• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASYARAKAT DIGITAL MASA KINI

N/A
N/A
Stella Cath

Academic year: 2023

Membagikan "MASYARAKAT DIGITAL MASA KINI"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/341990674

Buku Literasi Digital, Riset dan Perkembangannya dalam Perspektif Social Studies oleh Feri Sulianta

Book · June 2020

CITATIONS

14

READS

15,879 1 author:

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

DIGITAL ETHNOGRAPHYView project

Digital LiteracyView project Feri Sulianta

Universitas Widyatama 53PUBLICATIONS   53CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Feri Sulianta on 07 June 2020.

(2)
(3)

K ATA P ENGANTAR

Buku ini tercetus dari proses pembelajaran penulis sewaktu mengali lebih dalam penelitian sehubungan literasi digital. Kompetensi ini penting dalam menyikapi abad 21 yang menjadi tonggak kebangkitan digital. Data, informasi dan pengetahuan semuanya diproduksi dan dikelola secara digital. Berbagai cara kerja dan cara belajar yang terdahulu sudah usang dan ditinggalkan, digantikan dengan berbasiskan teknologi yang sama sekali baru, praktis, ringkas, efektif, efisien, modern dan canggih.

Hanya saja kesiapan masyarakat dan peran institusi pendidikan menjadi penentu dalam memanfaatkan semua kebaikan teknologi yang ada untuk menyiapkan peserta didik memiliki kompetensi literasi digital

Untuk dapat memanfaatkan semua kebaikan teknologi di abad 21 dan meningkatkan kompetensi literasi digital di ranah edukasi, penting peranannya mengalamati dengan seksama fenomena apa yang terjadi saat ini dari aspek teknologi, pendidik, peserta didik, masyarakat dan dinamika global di era krisis yang mengancam keberlangsungan pembelajaran.

Buku ini membahas aspek-aspek penting literasi digital dalam persepektif , diantaranya: menggungkap kondisi masyarakat digital masa kini, mengalamati literasi digital sebagai solusi pendidikan, mengamati perkembangan pembelajaran IPS dari masa ke masa, kurikulum internasional dan porsi dari literasi digital, karakteristik peserta didik generasi digital, pengembangan pembelajaran digital dan bentuk- bentuk pembelajaran digital kini dan masa depan semisal konten digital

sebagai ruang pembelajaran masyarakat digital, media

pembelajaran digital, , dsb.

(4)

vi

Bandung, Mei 2020 Feri Sulianta

(5)
(6)

viii

D AFTAR I SI

1.1 Fenomena Masyarakat Indonesia dalam Era Informasi ... 1

1.2 Literasi Digital sebagai Solusi ... 3

1.3 Literasi Digital dan Pendidikan ... 5

1.4 Revolusi Literasi Digital ... 6

2.1 Perkembangan Ilmu Pengetahuan Sosial (Social Studies) Abad ke- 20 dan Era Revolusi Industri ver 1.0 – 1.3. ... 11

2.2 Perkembangan IPS Abad ke-21 (Revolusi Industri ver 4.0) ... 15

2.3 Kurikulum IPS Abad ke-21 ... 18

2.4 Tujuan, Dimensi dan Struktur Pendidikan IPS ... 20

3.1 Kurikulum National Council for the Social Studies... 30

3.2 Budaya (Culture) ... 31

3.3 Waktu, Kebersinambungan & Perubahan (Time, Continuity & Change) ... 32

3.4 Orang, Tempat & Lingkungan (People, Places & Environments)33 3.5 Pengembangan & Identitas Individu (Individual Development & Identity) ... 34

3.6 Individu, Kelompok, & Institusi (Individuals, Groups & Institutions) ... 35

3.7 Kekuatan, Otoritas & Tata Kelola (Power, Authority & Governance) ... 36

3.8 Produksi, Distribusi & Konsumsi (Production, Distribution & Consumption) ... 37

(7)

3.9 Ilmu Pengetahuan, Teknologi & Masyarakat (Science, Technology

& Society) ... 38

3.10 Koneksi Global (Global Connections) ... 39

3.11 Warga Negara yang Baik dan Berbudaya ( ) ... 39

4.1 Generasi Masyarakat dan Kemunculan Masyarakat Informasi .. 43

4.2 Masyarakat informasi Indonesia ... 47

4.3 Teori Pendidikan Behaviorisme, Kognitivisme, Konstruktivisme versus Konektivisme ... 49

4.4 Kebutuhan Peserta Didik Generasi Digital ... 51

4.5 Tuntutan Pembelajaran IPS Era Digital Industri Versi 4.0 ... 54

4.6 Korelasi IPS, Teknologi dan Literasi digital ... 58

4.7 Capaian Pembelajaran Mengacu pada Taksonomi Bloom ... 69

4.8 Transformasi Digital, Kompetensi Digital dan Literasi ... 79

5.1 Pendekatan Penelitian ... 86

5.2 Subjek Penelitian, Populasi dan Sampel ... 88

5.2.1 Tahap observasi ... 89

5.2.2 Tren Kuesioner digital ... 90

5.2.3 Tahap Validasi ... 91

5.2.4 Tahap Penelitian Skala Terbatas... 95

5.2.5 Tahap Penelitian Skala Luas ... 96

5.3 Prosedur Penelitian ... 96

5.4 Instrumen Penelitian, Teknik dan Pengumpulan Data ... 101

5.5 Analisis Data ... 109

5.6 Pengembangan Model ... 114

5.7 Efektivitas Pengembangan Model Pembelajaran Digital ... 115

5.8 Keterbatasan Penelitian ... 117

6.1 Kondisi Pembelajaran ... 120

6.2 Teori Modern Pembelajaran ... 121

6.3 Kesiapan Transformasi Pembelajaran ... 123

6.4 Konten Digital Masa Kini ... 126

6.5 Personal Learning Network... 132

6.6 Amunisi Pembelajaran Digital ... 137

6.7 Knowledge Management System dalam Edukasi ... 143

(8)

x

6.8 Bentuk-bentuk Pembelajaran Saat ini dan Masa Depan ... 145

(9)

