Razi Ageng Pratama1, Buyung Hartiyo Laksono2, Arie Zainul Fatoni2
1PPDS Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK Universitas Brawijaya / RSUD dr. Saiful Anwar, Malang, Indonesia
2Konsultan Intensive Care Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK Universitas Brawijaya/ RSUD dr. Saiful Anwar, Malang, Indonesia
PENDAHULUAN
Nyeri akut pasca kraniotomi sering diasumsikan memiliki tingkat nyeri yang lebih rendah dibandingan tindakan operasi lainnya.
Beberapa alasan yang mendasari yakni sedikitnya jumlah reseptor nyeri dalam dura, ketidakpekaan nyeri pada otak, berkurangnya densitas serat nyeri di sepanjang garis sayatan operasi, dan berkembangnya autoanalgesia. Oleh karena itu, nyeri pasca kraniotomi sering kali diabaikan.1,2
Proses sayatan fisik, traksi dan hemostasis yang digunakan dalam kraniotomi merangsang penghentian saraf dan nosiseptor spesifik yang menyebabkan nyeri pasca operasi. Dilaporkan 60- 84% pasien yang menjalani kraniotomi mengalami nyeri bervariasi dari ringan hingga berat.3 Lebih spesifik lagi, Tsaori tahun 2016 menjabarkan sekitar 60% pasien pasca kraniotomi yang mengalami nyeri sedang atau berat berada pada periode akut pasca SUMMARY
A craniotomy is a standard neurosurgical procedure that involves drilling a sufficient hole in the skull (cranium) for optimal access to the intracranial. Post-craniotomy pain is a frequent complication of neurosurgical procedures and is difficult to manage. Pain management is essential to avoid chronic pain and complications such as hypertension and vomiting, increasing intracranial pressure or causing intracranial bleeding, unfavorable patient outcomes, and increasing the length of hospitalization. The selection of drugs in acute pain management for post-craniotomy patients is essential to determine patient morbidity and mortality.
Keywords: craniotomy, pain management
RANGKUMAN
Kraniotomi adalah sebuah prosedur operasi umum divisi bedah saraf yang melibatkan pembuatan lubang yang cukup pada tempurung kepala atau tengkorak (cranium) untuk akses optimal ke intrakranial. Nyeri pasca kraniotomi adalah komplikasi berulang dari prosedur bedah saraf dan sulit untuk dikelola. Manajemen nyeri akut sangat penting untuk menghindari terjadinya nyeri kronik serta komplikasi seperti hipertensi dan muntah, yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial maupun perdarahan intrakranial, outcome pasien yang tidak baik, dan perpanjangan masa rawat inap. Pemilihan obat dalam manajemen nyeri akut pasien pasca kraniotomi merupakan hal yang sangat penting dikarenakan dapat menentukan morbiditas dan mortalitas pasien.
Kata kunci: kraniotomi, manajemen nyeri
Korespondensi:
dr. Razi Ageng Pratama*
PPDS Program Studi
Anestesiologi dan Terapi Intensif, FKUB, Malang Indonesia e-mail: [email protected]
Tinjauan Pustaka Journal of Anaesthesia and Pain, 2020, Volume: 1, No.3: 28-38 P-ISSN : 2722-3167
https://jap.ub.ac.id E-ISSN : 2722-3205
Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi
Post-Craniotomy Acute Pain Management
operasi. Mordhorst tahun 2010 menunjukkan bahwa dalam 24 jam pasca kraniotomi terdapat 87% pasien yang melaporkan nyeri. Flexman tahun 2010 menjabarkan 80% pasien mengalami nyeri akut pasca kraniotomi.2,4,5
Nyeri pasca kraniotomi merupakan komplikasi berulang dari prosedur bedah saraf yang sulit untuk ditangani. Perbedaan lokasi dan teknik bedah dapat menyebabkan nyeri pasca kraniotomi dengan intensitas yang berbeda.3,6 Manajemen nyeri yang tidak adekuat mengakibatkan pasien mengalami rasa sakit (seringkali parah) terus menerus terutama pada jam pertama pasca operasi yang dapat terjadi berkepanjangan hingga hari pertama atau kedua pasca operasi. Selain itu, beberapa komplikasi yang dapat terjadi seperti agitasi, muntah, maupun hipertensi dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan berpotensi mengakibatkan perdarahan intrakranial sehingga outcome pasien menjadi tidak baik ,nyeri kronik dan masa rawat inap yang lebih lama.1,5,6
Di sisi lain, upaya pengendalian nyeri berlebihan dapat disertai dengan sedasi berlebihan yang menyamarkan defisit neurologis onset baru dan menghambat pemantauan respons neurologis.
Respirasi yang tertekan dapat menyebabkan hiperkarbia yang meningkatkan volume darah otak berakibat meningkatnya tekanan intrakranial (TIK).
