• Tidak ada hasil yang ditemukan

PATOTIPE COLLETOTRICHUM GLOEOSPORIOIDES PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA CABAI DI PROVINSI LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PATOTIPE COLLETOTRICHUM GLOEOSPORIOIDES PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA CABAI DI PROVINSI LAMPUNG"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

PATOTIPE

COLLETOTRICHUM GLOEOSPORIOIDES

PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA CABAI

DI PROVINSI LAMPUNG

Oleh

TRIA SITA FEBRIANA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

pada

Jurusan Agroteknologi

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

PATOTIPE

COLLETOTRICHUM GLOEOSPORIOIDES

PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA CABAI

DI PROVINSI LAMPUNG

Oleh

TRIA SITA FEBRIANA

Produktivitas cabai (Capsicum spp.) pada beberapa tahun belakangan ini termasuk rendah, karena produksivitasnya tidak mampu mencapai potensi hasil yang

seharusnya. Salah satu penyebabnya adalah penyakit antraknosa. Lebih dari 90% patogen antraknosa yang menginfeksi cabai adalah Colletotrichum gloeosporioides, spesies ini juga dilaporkan paling virulen dibandingkan spesies Colletotrichum lainnya. Salah satu cara untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada cabai ialah menggunakan varietas resisten/varietas tahan. Agar program pengembangan varietas tahan berhasil menciptakan genotipe yang resisten, pengetahuan tentang variabilitas dan struktur patotipe dalam suatu populasi patogen adalah penting. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya patotipe dalam spesies C. gloeosporioides penyebab penyakit antraknosa pada cabai yang ada di Lampung.

(3)

Penyakit Tumbuhan Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Penelitian dilaksanakan dalam percobaan faktorial menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 ulangan. Data pengamatan dianalisis dengan sidik ragam dan pemisahan nilai tengah antar perlakuan diuji dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan 0.05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua isolat C. gloeosporioides yang diuji bersifat patogenik dan memiliki virulensi atau keagresifan yang berbeda-beda. Dari hasil penelitian juga dapat diketahui bahwa dari keempat isolat C. gloeosporioides yang diuji pada empat jenis cabai (C. frutescens, C. frutescens (kul.caplak), C. annuum var TM 99 dan C. annuum (kul. brebes)) menunjukkan bahwa tidak ada patotipe yang

teridentifikasi dari empat isolat C. gloeosporioides tersebut. Hal ini dikarenakan keempat isolat yang digunakan dalam penelitian ini mampu menginfeksi semua jenis cabai yang digunakan dalam pengujian.

(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 11

(7)

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 20

5.1 Kesimpulan ... 20

5.2 Saran ... 20

PUSTAKA ACUAN ... 21

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Skor keparahan penyakit antraknosa buah cabai, tingkat

resistensi cabai dan deskripsi gejala……… 13 2. Rata-rata luas area nekrotik pada 4 jenis cabai setelah di

inokulasi dengan empat isolat Collectotrichum gloeosporioides……….. 16

3. Keparahan penyakit antraknosa dan patotipe dari 4 isolat

(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Karakter morfologi 4 isolat jamur C. gloeosporioides hasil isolasi dari buah cabai bergejala antraknosa. (A) koloni jamur tampak depan, (B) koloni jamur tampak belakang, (C) konidia

Colletotrichum gloeosporioides dengan perbesaran 400 x ... 15 2. Diagram penyakit yang mewakili tingkat infeksi yang berkisar dari

skor 1 hingga 9 (dari kiri ke kanan) pada beragam jenis buah cabai, (A) cabai rawit (C. frutescens), (B) cabai merah keriting

(C. annuum var TM 99), (C) cabai hijau besar (C. annuum (kul.brebes))

(10)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Tanaman cabai (Capsicum spp.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Buah cabai selain digunakan untuk

keperluan rumah tangga, juga digunakan untuk keperluan industri, seperti industri bumbu masak, industri makanan, dan industri obat-obatan atau jamu.

Produksi nasional cabai pada tahun 2009 dan 2010 berturut-turut ialah sebesar 1.378.727 ton dan 1.332.356 ton, dengan produktivitas pada tahun 2009 sebesar 5,89 ton/ha dan tahun 2010 sebesar 5,61 ton/ha (Kementrian Pertanian, 2012). Produktivitas ini termasuk rendah, karena potensi hasil yang dapat dicapai ialah 17-21 ton/ha (Bahar dan Nugrahaeni, 2008). Menurut Semangun (2007), salah satu faktor dominan yang menyebabkan rendahnya produktivitas cabai Indonesia adalah gangguan hama dan penyakit.

