BAB I PENDAHULUAN
Latar belakang
Masyarakat hukum adat merupakan masyarakat dengan bentuk komunal Masyarakat komunal merupakan masyrakat dimana segala bidang kehidupan diliput oleh kebersamaan.1Mengenai masyarakat hukum adat, secara teoritis pembentukannya disebabkan karena adanya faktor ikatan yang mengikat masing- masing anggota masyarakat hukum adat tersebut. Faktor ikatan yang membentuk masyarakat hukum adat secara teoritis adalah karena faktor genealogis (keturunan) dan faktor territoria (wilayah)2.
Mengenai masyarakat hukum adat, secara teoritis pembentukannya disebabkan karna adanya faktor ikatan yang mengikat masing-masing anggota masyarakat hukum adat tersebut. aktor ikatan yang membentuk masyarakat hukum adat secara teoritis adalah karena faktor genealogis (keturunan) dan faktor territorial (wilayah).3 Masyarakat Hukum Adat nampak pula oleh kita sebagai subyek hukum (rechtssubjecten) yang sepenuhnya dapat turut serta dalam pergaulan hukum.
Mr B. Ter Haar Bzn diterjemahkan K. Ng. Soebakti Poesponoto, Asas-Asas dan
1 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal.187
2DewiWulanSari,HukumAdatIndonesia,(Bandung:RefikaAditama,2009), hal.25.
3Ibid, hal 25.
Susunan Hukum4 Masyarakat sendiri dapat dikatakan sebagai suatu persekutuan yang batasannya adanya gerombolan yang teratur bersifat tetap dengan mempunyai kekuasaan sendiri, pula kekayaan sendiri berupa benda yang kelihatan dan tidak kelihatan mata.5
Akhir-akhir ini maraknya kasus hukum terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Sebagai contoh kasus adalah aktivitas penambangan liar terhadap kandungan emas di Gunung Botak Pulau Buru. Ketika Masyarakat adat dan gabungan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) Kabupaten Buru, tergabung dalam Aliansi Bupolu Raya, perihatin dengan kondisi Gunung Emas, beramai-ramai mendatangi Kantor DPRD Buru dan Polres Buru, 12 Februari 2018.
Mereka mendesak Pemerintah Maluku bersama TNI/Polri,segera menangkap mafia merkuri dan sianida di kabupaten itu.Menurut mereka, jual beli merkuri dan sianida makin marak untuk pengolahan emas ilegal di Gunung Botak. Kasus tersebut dilatarbelakangi bentuk eksploitasi terhadap lingkungan hidup yang cukup besar, di mana aktivitas ini telah menelan korban, baik nyawa, harta benda bahkan lingkungan.
Eksploitasi ini berkaitan dengan penambangan liar terhadap tambang emas yang diperkirakan memiliki kandungan yang cukup besar.
4Mr.B.TerHaarBznditerjemahkanK.Ng.SoebaktiPoesponoto,Asas- AsasdanSusunanHukumAdat(BeginselenenStelselvanHatAdatRecht),Cetakan- 19,(Jakarta:PT.PradnyaParamita,1987), hal.6.
5Ibid. hal.6.
Dilihat dari contoh kasus yang lainnya adalah pengkriminalisasian seorang warga adat berasal dariRaja Ampat bernama Abdul Rajab Wailata Bin Senin Wawiyai. Kasus tersebutdilatarbeakangi oleh aksinya menebang pohon di wilayah yang sebenarnya adalahwilayah adat masyarakat hukum adat. Ia ditangkap dengan tuduhan melakukanpenebangan hutan di kawasan hutan yang tidak sesuai izin pemanfaatan hutan. 6Kasus di atas hanya beberapa diantara banyaknya kasus yang menimpa masyarakat hukum adat di berbagai wilayah Indonesia.
Mekanisme penyelesaian konflik kasus-kasus semacam ini masih belumbisa dilakukan secara maksimal oleh hukum positif yang ada. Bedasarkanperspektif teori hukum progresif, adanya hukum bertujuan untuk mengantarkanmanusia kepada kehidupan yanga adil, sejahtera, dan membawa manusia kepadakebahagiaan sejati.
Sebagaimana Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yangmemiliki tujuan yang sama, yaitu membangun keadilan bagi seluruh rakyatIndonesia. Hal itu berarti mencakup Masyarakat Hukum Adat yang turut hiduppula di dalamnya.