Dengan tidak adanya pedoman berbasis bukti yang kuat, manajemen nyeri pasca operasi yang tepat pada kasus pasca kraniotomi sampai saat ini masih sulit dilakukan. Sejumlah penelitian berbasis bukti sering memberikan hasil kontradiktif sehingga menyebabkan penggunaan tindakan terapeutik tidak konsisten dan mengarah ke perawatan suboptimal. Oleh karena itu, ulasan ini mencoba untuk mengeksplorasi literatur yang relevan dan berbagai pilihan terapeutik yang tersedia terkait manajemen nyeri akut pasca kraniotomi.1,5
1. Definisi 1.1 Kraniotomi
Kraniotomi adalah sebuah prosedur operasi umum divisi bedah saraf yang melibatkan
pembuatan lubang yang cukup pada tempurung kepala atau tengkorak (cranium) untuk akses optimal ke intrakranial. Kraniotomi dinamakan sesuai dengan area tempurung kepala (cranium) yang dibuka, dapat dilakukan secara intratentorial maupun supratentorial, atau kombinasi dari keduanya. Tindakan ini dilakukan sebagai terapi pada tumor otak, hematoma, aneurisma, maupun infeksi otak. Ukuran lebar kraniotomi bervariasi dari beberapa milimeter (burr holes) sampai beberapa sentimeter (keyhole), bergantung pada masalah dan terapi yang dibutuhkan. Kraniotomi dilakukan menggunakan pisau khusus, bagian cranium yang telah dipotong (bone flap) dibuka agar pelindung otak (dura) terlihat, dura kemudian juga dibuka untuk mengekspos bagian otak. Di akhir prosedur, bone flap diletakkan kembali dan ‘direkatkan’ pada cranium menggunakan alat khusus.7
1.2 Nyeri akut pasca kraniotomi
Berdasarkan the International Headache Society (IHS) nyeri pasca kraniotomi dibagi menjadi acute postcraniotomy pain (ACP) dan chronic postcraniotomy pain (CCP), tergantung durasi nyeri yang dirasakan (lebih dari 3 bulan atau tidak). Acute postcraniotomy pain / nyeri akut pasca kraniotomi sebagian besar dirasakan terlokalisir pada area insisi, sekitar regio oksipital dan leher, dan terutama melibatkan otot perikranial serta jaringan lunak.
Intensitas waktu nyeri pasca kraniotomi paling berat dirasakan dalam 48 jam pasca operasi.8,9 Adapun kriteria nyeri akut pasca kraniotomi sesuai dengan tabel 1.
Nyeri pasca kraniotomi biasanya berdenyut atau pounding mirip dengan sakit kepala karena tegang, terkadang bisa stabil dan berkelanjutan.
Kraniotomi infratentorial dikaitkan dengan penilaian nyeri yang lebih tinggi dibandingkan pendekatan supratentorial. Pada 25% kasus nyeri kepala pasca kraniotomi berlanjut menjadi persisten dan biasanya terletak di lokasi sayatan bedah (55%-79%), meskipun beberapa menggambarkan nyeri bilateral (36% -55%).1,9
Tabel 1. Klasifikasi nyeri pasca kraniotomi (Iturri dkk., 2020)
Sakit kepala akut disebabkan oleh kraniotomi: Sakit kepala bertahan kurang dari 3 bulan disebabkan operasi kraniotomi
Kriteria diagnostik
A. Semua sakit kepala yang memenuhi kriteria C dan D
B. Telah dilakukan operasi kraniotomi sebelumnya
C. Sakit kepala yang dilaporkan berkembang dalam 7 hari setelah salah satu kejadian berikut:
Kraniotomi
Kesadaran kembali setelah kraniotomi
Penghentian obat-obatan mengganggu kemampuan untuk merasakan atau membuat sakit kepala yang dilaporkan setelah kraniotomi D. Salah satu dari:
Sakit kepala sembuh dalam 3 bulan setelah onset
Sakit kepala tidak membaik tapi belum melewati 3 bulan setelah onset
E. Tercatat tidak lebih baik dari diagnosis lain pada International classification of headeache Disorder (ICHD-3)
2. Anatomi dan persarafan tempurung otak (cranium)
Tengkorak terdiri dari kerangka wajah dan calvarium. Dasar tengkorak terbuka setelah calvarium diangkat. Bagian dalam tengkorak terdiri dari selaput fibrosa dan endokranium, yang menyusun bagian luar dura yang berkelanjutan dengan periosteum di permukaan luar tengkorak dan menjadi perikranium. Kulit kepala terdiri dari lima lapisan: kulit, jaringan subkutan, epikranium, jaringan subaponeurotik areolar dan perikranium (Gambar 1). Persarafan kulit kepala dan dura meliputi: saraf trigeminal termasuk ganglionnya, tiga divisi utama, dan cabang-cabangnya; tiga saraf cervical bagian atas; batang simpatis cervical;
cabang minor dari vagus; cabang minor dari hipoglosus dan beberapa saraf wajah serta glosofaring. Serabut saraf katekolaminergik terdapat dalam duramater cranium. Bagian basal lebih kaya saraf dibandingkan calvarial (bagian atas dari cranium). Selain itu, serabut saraf jauh lebih banyak pada zona dural perivaskular dibandingkan zona
intervaskuler. Oleh karena itu, serabut saraf katekolaminergik diduga terlibat dalam sakit kepala.3,10,11
Dalam bentuk akut, sekitar 73% kasus berupa nyeri superfisial, sedangkan 14% kasus berupa nyeri superfisial dan dalam. Nyeri yang bersifat superfisial diduga karena kurangnya reseptor nyeri pada parenkim otak. Sehingga nyeri pasca kraniotomi pasti berasal dari struktur superfisial yaitu jaringan lunak dan jaringan muskuler perikranial. Teori ini dibuktikan secara kuat bahwa bagian subtemporal dan suboccipital berhubungan dengan insiden tertinggi dari nyeri, karena tekanan diberikan pada splenius capitis, temporal, dan jaringan otot cervicis selama operasi.
