• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGANALISIS BEHAVIORISM DAN SOCIAL COGNITIVE THEORY (4)

N/A
N/A
RIO DANU WICAKSONO

Academic year: 2025

Membagikan "MENGANALISIS BEHAVIORISM DAN SOCIAL COGNITIVE THEORY (4)"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

Jurusan Manajemen Pendidikan

Universitas Negeri Surabaya

MENGANALISIS BEHAVIORISM DAN SOCIAL COGNITIVE THEORY

PENYUSUN

M. JAZILUL LUBAB 24010845118

ELIZABETH BRYANA STONE 24010845177

(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...i

Pendahuluan... 1

Tujuan Pembelajaran...3

Hasil Review ... ... 3

Materi...11

Behaviorism...11

Cognitivism Theory...19

Rangkuman...27

Perlatihan...27

Daftar Bacaan...28

GLOSARIUM...31

Jurusan Manajemen Pendidikan

Universitas Negeri Surabaya

(3)

Pendahuluan

Teori belajar merupakan salah satu aspek penting dalam psikologi yang membantu memahami bagaimana individu memperoleh, memproses, dan menyimpan informasi. Dalam kajian psikologi pendidikan, dua teori yang sering menjadi dasar dalam memahami proses belajar adalah Behaviorism dan Social Cognitive Theory.

Kedua teori ini memiliki pendekatan yang berbeda dalam menjelaskan bagaimana manusia belajar dan berperilaku, tetapi keduanya tetap relevan dalam berbagai konteks pembelajaran, baik di lingkungan pendidikan formal maupun nonformal.

Behaviorism merupakan teori belajar yang berfokus pada perilaku yang dapat diamati dan diukur secara objektif. Teori ini menekankan bahwa semua perilaku adalah hasil dari pengalaman dan interaksi dengan lingkungan. Behaviorisme berkembang melalui penelitian yang dilakukan oleh para psikolog seperti John B. Watson, Ivan Pavlov, dan B.F. Skinner. Watson memperkenalkan konsep stimulus-respon, yang menegaskan bahwa perilaku dapat dibentuk melalui rangsangan tertentu. Pavlov terkenal dengan eksperimennya tentang kondisioning klasik, yang menunjukkan bagaimana respons dapat dipelajari melalui asosiasi antara stimulus dan respons alami. Sementara itu, Skinner mengembangkan konsep kondisioning operan, yang menekankan bahwa perilaku dapat diperkuat atau dilemahkan melalui pemberian penguatan (reinforcement) dan hukuman (punishment).

Meskipun Behaviorism telah memberikan kontribusi besar dalam memahami perilaku manusia, teori ini dikritik karena terlalu menekankan aspek eksternal dalam pembelajaran dan mengabaikan faktor kognitif serta motivasi intrinsik individu. Untuk mengatasi keterbatasan ini, muncullah pendekatan baru yang dikenal sebagai

(4)

Social Cognitive Theory, yang diperkenalkan oleh Albert Bandura.

Social Cognitive Theory menekankan bahwa pembelajaran tidak hanya terjadi melalui pengalaman langsung, tetapi juga melalui observasi dan modeling.

Konsep utama dalam teori ini adalah pembelajaran sosial, di mana individu dapat belajar dengan mengamati perilaku orang lain serta konsekuensi yang mereka terima. Bandura juga memperkenalkan konsep self-efficacy, yaitu keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk berhasil dalam suatu tugas atau situasi tertentu. Teori ini menunjukkan bahwa faktor kognitif, seperti perhatian, memori, dan motivasi, memainkan peran penting dalam proses belajar (Febriani et al., 2023).

Baik Behaviorism maupun Social Cognitive Theory memiliki implikasi yang luas dalam dunia pendidikan dan psikologi. Behaviorism sering digunakan dalam teknik penguatan positif di kelas untuk mendorong perilaku yang diinginkan, sedangkan Social Cognitive Theory menekankan pentingnya model peran dalam pembelajaran. Dengan memahami kedua teori ini, para pendidik dan praktisi psikologi dapat merancang strategi pembelajaran yang lebih efektif untuk meningkatkan pengalaman belajar individu.