Salah satu penyakit utama pada tanaman cabai adalah penyakit antraknosa. Penyakit antraknosa disebabkan oleh jamur Colletotrichum, diantaranya C. capsici, C. gloeosporioides, C. acutatum, C. dematium, dan C. coccodes (Kim et

al., 1999). Lebih dari 90% penyebab penyakit antraknosa yang menginfeksi cabai

(11)

2

Di Indonesia serangan penyebab penyakit antraknosa sangat umum terjadi pada buah menjelang tua dan matang, terutama pada musim hujan. Kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit ini antara lain penurunan hasil produksi dan

menurunnya kualitas buah cabai. Menurut Sastrosumarjo (2003), penurunan hasil akibat serangan penyebab penyakit antraknosa dapat mencapai 60%.

Salah satu cara untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada cabai ialah menggunakan varietas resisten/varietas tahan. Dalam perakitan varietas tahan, salah satu informasi yang dibutuhkan adalah pengetahuan tentang kemampuan patogen dalam menimbulkan penyakit (patogenisitas) (Allard, 1960 dalam Syukur et al., 2007). Sementara itu menurut Montri et al. (2009), agar program

pengembangan varietas tahan berhasil menciptakan genotipe yang tahan, pengetahuan tentang variabilitas dan struktur patotipe dalam suatu populasi patogen adalah penting. Patotipe menurut Taylor dan Ford (2007) serta Than et al. (2008) adalah suatu sub species yang berbeda virulensinya pada inang tertentu

dari suatu kelompok patogen yang sama. Berdasarkan hal tersebut maka perlu kiranya dilakukan penelitian tentang evaluasi patotipe C. gloeosporioides penyebab antraknosa pada cabai yang ada di Lampung.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya patotipe dalam spesies Colletotrichum gloeosporioides penyebab penyakit antraknosa pada cabai yang

(12)

3

1.3 Kerangka Pemikiran

Upaya pengendalian penyakit antraknosa selama ini dilakukan dengan aplikasi fungisida, namun sering mengalami kegagalan dan menimbulkan berbagai dampak negatif. Penggunaan varietas tahan merupakan salah satu metode pengendalian yang banyak dianjurkan, namun sampai saat ini belum tersedia varietas cabai yang memiliki ketahanan yang tinggi terhadap Colletotrichum. Salah satu informasi yang diperlukan dalam pengembangan varietas tahan adalah informasi tentang struktur dan variabilitas patotipe dari patogen yang

bersangkutan (Montri et al., 2009).

Beberapa peneliti melaporkan bahwa varietas tanaman yang sama dapat

menampakkan derajat ketahanan yang berbeda terhadap suatu kelompok patogen, (Cheema et al. (1984) dan Park et al. (1990) dalam Syukur et al.(2007)). Hal ini dikarenakan suatu patogen mempunyai kemampuan yang berbeda dalam

menimbulkan penyakit pada tanaman inang, walaupun secara morfologi tidak dapat dibedakan.

(13)

4

5 patotipe dari 11 isolat C. gloeosporioides pada jenis cabai yang beragam, berdasarkan hal tersebut maka penelitian tentang patotipe C. gloeosporioides penyebab antraknosa pada cabai perlu dilakukan untuk mengetahui struktur dan variabilitas dalam populasi C. gloeosporioides khususnya yang ada di Lampung.

1.4Hipotesis

(14)

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Cabai

Klasifikasi tanaman cabai menurut Pickersgill (1988) dalam Sanjaya et al., (2002) ialah:

Divisio : Spermatophyta Sub divisio : Angiospermae Classis : Dicotyledone Ordo : Tubiflorae Familia : Solanaceae Genus : Capsicum

Species : Capsicum annuum, C. baccatum, C. pubescens, C. frutescens,C. chinense

(15)

6

Daun tanaman cabai bervariasi menurut spesies dan varietasnya. Warna

permukaan daun bagian atas biasanya hijau muda, hijau, hijau tua, bahkan hijau kebiruan. Sedangkan permukaan daun pada bagian bawah umumnya berwarna hijau muda, hijau pucat atau hijau. Ukuran panjang daun cabai antara 3 - 11 cm, dengan lebar antara 1 - 5 cm (Prajnanta, 2001).