Nyeri pasca kraniotomi termasuk nyeri nosiseptif dan diinduksi oleh insisi dan refleksi dari otot perikranial.8,11,12
(Lutman dkk., 2018) Gambar 1. (a) potongan melintang dari kepala (lapisan kulit kepala); (b) persarafan kulit kepala; (c) pembuluh darah kulit kepala.
Beberapa variasi nyeri pasca kraniotomi dapat dimengerti dengan memahami struktur anatomi yang berkaitan. Suplai saraf yang mengarah ke kulit kepala berasal dari cabang saraf pleksus
cervical dan nervus trigeminal. Pada supraorbital dan supratrochlear saraf yang melewatinya adalah dari nervus frontal (bagian dari saraf trigeminal) yang menginervasi bagian anterior dari kulit kepala.
Pada zygomaticotemporal (bagian maxila dari nervus trigeminal), saraf temporomandibular dan saraf auriculotemporal (bagian mandibula dari saraf trigeminal) mensuplai kulit kepala sisi temporal.
Cabang pleksus cervical, termasuk saraf auricular yang lebih besar dan saraf yang lebih kecil, dan lebih sedikit, dan sedikit bagian dari saraf oksipital menginervasi kulit kepala oksipital. Percabangan tersebut mendampingi arteri-arteri meningeal yang menginervasi dura mater. Ujung saraf bebas dan
nosiseptor ini yang bertanggung jawab terhadap nyeri. Nyeri pada kraniotomi adalah nyeri somatik primer dan berasal dari kulit kepala, otot-otot prekranial dan jaringan lunak. Manipulasi yang dilakukan pada duramater selama proses operasi mengaktivasi jalur nyeri. Stimulasi fisik yang disebabkan oleh insisi dan traksi yang digunakan dalam kraniotomi menstimulasi saraf terminal dan nosiseptor spesifik mengakibatkan nyeri pasca operasi. Nyeri pasca kraniotomi biasanya terkolalisir pada tempat sayatan dan jaringan lunak di sekitarnya, sedangkan yang bersifat generalisata berasal dari dura.11,12
(Santos dkk., 2020) Gambar 2. Manajemen nyeri akut pasca kraniotomi
Ya
Tidak Perioperatif Pendekatan Intraoperatif Pendekatan Pascaoperasi
Pregabalin Box 1 Infiltrasi intradermal scalp
dengan bipuvacaine 0,5%
atau lidocaine 2%
Cryotherapy*
Potensi tromboemboli atau hematoma
intracranial?
Gunakan Opioid
Gunakan NSAID
Moderate pain Severe pain
Codeine 30 – 60 mg setiap 4-6 jam + tramadol 50-100 mg setiap 4 – 6 jam
Morfin 10 mg setiap 4 jam, dapat disesuaikan dengan intensitas nyeri
Mempertimbangka n pemeriksaan
psikologi dan rehabilitasi
fisioterapi Acetaminophen dan dipyrone (lihat box 2)
Tanpa perbaikan, pertimbangkan box 1 Box 1
Pregabalin 150 mg tiap hari,
atau 300 mg pada kasus refraktori dan
pertimbangkan obat kedua. Misalnya gabapentin, carbamazepine, duloxetine
Box 2
PO Acetaminophen: 1 g tiap 6-8 jam (maks. 4 g/hari)
IV acetaminophen: <50 kg , 15 mg/kg tiap 6 jam dan ≥ 50 kg 1g tiap 6 jam Atau
PO atau IV dipyrone: 500-1000 mg tiap 6-8 jam
3. Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi Manajemen nyeri akut yang ideal pasca tindakan bedah saraf harus mampu meredakan nyeri, memiliki kemampuan anti-inflamasi, tidak mempengaruhi fungsi sistem saraf pusat, tidak menghambat kesadaran maupun penilaian neurologis, tidak menyebabkan depresi jantung dan pernafasan, tidak membuat ketagihan dan tidak memiliki efek samping seperti muntah, mual, epilepsi, atau perdarahan lokal. Sayangnya, tidak ada obat yang sesuai dengan kategori ini. Dalam sebuah studi dari Inggris ditemukan bahwa hanya 65% dari pusat bedah saraf yang memiliki protokol analgesik dan selama beberapa dekade morfin merupakan analgesik lini pertama yang digunakan, diikuti oleh parasetamol (84%) dan nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) (52%).