Dalam kajian lebih lanjut, makalah ini akan membahas secara mendalam prinsip-prinsip utama dari masing-masing teori, perbandingan antara keduanya, serta penerapannya dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya dalam bidang pendidikan dan psikologi perkembangan.

(5)

Tujuan Pembelajaran

a. Mahasiswa mampu memahami Behaviorism dan social cognitive theory

b. Mahasiswa mampu mengetahui Behaviorism dan social cognitive theory

c. Mahasiswa mampu menjelaskan Behaviorism dan social cognitive theory.

Hasil Review

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Walter D. Scott, Daniel Cervone, dan Onyedikachi U. Ebiringah (2024), dibahas bagaimana teori kognitif sosial dapat diterapkan secara efektif dalam praktik psikoterapi dan asesmen psikologis. Penelitian ini menekankan pentingnya memahami interaksi antara faktor pribadi, perilaku, dan lingkungan sebagai kunci dalam mempengaruhi kondisi mental individu.

Hasilnya menunjukkan bahwa penerapan teori ini mampu meningkatkan kualitas terapi melalui pendekatan yang lebih memahami cara individu belajar dari pengalaman dan interaksi sosial mereka. Dengan wawasan ini, para terapis dapat merancang intervensi yang lebih tepat sasaran berdasarkan proses kognitif unik dari setiap klien.

Penelitian yang dilakukan oleh Md Moynul Hasan, Yu Chang, Weng Marc Lim, Abul Kalam, dan Amjad Shamim (2024), dikaji bagaimana teori kognitif sosial dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku co-creation nilai pelanggan dalam konteks layanan kesehatan. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara faktor kognitif, sosial, dan lingkungan dalam memengaruhi

(6)

keterlibatan pelanggan dalam proses penciptaan nilai.

Hasilnya mengungkapkan bahwa pelanggan yang memiliki pemahaman yang baik tentang layanan dan merasa dilibatkan secara aktif, cenderung menunjukkan partisipasi yang lebih tinggi dalam menciptakan nilai bersama. Temuan ini memberikan wawasan berharga bagi penyedia layanan kesehatan untuk lebih fokus pada pemberdayaan dan edukasi pelanggan sebagai strategi peningkatan kualitas layanan dan kepuasan pengguna.

Penelitian yang dilakukan oleh Kazi Faria Islam, Abdul Awal, Hoimonty Mazumder, Ummi Rukaiya Munni, Koushik Majumder, Kohinoor Afroz, Mustari Nailah Tabassum, dan M.

Mahbub Hossain (2023), dikaji bagaimana intervensi promosi kesehatan berbasis Social Cognitive Theory (SCT) diterapkan dalam praktik pelayanan kesehatan primer. Penelitian ini merupakan studi tinjauan (scoping review) yang menganalisis berbagai penelitian terdahulu. Hasilnya menunjukkan bahwa intervensi yang dirancang berdasarkan prinsip-prinsip SCT secara konsisten memberikan dampak positif terhadap hasil kesehatan, seperti peningkatan aktivitas fisik, pengetahuan gizi, dan kepatuhan terhadap pengobatan, khususnya pada pasien pasca-transplantasi. Penelitian ini juga menekankan pentingnya memasukkan kerangka konseptual dari teori perilaku dalam perencanaan program promosi kesehatan agar lebih efektif dan berkelanjutan di tingkat pelayanan primer.