M ASYARAKAT D IGITAL M ASA K INI

Melek teknologi atau literasi digital menjadi keahlian yang harus dimiliki oleh masyarakat masa kini di abad ke-21, tetapi justru dewasa ini keberadaan masyarakat di Indonesia yang mengakses perangkat teknologi informasi dan internet teralamati memiliki kompetensi literasi yang rendah meskipun sebagian besar merupakan pengguna aktif internet. Terlebih lagi dengan maraknya konten-konten negatif yang dapat memengaruhi masyarakat dan merusak ekosistem digital. Kondisi ini harus disikapi dengan keterampilan literasi digital, salah satu contohnya yakni kemampuan memberdayakan dan menyikapi konten digital.

1.1 Fenomena Masyarakat Indonesia dalam Era Informasi

Indonesia dikategorikan sebagai salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di dunia. Pertumbuhan pengguna internet di Indonesia mulai terlihat sejak tahun 2003, dan berlipat pada tahun-tahun berikutnya. Mengacu pada hasil riset yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bersama dengan Pusat Kajian Komunikasi (Puskakom) di Universitas Indonesia, jumlah pengguna internet di Indonesia pada awal tahun 2015 mencapai 88.1 juta orang. Lebih lanjut, berdasarkan survei yang dilakukan oleh APJII di tahun 2017, teridentifikasi pengguna internet di Indonesia mencapai lebih dari 143 juta jiwa berbanding 262 juta jiwa penduduk Indonesia. Usia pengguna pun beragam, mulai anak-anak hingga manula, dan kelompok masyarakat yang tidak bersekolah pun menjadi pengguna internet aktif dengan porsi 5,45%.

(10)

2

Perkembangan dunia digital dapat berkontribusi positif dan negatif jika dilihat dalam sudut pandang literasi digital. Berkembangnya peralatan digital dan akses terhadap informasi dalam bentuk digital memunculkan peluang sekaligus tantangan. Jumlah generasi muda yang mengakses internet sangat besar, yaitu kurang lebih 70 juta orang, dan mereka kerap kali menggunakan telepon pintar (smartphone), komputer personal, maupun laptop, selama lebih kurang 5 jam per harinya untuk berinternet (Cnnindonesia.com, 2018).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilansir oleh Mitchell Kapoor (dalam Hagel, 2012a) memperlihatkan bahwa generasi muda pada dasarnya memiliki keahlian dalam mengakses media digital saat ini, tetapi mereka belum mengimbangi kemampuannya dalam menggunakan media digital untuk memperoleh informasi untuk mengembangkan potensi dan kapasitas diri. Kondisi yang dialami generasi muda tersebut, tidak didukung konten dan informasi media digital berkualitas yang memiliki keragaman jenis, relevansi dan keabsahannya.

Dewasa ini, perkembangan jumlah media di Indonesia mengalami peningkatan pesat, yakni mencapai sekitar 43.400, sedangkan media yang terdaftar di Dewan Pers Nasional berkisar 100 media saja. Hal ini memperlihatkan bahwa banyak media dengan mudahnya terhubung ke internet dan melansir informasi secara bebas. Kondisi ini memberikan kemudahan bagi masyarakat mudah mendapatkan informasi dari berbagai media yang ada, terlepas dari terpercaya atau tidaknya berita tersebut. Hal ini terindikasi dari semakin merosotnya budaya membaca masyarakat yang pada dasarnya masih dalam tingkat yang rendah (Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, 2018).

Masyarakat didapati dengan mudah menyebarkan konten menggunakan berbagai macam layanan internet termasuk melansirnya pada situs web dan jejaring sosial, dan penyebaran ini dilakukan secara berjejaring misalnya lansiran pada portal internet disebarkan dengan membagikan alamat konten internet ke berbagai jejaring sosial sehingga meningkatkan visibilitas dan selain itu konten secara terus menerus secara berulang-ulang diakses, hanya saja tidak semua informasi yang tersedia di web adalah konten yang terpercaya (Pikiran Rakyat, 2019). Dampak dari perilaku ini, konten yang berisi berita bohong tetapi diakses dan disebarluaskan secara terus menerus menjadi informasi yang dianggap penting dan benar yang merupakan kondisi pasca kebenaran ( ), yang muncul bersama dengan berita

(11)

bohong, hal ini memperlihatkan bahwa memang didapati kelompok masyarakat tidak memiliki keterampilan literasi digital (Llorente, 2017).

