DOI : http://dx.doi.org/10.21776/ub.jpt.2023.008.2.03
Mekanisme Antagonisme Beberapa Isolat Jamur Endofit terhadap Patogen Colletotrichum gloeosporioides Penyebab Penyakit Antraknosa pada Tanaman
Anggrek Dendrobium secara In Vitro
Mechanism of Antagonism of Some Endophytic Fungi Isolates Against the Pathogen Colletotrichum gloeosporioides Causes Anthracnose Disease in Dendrobium Orchid
Plants In Vitro
Reva Yunisa Alifia, Abdul Latief Abadi*, Fery Abdul Choliq*
Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Jl. Veteran, Malang 65145, Jawa Timur, Indonesia
Korespondensi : [email protected]
Diterima 17 Februari 2023 / Disetujui 20 Juni 2023
ABSTRAK
Tanaman anggrek merupakan salah satu tanaman hias yang disukai masyarakat. Produksi anggrek dari tahun 2018 hingga 2020 semakin menurun, diduga karena adanya serangan penyakit antraknosa. Pengendalian hayati yang digunakan dalam menekan pertumbuhan patogen antraknosa yaitu dengan menggunakan jamur endofit. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari potensi jamur endofit yang paling efektif dalam mengendalikan penyakit antraknosa oleh patogen C. gloeosporioides pada tanaman anggrek Dendrobium. Penelitian disusun menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan yang akan diberikan yaitu C0 : tanpa perlakuan (kontrol), C1 : Perlakuan C. gloeosporioides + Trichoderma sp., C2 : Perlakuan C. gloeosporioides + Aspergillus sp., C3 : Perlakuan C. gloeosporioides + Gliocladium sp., dan C4 : Perlakuan C. gloeosporioides + Penicillium sp. Hasil menunjukkan bahwa Gliocladium sp. memiliki daya hambat tertinggi pada uji antagonis dengan metode dual culture. Keempat isolat memiliki daya hambat diatas 50%. Hasil pengamatan mekanisme antagonisme secara makroskopis, seluruh isolat memiliki mekanisme kompetisi karena kemampuannya dalam memenuhi cawan petri untuk mendapatkan ruang dan nutrisi. Secara mikroskopis, terlihat adanya mekanisme antibiosis dan parasitisme pada beberapa isolat yang dicirikan dengan hifa patogen mengalami lisis dan terdegradasi akibat senyawa atau enzim yang dikeluarkan oleh hifa jamur endofit.
Kata kunci: Anggrek, Jamur Endofit, Mekanisme Antagonisme
ABSTRACT
Orchid plants are one of the ornamental plants. Orchid production from 2018 to 2020 has decreased, allegedly due to anthracnose disease. Biological control used to suppress the growth of anthracnose pathogens is by using endophytic fungi. This study aims to study the potential of the most effective endophytic fungi in controlling anthracnose disease by the pathogen C. gloeosporioides on Dendrobium orchids. The study was arranged using a Completely Randomized Design (CRD) with 5 treatments and 5 replications. The treatments were C0 : no treatment (control), C1 : treatment C.
gloeosporioides + Trichoderma sp., C2 : treatment C. gloeosporioides + Aspergillus sp., C3 : treatment C.
gloeosporioides + Gliocladium sp., and C4 : treatment C. gloeosporioides + Penicillium sp. The results
show that Gliocladium sp. had the highest inhibition in the antagonist test with the dual culture method.
The four isolates had inhibition power above 50%. From the macroscopic observation, all isolates had a competition mechanism because of their ability to fill the petri dish to get space and nutrients.
Microscopically, there are antibiosis and parasitism mechanisms in several isolates which are characterized by pathogenic hyphae undergoing lysis and degradation due to compounds or enzymes secreted by endophytic fungal hyphae.
Keywords : Antagonist Mechanism, Endophytic Fungi, Orchid
PENDAHULUAN
Tanaman hias saat ini semakin meningkat eksistensinya di kalangan masyarakat, salah satunya adalah tanaman anggrek. Proses budidaya maupun merawat tanaman hias khususnya anggrek masih terdapat kendala dalam serangan dari hama dan penyakit. Produksi tanaman anggrek yang semakin menurun diduga disebabkan oleh penyakit tanaman yaitu antraknosa.