Penelitian yang dilakukan oleh Adam Abedini, Babak Abedin, dan Didar Zowghi (2024), dikembangkan sebuah

(7)

kerangka kerja yang menjelaskan bagaimana faktor lingkungan, pribadi, dan perilaku saling berinteraksi dan memengaruhi proses pembelajaran orang dewasa dalam komunitas praktik berbasis online. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga faktor tersebut memiliki peran penting dan tidak dapat dipisahkan dalam membentuk pengalaman belajar yang efektif. Elemen-elemen kunci yang teridentifikasi meliputi dukungan sosial, motivasi pribadi, serta akses terhadap sumber daya yang relevan. Penelitian ini juga menekankan pentingnya menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan suportif, agar peserta dewasa dapat lebih mudah beradaptasi, berkolaborasi, dan mencapai hasil belajar yang optimal dalam platform daring. Temuan ini memberikan kontribusi penting dalam merancang strategi pembelajaran online yang lebih terarah dan berbasis kebutuhan peserta.

Penelitian yang dilakukan oleh Allyson S. Graf, Tracy J.

Cohn, dan Maggie L. Syme (2020), teori kognitif sosial digunakan sebagai kerangka teoretis untuk memahami dan memprediksi perilaku risiko seksual di kalangan orang dewasa yang lebih tua. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa self-efficacy (keyakinan individu terhadap kemampuannya sendiri) memiliki hubungan yang signifikan terhadap kecenderungan seseorang dalam mengambil atau menghindari risiko seksual. Selain itu, faktor lingkungan, seperti dukungan sosial, norma budaya, dan akses terhadap informasi kesehatan, juga memengaruhi pengambilan

(8)

ini memberikan wawasan penting dalam pengembangan intervensi pencegahan yang lebih tepat sasaran dan efektif, khususnya dalam mengurangi risiko kesehatan seksual pada populasi lansia.

Materi

Behaviorism

Behaviorisme adalah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari segi fenomena fisik dan mengabaikan aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat, dan perasaan individu dalam suatu pembelajaran. Peristiwa belajar melatih refleks- refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Dalam Kamus Psikologi, disebutkan beberapa definisi behaviorisme:

a. Pandangan beberapa psikolog pada awal abad ke-20 yang menentang metode introspeksi; dan merekomendasikan agar psikologi dibatasi pada studi tentang perilaku yang tampak (observable behavior) sebagai dasar pertimbangan data ilmiah.

b. Sebuah sistem aliran psikologi yang dikembangkan oleh John B. Watson. Pandangan umum yang menekankan peran perilaku yang

(9)

dapat diamati (overt behavior) dan mengurangi makna proses mental.

c. Pandangan yang menyatakan bahwa perilaku manusia dan hewan dapat dipahami, bias diprediksi dan dikendalikan tanpa bantuan informasi yang berkaitan dengan kondisi mentalnya. Aliran psikologi yang menekankan bahwa psikologi terbatas pada studi tentang perilaku.

Behaviorisme adalah aliran psikologi yang didirikan oleh John B. Watson pada tahun 1913 yang berpendapat bahwa perilaku harus menjadi subjek tunggal psikologi. Behaviorisme adalah aliran yang revolusioner, persuasif dan berpengaruh, serta memiliki akar sejarah yang dalam. Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap introspeksi (yang menganalisa jiwa manusia berdasarkan laporan subjektif) dan juga Psikoanalisis (yang berbicara tentang alam bawah sadar yang tidak terlihat).

Teori psikologi belajar behaviorisme dikemukakan oleh para psikolog behavioristik. Mereka percaya bahwa perilaku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau penguatan dari lingkungan. Dengan demikian dalam praktik pembelajaran, terdapat hubungan yang erat antara reaksi perilaku dengan rangsangan (Muhajirah, 2020).

