Kelompok 2
Calista Shifa Tazkiya (5017221014) Salsabila Safa Ardelia (5017221021) Yogi Ananta Wahyudi (5017221025) Bram Gamaliel Sitompul (5017221032) Hilda Uns. Rahmatillah (5017221037) Maulana Wahyu Prasetyo (5017221041) Octa Assani Silvia Styaningsih (5017221048) Rizal Zahid Zidane (5017221064)
Asyuniva Dwi Chantika (5017221075)
Muhammad Hazami Setyantama (5017221090)
Sejarah Geologi Pegunungan Selatan
Pegunungan Selatan merupakan satuan fisiografi regional yang terbentang di bagian selatan Pulau Jawa, mulai dari Teluk Ciletuh di Jawa Barat hingga Semenanjung Blambangan di Jawa Timur. Wilayah ini memiliki sejarah geologi yang kompleks, dipengaruhi oleh faktor endogenik seperti aktivitas tektonik dan vulkanisme, serta faktor eksogenik seperti erosi dan sedimentasi. Pada Era Oligo-Miosen, Pegunungan Selatan didominasi oleh batuan vulkanik yang membentuk batas utara dan barat terhadap Zona Depresi Solo dan Cekungan Yogyakarta, sementara di bagian selatan, batuan karbonat berumur Mio-Pliosen terbentuk akibat sedimentasi laut dangkal dan mengalami pengangkatan hingga membentuk topografi kars Gunung Sewu. Pada Pleistosen Tengah, terjadi pengangkatan signifikan yang menghasilkan lajur-lajur pegunungan dengan kelurusan utama berarah barat-barat laut – tenggara (BBL-TTg), membentuk struktur fisiografi utama seperti Pegunungan Baturagung di utara dan Pegunungan Sewu di selatan. Selanjutnya, pada Pleistosen Akhir, pengangkatan lebih lanjut menciptakan depresi topografi seperti Cekungan Wonosari dan Cekungan Baturetno, dengan proses episodik yang membentuk undak-undak pantai purba, menunjukkan bahwa aktivitas tektonik berlangsung dalam beberapa tahap. Selain itu, pada fase ini, terjadi perubahan arah aliran Sungai Bengawan Solo Purba akibat perompakan aliran (stream piracy), yang mengalihkan alirannya dari selatan ke utara menuju Cekungan Baturetno.
Secara struktur geologi dan morfologi, bagian utara terdiri dari lajur-lajur pegunungan yang tersusun atas batuan beku dan volkaniklastik dengan kontrol struktur geologi yang kuat, bagian tengah didominasi oleh cekungan seperti Cekungan Wonosari dan Baturetno yang terbentuk akibat aktivitas tektonik dan pengangkatan diferensial, sementara bagian selatan ditandai oleh topografi kars Gunung Sewu yang terbentuk akibat pengangkatan batuan karbonat dan proses pelarutan intensif. Sejarah geologi Pegunungan Selatan menunjukkan pengaruh kuat dari faktor endogenik dan eksogenik dalam proses pembentukannya, dengan pengangkatan utama yang terjadi pada Pleistosen Tengah dan Pleistosen Akhir secara episodik, yang mengubah pola fisiografi wilayah ini secara signifikan. Studi lebih lanjut diperlukan untuk memahami secara mendalam dinamika tektonik dan evolusi geomorfologi Pegunungan Selatan. (Husein, S., & Srijono. 2007)
Pegunungan Selatan mengalami pengangkatan tektonik pada Kala Pleistosen Awal yang membentuk Cekungan Yogyakarta, kemudian dipengaruhi oleh aktivitas vulkanik Gunung Merapi sejak sekitar 0,67 juta tahun lalu. Aktivitas vulkanik ini menghasilkan material yang mengendap di lembah datar yang berbatasan dengan Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulon Progo, sebagaimana dibuktikan oleh penanggalan karbon-14 (14C) pada endapan lempung hitam di Sungai Progo dan Sungai Opak, yang menunjukkan umur antara 16.590 hingga 310 tahun. Proses ini menyebabkan perubahan lanskap secara bertahap, di mana genangan air purba terbentuk dan kemudian mengering akibat pasokan material vulkanik yang terus bertambah dalam siklus sekitar 50-150 tahun. Selain itu, wilayah ini juga mengalami banyak gempa tektonik yang berkontribusi terhadap pembentukan sesar dan perubahan struktur geologi, seperti gempa besar pada tahun 1867, 1937, 1943, dan 1981.