Penyakit antraknosa pada tanaman anggrek disebabkan oleh patogen Colletotrichum gloeosporioides. Penyakit ini ditandai dengan gejala adanya bercak daun berbentuk bulat atau oval berwarna coklat kehitaman dan pada bagian tengah berwarna putih kelabu dengan bintik hitam (Martoredjo, 2010).
Pengendalian yang seringkali dilakukan oleh para petani adalah pengendalian kimiawi menggunakan fungisida, yang dimana hal tersebut apabila dilakukan secara berlebihan dapat menimbulkan beberapa dampak negatif seperti pencemaran lingkungan dan mengganggu kesehatan petani (Singkoh and Katili, 2019). Terdapat cara lain untuk menekan penyakit pada tanaman, yaitu pengendalian hayati dengan memanfaatkan jamur endofit yang lebih ramah lingkungan.
Pengendalian hayati merupakan salah satu cara melindungi tanaman dari serangan patogen dengan memanfaatkan mikroorganisme antagonis yang diaplikasikan sebelum atau sesudah terjadinya infeksi patogen (Agrios, 2005).
Dipilihnya jamur endofit dalam menangani permasalahan penyakit ini adalah karena
secara langsung dapat menghambat pertumbuhan patogen dengan menghasilkan antibiotik, menginduksi proses ketahanan tanaman, berkompetisi untuk mendapatkan ruang maupun nutrisi, mencegah kolonisasi, dan menekan inokulum (Sinaga, 2006).
Potensi jamur endofit perlu diteliti kemampuannya sebagai agen antagonis jamur C. gloeosporioides. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat mekanisme antagonisme jamur endofit sebagai agens hayati dalam menekan penyakit antraknosa pada tanaman anggrek.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan bulan Juni hingga November 2022 di Laboratorium Penyakit Tumbuhan 3, Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya. Penelitian ini disusun dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan yang akan diberikan yaitu C0 : tanpa perlakuan (kontrol), C1 : Perlakuan C. gloeosporioides + Trichoderma sp., C2 : Perlakuan C. gloeosporioides + Aspergillus sp., C3 : Perlakuan C.
gloeosporioides + Gliocladium sp., dan C4 : Perlakuan C. gloeosporioides + Penicillium sp. Isolat diperoleh dari hasil eksplorasi Muthia Oktaviani (2021) dan koleksi isolat HPT FP UB.
Pengamatan yang dilakukan yaitu isolasi dan identifikasi patogen, uji patogenesitas, identifikasi isolat jamur endofit, perhitungan kerapatan spora jamur, uji daya hambat dan mekanisme antagonis.
Pembuatan Media PDA
Pembuatan media PDA dilakukan dengan memasukkan 200gr kentang, 20gr dextrose dan agar, serta 1liter aquades ke dalam panci kemudian diaduk hingga mendidih. Lalu dimasukkan ke dalam botol media dan disterilisasi dalam autoclave pada suhu 121℃ dengan tekanan 1 atm selama 30 menit. Setelah itu, di plating ke dalam cawan petri dengan diameter 9 cm.
Isolasi dan Identifikasi Patogen
Isolasi dilakukan dengan menanam daun bergejala ke media PDA, apabila telah muncul miselium yang mengelilingi daun, maka miselium tersebut dapat di purifikasi.
Purifikasi dilakukan dengan mengambil miselium dan dipindahkan ke media PDA yang baru menggunakan jarum ose.
Kemudian diamati selama 7 hari hingga tumbuh biakan murni dari patogen. Patogen diisolasi dari daun anggrek bergejala di lapang yang diambil dari kebun Handoyo Budi Orchid, Karangploso, Malang.
Uji Patogenesitas
Uji Patogenesitas dilakukan dengan menyemprotkan suspensi isolat C.
gloeosporioides pada daun tanaman anggrek. Apabila suspensi yang telah disemprotkan menunjukkan gejala yang serupa seperti yang dilihat di lapang, maka isolat tersebut dapat diyakini merupakan patogen penyebab penyakit antraknosa.