Penggunaan kodein berkurang dari 90% menjadi 70% selama periode waktu yang sama.13 Santos dalam publikasinya tahun 2020 menyajikan diagram yang dapat dijadikan pertimbangan dalam pemilihan tatalaksana nyeri akut pasca kraniotomi (Gambar 2).3 Adapun tatalaksana nyeri akut pasca kraniotomi dapat dibagi menjadi enam kelompok, yakni:
1.1 Opioid
Opioid yang umum digunakan pada manajemen nyeri pasca kraniotomi adalah morfin, kodein, fentanil, dan tramadol. Mekanisme farmakologis dimediasi melalui reseptor opioid spesifik di sistem saraf pusat dan perifer. Efek samping yang dapat terjadi yakni depresi pernapasan, sedasi, hiperkarbia, peningkatan tekanan intrakranial, dan penundaan penyapihan dari ventilator. Meskipun demikian, opioid sistemik seringkali dibutuhkan untuk meredakan nyeri secara adekuat setelah kraniotomi. Pemberian opioid dapat berupa parenteral maupun enteral. Adapun beberapa penelitian pendahuluan yang menilai penggunaan opioid sebagai manajemen nyeri akut pasca kraniotomi dirangkum pada tabel 2.
Sementara panduan dosis opioid sebagai manajemen nyeri pasca kraniotomi disajikan oleh Roka tahun 2019 seperti pada tabel 3.1,3,7,13
1.1.1 Parenteral a. Morfin
Morfin merupakan opioid yang memiliki efek analgesik lebih baik dibanding opioid lainnya dengan dosis lebih rendah. Morfin dapat diberikan secara intravena (termasuk PCA (patient controlled analgesia)) atau intramuskular. PCA memfasilitasi pasien untuk mengontrol rasa sakit sendiri dan juga mengurangi konsumsi opioid secara keseluruhan.
Penurunan penilaian nyeri, kepuasan pasien yang lebih tinggi, dan tidak adanya efek samping (pemberian bersamaan dengan antiemetik dan observasi) adalah keuntungan yang diperoleh dengan analgesia ini. Akan tetapi kebutuhan akan sensorium dan kewaspadaan yang utuh adalah batasan yang menghalangi aplikasi ekstensif perangkat PCA. Dosis yang direkomendasikan dalam 4 jam tidak melebihi 40 mg. Pemberian morfin berupa intramuskular memiliki kekurangan berupa onset yang lebih lambat, penyerapan sistemik yang berbeda, dan nyeri di tempat suntikan.1,3
b. Fentanil
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kontrol nyeri lebih baik ketika fentanil digunakan melalui PCA baik sendiri atau digunakan bersamaan dengan NSAID.1
c. Tramadol
Pemberian berulang tidak menyebabkan ketergantungan maupun depresi pernapasan.
Penambahan tramadol bersama dengan narkotika lain dalam rejimen analgesia pasca operasi telah terbukti mengurangi nyeri pasca operasi dan mengurangi efek samping opioid lain.1,3,13
1.1.2 Enteral a. Codein
Tidak menyebabkan depresi pernapasan dan tidak mengganggu evaluasi neurologis, tetapi memberikan manajemen nyeri yang kurang optimal.9
1.2 Non-opioid
Golongan non-opioid yang umum digunakan pada manajemen nyeri pasca kraniotomi yakni parasetamol, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID), dan cyclooxygenase (COX). Adapun beberapa penelitian pendahuluan yang membandingkan efektivitas non-opioid sebagai manajemen nyeri akut pasca kraniotomi ditampilkan pada tabel 4, sedangkan panduan dosis pemberian non-opioid pada nyeri pasca kraniotomi disajikan oleh Roka tahun 2019 seperti pada tabel 3.13
a. Parasetamol
Mekanisme kerja parasetamol dengan menghambat pusat sintesis prostaglandin. Bagian
dari aksi analgesiknya mungkin disebabkan oleh aksi sentral lainnya, seperti penghambatan hiperalgesia spinal yang disebabkan oleh aktivasi reseptor NMDA; aktivasi jalur serotonergik yang menghambat transmisi nyeri; atau aktivasi mekanisme hipoalgesik yang dimediasi oleh oksida nitrat. Parasetamol memiliki manfaat potensial yang cukup besar dalam pengobatan nyeri pasca kraniotomi, karena tidak menghasilkan sedasi atau depresi pernapasan. Meskipun parasetamol dapat mengurangi penggunaan opioid namun tidak efektif bila digunakan tunggal sebagai pengendali nyeri.