Di sisi lain, negara melalui kosntitusinya telah secara tegas dan jelasmengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat. Hal ini terteradalam Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945yang berbunyi
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuanmasyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidupdan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
6(Konsorsium Pembaruan Agraria.www.kpa.or.id/news/ blog/kriminalisasimasyarakat-adat- di-raja-ampat/, akses 7 Januari 2017).
diatur dalam undang-undang”. Artinya, negaralah yangmenjaminkeberlangsungan hidup seluruh masyarakat termasuk masyarakathukum adat beserta seluruh hak- haknya.
Upaya memahami konteks perlindungan hukum masyarakat adat, perlu untuk mengkaji bagaimana sesungguhnya konstitusi Indonesia mengatur terkait pengakuan dan jaminan hak masyarakat adat. Hal ini sangat berkaitan dengan negara modern, konstitusi, dan perlindungan terhadap masyarakat adat. Negara modern muncul bersamaan dengan paham demokrasi, hak asasi manusia dan konstitusionalisme. Dalam negara modern, konstitusi merupakan dokumen yang berisi perjanjian semua komponen yang berada dalam negara untuk mencapai tujuan bersama yang menggariskan cita-cita, hak-hak yang harus dipenuhi dan kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak-hak tersebut. Konstitusi hadir sebagai refleksi dari hubungan-hubungan sosial di dalam warga masyarakatnya. Oleh karena itu konstitusi dapat pula disebut sebagai satu monumen, suatu dokumen antropologi karena mengekspresikan kosmologi suatu bangsa, mengejawantahkan cita-cita, harapan dan mimipi-mimpi tentang membangun negara.7
Pengakuan dan perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat telah ditentukan dalam Pasal 3 UUPA dan Pasal 18 B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, selain itu, perlindungan hukum serta pengakuan hak-hak masyarakat hukum
7 Rahardjo, Satjipto, Hukum Adat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Perspektif Sosiologi Hukum). Dalam Hilmi Rosyida dan Bisariyadi (edt), Inventarisasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, (Jakarta: Komnas HAM, Mahkamah Konstitusi RI, dan Departemen Dalam Negeri, 2005), hal.43.
adat juga telah ditentukan dalam berbagai 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dan peraturan perundang-undangan sektoral lainnya, seperti Undang-Undang Nomor Undang-undang No. 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air.
Kasus-kasus yang terjadi belakangan ini memperkuat terjadinyakebangkitan masyarakat hukum adat di seluruh wilayah Indonesia. Terdapatempat faktor yang manjadi pendorong adanya kebangkitan masyarakat hukumadat , yaitu8
1) hal ini tidak lain merupakan kontribusidari perkembangan wacana dan dorongan dari organisasi-organisasi internasional.Kebangkitan semacam ini telah terjadi pertama kali di Denmark pada tahun 1968yang diprakarsai oleh kelompok antropolog professional. Bahkan kebangkitan masyarakat hukum adat ini menajdi pendorong lahirnya ILO Convention 169Concerning Indigenous and Tribals People in on the Right of IndegenousCountries (1989).
2) Faktor tekanan dan penindasan di bawah Orde Baru yangmana muncunya asumsi bahwa mereka adalah korban dari program-programpembangunan pada masa tersebut.
8Arizona, Y.2006, ‘Masyarakat Adat Dan Masalah Pembangunan’, makalah disampaikan dalam Sekolah Hak Asasi Manusia (SEHAMA) yang diselenggarakan oleh Kontraks, 4 Agustus 2016.
3) Faktor keterbukaan pasca Orde Baru yangtelah membuka ruang keterlibatan massa secara lebih luas.
4) Pandanganideologis yang diwariskan oleh para pemikir hukum adat pada masa kolonialismetelah memberikan kobtribusi besar dalam pembahasan mengenai masyarakat adatyang sampai sekarang masih digunakan oleh kalangan akademisi danpemerintahan.
Berdasarkan hal-hal tersebutlah penulis melakukan penelitian ini, gunamengkaji lebih jauh terkait Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat Hukum Adat Yang Lingkungan Hidupnya Tercemar.
Rumusan masalah :
1. Apakah ada perlindungan hukum bagi masyarakat hukum adat korban pencemaran?
2. Apasaja bentuk perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat yang lingkungan hidupnya tercemar?
Tujuan penelitian :
1. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi masyarakat hukum adat korban pencemaran
2. Untuk mengetahui upaya hukum terkait perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat yang lingkungan hidupnya tercemar
Manfaat penelitian :
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi teoritis dalam rangka mengembangkan kosep perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat atas izin lingkungan terhadap sebuah proyek atau kegiatan di kerjakan perusahaan dan perlindungan hukum bagi masyarakat hukum adat korban pencemaran.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi para praktisi dan aparat penegak hukum dalam memecahan permasalahan yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi masyarakat hukum adat.