Perhitungan Kerapatan Spora Jamur Kerapatan spora dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
C = Kerapatan spora per ml larutan
t = Jumlah total spora dalam kotak sampel n = Jumlah kotak sampel
0,25 = Faktor koreksi pada haemocytometer Uji Antagonis
Uji antagonis dilakukan dengan uji dual culture antara patogen dengan jamur endofit
yang terdapat dalam satu cawan petri berdiameter 9 cm. Satu koloni jamur endofit dan patogen diletakkan dengan 3 cm dari tepi cawan petri. Berdasarkan Jeyaseelan et al. (2012), daya hambat dihitung menggunakan rumus:
Keterangan:
P = Persentase daya hambat
R1 = Jari-jari koloni patogen (kontrol) R2 = Jari-jari koloni patogen (perlakuan) Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis menggunakan ANOVA. Apabila pada ANOVA didapatkan interaksi yang nyata, maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%. Data dianalisis menggunakan Microsoft Excel 2013.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Isolasi dan Identifikasi C.
gloeosporioides
Hasil isolasi daun anggrek yang bergejala di lapang memiliki ciri seperti adanya bercak berbentuk bulat, berwarna coklat kehitaman, dan sedikit berlendir (Gambar 1a).
Gambar 1. a. Gejala penyakit antraknosa (lingkaran), b. Kenampakan makroskopis C.
gloeosporioides, c. Kenampakan mikroskopis C. gloeosporioides (1 = hifa, 2 =
konidia)
a b
c 1
2
Martoredjo (2010) menyatakan bahwa pada awalnya patogen C. gloeosporioides memiliki gejala timbulnya bintik kecil pada daun yang perlahan akan membesar. Selain itu, pada tepi bintik membentuk bercak berwarna coklat dan sedikit berair di bagian tengah.
Kenampakan makroskopis koloni hasil isolasi menunjukkan koloni yang berwarna putih kusam keabu-abuan, berbentuk membulat, dan memiliki tekstur seperti kapas (Gambar 1b). Berdasarkan Sari dan Kasiamdari (2021), kenampakan makroskopis yang dimiliki oleh patogen C.
gloeosporioides yaitu koloni berwarna putih dengan bintik jingga pada tengah koloni, permukan bertekstur kapas dan memiliki pinggiran yang tidak merata. Ciri mikroskopis yang terlihat berdasarkan hasil identifikasi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa patogen C. gloeosporioides memiliki konidium berbentuk silinder dengan ujung tumpul (membulat) (Gambar 1c). Gautam (2014) menjelaskan bahwa C.
gloeosporioides memiliki konidia yang berbentuk lurus, silindris, tumpul pada bagian ujung dan hialin.
Hasil Uji Patogenesitas
Daun tanaman anggrek yang telah disemprotkan suspensi patogen mengalami gejala yang serupa dengan gejala penyakit antraknosa yang ditemukan di lapang.
Gejala serangan mulai terlihat pada hari kelima setelah inokulasi, daun anggrek menunjukkan gejala perubahan warna pada area yang disemprotkan suspensi menjadi coklat kehitaman yang berbentuk bulat (Gambar 2). Ardinata et al. (2017) menyatakan bahwa ciri khas dari antraknosa adalah adanya gejala bintik-bintik nekrosis berwarna coklat, dan semakin lama akan meluas disertai dengan klorosis.
Hasil Identifikasi Isolat Jamur Endofit Trichoderma sp. (TH)
Kenampakan makroskopis isolat TH menunjukkan koloni berwarna hijau pada
bagian tengah dan putih pada bagian pinggir, berbentuk bulat, dan semakin lama akan berwarna hijau tua (Gambar 3a).
Suanda (2016) menyatakan bahwa jamur Trichoderma sp. memiliki koloni yang permukaannya datar membulat bertekstur kapas, pada umur 3 hsi koloni berwarna putih dengan bulatan hijau muda di bagian tengah, kemudian semakin lama akan melebar dan seluruh permukaan atas akan berwarna hijau tua dengan bagian pinggir berwarna putih.
Isolat TH memiliki ciri mikroskopis konidiofor tegak, bersekat, dan bercabang.
Konidia berbentuk bulat dan hialin, serta memiliki fialid (Gambar 3b). Molebila et al.
