I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan jiwa merupakan masalah kesehatan jiwa yang menyebabkan terganggunya kognitif, afektif dan hambatan fungsi sosialnya sehingga individu tidak mampu melakukan akitivitas sehari-harinya (Keliat, Helena, &
Nurhaeni, 2011). WHO (2019) menyebutkan bahwa yang termasuk dalam gangguan jiwa adalah depresi, gangguan bipolar, skizofrenia dan psikosis lain, demensia, dan gangguan perkembangan termasuk autism (Syahputra, E, 2021).
Gangguan jiwa dapat dialami oleh seluruh kalangan mulai dari anak- anak. remaja, dewasa, hingga lansia. Saat ini, prevalensi gangguan jiwa terus meningkat setiap tahunnya (Maulana et al., 2019 dalam Syahputra, E, 2021).
Data WHO tahun 2018 menunjukkan bahwa lebih dari 300 juta penduduk dunia mengalami depresi, lebih dari 60 juta penduduk dunia menderita bipolar dan 23 juta orang mengalami masalah kejiwaaan berat seperti skizofrenia dan spsikosis lainnya (Syahputra, E, 2021).
Menurut data WHO, prevalensi gangguan mental di Indonesia mencapai 9,8% pada tahun 2021, dengan angka depresi mencapai 6,6%.
Angka ini diperkirakan akan terus meningkat di tahun 2024, terutama akibat dari dampak pandemi COVID-19 yang berkepanjangan. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan kasus gangguan mental di Indonesia, antara lain,(1) Stres yaitu beban kerja yang tinggi, masalah keuangan, dan
situasi sosial yang tidak kondusif dapat memicu stres yang berlebihan, yang pada akhirnya dapat berujung pada gangguan mental. (2) Trauma: Bencana alam, kekerasan, dan pengalaman traumatis lainnya dapat meninggalkan luka emosional yang mendalam dan meningkatkan risiko gangguan mental. (3) Stigma sosial: Stigma negatif terhadap orang dengan gangguan mental masih menjadi hambatan utama bagi mereka untuk mencari bantuan dan memperburuk kondisi mereka. (4) Kurangnya akses terhadap layanan kesehatan mental: Masih banyak masyarakat yang kesulitan untuk mengakses layanan kesehatan mental yang berkualitas dan terjangkau (Nugraha Rifky. A, 2024).
Salah satu tantangan utama yang dihadapi Indonesia dalam konteks kesehatan mental adalah stigma sosial. Banyak orang yang masih menganggap masalah kesehatan mental sebagai hal yang memalukan atau tabu untuk dibicarakan. Hal ini membuat mereka yang mengalami masalah mental enggan mencari bantuan profesional. Selain itu, kurangnya fasilitas dan tenaga kesehatan mental yang memadai di banyak daerah juga menjadi kendala besar. Menurut data Kementerian Kesehatan, Indonesia hanya memiliki sekitar 0,4 psikiater per 100.000 penduduk, jauh di bawah standar yang ditetapkan oleh WHO (Nugraha Rifky. A, 2024).
Berdasarkan laporan dari dinas kesehatan tahun 2022 Persentase ODGJ berat per mil yang memperoleh layanan di fasyankes sebesar 88,1%. Dari 34 provinsi yang melaporkan, capaian yang diatas 100% sebanyak 8 provinsi yaitu Provinsi Aceh, Kepri, Jambi, Bengkulu, Kep. Bangka Belitung, DKI
Jakarta, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Selatan. Pada tahun 2023, target sasaran program sebesar 90% dari estimasi sasaran ODGJ berat sebanyak 491.958 jiwa. Capaian ODGJ berat yang memperoleh layanan di fasyankes sebesar 105,2%. Rata-rata angka capaian per provinsi sudah berada diatas 50%. Empat provinsi dengan angka capaian dibawah 50% berada di Papua yaitu Provinsi Papua Barat Daya (28,6%), Papua Barat (24,3%), Papua Tengah (19,7%), dan terendah ada di Provinsi Papua Pegunungan sebesar 0,34% (Profil Kemenkes Tahun 2023).
