• Tidak ada hasil yang ditemukan

(2018), memperoleh 5 isolat bakteri kitinolitik yang diisolasi dari endofit bawang merah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "(2018), memperoleh 5 isolat bakteri kitinolitik yang diisolasi dari endofit bawang merah"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Seleksi Bakteri Kitinolitik

Hasil seleksi bakteri kitinolitik dari rizosfer mangrove Desa Mengkapan menggunakan media agar kitin disajikan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Hasil Seleksi dan Pengamatan Makroskopis Bakteri Kitinolitik.

No Kode Isolat

Pengamatan Makroskopis Warna

Koloni

Bentuk Koloni

Margin Koloni

Elevasi koloni

1 KM1 Putih Circular Rata Flat

2 KM2 Krem Irregular Berlekuk Flat

3 KM3 Putih

kekuningan

Circular Rata Flat

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa hasil seleksi bakteri kitinolitik dari rizosfer mangrove diperoleh 3 isolat yang berbeda. Ketiga isolat tersebut adalah isolat KM1, KM2 dan KM3. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2008), diperoleh 5 isolat bakteri kitinolitik asal sumber air panas, sedangkan Prasetya et al. (2018), memperoleh 5 isolat bakteri kitinolitik yang diisolasi dari endofit bawang merah.

Pengamatan yang telah dilakukan secara morfologi terhadap isolat bakteri kitinolitik yang diperoleh memiliki 3 warna yang berbeda yakni putih, krem dan putih kekuningan. Suprapto (2016), memperoleh isolat bakteri kitinolitik asal cangkang lobster air tawar dengan warna koloni putih dan krem. Suryanto et al.

(2005) memperoleh isolat bakteri kitinolitik asal tanah, lumpur dan cekungan penampung air pada tumbuhan dari beberapa daerah di Sumatra Utara dan Bangka. Isolat yang diperoleh memiliki warna koloni, putih, putih kuning dan putih bening. Koloni bakteri yang terbentuk pada penelitian Nufus et al. (2016), berwarna putih susu, putih dan putih kekuningan.

Bentuk koloni yang ditemukan ada dua yaitu Circular (bulat) dan Irregular (tidak beraturan). Hal ini seperti yang ditemukan oleh Nafiah et al.

(2)

memiliki margin koloni rata dan berlekuk. Hal ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian Krishanti et al. (2017) yang memperoleh bakteri entomopatogen yang mampu menghasilkan enzim kitinase dengan margin koloni rata dan berkerut.

Herdyastuti (2016) memperoleh koloni bakteri kitinolitik dengan margin rata.

Tiga isolat bakteri kitinolitik yang diperoleh memiliki elevasi koloni yang sama yaitu flat (datar), hal ini sesuai dengan penellitian Prabowo (2014), diperoleh isolat bakteri kitinolitik dengan elevasi koloni datar. Sementara itu Nawangsih et al. (2014) memperoleh isolat bakteri kitinolitik asal rizosfer kedelai dengan elevasi yang berbeda-beda diantaranya yaitu convex (cembung), raised (timbul) dan flat. Kurniawati et al. (2015), dalam penelitiannya memperoleh bakteri endofit asal tanaman padi yang memiliki kemampuan menghasilkan enzim kiitnase dengan elevasi koloni convex dan flat.

4.2 Uji Aktivitas Enzim Kitinase

Tiga isolat bakteri yang diperoleh mampu menghasilkan enzim kitinase yang ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar koloni bakteri. Zona bening yang terbentuk disebabkan aktivitas enzim kitinase yang dapat menguraikan kitin pada media. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tito (2014) yang menyatakan, bahwa isolat mampu mendegradasi kitin yang ditandai dengan adanya zona bening. Gambar zona bening dapat dilihat pada Gambar 4.1.

(3)

Zona bening Zona bening Zona bening

Gambar 4.1 Zona bening aktivitas enzim kitinase a. Isolat KM1, b. Isolat KM2 dan c. Isolat KM3

Purkan et al. (2014) dalam penelitiannya mengenai bakteri kitinolitik asal sampah organik, memperoleh sejumlah isolat yang mampu menghasilkan enzim kitinase yang ditandai dengan terbentuknya zona bening disekitar koloni bakteri.

Menurut Kuddus & Ahmad (2013), zona bening yang terbentuk karena adanya pemutusan ikatan β 1,4 homopolimer N-asetil glukosamin pada kitin oleh kitinase menjadi monomer N-asetil glukosamin.

4.3 Uji Antagonis Isolat Bakteri Kitinolitik terhadap Fusarium sp.

Uji antagonis dari isolat bakteri kitinolitik rizosfer mangrove terhadap Fusarium sp. dilakukan pada media PDA. Hasil dari pengujian tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil Uji Antagonis Isolat Bakteri Kitinolitik terhadap Fusarium sp.

No.

Kode Isolat Uji Antagonis terhadap Fusarium sp.

1. KM1 +

2. KM2 -

3. KM3 +

Keterangan:

+ : mampu menghambat Fusarium sp.

- : tidak mampu menghambat Fusarium sp.

