• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMAHAMI PENGALAMAN PENGUNGKAPAN STATUS DAN PENGINFORMASIAN MEDIKASI HIV/AIDS OLEH PENGASUH KEPADA ANAK DENGAN HIV/AIDS - Undip Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "MEMAHAMI PENGALAMAN PENGUNGKAPAN STATUS DAN PENGINFORMASIAN MEDIKASI HIV/AIDS OLEH PENGASUH KEPADA ANAK DENGAN HIV/AIDS - Undip Repository"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

Dalam kesehariannya, MM bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di Shelter dan juga merawat langsung beberapa ADHA, mulai dari menyediakan makanan, mengurus prosedur medis di rumah sakit dan pengobatan di rumah. Dalam kesehariannya, NM langsung merawat F, mulai dari menyediakan makanan, melakukan tindakan medis di rumah sakit, hingga pengobatan di rumah. Dalam kesehariannya, A langsung mengasuh anak-anak dan mengawasi A yang tinggal bergantian di rumah A di Kendal dan juga di Rumah Singgah Aira, Semarang.

A yang merupakan seorang relawan ini secara langsung mengurus keseharian anak, mengurus prosedur medis di rumah sakit dan menyalurkan bantuan dari relawan kepada anak-anak. Dalam kesehariannya, C merawat langsung ibu N dan N yang juga positif mengidap HIV, mulai dari menyediakan makanan, mengurus pengobatan di rumah sakit, dan memberikan obat di rumah.

Beban Pengasuhan dan Stigma

Namun Informan mengeluhkan betapa sulitnya bagi anak untuk belajar pola hidup sehat jika hanya ada kakaknya saja yang ada di shelter atau hanya sendirian di rumah, hal ini diragukan oleh Informan sehingga hal ini menunjukkan bahwa keyakinan anak hanya sekedar berdasar. pada perasaan takut dihukum atau ditegur oleh Informan. Setelah proses pencarian status dan pemberian informasi mengenai pengobatan hingga saat wawancara, informan menilai anak tersebut belum memiliki kemandirian. Sebagai pendiri dan penanggung jawab operasional Rumah Singgah yang didirikan Informan, stabilitas keuangan seringkali menjadi salah satu tantangan terbesar bagi Informan.

Informan merasa bahwa fokusnya dalam mengasuh anak seringkali terpecah oleh tekanan untuk memenuhi kebutuhan operasional Shelter, oleh karena itu ia mengharapkan bantuan dari dinas terkait dalam mengasuh anak, baik secara moril maupun finansial. masih hilang sampai saat ini. Informan pendiri shelter HIV/AIDS menceritakan pengalamannya mendapat stigma dari masyarakat setempat saat pertama kali organisasinya didirikan. Ia sendiri awalnya merasa takut mendapat penolakan dari warga sekitar karena keberadaan ODHA di wilayahnya.

Berdasarkan refleksi informan, pada awal berdirinya shelter masih banyak mendapat perlawanan dari warga sekitar. Berkat sosialisasi rutin di wilayah tersebut, mayoritas warga setempat kini menyambut baik kehadiran semua orang di shelter Aira. Informan juga menceritakan bahwa ada satu atau dua keluarga di wilayahnya yang masih belum bisa menerima kehadiran ADHA di lingkungannya, namun penolakan tersebut belum membuahkan tindakan serius.

Seiring berjalannya waktu, informan mendapat bantuan dari dinas kesehatan, pihak swasta dan relawan lainnya untuk membantu sosialisasi dan pelaksanaan kegiatan pendidikan selama ini.

Informan II

Pengalaman Pengungkapan Status

Kesulitan berpikir anak juga menjadi alasan utama informan tidak mau mengajak anak berdiskusi mendalam mengenai status HIV-nya. Agar lebih mudah dipahami oleh anak, informan menghimbau anak untuk memperhatikan ukuran obat dalam kaitannya dengan ukuran obat, sehingga memudahkan dalam membedakan jenis obat. Informan juga mengajak anak untuk membantunya menyiapkan dosis obat untuk perbekalan agar anak terbiasa dengan pengobatannya.

Informan juga membiasakan anak berobat di rumah sakit sejak dini, sehingga anak menjadi terbiasa dengan rutinitas berobat di rumah sakit. Karena anak masih kecil, Informan II sering mengajak anak tersebut untuk memberikan surat rujukan dan membawa obat ke rumah sakit. Hal ini dilakukan Informan II untuk membiasakan anak memahami alur minum obat yang menurutnya cukup lama. Saat membujuk anak ketika suasana hatinya sedang buruk, informan sering kali meyakinkan anak untuk meminum obat dan kemudian berjanji akan menuruti permintaan anak untuk bermain.