Buah cabai merupakan bagian tanaman cabai yang paling banyak dikenal dan memiliki banyak variasi. Buah cabai (Capsicum spp.) pada dasarnya terdiri atas 2 golongan utama, yaitu cabai besar (C. annum L.) dan cabai rawit (C. frutescens L.). Cabai besar terdiri atas cabai merah (hot pepper/cabai pedas), cabai hijau, dan paprika (sweet pepper/cabai manis). Cabai merah besar sendiri terdiri atas cabai hibrida dan nonhibrida. Cabai rawit pun banyak ragamnya dan biasanya merupakan cabai lokal yang bukan hibrida (Prajnanta, 2001)

2.2 Penyakit Antraknosa

Penyakit antraknosa merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan rendahnya produktivitas cabai di Indonesia. Penyakit ini merupakan penyakit penting di daerah tropis maupun sub tropis (AVRDC, 2004). Menurut Sastrosumarjo (2003), penurunan hasil akibat serangan penyakit antraknosa mencapai 60%, dan di daerah Brebes-Jawa Tengah, penyakit ini masih menyebabkan kerugian hingga 45%, sedangkan di Sumatera Barat mencapai 35%.

(16)

7

menjelang tua dan sesudah tua. Anon, (1984) dalam Semangun (2007)

menerangkan penyakit antraknosa kurang terdapat pada musim kemarau, di lahan yang mempunyai drainase baik, dan yang gulmanya terkendali dengan baik. Menurut Astuti dan Suhardi (1986) dalam Semangun (2007) menjelaskan perkembangan bercak dari penyakit tersebut paling baik pada sushu 30oC, buah yang muda cenderung lebih rentan daripada yang setengah masak.

2.2.1 Penyebab Penyakit

Adapun klasifikasi Colletotrichum gloeosporioides salah satu penyebab penyakit antraknosa ialah sebagai berikut :

Divisio : Mycota

Spesies : Colletotrichum gloeosporioides

C. gloeosporioides umumnya mempunyai konidium hialin, berbentuk silinder

dengan ujung-ujung tumpul, kadang-kadang berbentuk agak jorong dengan ujung yang membulat dan pangkal yang sempit terpancung, tidak bersekat, berinti satu, 9 – 24 x 3 –6 μm, terbentuk pada konidiofor seperti fialid, berbentuk silinder, hialin atau agak kecokelatan. Spora hanya dapat berkecambah bila kelembaban nisbi udara tidak kurang dari 95 %. Infeksi tidak akan terjadi bila kelembaban udara

(17)

8

Selain C. gloeosporioides terdapat pula C. capsici yang juga merupakan

penyebab penyakit antraknosa pada cabai, namun morfologi konidium dari jamur ini berbeda dengan C. gloeosporioides. C. gloeosporioides dengan ke khasan bentuk konidiumnya yang berbentuk jorong dengan bagian ujung membulat atau tumpul seperti kapsul sangat berbeda dengan C. capsisi yang konidiumnya berwarna hialin, berbentuk tabung (silindris), dan ujung-ujungnya tumpul atau bengkok seperti sabit (Direktorat Perlindungan Hortikultura, 2012).

2.2.2 Gejala Penyakit

Gejala penyakit antraknosa dapat dilihat dengan ciri adanya bercak yang agak mengkilap, sedikit terbenam dan berair yang lama kelamaan bercak tersebut akan berubah menjadi coklat kehitaman pada permukaan buah, yang selanjutnya meluas menjadi busuk lunak. Pada bagian tengah bercak terdapat kumpulan titik-titik hitam yang terdiri dari sekelompok seta dan konidium jamur. Serangan yang berat dapat menyebabkan buah mengering dan keriput sehingga buah yang seharusnya berwarna merah menjadi seperti jerami (Semangun, 2007).

(18)

9

2.2.3 Patotipe

Robinson (1982) dalam Sudir (2008) mendefinisikan patotipe (pathotype) sebagai populasi parasit yang semua anggota individunya memiliki kemampuan yang sama sebagai parasit. Selain itu menurut Taylor dan Ford (2007) serta Than et al. (2008) patotipe adalah sebagai suatu sub species yang berbeda virulensinya pada inang tertentu dari suatu kelompok patogen yang sama. Djatmiko et al. (2011), menyatakan penentuan patotipe didasarkan dari hasil intensitas penyakit dan reaksi inang terhadap inokulasi patogen pada beberapa jenis tanaman inang..