Penggunaannya bersama dengan opioid dan NSAID lain sangat mengurangi skor nyeri.1,3,9
Tabel 2. Penelitian pendahuluan tentang opioid pada manajemen nyeri pasca kraniotomi Goldsack et al., 1996 Morfin dan
kodein
Double blind trial
membandingkan penggunaan morfin intramuskular 10mg dan kodein intramuskular 60mg : morfin lebih efektif disbanding kodein dalam hal meredakan nyeri, dosis morfin yang digunakan lebih rendah, dan tidak ada pasien yang mengalami depresi napas, sedasi, konstriksi pupil maupun efek cardiovascular yang tidak diinginkan14. Hassani et al., 2015 Fentanil,
Paracetamol dan Morfin
RCT Satu kelompok diberikan infus sufentanil (0,0015 µg / kg / menit), kelompok kedua diberikan infus parasetamol intermiten (15 mg / kg setiap 6 jam), dan kelompok ketiga diberikan 5 mg morfin subkutan. Temuan menunjukkan bahwa sufentanil adalah agen yang tepat untuk mengatasi manajemen nyeri pasca kraniotomi. Pasien dalam kelompok yang diberikan parasetamol melaporkan skor nyeri terbesar dari skala analog visual dan detak jantung dengan kejadian mual dan muntah terendah.
Tingkat mual dan muntah tertinggi pada pasien kelompok morfin. Dengan demikian, disimpulkan bahwa sufentanil memberikan hasil yang lebih baik untuk mengurangi mual dan muntah, pengendalian nyeri, dan stabilitas emodinamik relatif terhadap morfin15.
Rahimi et al., 2010 Tramadol dan kodein
RCT Membandingkan penggunaan tramadol dan obat narkotik:
tramadol dapat menurunkan durasi rawat inap, mengurangi nyeri (sesuai penilaian visual analog scale (VAS)), dan kebutuhan terhadap morfin dibandingkan kelompok yang tidak menggunakan tramadol (kelompok kontrol: pada penelitian ini menggunakan narkotik dan parasetamol)16.
Sudheer et al., 2007 Morfin, tramadol dan kodein
Efek penghilang nyeri lebih baik pada kelompok yang diberikan morfin dibanding kodein dan tramadol serta tidak terdapat perbedaan bermakna terkait lama sedasi maupun depresi pernapasan17.
Journal of Anaesthesia and Pain. 2020. Vol.1(3):28-38 34
b. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID).
Obat NSAID merupakan pilihan dalam manajemen nyeri pasca kraniotomi karena mengurangi nyeri dan penggunaan morfin hingga 25-50% dan mengurangi efek samping yang diinduksi opioid. Penghambatan prostaglandin yang
disebabkan oleh agen ini mengurangi rasa sakit dan peradangan. NSAID mengurangi agregasi trombosit dan penggunaannya menimbulkan risiko hematoma intrakranial pasca operasi. Dosis 100 mg Diklofenak rektal dapat digunakan setiap 18 jam jika ada masalah perdarahan atau insufisiensi ginjal.3
Tabel 3. Dosis obat non-opioid untuk nyeri pasca kraniotomi (Roka dkk., 2012)
Obat Dosis awal dan interval
<50 kg (mg/kg) > 50 kg dan dewasa (mg dosis tetap)
Ketorolac 0,5mg/kg IM/IV setiap 6jam maximal bisa mencapai 72 jam
15-30mg tiap 6 jam, tidak boleh melebihi 120mg/hari, maximal bisa mencapai 72jam Ibuprofen 5-10mg/kg per oral, tidak boleh melebihi 40mg/hari 200-800mg per oral tiap 6jam
Acetaminofen Oral Neonatus
Dosis : 10-15mg/kg Per oral setiap 6-8jam Maksimal : 60mg/kg/hari
Bayi/anak
Dosis : 10-15mg/kg per oral setiap 6-8jam Maksimal : 75mg/kg/hari sampai 1gr/4 jam atau 4gr/hari
>12tahun
Dosis : 325-650mg per oral setiap 4-6jam Maksimal : 1gr/4jam dan 4gr/hari
IV
12,5mg/kg IV setiap 4jam atau
15mg/kg IV setiap 6jam tidak melebihi 750mg/dosis dan 80mg/kg/hari
Oral
325mg per oral setiap 4-6jam atau
500mg per oral setiap 6-8jam atau
625mg per oral setiap 8jam tidak melebihi 4g/hari
IV
650mg IV setiap 4jam atau
1000mg IV setiap 6jam tidak melebihi 4gr/hari
Clonidine Oral dan Transdermal
1µg/kg/dosis setiap 4jam per oral
Oral dan Transdermal