Berdasarkan Permenkes 13 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Permenkes Nomor 21 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2020-2024, skrining dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan dan/atau kader kesehatan dan/atau guru terlatih pada kelompok berisiko berdasarkan siklus hidup dalam kurun waktu 1 tahun. Kelompok berisiko masalah kesehatan jiwa berdasarkan siklus hidup yang menjadi sasaran program antara lain: remaja (siswa baru dan Tingkat akhir SMP dan SMA; santri remaja dengan disabilitas; korban tindak kekerasan; korban dan penyintas bencana alam); dewasa (mahasiswa baru dan tingkat akhir perguruan tinggi; ibu hamil dan post partum; ibu dengan anak balita; orang tua tunggal; pekerja migran; keluarga/pendamping ODGJ; pendamping lansia;
warga binaan di lapas; pekerja dengan sistem shift; lansia yang hidup sendiri/hanya dengan pasangannya; lansia yang membutuhkan perawatan jangka panjang; penghuni panti sosial; dan pasien dengan penyakit kronis (Profil Kemenkes Tahun 2023).
Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa Pasal 3c menyebutkan negara wajib memberikan perlindungan dan menjamin pelaksanaan pelayanan kesehatan jiwa yang terintegrasi, komprehensif dan kesinambungan (pasal 3d), bagi ODGJberdasarkan HAM. Pasal 4 ayat 1 menegaskan bahwa pelayanan kesehatan jiwa itu meliputi empat bidang yaitu promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitasi yang meliputi rehabilitasi
psikiatrik dan rehabilitasi sosial. Dalam UU ini juga ditegaskan bahwa semua layanan tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah dan/atau masyarakat (Rohman K.L, 2023).
Data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara Selatan Data Tahun 2022 sebanyak 3.332 orang, Tahun 2023 sebanyak 3757 Orang, ini menunjukkan jumlah ODGJ yang selalu meningkat dari tahun ketahun sehingga memerlukan perhatian yang khusus dari instansi terkait dalam penangganan ODGJ (Profil Dinkes Provinsi Sulawesi Tenggara, Tahun 2023).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Buton Selatan Data Tahun 2022 sebanyak 196 orang, Tahun 2023 sebanyak 221 orang dan Tahun 2024 (Januari s/d Juli) sebanyak 225 orang. Ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan Kasus ODGJ dari tahun ke tahun (Profil Dinkes Buton Selatan, Tahun 2023).
Studi awal yang dilakukakan oleh peneliti pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) menunjukkan bahwa adanya faktor genetik yang diturunkan, pengalaman traumatik, pola asuh otoriter, dan sosial ekonomi menyebabkan gangguan kejiwaan.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian faktor-faktor yang berhubungan pada Peningkatan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Kabupaten Buton Selatan Tahun 2025”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka rumusan masalah yang dapat disimpulkan yaitu faktor-faktor apa yang berhubungan pada Peningkatan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Kabupaten Buton Selatan Tahun 2025?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan pada peningkatan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Kabupaten Buton Selatan Tahun 2025
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hubungan genetik dengan peningkatan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Kabupaten Buton Selatan Tahun 2025
b. Untuk mengetahui hubungan pengalaman traumatik dengan peningkatan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Kabupaten Buton Selatan Tahun 2025
c. Untuk mengetahui hubungan pola asuh otoriter dengan peningkatan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Kabupaten Buton Selatan Tahun 2025
d. Untuk mengetahui hubungan sosial ekonomi dengan peningkatan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Kabupaten Buton Selatan Tahun 2025
D. Manfaat Penelitian 1. Teoritis.
Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan kesehatan khususnya dalam bidang Kesehatan mental.
2. Praktis.
Hasil penelitian ini digunakan untuk memberikan masukan serta sebagai informasi dan referensi dalam rangka meningkatkan kesehatan mental
3. Peneliti.
Hasil penelitian ini menjadikan pengalaman peneliti dalam mengaplikasikan ilmu-ilmu yang didapatkan pada proses perkuliahan serta menambah khasanah ilmu pengetahan khususnya pada peneliti.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup lokasi penelitian ini terfokus pada penderita gangguan jiwa di Kabupaten Buton Selatan, peneliti hanya membahas mengenai hubungan genetik, pengalaman traumatik, pola asuh otoriter, dan sosial ekonomi terhadap kejadian orang dengan gangguan jiwa.