(2020), menyatakan bahwa Trichoderma sp.
memiliki ciri yaitu hifa bersekat, konidiofor tegak dan bercabang, fialid pendek dan tebal, serta konidia berbentuk oval.
Gambar 2. Hasil uji patogenesitas pada 9 hsi (lingkaran)
Gambar 3. a. Makroskopis isolat Trichoderma sp., b. Mikroskopis isolat Trichoderma sp. (1 = hifa, 2 = konidia)
Gambar 4. a. Makroskopis isolat Gliocladium sp., b. Mikroskopis isolat Gliocladium sp.
(1 = konidia, 2 = konidiofor, 3 = fialid)
a b
1
2
a b
Gambar 5. a. Makroskopis isolat Aspergillus sp., b. Mikroskopis isolat Aspergillus sp.
(1 = konidiofor, 2 = konidia)
Gambar 6. a. Makroskopis isolat Penicillium sp., b. Mikroskopis isolat Penicillium sp.
(1 = konidia, 2 = fialid, 3 = konidiofor) Gliocladium sp. (ATR3)
Isolat ATR3 menunjukkan koloni berwarna hijau muda pada bagian tengah dan putih pada bagian tepi koloni, berbentuk bulat, dan semakin lama akan berwarna hijau tua (Gambar 4a). Indaryaningsih et al.
(2021) menyatakan bahwa ciri yang dimiliki oleh jamur Gliocladium sp. adalah koloni yang berwarna hijau muda dengan tepi koloni berwarna putih, berbentuk bulat dan tepi koloni rata.
Isolat Gliocladium sp. memiliki hifa tegak bersepta dan panjang, konidiofor hialin dan bercabang, serta ujungnya yang berbentuk seperti sikat (Gambar 4b). Berdasarkan penelitian Rahma dan Karimah (2021), Gliocladium virens memiliki konidofor bersepta dan bercabang dengan bentuk seperti sikat yang kompak (penicilliate), masing-masing percabangan memiliki 4-5 kelompok konidia. Rosa et al. (2020) dalam penelitiannya menyatakan bahwa Gliocladium sp. memiliki hifa dan konidiofor bersekat, konidia berbentuk bulat agak oval dan berkumpul.
Aspergillus sp. (ER)
Isolat ER yaitu menunjukkan koloni berwarna hitam dengan pinggiran bening,
berbentuk bulat, memiliki tekstur yang halus dan menyebar (Gambar 5a). Mawarni et al.
(2021) menunjukkan bahwa Aspergillus sp.
memiliki koloni yang berwarna hitam dan berbentuk bulat.
Aspergillus sp. memiliki hifa bersekat, konidiofor tegak, tidak bercabang, bersekat, hialin dan sederhana, konidia berbentuk bulat, bergerombol pada ujung konidiofor dan berwarna hitam. Ristiari et al. (2018) menyampaikan bahwa Aspergillus sp.
memiliki ciri mikroskopis yaitu konidia yang berbentuk bulat hingga semi bulat, dinding konidiofor tebal, hifa bersepta dan hialin.
Penicillium sp. (OrDBrP1_2)
Isolat OrDBrP1_2 memiliki ciri koloni yang menyebar, berbentuk tidak beraturan, berwarna hijau dan memiliki tekstur kasar (Gambar 6a). Rahayu et al. (2019) menyatakan bahwa Penicillium sp. memiliki koloni berwarna hijau, permukaan koloni tebal dan tekstur seperti velveti.
Ciri mikroskopis isolat Penicillium sp.
memiliki ciri konidiofor berbentuk ramping, tegak, tidak bersekat dan bercabang, serta membentuk beberapa fialid di ujung (Gambar 6b). Ristiari et al. (2018) menyatakan bahwa Penicillium sp. memiliki ciri mikroskopis yaitu konidia dan konidiofor yang berdinding halus, konidiofor bercabang, hifa bersekat dan hialin.
Uji Daya Hambat
Pengujian daya hambat dilakukan untuk mengetahui potensi jamur endofit dalam menghambat jamur patogen C.
gloeosporioides. Tabel 1 menunjukkan pada setiap perlakuan memiliki hasil rerata yang berbeda-beda. Diketahui bahwa hasil uji daya hambat pada seluruh jenis isolat berpengaruh terhadap perlakuan kontrol.