Informan menyatakan, anak tersebut harus menuruti keinginannya untuk jajan di rumah sakit agar bersedia mengikuti prosedur pemeriksaan. Anak tersebut juga digambarkan oleh informan sebagai anak yang tidak rewel dalam minum obat, hal ini menunjukkan bahwa anak sudah terbiasa dengan rutinitas minum obat. Sama halnya dengan rutinitas minum obat, informan juga menjelaskan bahwa anak sudah terbiasa dengan rutinitas pengobatan atau pemeriksaan di rumah sakit sehingga membuat anak tidak takut bahkan bersemangat saat berkunjung ke rumah sakit.

Anak tersebut juga dekat dengan petugas rumah sakit, sehingga hal ini menandakan bahwa anak tersebut sangat paham dengan rutinitas pengobatan di rumah sakit.

Informan III

Pengalaman Pengungkapan Status

Informan menceritakan pengalamannya dalam memutuskan untuk mengungkapkan secara utuh kepada anak dimulai sejak anak duduk di bangku kelas 1 SD. Selama ini yang dibagikan kepada anak-anak adalah informasi bahwa di dalam tubuhnya terdapat virus bernama HIV, yang mana virus ini membuat anak tersebut harus mengonsumsi ARV atau obat-obatan seumur hidup. Ada pula hal yang belum diceritakan oleh informan kepada anak tersebut, dimana informan menceritakan keraguannya dalam menjelaskan riwayat penularan HIV secara lengkap kepada anaknya pada usia anak saat ini.

Dalam refleksinya, informan mengatakan bahwa ia dan istrinya pernah menemukan gambar seorang anak yang menunjukkan suatu kondisi. Informan memaknai gambaran anak tersebut sebagai tanda bahwa anak tersebut masih memiliki rasa dendam dan permasalahan psikologis yang belum terselesaikan akibat pengalaman bullying yang dialami anak tersebut. Melalui beberapa perbincangan antara informan dengan anak tersebut, informan menduga bahwa anak tersebut masih belum bisa menerima kondisi fisiknya karena ia juga memiliki cacat fisik pada tangannya.

Berdasarkan pengamatan dan pertimbangan tersebut, informan memutuskan untuk tidak menceritakan keseluruhan cerita tentang HIV kepada anak tersebut. 34. Kemudian beliau mulai bertanya: “Mengapa orang luar sering masuk ke dalam rumah? Berdasarkan pantauan informan, setelah proses pemberitahuan status anak, anak tersebut masih memiliki pola pikir atau pemikiran negatif terhadap nasibnya sendiri.

Dicerminkan oleh informan, anak tersebut masih menganggap dirinya sebagai anak bermasalah, juga terkait dengan status HIV positif yang ia anggap sebagai salah satu kesialan yang menimpa dirinya.

Pengalaman Komunikasi yang Mengarah pada Kesehatan

Menurut informan, anak tersebut belum bisa menerima sepenuhnya status positif yang dideritanya dan masih sering bertanya-tanya mengapa ia terus mengalami pengalaman buruk dalam hidupnya. Informan mengaku belum memiliki rencana pasti terkait pengungkapan yang akan dilakukannya ke depan. Prioritas utama wali dan keluarga saat ini adalah mendaftarkan anak ke pesantren untuk melanjutkan pendidikan ke SMP.

Lebih lanjut, informan dan keluarga saat ini fokus mencari dan memantapkan tempat tinggal Islam agar para guru dan pengasuh di tempat tinggal Islam dapat memahami dan mengakomodir kondisi anak yang mengidap HIV positif dan nantinya berkontribusi dalam mengupayakan kesembuhannya.

Beban Pengasuh dan Stigma

Stigma yang diyakini masyarakat setempat antara lain bahwa HIV mudah menular jika dekat dengan ADHA dan HIV dapat menular melalui berbagi makanan atau minuman. Selain itu, terdapat stigma masyarakat yang menuduh ODHA adalah orang yang menggunakan layanan seks komersial, nakal, atau tidak setia kepada pasangannya. Akibat stigma yang dianut masyarakat, informan menjelaskan bahwa anak tersebut dan keluarganya mengalami diskriminasi yang cukup parah sekitar tujuh tahun lalu, ketika lingkungan sekitar pertama kali mengetahui status positif anak tersebut.