Behaviorism mulai berdiri menjadi disiplin ilmu psikologi yang sangat terkenal. John B. Watson (1878-1858), secaara umum dianggap sebagai pendiri dan tokoh behaviorism modern, percaya bahwa aliran yang memiliki pemikiran dan penelitian yang berhubungan dengan pikiran adalah tidak ilmiyah. Jika psikologi ingin menjadi sebuah ilmu pengetahuan, maka harus Menyusun dirinya sendiri di sepanjang garis-garis ilmu pengetahuan fisik, yang meneliti fenomena yang

(10)

dapat diamati dan diukur. Perilaku adalah bahan yang tepat untuk dipelajari oleh para psikolog.

Intropeksi tidak dapat diandalkan, pengalaman sadar tidak dapat diamati, dan orang-orang yang memiliki pengalaman seperti itu tidak dapat dipercaya untuk melaporkannya secara akurat (Acuña et al., 1995).

Teori belajar behaviorisme merupakan teori yang menjelaskan mengenai pembelajaran dalam kaitannya dengan peristiwa-peristiwa lingkungan.

Teori behaviorisme memberikan penekanan pada keadaan lingkunganlah yang berkaitan erat dalam proses pembelajaran. Teori belajar behaviorisme merupakan teori belajar yang menuntut seorang guru memberikan rangsangan sebagai stimulus kepada anak dan hasil dari stimulus tersebut dapat diamati dan diukur berdasarkan tujuan untuk melihat ada tidaknya perubahan tingkah laku yang signifikan.

Teori belajar behaviorisme merupakan teori psikologi yang materi kajiannya adalah perilaku yang tidak berhubungan dengan kesadaran atau struktur mental. Teori ini adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan alam yang bersifat eksperimental dan objektif dengan tujuan meramalkan dan mengontorol perilaku. Teori belajar behaviorisme menjelaskan bahwa belajar merupakan perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan tersebut terjadi melalui rangsangan atau stimulus yang menghasilkan hubungan perilaku reaktif atau respon. Stimuls tersebut berupa lingkungan belajar anak baik internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar, sedangkan respon merupakan akibat berupa reaksi fisik terhadap rangsangan/stimulus tersebut. Jadi, teori belajar behaviorisme

(11)

merupakan penguatan ikatan, hubungan, sifat dan hasil stimulus-respon (Fadhoil, 2015).

Teori belajar behaviorisme ialah teori yang mempelajari perilaku manusia. Teori ini berfokus pada peran dari belajar dalam menjelaskan tingkah laku manusia dan terjadi melalui rangsangan atau stimulus yang menimbulkan hubungan perilaku yang reaktif atau respon. Dalam teori behaviorisme, tingkah laku sepenuhnya ditentukan oleh aturan, bisa diramalkan dan bisa ditentukan. Menurut teori ini, seseorang yang terlibat dalam tingkah laku tertentu karena telah mempelajarinya atau menghubungkan tingkah laku tersebut dengan hadiah. Namun, seseorang dapat pula menghentikan tingkah laku karena belum diberi hadiah. Semua hasil tingkah laku tersebut merupakan tingkah laku yang dapat dipelajari.

Teori belajar behaviorisme merupakan proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus-respon. Belajar teori ini adalah suatu kontrol instrumental yang berasal dari lingkungan. Belajar tidaknya seorang anak bergantung pada faktor-faktor kondisional yang diberikan oleh lingkungannya. Teori belajar behaviorisme mengutamakan pengamatan tingkah laku dalam mempelajari individu dan bukan mempelajari bagian dalam tubuh atau mencermati penilaian. Teori belajar ini dapat diamati secara objektif karena jika ingin menelaah kejiwaan seseorang, maka amatilah perilaku yang muncul sehingga dapat memperoleh data yang dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya (Ismail &

Arnawa, 2018).

Teori belajar behaviorisme adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Belajar disebabkan adanya interaksi antara stimulus

(12)

dengan respon. Dalam belajar, hal yang terpenting yaitu adanya input (stimulus) dan output (respon).