Informasi tentang variabilitas dan struktur patotipe dalam suatu populasi patogen adalah penting dan sangat diperlukan dalam pengembangan varietas tahan. Hal ini dikarenakan informasi tersebut merupakan syarat agar program pengembangan varietas tahan berhasil menciptakan genotipe yang resisten dan karena program pengembangan varietas tahan tidak akan berhasil apabila tidak mengetahui struktur patotipe yang ada dalam suatu populasi patogen (Montri et al., 2009).

Sharma (2005) dalam Montri et al. (2009) menerangkan bahwa dari wilayah Himachal Pradesh di India Selatan C. capsici memiliki 15 patotipe, ini didasarkan pada perbedaan-perbedaan kuantitatif perkembangan nekrotik buah yang

(19)

10

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan dari Desember 2012 sampai Maret 2013 di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

3.2 Bahan dan Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, pinset, pipet tetes, nampan, jarum, cutter, jarum ose, jarum ant, Laminar Air flow, Autoclave, erlenmeyer, gelas ukur, mikroskop stereo, oven, plastik tahan panas, dan bunsen. Bahan-bahan yang digunakan ialah beberapa jenis buah cabai besar dan kecil, larutan klorok 1%, aquades, kertas tisue, kertas label, alkohol 70%, isolat Colletotrichum gloeosporioides yang diperoleh melalui hasil isolasi dari buah

cabai yang terserang antraknosa yang didapat dari beberapa daerah, media PDA, alumunium foil dan plastik wrap.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam percobaan faktorial menggunakan rancangan acak lengkap dengan tiga ulangan. Sebagai faktor pertama adalah isolat

(20)

11

terdiri atas empat isolat hasil isolasi dari buah cabai yang terserang antraknosa yang didapat dari beberapa daerah. Faktor kedua terdiri atas empat jenis cabai yaitu cabai rawit (C frutescens), cabai merah keriting (C. annuum var TM 99), cabai caplak (C. frutescens (kul. caplak)) dan cabai hijau besar (C. annuum (kul. brebes)). Data pengamatan dianalisis dengan sidik ragam dan pemisahan nilai tengah antar perlakuan diuji dengan uji beda nyata terkecil (BNT) dengan 0.05.

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Penyiapan jenis cabai uji

Empat jenis buah cabai segar besar dan kecil (C. frutescens, C. annuum var TM 99, C. frutescens (kul. caplak) dan C. annuum (kul. brebes)) diperoleh dari pasar. Cabai-cabai tersebut didesinfektan menggunakan larutan klorok 1% selama satu menit, kemudian dibilas menggunakan aquades dan dikeringanginkan di atas kertas tisu. Setelah kering angin, buah cabai uji diletakkan dalam nampan plastik yang dilapisi dengan tisu empat lapis dan dibasahi dengan aquades 130

ml/nampan.

3.4.2 Penyiapan jamur Colletotrichum

(21)

12

keringangin potongan tersebut ditumbuhkan pada media PDA dan diinkubasi, jamur yang tumbuh kemudian dimurnikan dan diidentifikasi berdasarkan karakter morfologinya. Biakan Colletotrichum yang digunakan untuk pengujian

merupakan biakan murni berumur tujuh hari setelah inkubasi pada media PDA.

3.4.3 Inokulasi jamur Colletotrichum

Metode pengujian patotipe Colletotrichum dilaksanakan berdasar Montri et al. (2009). Setelah semua buah cabai sudah didesinfektan dan disusun dalam nampan, masing-masing buah cabai dilukai menggunakan jarum steril sebanyak satu luka per buah tepat di tengah buah. Inokulasi dilakukan dengan meletakkan secara terbalik cuplikan miselium C. gloeosporioides dari media PDA dengan diameter 2 mm di titik pelukaan. Setelah semua buah diinokulasi dengan patogen, nampan ditutup dengan palstik penutup (plastic wrap) dan diinkubasi pada suhu ruang selama sembilan hari atau infeksi antraknosa maksimum pada salah satu tubuh buah cabai.