Berdasarkan Tabel 4.2, hasil uji antagonis menunjukkan isolat KM1 dan KM3 yang bereaksi positif dalam menghambat pertumbuhan Fusarium sp.,

b c

a

(4)

(2011), perbedaan penghambatan dikarenakan komposisi lain di dalam dinding sel jamur selain kitin, laju pertumbuhan bakteri dan miselium jamur, serta adanya senyawa metabolit selain kitinase yang menjadi salah satu faktor adanya perbedaan penghambatan pada uji antagonis penghambatan bakteri kitinolitik tehadap Fusarium sp. dapat dillihat pada Gambar 4.2.

Daerah Hambat Daerah Hambat

a b c

Gambar 4.2. Daerah hambat bakteri kitinolitik terhadap Fusarium sp. (bagian hifa yang menggulung), a. Isolat kontrol Fusarium sp., b. Daerah hambat isolat KM1 dan c. Daerah

hambat isolat KM3.

Penghambatan ditandai dengan pertumbuhan hifa cendawan Fusarium sp.

yang tidak normal, yaitu hifa terlihat menggulung dan dan tidak menyebar. Hal ini terjadi karena adanya aktivitas enzim kitinase yang mendegradasi dinding sel cendawan sehingga hifa yang tumbuh menjadi tidak normal. Tampak terbentuk daerah hambat, ditandai dengan hifa cendawan yang tampak tumbuh tidak bulat pada sisi yang berbatasan dengan bakteri kitinolitik.

Bakteri yang memiliki kemampuan antibiosis biasanya memiliki senyawa yang dapat mengganggu pertumbuhan morfologis maupun fisiologis cendawan.

Penghambatan serangan cendawan patogen oleh bakteri dapat dilakukan dengan menghasilkan senyawa bioaktif yang dapat mendegradasi komponen struktural

(5)

cendawan, mempengaruhi permeabilitas membran sel cendawan dan dapat berfungsi sebagai inhibitor terhadap suatu enzim yang dihasilkan oleh cendawan (Sihombing et al., 2019). Aktivitas antagonis dari isolat bakteri kitinolitik memiliki penghambatan yang hampir sama, menyebabkan hifa cendawan patogen mengalami pertumbuhan hifa yang abnormal diantaranya hifa lisis, hifa patah, hifa bengkok, hifa melilit, hifa menggulung, dan hifa kerdil (Hanif et al., 2012).

Sementara itu isolat KM2 tidak menunjukkan adanya penghambatan terhadap pertumbuhan Fusarium sp., hal ini dikarenakan jenis enzim kitinase yang dihasilkan tidak dapat menghambat pertumbuhan Fusarium sp. namun diduga jenis enzim kitinase yang dihasilkan dapat menghambat pertumbuhan cendawan patogen lain. Muharni & Widjajanti (2011) menyatakan, berbagai organisme menghasilkan aneka jenis kitinase dengan spesifikasi terhadap substrat yang bervariasi, juga karakteristik yang berlainan.. Isolat KM2 yang tidak mampu menghambat dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3. Isolat KM2 yang tidak menunjukkan penghambatan

Kemampuan enzim kitinase dalam menghambat Fusarium sp. tersebut dapat dijadikan rujukan dalam pengembangan fungisida alami yang ramah lingkungan.

Saat ini penggunaan enzim kitinase telah banyak dilakukan dalam berbagai bidang, selain sebagai agen biokontrol dalam bidang pertanian, enzim kitinase juga berperan dalam bidang industri dan kedokteran. Sesuai dengan pernyataan Sarah & Putro (2009) yang menyatakan aplikasi enzimatik saat ini sedang berkembang dan enzim dalam industri antara lain industri makanan, minuman, industri tekstil, industri kulit dan kertas serta industri farmasi. Penggunaan enzim

(6)

Udang, Kerang, dan Kepiting. Pabrik pembekuan Udang menghasilkan limbah cangkang yang jika tidak didegradasi dapat menyebabkan pencemaran lingkungan karena meningkatkan BOD dan COD. Enzim kitinase mempercepat proses penguraian kitin yang berlangsung secara terus menerus sehingga tidak terjadi akumulasi kitin dari limbah industri dan sisa cangkang Kepiting, Udang, Kerang, dan organisme laut lainnya.

Selain itu senyawa turunan kitin hasil degradasi kitin dalam bidang kedokteran dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan benang operasi yang mempunyai keunggulan dapat diserap dalam jaringan tubuh, tidak toksik dan dapat disimpan dalam waktu yang lama (Patil et al., 2000). Sementara itu menurut Nurdebyandaru et al. (2010), monomer dari kitin yaitu N-Asetil-D-glukosamin dapat dimanfaatkan dalam bidang farmasi, diantaranya dapat digunakan sebagai obat untuk mengontrol kadar gula dalam darah dan sebagai suplemen anti inflamasi.

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini penulis ingin melihat pengaruh penggunaan pati ubi kayu dengan sumber yang berbeda yaitu industri rumah tangga, industri modern dan campuran keduanya terhadap