1.2 Literasi Digital sebagai Solusi

Dapat disimpulkan bahwa literasi digital merupakan satu kesatuan sikap, pemahaman, keterampilan dalam menangani dan mengkomunikasikan informasi dan menggunakan pengetahuan dengan efektif pada berbagai media dan format.Terciptanya berbagai perangkat teknologi informasi yang terkoneksi dengan jaringan internet mampu menyita perhatian banyak orang, yakni yang dulunya mengakses informasi melalui membaca buku secara tradisional, sekarang beralih ke perangkat komputer untuk mengakses internet yang kaya akan informasi. Peralatan dan jaringan internet dapat dijadikan media guna membantu masyarakat dan peserta didik untuk mengembangkan kemampuan literasi. Pada dasarnya digitalisasi dapat dijadikan media perantara untuk mendukung berkembangnya kegiatan literasi yang berkualitas dengan muatan informasi yang kaya.

Kebutuhan akan informasi yang cepat mendorong terus dikembangkannya teknologi komunikasi dan informasi, yang memunculkan persaingan di dunia digital. Media dan proses menampilkan informasi ternyata tidak cukup memenuhi kebutuhan masyarakat saat itu akan informasi. Hadirnya komputer di era tahun 1940-an akhirnya menjawab kebutuhan masyarakat akan informasi, sebuah mesin komputasi cerdas yang mampu membuat, mendesain, menyimpan data dan mengolah data menjadi informasi yang bernilai. Hal ini terus mengalami perkembangan yang signifikan, yang kemudian dilanjutkan dengan dikembangkannya internet di tahun 1970-an hingga saat ini dengan teknologi web yang terus diperbarui.

Seiring perkembangan internet dan kemudahan mengakses dalam , didalamnya berisi pula berbagai konten negatif, semisal konten yang berisi berita bohong, ujaran kebencian, dan radikalisme, bahkan praktik-praktik penipuan. Dinyatakan oleh Kemendikbud, bahwa keberadaan konten negatif yang merusak ekosistem digital saat ini dapat diatasi dengan membangun kesadaran setiap individu (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2017).

(12)

4

Munculnya berbagai macam konten yang menargetkan warganet sebagai konsumennya, perlu disikapi dengan cermat. Kompetensi literasi digital di abad ke-21 menjadi keterampilan yang penting dalam menyikapi perkembangan teknologi dan internet dewasa ini.

Ada banyak kajian perihal literasi dan literasi digital dalam menjawab tantangan di abad ke-21. Pada dasarnya, literasi digital sama pentingnya dengan membaca, menulis, berhitung, dan disiplin ilmu lainnya, bahkan dalam praktiknya, literasi memiliki tindakan yang lebih bermakna. Hal ini penting diperkenalkan pada masyarakat masa kini, terutama generasi yang hidup di era informasi. Hal ini dikarenakan, generasi yang tumbuh dalam era teknologi digital mempunyai pola berpikir yang amat berbeda dibandingkan generasi sebelumnya, dimana generasi tersebut sudah menikmati kemapanan teknologi informasi, misalnya: mengakses ragam konten atau ragam informasi menggunakan layanan digital (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2017).

Kemampuan literasi dalam aspek kehidupan menjadi penyangga bagi kemajuan peradaban suatu bangsa. Literasi memaksudkan keberaksaraan, yaitu kemampuan membaca dan menulis. Sedangkan, budaya literasi ditujukan untuk pembiasaan berpikir yang diawali dengan kegiatan membaca dan menulis hingga tercipta sebuah karya yang diharapkan terjadinya perubahan tingkah laku dan budi pekerti. Literasi media, literasi teknologi serta literasi visual merupakan kompetensi yang perlu diberdayakan dalam era teknologi dan internet (Suragangga, 2017).

Literasi digital mampu menciptakan tatanan masyarakat dengan pola pikir dan pandangan yang kritis dan kreatif. Masyarakat tidak mudah termakan oleh isu yang provokatif, menjadi korban informasi bohong (hoax), atau korban penipuan yang berbasis digital karena masyarakat memahami kredibilitas dan kualitas konten digital yang sepatutnya. Dengan demikian, kehidupan sosial dan budaya masyarakat akan cenderung aman dan kondusif. Membangun budaya literasi digital perlu melibatkan peran aktif masyarakat secara bersama-sama. Keberhasilan membangun literasi digital merupakan salah satu indikator pencapaian dalam bidang pendidikan dan kebudayaan.

(13)

1.3 Literasi Digital dan Pendidikan

Tidak dapat dipungkiri, era digital yang berkontribusi pada penyebaran dan terciptanya informasi digital berdampak pada munculnya

(informasi yang membingungkan). Banyaknya konten yang tidak mengedukasi semisal konten sadistik, konten kengerian, konten yang mengajarkan tindakan tidak terpuji, semisal: cara mencuri password, cara membuat bom, dan sebagainya, juga teralamati banyaknya konten dengan muatan berita bohong, dapat mendegradasi masyarakat dan peserta didik.

Masyarakat terpapar konten digital yang tidak edukatif, dan terpengaruh dengan berita bohong. Dalam kasus ini tidak sedikit masyarakat yang tampaknya tidak dapat membedakan konten yang bermanfaat dan tidak bermanfaat (Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, 2018).

Terdapat dua pandangan utama yang memiliki pengaruh sama kuatnya di kalangan praktisi pendidikan media dan para pegiat literasi media sehubungan tujuan literasi digital (Aufderheide, 1993) yaitu:

1) Pandangan pertama, yang disebut dengan kelompok ‘proteksionis’

menyatakan bahwa, pendidikan media atau literasi media ditujukan untuk melindungi warga masyarakat sebagai konsumen media dari dampak negatif media massa.