Hampir di seluruh perlakuan jamur endofit yang digunakan memiliki daya hambat diatas 50%. Basri et al. (2021) mengungkapkan bahwa setiap jamur endofit memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menghambat pertumbuhan patogen.
a b 1
2
1 2
a b 3
Tabel 1. Persentase Penghambatan Pertumbuhan Jamur C. gloeosporioides
Jenis Isolat Persentase Rerata Daya Hambat pada Pengamatan Hari ke-
4 hsi 5 hsi 6 hsi 7 hsi
Kontrol 0,00 a 0,00 a 0,00 a 0,00 a
TH 46,97 b 56,04 b 60,57 bc 64,00 bc
ER 64,57 c 66,65 c 68,39 c 69,56 c
ATR3 62,69 c 68,74 c 72,03 c 73,05 c
OrDBrP1_2 52,39 bc 53,10 bc 55,48 b 57,75 b
Keterangan: Nilai yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ 5%; hsi: hari setelah inokulasi
Tabel 2. Pendugaan Jenis Mekanisme Antagonis Isolat Jamur Endofit Isolat Jamur
Endofit
Jenis Mekanisme Antagonis
Kompetisi Antibiosis Parasitisme
Trichoderma sp. + + +
Gliocladium sp. + + +
Aspergillus sp. + + -
Penicillium sp. + - +
Keterangan: (+) terdapat mekanisme, (-) tidak terdapat mekanisme
Rata-rata jamur endofit dalam menghambat jamur patogen pada hari ke-4 hsi sampai hari ke-7 hsi mengalami peningkatan. Berdasarkan penelitian Halwiyah et al. (2019), tingkat pertumbuhan jamur endofit yang tinggi dapat menentukan aktivitas dalam menekan jamur patogen.
Mekanisme Antagonis Isolat Jamur Endofit
Trichoderma sp. terhadap C.
gloeosporioides
Pada umur 7 hsi, rerata persentase daya hambat Trichoderma sp. mencapai 64%. Isolat Trichoderma sp. diduga memiliki kemampuan mekanisme kompetisi, dikarenakan pada cawan petri terlihat koloni jamur Trichoderma sp. memenuhi hampir seluruh diameter permukaan cawan petri (Gambar 7d).
Trichoderma sp. juga memiliki mekanisme antibiosis, dikarenakan adanya zona bening antara Trichoderma sp. dan C.
gloeosporioides (Gambar 7e). Alfizar et al.
(2013) menunjukkan bahwa Trichoderma sp.
dapat menghasilkan enzim dan senyawa antibiosis meliputi trichodermin dan gliotoxin yang mampu menghambat pertumbuhan patogen. Mekanisme parasitisme terlihat ketika hifa Trichoderma sp. tumbuh diatas hifa patogen secara makroskopis.
Sedangkan secara mikroskopis, terlihat bahwa hifa Trichoderma sp. melilit hifa patogen sehingga terjadi lisis. Berdasarkan penelitian Pasalo et al. (2022), menunjukkan bahwa hifa Trichoderma sp. mampu menguasai dan tumbuh di atas permukaan hifa jamur patogen Fusarium sp. pada umur 48 jam setelah inokulasi.
Gambar 7. Mekanisme antagonisme isolat Trichoderma sp. pada a. 4 hsi, b. 5 hsi, c. 6
hsi, d. 7 hsi, e. Zona bening, f. Lilitan hifa endofit terhadap patogen
Hifa
Trichoderma sp.
a b
c d
e f
Hifa C.
gloeosporioides
Gambar 8. Mekanisme antagonisme isolat Gliocladium sp. pada a. Zona bening, b. 4
hsi, c. 6 hsi, d. 7 hsi, e. Hifa patogen terdegradasi oleh hifa endofit
Gliocladium sp. terhadap C.
gloeosporioides
Gliocladium sp. memiliki mekanisme antibiosis, dikarenakan terlihat bahwa terdapat zona bening diantara kedua jamur (Gambar 8a). Terjadinya lisis pada jamur ini menunjukkan adanya mekanisme parasitisme. Rahma dan Karimah (2021) dalam penelitiannya menyatakan bahwa hifa Gliocladium sp. dapat menginfeksi dan menerobos dinding sel Colletotrichum sp.
hingga sitoplasma inang menjadi terganggu dan menyebabkan lisis.