(Siregar, D. A. 2006)
Sejarah Mineralisasi Pegunungan Selatan
Zona Pegunungan Selatan adalah jalur gunung berapi zaman Tersier. Pada tahap tektogenesis Eosen Akhir–Miosen Awal dan setelah Miosen Akhir–Pliosen, terjadi retakan kuarsa dan perubahan karena aktivitas hidrotermal. Pada tahap tektogenesis kedua, setelah Pliosen, proses pengangkatan utama terjadi di wilayah Jawa Timur Pegunungan Selatan. Ini menyebabkan magma masuk dan mengisi rekahan dengan magma. Banyak dari litologi di wilayah Sumbermanjing Wetan telah mengalami perubahan dan di beberapa tempat, mineralisasi telah mengikutinya. Zona alterasi propilitik, zona alterasi argilik, dan zona alterasi argilik lanjut adalah zona alterasi yang dominan di wilayah ini.
Adanya batuan intrusi dengan sifat yang berbeda-beda yang menghasilkan alterasi mineral yang berbeda-beda, seperti yang ditunjukkan pada peta geologi lembar Turen, menunjukkan bahwa adanya larutan hidrotermal yang menerobos ke permukaan yang melewati rekahan batuan, yang dapat mengubah sifat batuan yang dilewatinya dan mengendapkan mineral-mineral berbeda. Di wilayah Kecamatan Sumbermanjing Wetan, struktur geologi berbentuk sesar dan kekar (rekahan), dengan air terjun, tebing-tebing gawir, dan lembah perbukitan yang terjal. Zone-Zona ini lemah sehingga larutan hidrotermal dapat melewatinya. Jaringan rekahan (kekar) yang berkembang berfungsi sebagai jalan bagi larutan sisa magmatisme untuk mengisi dan mengendapkan mineral ekonomis (Yuwanto, 2017).
Kondisi Geologi Umum dan Mineralisasi.
1. Geologi Regional
Daerah Sumbermanjing, Malang Selatan terletak di dalam Zona Pegunungan Selatan Jawa Timur, yang merupakan bagian dari Pegunungan Selatan Jawa (Van Bemmelen, 1949). Wilayah ini memiliki kompleksitas geologi yang tinggi, didominasi oleh batuan vulkanik Tersier, serta mengalami proses tektonik, magmatik, dan sedimentasi sejak zaman Oligosen Akhir hingga Miosen (Surono, 2009).
Secara tektonik global, wilayah ini berada pada cekungan antar busur hingga busur vulkanik, yang berkembang akibat subduksi lempeng Indo-Australia terhadap Eurasia. Aktivitas magmatisme yang terjadi sejak Oligosen Akhir - Miosen Awal menghasilkan intrusi batuan andesit, dasit, diorit, dan basal, yang menembus formasi batuan melalui rekahan akibat gaya tektonik (Yuwanto & Ridwan, 2017).
Zona ini mengalami dua tahap utama tektogenesis, yaitu:
1. Eosen Akhir - Miosen Awal → Ditandai dengan pembentukan rekahan kuarsa dan transformasi hidrotermal yang mengubah mineral-mineral di batuan.
2. Setelah Miosen Akhir - Pliosen → Terjadi pengangkatan dan intrusi magma, menyebabkan rekahan batuan yang memfasilitasi mineralisasi, termasuk piropilit, pirit, dan kalkopirit (Mutrofin et al., 2006).
Struktur geologi utama yang berkembang di daerah ini meliputi:
1. Sesar Normal 2. Antiklin dan Sinklin
3. Kelurusan dengan arah Tenggara-Barat Laut dan Timur Laut-Barat Daya (Arifin et al., 2021).
Wilayah ini memiliki potensi mineral industri yang tinggi, seperti piropilit, yang digunakan dalam industri keramik, kertas, dan konstruksi (Tyas & Tjahjani, 2011).