1µg/kg/dosis setiap 4jam per oral
Diazepam Oral
0,25-0,3mg/kg setiap 6-8jam
Oral
2-10mg/kg/hari setiap 6-8jam IV
0,05-0,1mg/kg setiap 4-6jam
IV
2-10mg IV/IM setiap 3-4jam tidak lebih dari 30mg setiap 8jam Gabapentin 3-12tahun
10-15mg/kg/hari terbagi tiap 8jam
>12tahun
300mg per oral setiap 8jam ,bisa mencapai 600mg per oral tiap 8jam
300mg per oral sebelum tidur, bertahan dan yang biasa ditoleransi mencapai 300mg setiap 8jam
Amitriptyline Load
0,1mg/kg per oral sebelum tidur,
peningkatan dosis dapat ditoleransi sampai 2-3minggu
Load
75mg/hari per oral
Maintenance
0,5-2mg/kg per oral sebelum tidur
Maintenance
150-300mg/hari per oral dalam dosis tunggal atau terbagi
Keamanan penggunaan obat NSAID seperti ketorolak dan ibuprofen pada anak dibawah usia 3-6 bulan belum dapat ditentukan
Tabel 4. Penelitian pendahuluan tentang opioid pada manajemen nyeri pasca kraniotomi Verchere et al., 2002 Paracetamol,
Tramadol
RCT Memberikan penilaian nyeri yang sama dengan pemberian tramadol, namun kejadian mual muntah pasca operasi lebih tinggi pada kelompok tramadol.18
Molnar et al., 2015 Diklofenak, placebo
RCT Konsumsi diklofenak mengurangi skor nyeri dan konsumsi opioid secara signifikan pada 5 hari pertama pasca operasi. Pemberian diklofenak tidak berbuhungan dengan komplikasi saluran cerna, disfungsi ginjal, maupun perdarahan.19
Wiliam et al., 2011 Parecoxib dan placebo
RCT Tidak ada perbedaan dalam intensitas nyeri, kejadian mual muntah pasca operasi dan penggunaan morfin.20
Dilmen et al., 2016 Morfin,
dexketoprofen, metamizol
Double blind trial
Pemberian morfin mencegah nyeri berat pasca kraniotomi supratentorial dibandingkan pemberian dexketoprofen dan metamizol.21
c. Cyclooxygenase (COX)
Obat-obatan ini mampu mengurangi nyeri kraniotomi pasca operasi tanpa peningkatan risiko perdarahan pasca operasi. Cyclooxygenase-2 inhibitors (COXIB) efektif dalam analgesik perioperatif untuk berbagai prosedur pembedahan dan menimbulkan efek sparring morfin dari 30%
hingga 50%. Kekurangan penggunaan obat ini terkait dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular akibat kejadian tromboemboli.3
3.3 Anestesi lokal
Anestesi lokal secara rutin digunakan untuk infiltrasi kulit intraoperatif dan blokade kulit kepala.
Analgesia dapat dicapai dengan blokade enam saraf: saraf supraorbital, saraf supratroklear, saraf auriculotemporal, saraf zygomaticotemporal, saraf oksipital mayor, dan saraf oksipital minor. Blok kulit kepala dapat dilakukan sebelum operasi untuk menumpulkan respon hemodinamik terhadap rangsangan bedah, termasuk menjepit kepala dan sayatan kulit, serta memberikan analgesia pasca operasi tanpa risiko sedasi atau depresi pernapasan.
Komplikasi blok kulit kepala jarang terjadi; namun, injeksi intravaskular dapat menyebabkan toksisitas anestesi lokal, termasuk gejala neurologis, disritmia jantung, atau henti jantung.7
Guilfolye tahun 2013 meneliti penggunaan
yang menjalani kraniotomi, didapatkan skor nyeri berkurang pada 1 jam pasca operasi dan konsumsi opioid berkurang pada 24 jam pasca operasi.22 Hansen tahun 2011 menunjukkan bahwa infiltrasi kulit kepala dapat menurunkan skor nyeri yang signifikan, tetapi hanya segera setelah operasi selesai. Meskipun infiltrasi kulit kepala tampaknya tidak efektif untuk pengobatan nyeri pasca kraniotomi akut setelah beberapa jam namun bermanfaat untuk rehabilitasi pasien bedah saraf dan meningkatkan kualitas hidup karena dapat membatasi perkembangan nyeri menjadi persisten, terutama nyeri neuropatik.23
3.4 Gabapentin
Merupakan antiepilepsi generasi baru yang memiliki sifat antinosiseptif dan antihiperalgesik.