Pada umur 7 hsi, rerata persentase daya hambatnya mencapai 73,05% (Gambar 8d). Hal tersebut sejalan dengan penelitian Rizal (2017) bahwa Gliocladium sp. memiliki daya hambat yang tinggi dalam menghambat pertumbuhan patogen Sclerotium rolfsii sebesar 77%. Berdasarkan penelitian Octriana (2011), jamur Gliocladium sp. merupakan jamur yang memiliki kecepatan tumbuh dan daya hambat paling tinggi dibandingkan jamur
endofit lainnya dalam menghambat Phytium sp. Gliocladium sp. juga memiliki mekanisme parasitisme dalam menekan pertumbuhan patogen. Hal tersebut dapat terlihat dari hifa Gliocladium sp. yang masuk menembus hifa patogen (Gambar 8e). Berdasarkan penelitian Rizal (2017), hifa Gliocladium sp.
mampu menerobos dinding sel hifa patogen sehingga terjadi penggumpalan sitoplasma jamur patogen dan semakin lama akan mengakibatkan terjadinya kerusakan dinding sel jamur patogen.
Aspergillus sp. terhadap C.
gloeosporioides
Aspergillus sp. menunjukkan adanya zona bening diantara jamur endofit dan jamur patogen yang diduga menandakan adanya mekanisme antibiosis (Gambar 9d).
Safitri et al. (2019), menyatakan bahwa mekanisme antibiosis ditunjukkan dengan terbentuknya zona penghambatan pada pertemuan miselium jamur antagonis dan jamur patogen.
Gambar 9. Mekanisme antagonisme isolat Aspergillus sp. pada a. 4 hsi, b. 6 hsi, c. 7
hsi, d. Zona bening, e. Hifa patogen mengalami lisis
Hifa C.
gloeosporioides
a b
c d
e
Hifa C.
gloeosporioides
a b
d
e
Hifa Gliocladium sp.
Keadaan koloni jamur Aspergillus sp.
yang memenuhi cawan petri pada hari ke-7 hsi, menunjukkan adanya dugaan isolat ini memiliki mekanisme kompetisi (Gambar 9c).
Hal ini menunjukkan bahwa isolat Aspergillus sp. memiliki potensi sebagai jamur endofit dengan mekanisme kompetisi terhadap nutrisi dan ruang tumbuh.
Berdasarkan penelitian Zuhria et al. (2016) Aspergillus sp. memiliki kemampuan tertinggi dibanding Trichoderma sp. dalam menghambat Sclerotium rolfsii yang ditunjukkan dengan pertumbuhan koloni jamur yang mendominasi dan menekan jamur patogen.
Penicillium sp. terhadap C.
gloeosporioides
Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan bahwa isolat Penicillium sp.
memiliki mekanisme antagonis kompetisi dan parasitisme. Hal tersebut dikarenakan adanya persaingan dalam memenuhi kebutuhan ruang dan nutrisi kedua jamur (Gambar 10b), dan terlihatnya hifa jamur yang saling melilit dan menyebabkan hifa patogen patah dan hancur (Gambar 10c).
Hal tersebut sesuai dengan penelitian Nicoletti dan Stefano (2012), bahwa jamur Penicillium restrictum memiliki mekanisme kompetisi dan parasitisme dengan kemampuannya dalam menginfeksi jamur patogen Colletotrichum gloeosporioides.
Hasil dari uji antagonis menunjukkan bahwa Penicillium sp. memiliki kemampuan parasitisme sebagai agens hayati karena diduga dapat menghambat pertumbuhan jamur C. gloeosporioides dengan cara menghancurkan hifa jamur patogen hingga menyebabkan lisis. Berdasarkan penelitian Mayasari et al. (2022), terjadinya mekanisme parasitisme pada jamur endofit terhadap jamur patogen dapat dilihat melalui pengamatan mikroskopis, dimana hifa jamur endofit dapat membuat lilitan terhadap hifa jamur patogen yang menyebabkan hifa patogen putus dan hancur.