2) Pandangan kedua yang disebut ‘preparasionis’ yang menyatakan bahwa literasi media merupakan upaya mempersiapkan warga masyarakat untuk hidup di dunia yang melimpah dengan keberadaan media agar mampu menjadi konsumen media yang kritis. Kelompok preparasionis, berpendapat bahwa warga masyarakat secara umum perlu dibekali kompetensi keterampilan bermedia, sehingga mampu mendapatkan manfaat dari keberadaan media massa.

Menjadi berarti dapat memroses berbagai informasi, dapat memahami pesan dan berkomunikasi efektif dengan orang lain dalam berbagai bentuk. Dalam hal ini, bentuk yang dimaksud termasuk menciptakan, mengolaborasi, mengomunikasikan, mampu bekerja sesuai dengan etika, memahami kapan dan bagaimana teknologi harus digunakan agar efektif untuk mencapai tujuan.

(14)

6

Literasi digital memampukan individu untuk beralih dari konsumen informasi yang pasif, menjadi produsen aktif, baik secara individu maupun sebagai bagian dari komunitas. Jika generasi muda kurang menguasai kompetensi digital, hal ini dapat membuat mereka tersisih dalam persaingan memperoleh pekerjaan, partisipasi dalam ruang demokrasi, dan interaksi sosial (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, 2017).

1.4 Revolusi Literasi Digital

Literasi digital ( ) pertama kali dikemukaan oleh Paul (Gilster, 1997 dalam Riel, et. al. 2012: 3). Ia mengemukakan literasi digital adalah kemampuan memberdayakan teknologi dan informasi, suatu keterampilan menggunakan perangkat digital secara efektif dan efisien dalam berbagai konteks seperti pada: dunia akademik, karir dan kehidupan sehari-hari (Riel, et. al. 2012: 3). Eshet (2002) lebih lanjut menekankan bahwa literasi digital seharusnya lebih dari sekedar kemampuan menggunakan berbagai sumber digital secara efektif.

Bawden (2001) pun mengutarakan pemahaman baru mengenai literasi digital yang berakar pada literasi komputer dan literasi informasi. Literasi komputer berkembang pada dekade 1980-an ketika microcomputer digunakan secara luas, tidak hanya di lingkungan bisnis namun juga pada masyarakat. Sejalan dengan perkembangan teknologi, literasi informasi terus berkembang pada dekade 1990-an manakala informasi semakin mudah dikelola, diakses, dan disebarluaskan melalui teknologi informasi berjejaring.

Hague (2010) menyatakan bahwa literasi digital adalah kemampuan mengkaryakan dan kesanggupan berbagi ( ) dalam modus yang berbeda, semisal dalam membuat, mengolaborasi, mengomunikasikan secara efektif serta memiliki pemahaman perihal kapan dan bagaimana menggunakan perangkat teknologi informasi guna mendukung tujuan tersebut. Maka dapat disimpulkan bahwa literasi digital selain mengacu pada keterampilan menggunakan perangkat teknologi informasi dan komunikasi, pun juga melibatkan proses membaca serta memahami konten, menulis serta mengkaryakannya sebagai pengetahuan atau konten baru.

(15)

Mengalamati hal ini, peranan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) penting peranannya dalam menggalakkan literasi digital yang menjadi salah satu kompetensi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial atau

. Hal ini dapat dijelaskan secara historis, konseptual dan dimensional. Keterampilan literasi dapat meningkatkan kemampuan seseorang sewaktu berhadapan dengan media digital baik mengakses, memahami konten, menyebarluaskan, membuat bahkan memperbarui media digital untuk pengambilan keputusan dalam aktivitas hidup manusia.

Jika seseorang memiliki keterampilan tersebut maka orang tersebut dapat memanfaatkan media digital untuk aktivitas yang produktif, mengupayakan perilaku serta tindakan yang menyenangkan guna mengembangkan potensi diri, bukan sekedar untuk tindakan konsumtif atau destruktif. Atas dasar itulah pembelajaran literasi digital diperlukan dalam masyarakat.

Terdapat dua jalur yang dapat digunakan yaitu pendidikan formal di sekolah dan pendidikan informal dalam bentuk pelatihan sehubungan literasi digital.

Di sekolah, literasi digital dapat dimasukan ke dalam beberapa mata pelajaran, yang utamanya adalah IPS, bahasa, kesehatan dan komputer.

Sedangkan pada mata pelajaran, ada beberapa keterampilan yang harus dikuasai siswa seperti membaca, menyimak, dan menulis. Jika dihubungkan dengan literasi digital maka keterampilan membaca, menyimak dan menulis dilakukan dengan media digital seperti melalui komputer, internet (blog, media sosial, web), dan telepon pintar (smartphone). Lebih lanjut, siswa dapat diajak untuk membedakan berita terpercaya atau informasi bohong yang tersebar di internet bahkan membuat tulisan yang bermanfaat dalam wawasan IPS.

Pembelajaran dengan menggunakan media digital melibatkan pembelajaran mengenai nilai-nilai universal yang harus ditaati setiap orang seperti kebebasan berekspresi, privasi, keberagaman budaya, hak intelektual dan sebagainya. Dengan demikian, peserta didik akan memahami bahwa media digital ibarat mata uang, dimana kebebasan informasi berada di satu sisi dan pelanggaran privasi pada sisi lainnya.

Kedua sisi itu harus dipahami dan digunakan dengan seksama sehingga tidak merugikan diri sendiri dan pihak lain.