Di sekolah, anak-anak ditindas oleh temannya dan terkadang terlibat perkelahian fisik, dan di lingkungan Dusun, anak-anak dan keluarganya dijauhi oleh tetangga sekitar rumah. Seiring berjalannya waktu, informan menemukan bahwa budaya keluarga di desa dapat menentukan persepsi dan hubungan sosial antara ADHA dengan masyarakat sekitar. Ketika stigma negatif muncul di suatu tempat di suatu desa, besar kemungkinannya akan mudah menular ke seluruh masyarakat desa, karena tingginya budaya bersosialisasi dan ngobrol antar tetangga akan meningkatkan intensitas komunikasi antar masyarakat. di desa.

Hal ini terjadi pada kasus anak A dimana informan mengatakan bahwa stigma negatif tentang ADHA awalnya hanya tersebar di lingkungan sekolah, namun lama kelamaan berita tersebut menyebar hingga ke suatu desa. Informan yang memahami pola sosial dan stigma yang diyakini masyarakat desa kemudian memanfaatkan sosial budaya desa untuk mengurangi stigma negatif tentang HIV di lingkungan desa dengan cara menjangkau pihak-pihak yang dianggap sebagai poros atau komunitas berpengaruh di desa, misalnya contoh. sebagai ustadz dan kepala desa. Informan menceritakan situasi terkini di desanya yang dinilainya sangat mendukung dan mendukung kehadiran anak dan keluarganya, hal ini dibuktikan dengan adanya gotong royong yang spontan di kalangan masyarakat untuk membantu memenuhi kebutuhan anak.

Bantuan juga rutin datang dari berbagai relawan dan pihak swasta untuk anak-anak dan korban.

Informan IV

Deskripsi Pengalaman Pengungkapan Status

Informan memutuskan untuk tidak mengungkapkan status tersebut sampai saat ini pada usia 5 tahun karena informan menilai kemampuan kognitif anak sangat buruk yang ditunjukkan dengan pernyataan informan. Informan mengaku sengaja tidak memberikan informasi apapun terkait HIV/AIDS kepada anak tersebut karena kemampuan anak dalam menangkap informasi masih tertinggal jauh dibandingkan teman-temannya. Selama ini informan hanya memberikan informasi dan edukasi kepada anak mengenai perlunya mengonsumsi obat ARV.

Informan berpendapat bahwa informasi tentang HIV yang sedang ditularkan pada akhirnya akan sia-sia karena anak-anak tidak akan memahaminya. Namun, ia menjelaskan, hal-hal yang akan disampaikan informan kepada anak tersebut adalah terkait alasan anak harus minum obat, perbedaan obat, dan akibat kelalaian minum obat.

Deskripsi Komunikasi yang Mengarah pada Kesehatan

Untuk mengurangi rasa takut dan membiasakan anak meminum obat, informan mengajak anak untuk bersama-sama menyiapkan obat. Anak diajak untuk meracik obat dalam bentuk bubuk dengan menggunakan lesung dan alu kecil, tujuannya agar anak terbiasa dengan rutinitas minum obat dan agar anak semangat meminum obat. Informan menceritakan perubahan positif yang ia temukan pada anak pasca pembiasaan dan proses komunikasi terapeutik yaitu munculnya inisiatif anak untuk meminum obat.

Meskipun anak mempunyai kendala dalam kemampuan berbicara, namun informan mengatakan bahwa anak dapat mengingatkan informan untuk memberikan obat pada waktu tertentu sesuai dengan waktu ia meminum obat tersebut. Faktor yang menjadi tantangan dalam mengasuh anak adalah anak mempunyai berbagai gangguan kesehatan pada pernapasan dan pencernaan. Hal ini menyebabkan anak tidak hanya mengonsumsi obat HIV, namun berbagai obat lain yang berkaitan dengan kondisinya.

Informan mempunyai anak dan cucu yang sama-sama mengidap HIV, diakui informan hal ini merupakan tantangan berat baginya. Informan juga mengatakan bahwa anaknya sudah lama mengalami gangguan psikologis dan tidak mau berobat ke psikiater. Hal ini membuat anak-anak informan menjadi emosi terhadap cucu-cucu informan, sehingga seolah-olah informan mengasuh dua orang sekaligus, karena anak-anak informan dianggap tidak mampu mengasuh anaknya sendiri dengan baik.

Tidak ada yang mengetahui kondisi positif anak dan cucunya, namun informan hanya memberitahu tetangganya mengenai kondisi cucunya yang mengalami gangguan kesehatan.

Beban Pengasuh dan Stigma

Referensi

Dokumen terkait

Pertama, rencana pelaksanaan pembelajaran RPP yang digunakan guru dalam pembelajaran memproduksi teks eksplanasi pada siswa kelas XI SMA Negeri 4 Gorontalo belum sepenuhnya sesuai