2. Geomorfologi
Sumbermanjing Wetan memiliki formasi batuan antara lain Qas, Qal, Tmwl, Tomt, Tomm, Tmn, Tmw, Qptm (Sujanto et al., 1992). Formasi tersebut terbentuk pada masa lampau, dan memberikan konfigurasi bentuk lahan seperti saat ini.
Sumbermanjing Wetan memiliki bentukan proses vulkanik, fluvial, karst, dan wilayah Pulau Sempu (Prabawa et al., 2017) Daerah ini terbentuk karena adanya kenampakan endokarst dan eksokarst (Salaka, 2018; Suprianto et al., 2017). Kenampakan tersebut juga terdapat di bagian utara wilayah kajian (Al Aslami, 2017) Pada wilayah kajian bagian selatan juga berkembang proses Marin yang tersebar sepanjang wilayah kepesisiran. Tipologi kepesisiran dan Pulau Sempu terdiri atas wave erosion coast, land erosion coast, structurally shaped coast, dan sub-aerial depositional coast (Prabawa et al., 2017). Bentang alam fluvial berada di antara perbukitan, daerah ini merupakan dataran banjir dengan endapan kipas aluvium muda berasal dari sungai.
Pada bentang alam vulkanik terdiri dari punggung gunung tidak beraturan yang membentang dari utara dan selatan wilayah kajian. Sumbermanjing Wetan merupakan daerah yang rawan bencana banjir, longsor, dan tsunami serta kekeringan (Sahrina et al., 2020). Ekosistem pesisir memiliki nilai kerentanan rendah dilihat dari aspek fisik, namun kerentanan tinggi di daerah pesisir karena adanya aktivitas manusia (Handartoputra et al., 2015) Menurut Davis, 1954 dalam Thornburry (1967) yaitu:
a. Satuan Geomorfologi Perbukitan Homoklin
Satuan geomorfologi perbukitan homoklin yang terdapat di daerah penelitian dikontrol oleh struktur perlipatan yang menghasilkan bentuk perbukitan yang memiliki jurus perlapisan berarah relatif barat-timur dan kemiringan lapisan ke arah selatan. Satuan formasi wuni dengan kedudukan batuan yang homogen dan arah kemiringan lapisan batuan ke arah selatan. Hasil dari proses-proses eksogen (pelapukan, erosi/denusasi, dan sedimentasi) Pada satuan geomofologi ini terdapat tanah sebagaihasil pelapukan batuan dengan ketebalan tanah berkisar 0,5 m-0,3 m. Hasil erosi dan denudasi yang bekerja pada satuan geomorfologi ini menghasilkan bentuk bentangalam berupa alur-alur bentuk lembah, hal in tercermin dengan relief topografi dari satuan geomorfologi yang bertekstur kasar, sedangkan hasil sedimentasi pelapukan
dan erosi umumnya masuk ke dalam sistem pengaliran sungai yang terdapat di penelitian dan diendapkan sebagai endapan permukaan dan endapan alluvial sungai. Satuan geomorfik ini telah mencapai tahap dewasa, yang terlihat dari perubahan signifikan pada bentang alamnya dibandingkan dengan bentuk aslinya. Perubahan ini disebabkan oleh proses eksogenik, seperti pelapukan dan erosi atau denudasi, yang memengaruhi satuan tersebut. Ciri-ciri yang mencerminkan tahap dewasa ini antaralain adalah lembah yang melebar dan gawir yang curam.
b. Satuan Geomorfologi Perbukitan Karst
Pembentukan satuan geomorfologi perbukitan karst di wilayah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogenik, terutama pelarutan dan erosi oleh air pada endapan batugamping. Batuan yang membentuk morfologi ini berupa batugamping yang umumnya tidak berlapis, meskipun di beberapa lokasi ditemukan batugamping berlapis. Satuan geomorfologi ini mencakup sekitar 30% dari luas daerah penelitian dan ditandai dengan warna biru pada peta geomorfologi. Terletak di bagian selatan lembar peta, satuan ini tersebar dari barat ke timur, membentuk bentang alam perbukitan dengan ketinggian berkisar antara 400 hingga 600 meter di atas permukaan laut serta memiliki kemiringan lereng antara 15° hingga 60°.
Proses geomorfologi utama yang terjadi pada satuan ini melibatkan pelapukan batuan yang menghasilkan tanah dengan ketebalan sekitar 0,5 hingga 2 meter.