3.5 Pengamatan

(22)

13

Luas nekrotik yang didapat pada masing-masing cabai kemudian digunakan untuk menentukan keparahan penyakit antraknosa. Skor keparahan penyakit yang digunakan adalah 0-9 (Pakdeevaraporn et al., 2005) (Tabel 1).

Tabel 1. Skor keparahan penyakit antraknosa buah cabai, tingkat resistensi cabai, dan deskripsi gejala

Skor Tingkat resistensi Deskripsi gejala

0

1-2% area buah menunjukkan nekrotik atau sebagian membusuk / basah seperti terendam air yang melingkupi situs infeksi > 2-5% area buah menunjukkan nekrotik, mungkin ada acervuli (tubuh buah), atau membusuk / basah seperti terendam air hingga 5% dari permukaan buah

> 5-15% area buah menunjukkan nekrotik, mungkin ada averculi (tubuh buah), atau membusuk / basah seperti terendam air hingga 25% dari permukaan buah

> 15-25% area buah menunjukkan nekrotik dengan acervuli (tubuh buah)

> 25% area buah menunjukkan nekrotik, seringkali melingkupi buah, banyak sekali acervuli.

(23)

14

(24)

V.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat patotipe dalam spesies jamur Colletotrichum gloeosporioides penyebab penyakit antraknosa pada cabai berdasar pengujian menggunakan jenis cabai rawit (Capsicum frutescens), cabai merah keriting (C. annuum var TM 99), cabai caplak (C. frutescens (kul. caplak)) dan cabai hijau besar (C. annuum (kul. brebes)) di Lampung.

5.2 Saran

(25)

PUSTAKA ACUAN

Agrios, G.N. 1996. Plant Pathology. Direvisi dan diterjemahkan oleh Martoredjo, T., dan Busnia, M. Edisi ke-3. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 713 hal.

Azmi, C., Krestini dan Heni, E. 2012. Pengujian Ketahanan Lima Klon Cabai (Capsicum Spp) Terhadap Serangan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum capsici). Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang.

AVRDC. 2004. Evaluation of phenotypic and molecular criteria for the identification of Colletotrichum species causing pepper anthracnose in Taiwan. p.92-93. in AVRDC Report 2003. AVRDC, Shanhua, Taiwan.

Bahar,Y.H dan Nugraheni, W. 2008. Hasil Survei Produktivitas Hortikultura. http://www.hortikultura.deptan.go.id. Diakses pada Tanggal 20 November 2012, pukul 21.00 WIB.

Barnet, H.L., and Hunter, B.B. 2001. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Edisi ke-4. New York. Macmilan.

Direktorat Perlindungan Hortikultura. 2012. Antraknosa.

http://ditlin.hortikultura.deptan.go.id. Diakses pada Tanggal 02 Juni 2013, Pukul 15.00 WIB.

Djatmiko, HA., Prakoso, B., dan Prihatingsih, N. 2011. Penentuan Patotipe dan Keragaman Genetik Xanthomonas oryzae pv oryzae pada Tanaman Padi di Wilayah Karesidenan Banyumas. J. HPT Tropika 11 (1) : 35-46.

Kementrian Pertanian. 2012. Produksi dan Produktivitas Cabai Indonesia. Kementrian Pertanian Republik Indonesia, http://www.deptan.go.id./basis data statistik pertanian. Diakses pada Tanggal 12 November 2012, Pukul 19.00 WIB.

Kim, K.D., Oh, B.J., dan Yang, J. 1999. Differential interaction of a

(26)

Marlina, Hafsah, S. dan Rahmah. 2012. Efektivitas Lateks Pepaya (Carica Papaya) terhadap Perkembangan Colletotrichum capsici pada Buah Cabai (Capcicum annuum L). J. Penelitian Universitas Jambi Seri Sains 14 (1) : 57-62 .

Mongkolporn, O., Montri, P., Supakaew, T., and Taylor, P. W. J. 2010.

Differential reactions on mature green and ripe chili fruit infected by three Colletotrichum spp. J. Plant Disease. 94:306-310.

Montri, P., Taylor, P. W. J., and Mongkolporn, O. 2009. Pathotypes of

Colletotrichum capsici, the causal agent of chili anthracnose, in Thailand. J. Plant Disease 93:17-20.

Nurhayati. 2012. Pertumbuhan Colletotrichum capsici Penyebab Antraknosa Buah Cabai pada Berbagai Media yang Mengandung Ekstrak Tanaman. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya.