Kerangka konseptual
Kerangka teori merupakan “kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan problem), yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.9 Kerangka teori adalah penentuan tujuan dan arah penelitiannya dalam memilih konsep-konsep yang tepat guna pembentukan hipotesa-hipotesanya, makan teori iu bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, tetapi harus dianggap sebagai petunjuk analisis dan hasil penelitiannya yang dilakukan.10
9M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994, hal. 91.
10Ibid, hal. 93.
1. Teori Negara HukumPancasila
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan, bahwa “Negara Indonesia negara hukum”. Negara hukum dimaksd adalah negara yang menegakan supermasi hukum untuk menegakan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggung jawabkan.
Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan negara hukum ialah negara yang berdiri di atas hukum yang menjmin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya.
Wirjono Prodjodikoro berpendapat, negara hukum berarti suatu negara yang didalam wilayahnya adalah:
a. Semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintah dalam tindakan baik terhadap para warga negara maupun dalam saling berhubungan masing-masing, tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
b. Semua orang (penduduk) dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku11.
Menurut Aristoteles, yang memerintah dalam suatu negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik tidaknya suatu peraturan undang-undang dan membuat undang-undang adalah bagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Oleh karena itu, yang penting adalah mendidik manusia menjadi warga negara yang baik, karena dari sikapnya yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga negaranya.
2. Konsep perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan olehCornelius Van Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid dari Cornelius VanVollenhoven mengeksplor lebih mendalam tentang masyarakat hukum adat.Ter Haar memberikan pengertian sebagai berikut, masyarakat hukum adatadalah kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu,mempunyai kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupabenda yang terlihat maupun yang tidak terlihat, dimana para anggota kesatuanmasing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yangwajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun diantara para anggota
11Wirjono Prodjodikoro, Hukum Tatanegara Indonesia, Cet. 10, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, hal. 83.
itumempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yangtelah tumbuh itu atau meninggalkan dalam arti melepaskan diri dari ikatan ituuntuk selama-lamanya.12
Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang merupakan persekutuanhukum itu, para anggotanya terikat oleh faktor yang bersifat territorial dangeneologis. Menurut pengertian yang dikemukakan para ahli hukum di zamanHindia Belanda, yang dimagsud dengan masyarakat hukum atau persekutuanhukum yang territorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yanganggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitanrohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur.13
Dalam buku De Commune Trek in bet Indonesische, F.D.
Hollenmannmengkontruksikan 4 (empat) sifat umum dari masyarakat adat, yaitu magisreligius, komunal, konkrit dan kontan. Hal ini terungkap dalam uraian singkatsebagi berikut14:
1. Sifat magis religius diartikan sebagai suatu pola pikir yangdidasarkan pada keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatuyang bersiafat sakral.
12Husen Alting,Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Tanah, Yogyakarta,2010,hal.30.
13H.Hilman Hadikusuma,S.H.Hukum Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia,Mandar Maju,Bandung 2003.hal 108
14 Husen Alting, Op. Cit.,hal:46
Sebelum masyarakat bersentuhan dengansistem hukum agama religiusitas ini diwujudkan dalam caraberfikir yang frologka, animism, dan kepercayaan pada alam gahib.Masyarakat harus menjaga kehamonisan antara alam nyata danalam batin (dunia gaib). Setelah masyarakat mengenal systemhukum agama perasaan religius diwujudkan dalam bentukkepercayaan kepada Tuhan (Allah). Masyarakat percaya bahwasetiap perbuatan apapun bentuknya akan selalu mendapat imbalandan hukuman tuhan sesuai dengan derajat perubahannya.
2. Sifat komunal (Commuun), masyarakat memiliki asumsi bahwasetiap setiap individu, anggota masyarakat merupakan bagianintegral dari masyarakat secara keseluruhan. Diyakini bahwakepentingan individu harus sewajarnya disesuaikan dengankepentingan-kepentingan masyarakat karena tidak ada individuyang terlepas dari masyarakat.
3. Sifat kongkrit diartikan sebagai corak yang seba jelas atau nyatamenunjukkan bahwa setiap hubungan hukum yang terjadi dalammasyarakat tidak dilakukan secara diam-diam atau samar.
4. Sifat kontan (kontane handeling) mengandung arti sebagaikesertamertaan terutama dalam pemenuhan prestasi yang diberikansecara sertamerta/seketika.