Selain itu, proses pelarutan oleh air membentuk topografi karst yang dicirikan oleh bentang alam seperti uvala, sinkhole, serta goa-goa yang terbentuk akibat pelarutan batuan. Dari segi jenjang geomorfik, satuan ini dikategorikan dalam tahap dewasa karena memiliki relief topografi kasar dengan perbedaan ketinggian internal sekitar 10 hingga 20 meter.
c. Satuan Geomorfologi Dataran Aluvial
Satuan geomorfologi dataran aluvial di wilayah penelitian terbentuk akibat proses pengendapan material hasil pelapukan dan erosi batuan yang lebih tua.
Material yang diendapkan berupa material lepas dengan ukuran bervariasi, mulai dari lempung hingga bongkahan. Satuan geomorfologi ini berada di bagian utara lembar peta dan mencakup sekitar 5% dari total luas wilayah penelitian. Secara morfometri, satuan ini memiliki bentuk bentang alam berupa dataran dengan tingkat kemiringan sekitar 0% hingga 2% dan berada pada ketinggian antara 200 hingga 250 meter di atas permukaan laut. Proses geomorfologi yang terjadi pada satuan ini melibatkan pengendapan material hasil pelapukan dan erosi batuan dari daerah hulu sungai. Material ini terbawa oleh aliran air sungai dan kemudian mengendap di wilayah sekitarnya, terutama di area dengan energi aliran yang rendah. Akibatnya, terbentuk morfologi khas endapan aluvial seperti dataran banjir dan gosong pasir.
Berdasarkan perkembangannya, satuan geomorfologi dataran aluvial ini dikategorikan dalam tahap geomorfik muda karena proses erosi dan sedimentasi masih terus berlangsung hingga saat ini.
3. Fisiografi
Daerah Sumbermanjing, Malang Selatan, termasuk dalam Zona Pegunungan Selatan (Van Bemmelen, 1949) yang didominasi oleh batuan vulkanik Tersier dengan kompleksitas geologi yang tinggi. Secara fisiografi, wilayah ini tersusun oleh beberapa satuan morfologi, yaitu dataran aluvial, perbukitan landai, dan pegunungan dengan relief tinggi (Surono, 2009).
Pegunungan Selatan Jawa Timur merupakan rangkaian pegunungan yang membentang relatif dari barat ke timur. Bentang alam di wilayah ini didominasi oleh batuan vulkanik klastik, yang merupakan bagian dari Zona Wonosari Plateau. Selain itu, Pegunungan Selatan juga termasuk dalam jalur gunung api Tersier, yang telah mengalami fase tektogenesis setelah Pliosen. Akibat dari fase tektonik ini, terjadi penerobosan magma dan penyesaran secara bersamaan, yang kemudian memicu pengisian magma ke dalam rekahan-rekahan batuan. Proses ini menghasilkan aktivitas hidrotermal, yang menyebabkan pembentukan urat-urat kuarsa pada batuan yang dilewatinya (Van Bemmelen, 1949).
Pola sesar di Pegunungan Selatan Jawa Timur membentuk pola menyerupai huruf V, yang memisahkan antara daerah tinggi (high) dan daerah rendah (low).
Daerah tinggi umumnya didominasi oleh batuan andesit tua, sedangkan daerah rendah terdiri dari endapan yang terakumulasi di atas Formasi Andesit Tua (Nahrowi, Suratman, & Hidayat, 1978).
4. Stratigrafi
Stratigrafi Malang Selatan terdiri dari berbagai satuan batuan yang terbentuk sejak Oligosen hingga Kuarter. Wilayah ini didominasi oleh batuan gunung api tua yang telah mengalami pelapukan dan rekahan akibat aktivitas tektonik serta magmatisme. Secara umum, stratigrafi Malang Selatan dapat dibagi menjadi beberapa formasi utama, termasuk batuan gunung api dan batuan sedimen yang berasosiasi dengan lingkungan pengendapan yang bervariasi. Berdasarkan peta geologi regional,
daerah ini berada dalam Lembar Turen (Sujanto et al., 1992) dan tersusun oleh beberapa formasi batuan, yaitu:
1. Formasi Mandalika 2. Formasi Wuni 3. Formasi Wonosari 4. Formasi Nampol 5. Sedimen Kuarter
Formasi Mandalika merupakan unit batuan tertua di daerah ini, yang terbentuk pada Oligosen Akhir hingga Miosen Awal. Formasi ini tersusun oleh lava andesit, basal, trakit, dan dasit, serta breksi andesit yang kaya akan mineral piroksen dan hornblende. Selain itu, anggota tuf dari Formasi Mandalika mengandung tuf andesit, tuf riolit, tuf dasit, dan breksi tuf berbatuapung yang menunjukkan struktur perlapisan yang baik. Formasi ini menempati posisi dasar dari stratigrafi Malang Selatan dan menjadi satuan batuan beku yang tidak selaras dengan satuan batuan sedimen yang lebih muda.