Pakdeevaraporn, P., Wasee, S., Taylor, P. W. J., and Mongkolporn, O. 2005. Inheritance of resistance to anthracnose caused by Colletotrichum capsici in Capsicum. J. Plant Breed 124:206-208.

Patty, J.A. 2012. Efektivitas Metil Eugenol terhadap Penangkapan Lalat Buah (Bactrocera dorsalis) pada Pertanaman Cabai. J. Agrologia 1 (1) : 69-75.

Prajnanta, Final. 2001. Agribisnis cabai Hibrida. Penebar swadaya. Jakarta. 162 hal.

Rusli, I., Mardinus, dan Zulpadli, 1997. Penyakit Antraknosa pada Buah Cabai di Sumatera Barat. Prosiding Kongres Nasional XIV dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Palembang, hlm: 187-190.

Sanjaya, L., Wattimena, G. A., Guharja, E., Yusuf, M., Aswidinnoor, H., Stam, dan Piet. 2002. Keragaman ketahanan aksesi Capsicum terhadap

Antraknosa (Colletotrichum capsici) berdasarkan penanda RAPD. J.Bioteknologi Pertanian 7 (2) : 37-42.

Sastrosumarjo, S. 2003. Pembentukan varietas cabai tahan penyakit antraknosa dengan pendekatan metode konvensional dan bioteknologi. Laporan Riset RUT VIII. Kementrian Riset dan Teknologi RI LIPI. Jakarta. 45 hal. Singh, R.S. 1998. Plant Disease, 2nd Ed. Oxford IBH Publishing, New Delhi.

Hal: 494.

Semangun, H. 2002. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. 4th ed. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 850 hal.

(27)

Sudir. 2008. Struktur patotipe Xanthomonas oryzae pv. oryzae pada stadium tumbuh berbeda beberapa varietas padi. Seminar Nasional Padi 2008, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.

Suryotomo, B. 2006. Ketahanan Alami Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.) terhadap Penyakit Antraknosa. J. Sains dan Teknologi Indonesia 8 (1) : 1-6.

Syukur, M., Sujiprihati, S., Koswara, J., dan Widodo. 2007. Pewarisan Ketahanan Cabai (Capsicum annuum L.) terhadap Antraknosa yang Disebabkan oleh Colletotrichum acutatum. J. Bul. Agron. 35 (2) : 112 – 117.

Taylor, P. W. J., dan Ford, R. 2007. Diagnostics, genetic diversity and pathogenic variation of Ascochyta blight of cool season food and feed legumes. Eur. J.Plant Pathology 119:127-133.

Than, P. P., Jeewon, R., Hyde, K. D., Pongsupasamit, S., Mongkolporn, O., andTaylor, P. W. J. 2008. Characterization and pathogenicity of

Gambar

Tabel 1. Skor keparahan penyakit antraknosa buah cabai, tingkat resistensi cabai,    dan deskripsi gejala

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini disebabkan karena penerapan strategi pemecahan masalah sistematis sangat membantu peserta didik dalam proses pembelajaran karena penerapan ini lebih banyak

Berdasarkan seluruh informasi yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum baik peserta didik maupun pengajar sudah mengenal produk-produk teknologi

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah Untuk mengetahui besar hasil belajar fisika peserta didik di kelas X.6 SMA Negeri 16 Makassar setelah mengikuti

Dalam bentuk eufemisme bahasa batak Toba dengan bahasa Pakpak dapat kita lihat pada tindak tutur deklaratif merupakan tuturan yang cenderung mendeklarasikan atau mengumumkan

H7: User Experience berpengaruh signifikan secara simultan terhadap customer satisfaction pada pengguna pengguna aplikasi iflix.. Metodologi Penelitian 3.1 Populasi

Hanya menunjukkan adanya korelasi yang sangat kuat tetapi tidak signifikan antara kadar vitamin C kedua sediaan cair berbasis bawang putih dengan aktivitas

Pemakaian bahan bakar dapat dihemat, jika motor induk kapal direnovasi dengan menggunakan propeller yang dapat dioperasionalkan pada load engine yang berada pada torsi maksimum

Selain itu, setek cabang tidak merusak rumpun bambu induknya, dan pembentukan rumpun lebih cepat (Rao dkk., 1992). Pada setek cabang tanaman bambu hitam perlu