Misalnya, munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Jadi hakikat dari teori belajar behaviorisme ini adalah teori yang berfokus hubungan stimulus-respon dan adanya perilaku nyata. Teori belajar behaviorisme adalah teori tentang tingkah laku manusia. Fokus utama dari teori belajar behaviorisme ini adalah perilaku yang terlihat dan penyebab luar menstimulasinya.

Belajar merupakan perubahan tingkah laku sebagai pengalaman. Belajar menurut teori ini merupakan akibat adanya interaksi antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (respon). Seseorang akan dianggap telah belajar jika dapat menunjukkan perubahan perilaku. Sedangkan teori belajar behaviorisme yang terpenting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respons.

Stimulus adalah sesuatu yang diberikan guru kepada anak, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan anak terhadap stimulus yang diberikan.

Untuk itu, segala sesuatu yang diberikan oleh guru (stimulus) dan segala sesuatu yang diterima oleh anak (respon) harus dapat diamati dan diukur.

Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat dipahami bahwa teori belajar behaviorisme memiliki konsep dasar bahwa belajar merupakan interaksi antara rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respon). Stimulus ialah rangsangan atau dorongan yang digunakan oleh guru untuk membentuk tingkah laku, sedangkan respon ialah tanggapan atau kemampuan (pikiran, perasaan, ataupun tindakan) yang ditunjukkan oleh anak setelah adanya stimulus yang diberikan oleh guru.

Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab

(13)

pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

a. Tokoh-tokoh teori Belajar Behaviorism a) Edward Lee Thorndike

Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus (segala hal yang dapat merangsang terjadinya belajar seperti pikiran, perasaan, dan gerakan) dengan respon (reaksi yang dimunculkan anak ketika belajar seperti pikiran, perasaan dan juga gerakan/tindakan). Jadi, perubahan tingkah laku dari adanya kegiatan belajar dapat berwujud sesuatu yang dapat diamati ataupun sesuatu yang tidak dapat diamati (Rizka Amalia A &

FaRidholi, 2018).

Teori Thorndike juga dikenal dengan teori koneksionisme karena menurutnya belajar adalah proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Thorndike mengemukakan tiga prinsip atau hukum belajar, antara lain: (1) Law of readines, yaitu belajar akan berhasil jika anak memiliki kesiapan untuk melakukan suatu kegiatan karena jika anak memiliki kesiapan untuk merespon maka akan menghasilkan respon yang memuaskan, (2) Law of exercise, yaitu belajar akan berhasil apabila banyak latihan dan selalu mengulang-ngulangi apa yang telah didapat, (3) Law of effect, yaitu belajar akan menjadi bersemangat apabila anak mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik.

(14)

Menurut Thorndike, pembelajaran merupakan formasi koneksi antara stimulus-respon yang dikenal dengan nama koneksionisme. Dalam teori ini terdapat 3 hukum yaitu hukum efek, hukum latihan, dan hukum kesiapan. Pada hukum efek, ketika sebuah koneksi stimulus-respon diberi imbalan positif maka koneksi diperkuat sedangkan ketika diberi imbalan negatif maka koneksi diperlemah. Pada hukum latihan, ketika stimulus dipraktekkan lebih kuat maka respon akan semakin kuat sedangkan jika stimulus jarang dipraktekkan maka respon akan semakin lemah. Adapun pada hukum kesiapan, struktur sistem saraf dan unit koneksi tertentu lebih mempengaruhi perilaku. Thorndike mengemukakan bahwa belajar ialah proses interaksi stimulus (berupa pikiran, perasaan, dan gerakan) dengan respon (yang juga berupa pikiran, perasaan, dan gerakan). Wujud dari tingkah laku ini dapat diamati maupun tidak dapat diamati. Teori ini merupakan hubungan antara stimulus dan respon yang diistilahkan dengan S-R bond. Belajar ialah pembentukan S-R sebanyak-banyaknya melalui latihan dan pengulangan dengan prinsip trial and error/coba dan salah.