Selain melalui pendidikan formal, pembelajaran literasi digital juga dapat diaplikasikan dalam pendidikan bermasyarakat melalui komunitas semisal komunitas hobi atau organisasi masyarakat lainnya. Literasi media digital merupakan perangkat penting guna mengatasi berbagai problematika

(16)

8

sosial, seperti pornografi dan pornoaksi, penggunaan alkohol, konsumsi rokok, penggunaan obat terlarang, obesitas, penganiayaan dan kekerasan, identitas gender dan seksualitas, rasialisme, diskriminasi, penindasan.

Literasi digital memampukan masyarakat dalam mengakses, memilah dan memahami berbagai jenis informasi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup seperti kesehatan, pengasuhan anak, dan kualitas keluarga. Selain itu setiap orang dapat berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berpolitik dengan menyampaikan aspirasinya menggunakan media literasi.

Melalui media digital, masyarakat dapat menyuarakan perspektif dan opini dengan mempertimbangkan aspek kelayakan tanpa harus merugikan pihak lain. Tujuan ekonomi pun dapat direalisasikan melalui literasi digital, misalnya dengan pemahaman sehubungan transaksi online. Singkat kata, literasi digital membuat seseorang menjadi mawas diri terhadap diri dan dunia yang dinamis, sehingga ia dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial dengan lebih baik. Maka dari itu, literasi digital perlu dikembangkan di sekolah dan masyarakat sebagai bagian dari pembelajaran seumur hidup (Yusup & Saepudin, 2017).

Perkembangan perangkat teknologi informasi terutama internet, memampukan terwujudnya literasi digital dengan menggunakan perangkat teknologi informasi dalam mengakses, mengkaryakan dan mendistribusikan informasi. Hanya saja, berbicara perihal literasi digital dan mempraktikannya sebagai peserta didik yang dengan mempertimbangakan aspek literasi dan dunia digital, halnya tidaklah mudah.

Hadirnya teknologi digital membutuhkan penanganan yang berbeda dengan aktivitas dan produk tradisional atau non digital. Misalnya saja perihal keterampilan membaca dan menulis dalam ranah digital sangatlah berbeda dengan cara-cara tradisional. Perangkat yang digunakan pun berbeda, kemasan konten yang berbeda, mekanisme membaca dan menulisnya pun berbeda. Sedangkan jika berbicara perihal keterampilan menjadi , hingga saat ini pun konten digital yang ada sekarang ini hanya sebatas mendigitalisasi konten tradisional dan melansirnya di internet. Banyak hal lain yang belum teralamati dengan hanya sekedar proses digitalisasi konten menjadi konten digital. Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah para pendidik dan periset sehingga mampu menghadirkan metode pembelajaran yang selain berkontribusi pada literasi

(17)

digital, pembelajaran itu pun harus didasari pada kemampuan akan literasi digital dalam menggunakan perangkat pembelajaran berbasiskan teknologi informasi.

(18)

10

P ERKEMBANGAN

P EMBELAJARAN IPS DARI M ASA KE M ASA

Guna mengalamati pembelajaran sehubungan literasi digital yang berkontribusi pada kebutuhan informasi masa kini dan meningkatkan kompetensi literasi digital peserta didik dan masyarakat digital, diperlukan kajian pustaka secara mendalam dan penelitian-penelitian yang sudah pernah dilakukan sehubungan dengan literasi digital.

Literasi digital diklaim oleh banyak bidang ilmu dan pada faktanya literasi digital tidak muncul begitu saja dari satu ilmu tertentu, tetapi literasi digital muncul dengan membawa serta beragam ilmu yang ditujukan untuk menciptakan kompetensi literasi digital. Dalam kasus ini, tidaklah tepat jika literasi digital hanya milik salah satu disiplin ilmu tertentu.

Dalam buku ini, literasi digital dipandang dari perspektif . Literasi digital menjadi salah satu unggulan yang banyak dikembangkan dan diteliti dalam .

Kajian literatur dilakukan dengan mengalamati perkembangan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) atau di Abad ke-20 dan era Revolusi Industri hingga perkembangan IPS Abad ke-21 di era Revolusi Industri 4.0. Menelaah kurikulum IPS Abad ke-21, peserta didik generasi digital dalam masyarakat digital sehubungan dengan memberdayakan konten digital yang dimampukan dengan teknologi informasi sebagai tuntutan pembelajaran IPS era digital. Pada dasarnya, pembelajaran digital yang saat ini dikembangkan mengacu pada riset-riset sehubungan teknologi informasi, Pendidikan IPS, dan literasi digital di era revolusi Industri 4.0 untuk memenuhi kebutuhan kompetensi masyarakat masa kini.

(19)

2.1 Perkembangan Ilmu Pengetahuan Sosial (Social Studies) Abad ke-20 dan Era Revolusi Industri ver 1.0 – 1.3.

Mempelajari perkembangan Ilmu Pengetahuan Sosial dari awal mula hingga saat ini dalam era digital menjadi hal yang fundamental. Hal ini dikarenakan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) menjadi salah satu ilmu yang terintegrasi dengan ilmu-ilmu lain dan menjadi ilmu transdisipliner sehubungan pembuatan model konten digital ini. Hal ini tidak terlepas dari tujuan awal IPS dan dinamikanya seiring akan kebutuhan di masyarakat dan perkembangan teknologi yang mengkatalisir segala perubahan yang terjadi (Sukamto & Ratnawati, 2018).