Pengertian masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal 1 ayat 15Peraturan Menteri Agraria dab Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan NasionalNomor 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal
Atas TanahMasyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam KawasanTertentu, menyebutkan bahwa pengakuan hak masyarakat hukum adat adalahpengakuan pemerintah terhadap keberadaan hak-hak masyarakat hukum adatsepanjang kenyataannya masih ada. Dengan demikian dapat disimpulkanbahwa masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang mempunyaiketentuan sendiri, batas wilayah sendiri, serta norma-norma yang berlakudimasyarakat itu dan dipatuhi oleh kelompok masyarakat yang ada dikelompok tersebut.
METODE PENELITIAN :
1. Tipe Penelitian
Merujuk pada latar belakang dan rumusan masalah yang diambil,maka penelitian ini dikatagorikan sebagai penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan15alam penelitian hukum normatif hukum yang tertulis dikaji dari berbagai aspek seperti aspek teori, filosofi, perbandingan, struktur/
komposisi, konsistensi, penjelasan umum dan penjelasan pada tiap pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang serta bahasa yang digunakan adalah bahasa hukum. Penelitian yang akan dibahas ini dapat
15Soerjono Soekanto,1986,Pengantar Penelitian Hukum,Jakarta UI Press, hal.34
dimasukan kedalam katagori penelitian hukum normatif karena penelitian ini membahas mengenai pengaturan hukum terkait dengan izin lingkungan terhadap sebuah proyek atau kegiatan dikerjakan oleh perusahaan dan perlindungan hukum bagi masyarakat hukum adat korban pencemaran.
2. Pendekatan Masalah
Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, yang mana dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan inforasi dari berbagai aspek mengenai su hukum yang sedang diteliti.16 Adapun untuk menjawab permasalahan yang ada dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua pendekatan masalah, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan (statue approach) adalah Pendekatan dengan menelah semua peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan (isu hukum) yang sedang dihadapi. Pendekatan perundang- undangan ini misalnya dilakukan dengan mempelajari konsistensi/kesesuaian antara Undang-Undang Dasar dengan Undang- Undang, atau antara Undang-Undang yang satu dengan Undang-Undang yang lain. Sedangkan pendekatan konseptual (conceptual approach) adalah Pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Pendekatan in menjadi penting
16Soerjono Soekamto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 2003, hal. 15.hal. 133.
sebab pemahaman terhadap pandangan/doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum dapat menjadi pijakan untuk membangun argumentasi hukum ketika menyelesaikan isu hukum yang dihadapi. Pandangan/doktrin akan memperjelas ide-ide dengan memberikan pengertian-pengertian hukum, konsep hukum, maupun asas hukum yang relevan dengan permasalahan.
3. Sumber Bahan Hukum
Dalam Penelitian hukum khususnya yuridis normatif sumber penelitian hukum diperoleh dari kepustakaan bukuan dari lapangan, untuk itu istilah yang di kenal adalah bahan hukum. Dalam penelitian hukum normatif bahan pustaka merupakan bahan dasar yang dalam ilmu penelitian umumnya disebut bahan hukum sekunder terbagi bahan hukum primer dan sekunder.
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.
Bahan hukum primer yang di gunakan dalam penelitian ini terdiri dari peraturanperundang-undangan yaitu :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
2. Undang-Undang R.I Nomor 32 Tahun 2009. Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang PokokAgraria 4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan.
6. UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
7. Undang-undang No. 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air.
b. Bahan Hukum Sekunder
Merupakan bahan hukum yang bersifat membantu dan menunjang bahan hukum primer dalam penelitian yang akan memperkuat penjelasan di dalamnya. Diantara bahan-bahan hukum sekunder dalam penelitian adalah buku-buku, makalah, jurnal, dan documen-docemen yang mengulas.
Pengeolahan Dan Analisa Bahan Hukum
A. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Merupakan persoalan metodologis yang berkaitan dengan teknik- teknik pengumpulan data. Keputusan alat pengumpul data mana ang akan dipergunakan tergantung pada permasalaan yang akan diamati. Karena jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif maka peneliti memilih untuk menggunakan studi dokumen atau dokumentasi untuk alat pengumpul datanya. Studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum. Studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
B. Analisa Bahan Hukum
Analisa yang di lakukan akan menggunakan metode analisis kualitatif, yang adalah merupakan cara menginterprestasi dan mendiskusi bahan hasil penelitian berdasarkan pada pengertian hukum, norma hukum,teori-teori hukum serta doktrin yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Norma hukum diperlukan sebagai premis mayor, kemudian dikorelasikan dengan fakta-fakta yang relevan (legal facts) yang dipakai sebagai premis minor dan melalui proses silogisme akan diperoleh kesimpulan (conclution) terhadap permasalahannya.17
17Marzuki Mahmud Peter.Penelitian Hukum,Kencana Prenada Media Group.Jakarta,2011