Di atas Formasi Mandalika, terdapat Formasi Wuni yang berumur Miosen Tengah. Formasi ini tersusun atas breksi dan lava dengan komposisi andesit hingga basal, serta breksi tuf dan breksi lahar. Selain itu, terdapat kepingan-kepingan kalsedon yang tersebar dalam satuan ini. Lava pada Formasi Wuni memiliki warna abu-abu kehitaman dengan tekstur pejal hingga porfiri. Formasi ini menindih secara tidak selaras batuan yang lebih tua dari Oligosen Akhir hingga Miosen Awal dan menunjukkan hubungan menjari dengan Formasi Nampol.
Formasi Nampol, yang berumur Miosen Tengah, terdiri dari batupasir tufaan, batulempung, napal pasiran, batupasir gampingan, dan batulempung hitam. Formasi ini menindih tidak selaras batuan beku dasit dari Formasi Mandalika dan di beberapa tempat menunjukkan hubungan menjari dengan bagian bawah dari Formasi Wonosari.
Formasi Wonosari, yang juga berumur Miosen Tengah hingga Miosen Akhir, tersusun oleh batugamping dengan variasi litologi berupa batugamping terumbu, batugamping kristalin, dan batugamping pasiran. Selain itu, napal pasiran dan sisipan batulempung kebiruan juga ditemukan dalam formasi ini. Formasi Wonosari merupakan unit yang menunjukkan pengendapan dalam lingkungan laut dangkal dengan energi yang relatif tinggi.
Pada bagian yang lebih muda, terdapat endapan gunung api yang berasal dari aktivitas vulkanik Kuarter, seperti Endapan Gunung Api Buring dan endapan tuf gunung api. Endapan ini terdiri dari lava basal, tuf pasiran, serta tuf kasar berbatuapung dengan warna coklat muda hingga kemerahan. Endapan ini dikaitkan dengan aktivitas gunung api muda seperti Gunung Semeru, Gunung Butak, dan Gunung Buring. Van Bemmelen (1937 dalam Suyanto, 1992) menyebutkan bahwa endapan gunung api ini berasal dari kelompok gunung api Kuarter muda di Jawa Timur.
Struktur geologi yang berkembang di wilayah ini meliputi sesar normal, antiklin, sinklin, serta kelurusan dengan arah Tenggara-Barat Laut dan Timur Laut-Barat Daya (Arifin et al., 2021). Karakteristik geologi yang kompleks ini menyebabkan potensi endapan mineral industri seperti piropilit, yang digunakan
dalam berbagai industri seperti keramik, kertas, dan konstruksi (Tyas & Tjahjani, 2011).
Referensi
Husein, S., & Srijono. (2007). Tinjauan geomorfologi Pegunungan Selatan DIY/Jawa Tengah: Telaah peran faktor endogenik dan eksogenik dalam proses pembentukan pegunungan. Prosiding Konferensi, Universitas Gadjah Mada.
Mulyaningsih, S., Sampurno, Zaim, Y., Puradimaja, D. J., Bronto, S., & Siregar, D. A.
(2006). Perkembangan geologi pada Kuarter Awal sampai Masa Sejarah di Dataran Yogyakarta. Jurnal Geologi Indonesia, 1(2), 103-113.
Yuwanto, Sapto Heru, and Muhammad Ridwan. 2017. “Studi Zona Alterasi Daerah Argotirto Dan Sekitarnya, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur.” Seminar Nasional Sains Dan Teknologi Terapan V 2017, Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya, 25–32.