Mengacu pada historis epistemologis perihal perkembangan IPS di Indonesia, halnya tidak mudah teralamati dikarenakan dua faktor mendasar yakni (Winataputra & Darojat, 2011):

1) Tidak adanya lembaga profesional bidang Pendidikan IPS di Indonesia seperti NCSS. Sedangkan, organisasi yang serupa yakni Himpunan Sarjana Pendidikan IPS Indonesia (HISPISI) usianya relatif baru, dan Asosiasi Program Studi Pendidikan IPS Indonesia (APRIPSI).

2) Perkembangan kurikulum dan pembelajaran IPS sebagai ontologi disiplin ilmu Pendidikan IPS sampai saat ini masih bergantung pada pemikiran individual atau kelompok pakar untuk mengembangkan perangkat kurikulum IPS melalui Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarjana Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang Diknas) dan Pusat Kurikulum dan Buku (Puskurbuk Diknas).

Istilah IPS, dikemukakan pertama kali pada Seminar Nasional perihal Civic Education tahun 1972 di Tawamangu, Solo. Terdapat tiga istilah yang tercetus pada seminar nasional tersebut dan istilah penggunaannya kerap kali dipertukarkan, yaitu: Ilmu Pengetahuan Sosial (Social Education), Pengetahuan Sosial (Social Science) dan Studi Sosial (Social Studies).

Penggunaan konsep IPS pertama kali tercetus dalam dunia pendidikan pada tahun 1973 dalam kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Dalam kurikulum tersebut, IPS diidentifikasi menggunakan

(20)

12

beberapa istilah, yakni: Studi Sosial, Pendidikan Kewarganegaraan (PKN), serta Civic dan Hukum (Somantri, 2001).

Pada tahun tersebut, kurikulum PPSP mengenai Konsep Pendidikan IPS direalisasikan dalam tiga bentuk, yakni (Somantri, 2001):

1) PIPS terintegrasi dengan nama PKN atau Studi Sosial.

2) PIPS terpisah, sedangkan istilah IPS hanya digunakan sebagai konsep yang menaungi mata pelajaran Geografi, Sejarah dan Ekonomi.

3) PKN sebagai PIPS yang dikhususkan, sedangkan pada konsep

Social Studies, PIPS termasuk dalam .

Pada kurikulum 1975 PIPS menampilkan empat skema, yakni (Somantri, 2001):

1) Pendidikan Moral Pancasila (PMP) menggantikan PKN sebagai suatu bentuk PIPS khusus yang mewadahi

2) PIPS terpadu yang diperuntukan bagi Sekolah Dasar.

3) PIPS terkonfederasi yang menempatkan IPS sebagai wadah bagi pelajaran Geografi, Sejarah dan Ekonomi Koperasi.

4) PIPS yang terpisah, mencakup diantaranya: mata pelajaran Sejarah, Geografi, dan Ekonomi untuk SMA atau Sejarah dan Geografi untuk SPG.

Kurikulum PIPS tahun 1984 tidak berbeda dengan kurikulum tahun1975, meskipun demikian, kurikulum tahun 1984 sudah banyak mengalami penyempurnaan. Lebih lanjut, pada kurikulum tahun 1994, mata pelajaran PPKN merupakan mata pelajaran sosial khusus yang wajib diikuti oleh semua peserta didik dalam setiap jenjang pendidikan, mencakup pada tingkat SD, SMP, SMA.

Mata pelajaran IPS pada kurikulum 1994 diimplementasikan (Somantri, 2001):

1) PIPS terpadu di tingkat Sekolah Dasar kelas 3 sampai dengan Sekolah Dasar kelas 6.

(21)

2) PIPS menjadi satu kesatuan di SLTP yang mencakup mata pelajaran Geografi, Sejarah dan Ekonomi Koperasi.

3) PIPS terpisah pada tingkat SMU, yang memiliki kesamaan dengan Social Studies.

Pada kurikulum PIPS tahun 2004, mata pelajaran IPS menyerupai sebagaimana yang terdapat pada kurikulum 1994. Perbedaannya terletak pada tingkat SMA, yakni mata pelajaran Sosiologi yang awalnya hanya diperuntukan bagi peserta didik kelas 3 SMA, pada kurikulum 2004 sudah diberikan pada peserta didik jenjang SMA kelas 2.

Juga terdapat perbedaan skema PIPS untuk tingkat pendidikan tinggi dan pendidikan lebih tinggi (Somantri, 2001):

1)

Pendidikan IPS yang dimaksud dalam hal ini adalah penyederhanaan atau adaptasi disiplin ilmu-ilmu sosial, humaniora dan aktivitas mendasar manusia yang diorganisir secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk kepentingan edukasi (Somantri, 2001).

Pendidikan IPS yang dimaksud dalam hal ini adalah seleksi dari disiplin ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan kegiatan dasar manusia yang diorganisir secara ilmiah dan psikologis untuk kepentingan edukasi.

Titik tolak pemikiran mengenai kedudukan konseptual Pendidikan Disiplin Ilmu Pengetahuan Sosial (PDIPS) atau objek kajian dari sistem pengetahuan PDIPS tersebut, yakni (Somantri, 2001):

1) Karakteristik potensi perilaku belajar peserta didik di tingkat SD, SLTP, dan SMA.

2) Karakteristik potensi dan perilaku belajar mahasiswa Fakultas Pendidikan IPS- Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FPIPS- IKIP).

3) Kurikulum IPS dan bahan ajar di SD, SLTP dan SMA.

(22)

14

4) Disiplin ilmu-ilmu sosial, humaniora dan disiplin ilmu lain yang relevan.

5) Teori, prinsip, strategi, media dan evaluasi pembelajaran IPS.