Gambar 10. Mekanisme antagonisme isolat Penicillium sp. pada a. 4 hsi, b. 7 hsi, c. Hifa
patogen patah akibat lisis SIMPULAN
Terdapat berbagai jenis isolat jamur endofit yang memiliki potensi antagonis dalam mengendalikan patogen C.
gloeosporioides pada tanaman anggrek, diantaranya Trichoderma sp., Aspergillus sp., Gliocladium sp., dan Penicillium sp.
Seluruh isolat jamur endofit memiliki potensi daya hambat diatas 50%. Isolat Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. termasuk isolat jamur endofit yang paling efektif dalam menekan pertumbuhan patogen C.
gloeosporioides dikarenakan memiliki seluruh mekanisme antagonis, yaitu kompetisi, antibiosis dan parasitisme.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 2005. Plant pathology. Fifth.
Elsevier Academic Press, USA.
Alfizar, Marlina, dan F. Susanti. 2013.
Kemampuan antagonis Trichoderma sp. terhadap beberapa jamur patogen in vitro. J. Floratek 8: 45–51.
Ardinata, I.G.W., I.M. Sudarma, dan N.W.
Suniti. 2017. Identifikasi penyakit antraknosa tanaman jeruk nipis [Citrus aurantifolia (Christm.) Swingle] di Desa Kertalangu Kecamatan Denpasar Timur. E-Jurnal Agroekoteknologi
Trop. 6(1):112–122.
http://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT.
Basri, M.H., L. Zulkifli, and A. Syukur. 2021.
a b
c
Hifa C.
gloeosporioides
Isolation of endophytic fungi from Vitex trifolia L and antagonism test against Sclerotium rolfsii and pathogenic bacteria. J. Biol. Trop. 21(1): 72–80.
doi: 10.29303/jbt.v21i1.2340.
Gautam, A.K. 2014. Colletotrichum gloeosporioides: Biology, pathogenicity and management in India. J. Plant Physiol. Pathol. 02(02). doi:
10.4172/2329-955x.1000125.
Halwiyah, N., R.S. Ferniah, B. Raharjo, dan S. Purwantisari. 2019. Uji antagonisme jamur patogen Fusarium solani penyebab penyakit layu pada tanaman cabai dengan menggunakan Beauveria bassiana secara in vitro. J.
Akad. Biol. 8(2): 8–17.
Indaryaningsih, N., A.W. Sektiono, dan I.R.
Sastrahidayat. 2021. Identifikasi penyakit hawar daun pada Drasena (Dracaena sp.) serta uji penghambatannya menggunakan jamur antagonis secara in vitro. J.
Hama dan Penyakit Tumbuh. 9(2): 65–
71. doi:
10.21776/ub.jurnalhpt.2021.009.2.5.
Jeyaseelan, E.C., T. Sivanantham, and K.
Niranjan. 2012. Antagonistic activity of Trichoderma spp. and Bacillus spp.
against Pythium aphanidermatum isolated from tomato damping off.
Arch. Appl. Sci. Res. 4(4): 1623–1627.
www.scholarsresearchlibrary.com.
Martoredjo, T. 2010. Ilmu penyakit pasca panen. Bumi Aksara, Jakarta.
Mawarni, N.I.I., I. Erdiansyah, dan R.
Wardana. 2021. Isolasi cendawan Aspergillus sp. pada tanaman padi organik. Agriprima J. Appl. Agric. Sci.
5(1): 68–74. doi:
10.25047/agriprima.v5i1.363.
Mayasari, D.A., I.R. Sastrahidayat, dan S.
Djauhari. 2022. Eksplorasi jamur filoplane pada daun tanaman pedang- pedangan (Sansevieria trifasciata) dan uji kemampuan antagonismenya terhadap penyakit antraknosa (Colletotrichum sansevieriae). J. Hama dan Penyakit Tumbuh. 10(3): 141–147.
doi:10.21776/ub.jurnalhpt.2022.010.3.
4.
Molebila, D.Y., A. Rosmana, dan U.S.
Tresnaputra. 2020. Trichoderma asal
akar kopi dari Alor: karakterisasi morfologi dan keefektifannya menghambat Colletotrichum penyebab penyakit antraknosa secara in vitro. J.
Fitopatol. Indones. 16(2): 61–68. doi:
10.14692/jfi.16.2.61-68.