Penelitian dilakukan oleh Ture tahun 2009, menunjukkan bahwa pemberian gabapentin (3x400mg), 7 hari sebelum operasi memiliki hasil pasca operasi yang menguntungkan dalam bentuk penurunan skor nyeri, konsumsi opioid yang lebih rendah, dan insiden mual dan muntah yang lebih rendah. Namun pada sisi lain, memberikan efek samping berupa tingkat sedasi yang lebih tinggi dan ekstubasi trakea yang tertunda. Ada literatur yang menunjukkan bahwa antiepilepsi memiliki sifat antinosiseptif dan antihiperalgesik.1,24
3.5 NMDA Receptor Antagonist
Reseptor n-methyl-d-aspartate (NMDA) adalah saluran ion channel yang memungkinkan masuk dan keluarnya kalsium, natrium, kalium ke dalam sel. Reseptor ini terlibat dalam modulasi nyeri di tingkat sumsum tulang belakang dan sensitisasi nosiseptor. Antagonis reseptor NMDA memiliki sifat analgesik intrinsik yang sedikit, namun efek analgesiknya dimediasi melalui penghambatan sensitisasi sentral. Tinjauan sebelumnya telah menunjukkan penurunan nyeri pasca operasi dan kebutuhan analgesik menggunakan dekstrometorfan dan ketamin. Ketamin merupakan antagonis reseptor NMDA yang memodulasi nyeri tulang belakang dan sensitisasi nosiseptor, sehingga mengurangi nyeri pasca operasi dan kebutuhan opioid. Namun, memiliki kecenderungannya untuk meningkatkan aliran darah otak dan tekanan intrakranial, serta terkait dengan gangguan kognitif, pengalaman negatif, dan gangguan penglihatan (penglihatan kabur dan pusing), yang dapat mengubah penilaian neurologis pasca operasi.
Meskipun ketamin secara tradisional diyakini dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan oleh karena itu mengubah hemodinamik otak, penelitian terbaru menunjukkan bahwa ketamin bahkan dapat meningkatkan perfusi otak. Namun, karena kontroversi ini dan ketersediaan analgesik lain yang tidak mempengaruhi perfusi otak, ketamin tidak dianjurkan dalam bedah saraf.1,10
3.6 𝛼-2 Adrenoreceptor Agonist
Dexmedetomidine merupakan atagonis adrenoreseptor 𝛼-2 presinaptik kuat yang memberikan sedasi tanpa mempengaruhi pernapasan. Investigasi yang melibatkan dexmedetomidine mengklaim pengurangan konsumsi opioid pasca operasi sebanyak 60%.
Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan efek menguntungkan obat tersebut pada nyeri akut pasca kraniotomi dengan pengendalian nyeri yang baik, pengurangan penggunaan morfin pasca operasi meskipun waktu ekstubasi tidak berbeda.
Bradikardia merupakan efek samping signifikan dari penggunaan obat ini.9,10
3.7 Cryotherapy
Metode terapi ini masih sangat baru, dilakukan oleh Shin et al pada tahun 2009 menunjukkan bahwa cryotherapy berguna untuk mengontrol nyeri pasca kraniotomi melalui pemberian kantong es pada luka operasi dan kantong gel dingin pada area periorbital, dimulai 3 jam setelah operasi, selama 3 hari, selama 20 menit per jam. Studi ini memperhitungkan 97 pasien yang menjalani kraniotomi supratentorial elektif, dipisahkan dalam kelompok cryotherapy dan kontrol. Tingkat nyeri (skor VAS) 3 jam setelah kraniotomi sama pada kedua kelompok, tetapi cryotherapy secara signifikan mengurangi nyeri 3 hari setelah operasi.3,25
KESIMPULAN
Nyeri akut pasca kraniotomi adalah masalah yang yang sulit dikelola dan harus dimanajemen dengan baik untuk mencegah morbiditas, mortalitas, serta pemanjangan masa inap.
Berdasarkan beberapa literatur, tatalaksana nyeri akut dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu opioid, non-opioid, cyclooxygenase, anestesi lokal, NMDA receptor antagonist, 𝛼-2 adrenoreceptor agonist, dan cryotheraphy. Dengan pemberian terapi dan dosis serta kombinasi yang tepat diharapkan komplikasi dapat diminimalkan dan outcome pasca operasi kraniotomi menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Haldar R, Kaushal A, Gupta D, Srivastava S, Singh PK. Pain following Craniotomy: Reassessment of the Available
Options. Biomed Res Int. 2015;2015. doi:10.1155/2015/509164
2. Tsaousi GG, Logan SW, Bilotta F. Postoperative Pain Control Following Craniotomy: A Systematic Review of Recent Clinical Literature. Pain Pract. 2017;17(7):968-981. doi:10.1111/papr.12548
3. Santos CMT, Pereira CU, Chaves PHS, Tôrres PTR de L, Oliveira DM da P, Rabelo NN. Options to manage postcraniotomy acute pain in neurosurgery: no protocol available. Br J Neurosurg. 2020;0(0):1-8.
doi:10.1080/02688697.2020.1817852
4. Mordhorst C, Latz B, Kerz T, et al. Prospective assessment of postoperative pain after craniotomy. J Neurosurg Anesthesiol. 2010;22(3):202-206. doi:10.1097/ANA.0b013e3181df0600