6) Masalah-masalah sosial dan masalah ilmu dan teknologi yang berdampak sosial.

7) Norma agama yang melandasi dan memperkuat profesionalisme.

Perubahan jaman mengubah cara manusia diedukasi, dikarenakan manusia harus memenuhi kebutuhan dan kondisi di masyarakat serta tuntutan dalam masyarakat. Hal ini teralamati pada beberapa periode waktu (Thangaraj &

Lakshmi, 2018). :

1) Revolusi Industri versi 1.0: yang dimulai sekitar abad ke-18 Masehi dengan penggunaan perangkat pada pabrik-pabrik yang merupakan bentuk industrialisasi masa awal. Tenaga penggerak mesin-mesin produksi kala itu adalah tenaga mekanik semisal air dan arus.

2) Revolusi Industri versi 2.0: yang dimulai pada abad ke-19 Masehi dengan penggunaan perangkat pada pabrik-pabrik yang memproduksi produk-produk rakitan masal dengan tenaga buruh serta mesin-mesin produksi bertenaga listrik.

3) Revolusi Industri versi 3.0: yang dimulai sekitar abad ke-20 dengan penggunaan perangkat-perangkat terotomatisasi. Tenaga penggerak mesin-mesin produksi yang digunakan adalah listrik serta perangkat komputer.

4) Revolusi Industri versi 4.0: yang dimulai sekitar abad ke-21 hingga kini, saat ini kita masih berada dalam era industri versi 4.0. Industri pada masa tersebut yakni perangkat produksi yang pintar dengan kecerdasan buatan, teknologi utamanya adalah IoT (Internet of Thing), Cloud Technology, serta Big Data. Kehadiran internet dan berbagai perangkat komputer canggih adalah contoh dari perkembangan era industri versi 4.0.

Bahkan berbagai metode serta perangkat pembelajaran pun mengalami transformasi, halnya terasa sewaktu era informasi yang semuanya terkomputerisasi, misalnya: perangkat pembelajaran terkomputerisasi serta materi atau bahan pelajaran terdigitalisasi. Perkembangan

(23)

(ICT) atau Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), mampu mengubah cara-cara kita belajar dan mendapatkan informasi, diciptakannya sistem e-learning atau pembelajaran jarak jauh, berbagai perangkat komputer canggih, serta ketersediaan konten digital edukatif adalah wujud dari perkembangan era industri saat ini (Munir, 2017).

2.2 Perkembangan IPS Abad ke-21 (Revolusi Industri ver 4.0)

Pendidikan IPS dipandang sebagai sebuah pendidikan disiplin ilmu dengan menggunakan bidang kajian yang menggunakan metode-metode dari berbagai ilmu yang dikenal dengan “

”, dan “kajian konseptual sistemik” merupakan kajian baru. Hal ini berbeda dari bidang kajian monodisiplin atau disiplin ilmu tradisional. Pendekatan monodisiplin yang juga dikenal sebagai pendekatan struktural, merupakan suatu bentuk atau model pendekatan yang hanya berfokus pada satu disiplin ilmu saja, tanpa terhubung dengan struktur ilmu lainnya (Somantri, 2001).

Dengan mempertimbangkan kompleksitas permasalahan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, maka di tahun 1970-an mulai diperkenalkan Pendidikan IPS (PIPS) sebagai sebuah pendidikan disiplin ilmu. Istilah pendidikan disiplin ilmu pertama kali dicetuskan oleh Numan Somantri. Gagasan tentang PIPS ini berdampak dengan terciptanya PIPS memiliki ciri khas jika dibandingkan dengan mata pelajaran lain. PIPS sebagai pendidikan disiplin ilmu, memiliki kajian terpadu (integrated), interdisipliner, multidimensional bahkan cross-disipliner. Kebutuhan ini teralamati dari perkembangan PIPS sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah yang ruang kajiannya semakin meluas seiring dengan meningkatnya kompleksitas dan berbagai permasalahan sosial yang melibatkan banyak kajian secara terintegrasi dari berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial, teknologi, humaniora, lingkungan bahkan sistem kepercayaan dan ilmu pasti semisal Ilmu Pengetahuan Alam.

(24)

16

Terdapat beberapa hubungan ilmu-ilmu sosial dengan IPS, yaitu (Hasan, 1995):

1) IPS bukan disiplin ilmu seperti halnya ilmu-ilmu Sosial, IPS lebih tepat dipandang sebagai suatu bidang kajian.

2) IPS mengambil pendekatan multidisipliner atau interdisipliner, sedangkan ilmu-ilmu sosial menggunakan pendekatan disiplin ilmu atau monodisiplin.

3) Ilmu Pengetahuan Sosial dirancang untuk kepentingan pendidikan.

Berbeda dengan ilmu-ilmu sosial yang diimplementasikan pada ruang lingkup yang lebih luas.

4) IPS mengimplementasikan ilmu-ilmu sosial dalam mengembangkan pembelajaran dengan juga mempertimbangkan aspek psikologis dan pedagogis.

Persamaan antara social studies dengan social sciences terletak pada objek yang ditelaah, yaitu manusia dan kehidupan bermasyarakat. Keduanya membahas masalah yang muncul akibat hubungan antar manusia (interrelationship), keduanya pun mempelajari perihal masyarakat manusia, dan segala aspek kehidupan sosial masyarakat, serta berbagai problem yang muncul di masyarakat.

