Penggunaan yang Aman: Ajarkan klien mengenai cara menangani pestisida dengan aman, termasuk cara membaca dan memahami label, menggunakan APD yang sesuai, dan menyimpan pestisida di tempat yang aman dan tidak dapat dijangkau oleh anak-anak.

- Alternatif yang Lebih Aman: Perkenalkan klien pada berbagai alternatif yang lebih aman seperti IPM, pestisida botani, dan biopestisida. Dorong klien untuk menggunakan metode pengendalian hama yang lebih ramah lingkungan.

- Penanganan Darurat: Berikan informasi tentang cara menangani kasus keracunan, termasuk langkah pertolongan pertama, kapan harus menghubungi layanan darurat, dan pentingnya membawa wadah pestisida atau labelnya saat mencari pertolongan medis.

(12)

BAB III PENUTUP

3.1 Simpulan

Organofosfat dan karbamat merupakan dua kelas insektisida yang bekerja dengan cara menghambat enzim asetilkolinesterase (AChE) pada sistem saraf serangga. Meskipun keduanya memiliki mekanisme kerja yang mirip, organofosfat menghambat AChE secara ireversibel, sedangkan karbamat menghambatnya secara reversibel. Akumulasi asetilkolin akibat penghambatan AChE menyebabkan stimulasi berlebihan pada reseptor kolinergik, yang menghasilkan gejala hiperkolinergik seperti SLUD (Salivation, Lacrimation, Urination, Defecation), kejang otot, dan fasikulasi.

Gejala keracunan organofosfat meliputi efek muskarinik (hipersalivasi, miosis, peningkatan frekuensi buang air kecil, diare), efek nikotinik (fasikulasi, kelemahan otot), dan efek sentral (kegugupan, ataksia, ketakutan, dan kejang). Keracunan karbamat ditandai oleh hipersalivasi, hipermotilitas gastrointestinal, berkeringat berlebihan, sesak napas, sianosis, miosis, dan fasikulasi otot.

Diagnosa banding keracunan organofosfat dan karbamat meliputi radang perut, miastenia gravis, sindrom Eaton-Lambert, sindrom Guillain-Barre, botulisme, keracunan jamur, keracunan nikotin, dan toksisitas karbamat.

Penanganan keracunan organofosfat dan karbamat melibatkan dekontaminasi, pertolongan pertama, dan penanganan medis. Antidote yang digunakan meliputi atropine (untuk memblokir efek muskarinik), pralidoxime (2-PAM) (untuk mengaktifkan kembali AChE yang dihambat organofosfat), dan edrophonium (untuk mengaktifkan kembali AChE yang dihambat karbamat).

Pencegahan keracunan organofosfat dan karbamat melibatkan penggunaan Terpadu Pengendalian Hama (IPM), penggunaan alternatif yang lebih aman, peningkatan kesadaran dan pendidikan, peraturan yang lebih ketat, dan penggunaan APD yang sesuai. Edukasi klien mengenai bahaya penggunaan pestisida yang tidak tepat, praktik penggunaan yang aman, alternatif yang lebih aman, dan penanganan darurat sangat penting untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan.

(13)

3.2 Saran

 Peningkatan Regulasi dan Pengawasan: Pemerintah dan lembaga terkait harus

memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap penjualan, distribusi, dan penggunaan pestisida, khususnya organofosfat dan karbamat, untuk mengurangi akses dan

meminimalkan risiko keracunan.

 Promosi IPM dan Alternatif Aman: Diperlukan upaya yang kuat untuk

mempromosikan penggunaan IPM dan alternatif pestisida yang lebih aman, seperti pestisida botani dan biopestisida, melalui program edukasi, subsidi, dan penelitian.

 Peningkatan Kesadaran Publik: Kampanye edukasi yang intensif dan terstruktur perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran publik tentang bahaya penggunaan pestisida yang tidak tepat dan pentingnya penerapan praktik pengelolaan pestisida yang aman.

 Peningkatan Akses Pelayanan Kesehatan: Peningkatan akses terhadap pelayanan kesehatan, termasuk ketersediaan antidotes dan tenaga medis yang terlatih, di daerah pedesaan sangat penting untuk penanganan keracunan yang efektif dan mengurangi angka kematian.

 Penelitian Lebih Lanjut: Penelitian lebih lanjut mengenai toksisitas organofosfat dan karbamat, termasuk efek jangka panjangnya, sangat penting untuk memahami risiko yang terkait dengan paparan pestisida dan mengembangkan solusi yang lebih aman dan efektif.

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Adeyinka, A., Muco, E., Regina, A. C., & Pierre, L. (2023). Organophosphate. National Library of Medicine .

Falah, I. I., & Kimia, J. (2008). Inhibisi Insektisida Karbamat Dan Organofosfat Pada Asetilkholinesterase Lebah Madu. Bmipa, 18(1), 56–62.

Gupta, R. C. (2024). Insecticide Poisoning. MSD Manual Veterinary .

Gupta, R. C., & Doss, R. B. (2024). Organophosphate Toxicosis in Animals. MSD Manual Veterinary.

Gupta, R. C., & Doss, R. B. (2024). Carbamate Toxicosis in Animals. MSD Manual Veterinary . Jali, A. M. (2025). Organophosphate and Carbamate Toxicity : Understanding , Diagnosing and

Treating Poisoning. 13(07), 89–103.

Pertanian, K., Hidup, L., Pertanian, F., Hkbp, U., & Medan, N. (2024). DAMPAK PENGGUNAAN PESTISIDA DALAM KEGIATAN PERTANIAN TERHADAP

LINGKUNGAN HIDUP DAN KESEHATAN The Impact of Pesticide Use in Agricultural Activities on The Environment and Health Bilker Roensis Sinambela. 8(2), 178–187.

Robb, E. L., Regina, A. C., & Baker, M. B. (2023). Organophosphate Toxicity. National Library of Medicine .

Sliberman, J., & Taylor, A. (2023). Carbamate Toxicity. National Library of Medicine .

(15)

Referensi

Dokumen terkait