5. Flexman AM, Ng JL, Gelb AW. Acute and chronic pain following craniotomy. Curr Opin Anaesthesiol.
2010;23(5):551-557. doi:10.1097/ACO.0b013e32833e15b9
6. Shah A, Jung H. Management of post-operative pain after craniotomy. Acta Neurochir (Wien).
2015;157(12):2125-2126. doi:10.1007/s00701-015-2524-3
7. Dunn LK, Naik BI, Nemergut EC, Durieux ME. Post-Craniotomy Pain Management: Beyond Opioids. Curr Neurol Neurosci Rep. 2016;16(10). doi:10.1007/s11910-016-0693-y
8. Giammalva GR, Iacopino DG, Graziano F, Gulì C, Pino MA, Maugeri R. Clinical and radiological features of Forestier’s disease presenting with dysphagia. Surg Neurol Int. 2018;9(1). doi:10.4103/sni.sni
9. Iturri F, Valencia L, Honorato C, Martínez A, Valero R, Fàbregas N. Narrative review of acute post-craniotomy pain. Concept and strategies for prevention and treatment of pain. Rev Española Anestesiol y Reanim (English Ed. 2020;67(2):90-98. doi:10.1016/j.redare.2019.09.004
10. de Gray LC, Matta BF. Acute and chronic pain following craniotomy: A review. Anaesthesia. 2005;60(7):693-704.
doi:10.1111/j.1365-2044.2005.03997.x
11. Lutman B, Bloom J, Nussenblatt B, Romo V. A Contemporary Perspective on the Management of Post- Craniotomy Headache and Pain. Curr Pain Headache Rep. 2018;22(10). doi:10.1007/s11916-018-0722-4
12. Chowdhury T, Garg R, Sheshadri V, et al. Perioperative factors contributing the post-craniotomy pain: A synthesis of concepts. Front Med. 2017;4(MAR):1-5. doi:10.3389/fmed.2017.00023
13. Roka YB. Review in The Management of Post-Craniotomy Pain. Nepal J Neurosci. 2019;16(1):3-9.
doi:10.3126/njn.v16i1.24423
14. Goldsack C, Scuplak SM, Smith M. A double-blind comparison of codeine and morphine for postoperative analgesia following intracranial surgery. Anaesthesia. 1996;51(11):1029-1032. doi:10.1111/j.1365- 2044.1996.tb14997.x
15. Sane S, Tolumehr A, Hassani E, Mahoori A. Comparison the effects of paracetamol with sufentanil infusion on postoperative pain control after craniotomy in patients with brain tumor. Adv Biomed Res. 2015;4(1):64.
doi:10.4103/2277-9175.152610
16. Rahimi SY, Alleyne CH, Vernier E, Witcher MR, Vender JR. Postoperative pain management with tramadol after craniotomy: Evaluation and cost analysis: Clinical article. J Neurosurg. 2010;112(2):268-272.
doi:10.3171/2008.9.17689
17. Sudheer PS, Logan SW, Terblanche C, Ateleanu B, Hall JE. Comparison of the analgesic efficacy and respiratory effects of morphine, tramadol and codeine after craniotomy. Anaesthesia. 2007;62(6):555-560.
doi:10.1111/j.1365-2044.2007.05038.x
18. Verchère E, Grenier B, Mesli A, Siao D, Sesay M, Maurette P. Postoperative pain management after supratentorial craniotomy. J Neurosurg Anesthesiol. 2002;14(2):96-101. doi:10.1097/00008506-200204000- 00002
19. Molnár C, Simon É, Kazup Á, et al. A single preoperative dose of diclofenac reduces the intensity of acute postcraniotomy headache and decreases analgesic requirements over five postoperative days in adults: A single center, randomized, blinded trial. J Neurol Sci. 2015;353(1-2):70-73. doi:10.1016/j.jns.2015.04.005
20. Williams DL, Pemberton E, Leslie K. Effect of intravenous parecoxib on post-craniotomy pain. Br J Anaesth.
2011;107(3):398-403. doi:10.1093/bja/aer223
21. Dilmen OK, Akcil EF, Tunali Y, et al. Postoperative analgesia for supratentorial craniotomy. Clin Neurol Neurosurg. 2016;146:90-95. doi:10.1016/j.clineuro.2016.04.026
22. Guilfoyle MR, Helmy A, Duane D, Hutchinson PJA. Systematic Review and Meta-Analysis. 2013;116(5):1093- 1102. doi:10.1213/ANE.0b013e3182863c22
23. Hansen MS, Brennum J, Moltke FB, Dahl JB. Pain treatment after craniotomy: Where is the (procedure-specific) evidence? A qualitative systematic review. Eur J Anaesthesiol. 2011;28(12):821-829.
doi:10.1097/EJA.0b013e32834a0255
Prophylactic Anticonvulsant Drug on Postcraniotomy Pain : 2009;109(5):1625-1631.
doi:10.1213/ane.0b013e3181b0f18b
25. Shin YS, Lim NY, Yun SC, Park KO. A randomised controlled trial of the effects of cryotherapy on pain, eyelid oedema and facial ecchymosis after craniotomy. J Clin Nurs. 2009;18(21):3029-3036. doi:10.1111/j.1365- 2702.2008.02652.x
Untuk menyitir artikel ini: Pratama, RA, BH Laksono, AZ Fatoni. Manajemen Nyeri Akut Pasca-Kraniotomi. Journal of Anaesthesia and Pain. 2020;1(3):28-38. doi:10.21776/ub.jap.2020.001.03.04