Perbedaan mendasar antara ilmu-ilmu sosial dengan ilmu pengetahuan sosial terletak pada tujuan ilmu masing-masing. Ilmu sosial bertujuan memajukan dan mengembangkan konsep dan generalisasi melalui penelitian ilmiah, membuat hipotesis serta menghasilkan teori baru.

Sedangkan, tujuan Ilmu Pengetahuan Sosial memiliki kecenderungan untuk mengedukasi, dan bukan pada penemuan teori ilmu sosial, meskipun hal itu dimungkinkan.

Salah satu tujuan utama dari IPS yakni keberhasilan dalam mengedukasi dan bagaimana siswa dapat mengaplikasikan Ilmu Pengetahuan Sosial dalam aktivitas dan kehidupannya, berupa terciptanya tujuan instruksional.

Untuk tujuan itulah Ilmu Pengetahuan Sosial mengambil bagian-bagian ilmu-ilmu sosial untuk kepentingan pengajaran. Penyederhanaan konsep dari ilmu sosial ditujukan agar lebih mudah dipahami oleh peserta didik.

(25)

Mengenai kerangka dan konsep dasar dari IPS dapat dideskripsikan sebagai berikut (Hasan, 1995):

1) Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) bukan bidang keilmuan atau disiplin bidang akademis, tetapi merupakan sebuah bidang kajian yang berfokus pada masalah-masalah sosial di masyarakat.

2) Kerangka kerja IPS mengkaji bidang-bidang keilmuan yang adalah bidang-bidang ilmu sosial, sifatnya non teoritis, tetapi praktikal, dengan mempelajari gejala dan masalah-masalah sosial yang ada di lingkungan masyarakat, umumnya diajarkan di tingkat sekolahan, yakni di Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi.

3) IPS menggunakan pendekatan interdisipliner atau bersifat multidisipliner dengan menggunakan berbagai bidang keilmuan guna meninjau gejala atau masalah sosial dari berbagai dimensi atau aspek kehidupan, sedangkan pendekatan ilmu-ilmu sosial (Sosial Sciences) bersifat disipliner.

4) Bidang studi IPS, pada dasarnya merupakan perpaduan ilmu-ilmu sosial. Misalnya, pada tingkat Sekolah Dasar (SD), IPS memadukan antara geografi dan sejarah. Pada Sekolah Lanjut Menengah Pertama (SLTP), IPS memadukan geografi, sejarah dan ekonomi koperasi. Di Sekolah Lanjut Tingkat Atas (SLTA), IPS memadukan geografi, sejarah dan ekonomi koperasi dan antropologi.

Sedangkan pada jenjang perguruan tinggi, bidang studi IPS dikenal sebagai studi sosial, yang merupakan perpaduan dari berbagai bidang keilmuan Ilmu Sosial. Studi Sosial pun pada dasarnya memiliki perbedaan yang mendasar dengan ilmu-ilmu sosial.

Proses pembelajaran pendidikan IPS dilakukan secara berjenjang dan kontinu, menyesuaikan dengan kebutuhan serta tingkat usia peserta didik.

Metode pembelajaran pun disesuaikan dengan kehidupan bermasyarakat, terutama di era Industri versi 4.0 dimana berbagai aspek hidup bertransformasi dalam bentuk digital. Maka dari itu literasi digital adalah aspek mendasar yang menjadi bagian dari Pendidikan IPS dalam mempersiapkan peserta didik sebagai bagian dari masyarakat dengan kompetensi literasi digital.

(26)

18

2.3 Kurikulum IPS Abad ke-21

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan bidang studi yang mempelajari, menelaah, serta menganalisis gejala dan masalah-masalah sosial di masyarakat, yang ditinjau dari berbagai aspek kehidupan secara terpadu.

IPS diajarkan pada pendidikan dasar dan menengah, sebagai dasar atau pengantar dalam mempelajari studi sosial atau ilmu sosial di tingkat yang lebih tinggi.

IPS yang diberikan di Sekolah Dasar, secara mendasar mengkaji fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial.

Materi dalam IPS merupakan perpaduan dari materi sejarah, geografi, sosiologi, dan ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diedukasi menjadi warga negara Indonesia yang bertanggung jawab, demokratis, serta warga dunia yang cinta damai. IPS di Sekolah Dasar mengalami perubahan dari waktu ke waktu dikarenakan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan masyarakat seiring perkembangan jaman.

Pada dasarnya, perkembangan tiap kurikulum merupakan penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya. Kurikulum pada dasarnya merupakan pengaturan mengenai tujuan, dan isi bahan pelajaran yang ditujukan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dua dimensi kurikulum yakni: (1) Rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, dan (2) Cara yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 Ayat (2) menyatakan bahwa kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Atas dasar pemikiran tersebut maka dikembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang mulai dilaksanakan pada tahun ajaran 2006/2007.

Kurikulum IPS tahun 2006 hanya berfokus pada capaian Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang dipersyaratkan. Hal ini memberikan peluang pada tenaga pendidik sebagai pengembang kurikulum dalam mengkreasikan pembelajaran IPS yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM). Dengan demikian peserta didik dapat mengembangkan keterampilan, sikap, dan pemahaman dengan penekanan

View publication stats

Referensi

Dokumen terkait

Berdasar kan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai analisis pembelajaran tematik berbasis kearifan lokal menggunakan data Analisis Data Miles And Huberman1984 terdapat hasil

Chapter One: Introduction In March of 2011 the Syrian Civil War broke out, and over 620,000 Syrians sought refuge in Jordan.1 With 6.6 million internally displaced Syrians and over