Nicoletti, R., and M.D. Stefano. 2012.
Penicillium restrictum as an antagonist of plant pathogenic fungi. Dyn.
Biochem. Process Biotechnol. Mol.
Biol. 6(2):61–69.
https://www.researchgate.net/publicati on/234033486.
Octriana, L. 2011. Potensi agen hayati dalam menghambat pertumbuhan Phytium sp. secara in vitro. Bul.
Plasma Nutfah 17(2): 138–142.
Pasalo, N.M., F.E.F. Kandou, dan M.F.O.
Singkoh. 2022. Uji antagonisme jamur Trichoderma sp. terhadap patogen Fusarium sp. pada tanaman bawang merah Allium cepa isolat lokal tonsewer secara in vitro. J. Ilmu Alam dan Lingkung. 13(2): 1–7.
https://journal.unhas.ac.id/index.php/jai 2
Rahayu, B.R., M.W. Proborini, dan I.B.G.
Darmayasa. 2019. Isolasi, identifikasi dan persentase keberadaan hifa jamur endofit pada tanaman gemitir (Tagetes erecta L.) di beberapa daerah di Bali.
J. Metamorf. 6(1): 75–82. doi:
10.24843/metamorfosa.v06.i01.p12.
Rahma, Y.A., dan I. Karimah. 2021.
Eksplorasi dan identifikasi agen hayati Gliocladium sp. dalam menghambat pertumbuhan cendawan patogen Colletotrichum sp. Pros. SEMNAS BIO 01:432–440.
https://doi.org/10.24036/prosemnasbio/
vol1/58 EKSPLORASI
Ristiari, N.P.N., K.S.M. Julyasih, dan I.A.P.
Suryanti. 2018. Isolasi dan identifikasi jamur mikroskopis pada rizosfer tanaman jeruk siam (Citrus nobilis Lour.) di Kecamatan Kintamani, Bali. J.
Pendidik. Biol. Undiksha 6(1): 10–19.
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.ph p/JJPB/index
Rizal, S. 2017. Uji antagonis Gliocladium sp.
dalam menghambat pertumbuhan jamur penyebab penyakit busuk antraknosa (Colletotrichum capsici). J.
Ilm. Mat. dan Ilmu Pengetah. Alam 14(2): 100–106
Rosa, L.P., D. Wahyuni, dan S. Murdiyah.
2020. Isolasi dan identifikasi fungi endofit tanaman suruhan (Peperomia pellucida L. Kunth). Bioma 22(1):
2598–2370
Safitri, N., A. Martina, and R.M. Roza. 2019.
Antagonistic test of Riau local fungal against some pathogenic in cultivated plants. Al-Kauniyah J. Biol. 12(2): 124–
132.doi:
10.15408/kauniyah.v12i2.8730.
Sari, N., dan R.S. Kasiamdari. 2021.
Identifikasi dan uji patogenisitas Colletotrichum spp. dari cabai merah (Capsicum annuum): Kasus di Kricaan, Magelang, Jawa Tengah. J. Ilmu Pertan. Indones. 26(2): 243–250. doi:
10.18343/jipi.26.2.243.
Sinaga, M.S. 2006. Dasar-dasar ilmu penyakit tumbuhan. Edisi Ke-2.
Penebar Swadaya, Jakarta.
Singkoh, M., and D.Y. Katili. 2019. The dangers of synthetic pesticides (Socialization and training for women in Koka Village, Tombulu District, Minahasa Regency). J. Indones.
Women Child. 1(1): 5.
https://doi.org/10.35801/jpai.1.1.2019.2 4973.
Suanda, I.W. 2016. Karakterisasi morfologis Trichoderma sp. isolat JB dan daya antagonisme terhadap patogen penyebab penyakit rebah kecambah (Sclerotium rolfsii Sacc.) pada tanaman tomat. Pros. Semin. Nas.
MIPA : 251–257.
Zuhria, S.A., S. Djauhari, and A. Muhibuddin.
2016. Exploration and antagonistic test of endophytic fungi from soybean (Glycine max L. Merr) with different resistance to Sclerotium rolfsii. J. Exp.
Life Sci. 6(2): 101–105. doi:
10.21776/ub.jels.2016.006.02.08.