Proses belajar menurut Thorndike yaitu trial and error learning yaitu belajar uji coba. Pada awalnya Thorndike melakukan eksperimen/percobaan kepada seekor kucing melalui beberapa tahap, yaitu:

kucing dimasukkan ke dalam kotak kerangkeng (puzzle box) yang dilengkapi

(15)

tombol pembuka bila disentuh; di luar kerengkeng diletakkan daging. Kucing yang ada di kerengkeng kemudian terus bergerak mencari jalan keluar tetapi gagal. Kucing tersebut kemudian melakukan usaha lagi dan gagal, keadaan ini berlangsung secara terus-menerus; Tak lama kemudian, kucing tersebut tanpa sengaja menekan tombol sehingga pintu kotak kerengkeng terbuka dan kucing tersebut dapat memakan daging yang ada didepannya. Percobaan tersebut kemudian diulang-ulangi. Pada awalnya gerakan kucing seperti pada mulanya yaitu bergerak mencari jalan keluar dan lambat menekan tombol pembuka, setelah dilakukan beberapa kali percobaan ternyata kucing tersebut mengalami kemajuan tingkah lakunya. Kucing pun dimasukkan kembali ke dalam kerengkeng (box), dan kucing tersebut menekan tombol pembuka dengan sekali usaha hingga pintu pun terbuka. Dari percobaan yang dilakukan, Thorndike menyatakan bahwa perilaku belajar manusia ditentukan oleh stimulus (rangsangan) yang ada di lingkungan sehingga dapat menimbulkan respon secara refleks. Thorndike menyimpulkan bahwa dari percobaan tersebut terdapat hukum efek (law effect), yaitu respon yang benar/tepat secara bertahap diperkuat melalui proses coba-coba, sementara respon yang tidak benat/tepat akan melemah dan menghilang. Dengan kata lain, belajar terdiri dari stimulus dan respon yang nantinya akan menghasilkan perubahan tingkah laku.

(16)

Merujuk beberapa uraian di atas, dapat dipahami bahwa menurut Thorndike belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah segala hal yang dapat merangsang terjadinya belajar seperti pikiran, perasaan, dan tindakan sedangkan respon adalah reaksi yang timbul/dimunculkan oleh anak ketika belajar yang dapat berupa pikiran, perasaan, dan tindakan. Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and error learning” (mencoba dan menemukan kesalahan; maksunya perlu mencoba dan mencoba kembali agar dapat menuju keberhasilan) or “selecting and connecting learning” (memilih dan menghubungkan pembelajaran).

b) B.F. Skinner

Skinner merumuskan teori pembelajaran yang dikenal dengan operan conditioning.

Teori ini menyatakan bahwa aspek-aspek lingkungan seperti stimulus, situasi, dan peristiwa berperan sebagai tanda-tanda untuk pemberian respon. Penguatan dapat memperkuat respon dan meningkatkan kemungkinan terjadinya respon tersebut di

waktu lain ketika mendapat

stimulus/rangsangan. Jadi, hal ini mengisyaratkan bahwa aspek lingkungan seperti stimulus dan penguatan menjadi alur kunci dalam menciptakan respon yang diharapkan dan akan kembali muncul di waktu/masa yang akan datang.

Skinner adalah tokoh behavioris yang mengemukakan bahwa perilaku individu dikontrol melalui proses operant

(17)

conditioning dimana seseorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement (penguatan) yang bijaksana dalam lingkungan yang besar . Menurut skinner, hubungan antara stimulus-respon yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungan akan menimbulkan perubahan tingkah laku pada anak. Pada dasarnya, stimulus atau rangsangan yang diberikan kepada anak akan mempengaruhi bentuk respon yang akan diberikan. Begitu pula dengan respon yang nantinya akan dimunculkan akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi. Dari konsekuensi inilah yang pada gilirannya akan mempengaruhi atau menjadi pertimbangan munculnya sebuah perilaku.

Olehnya, untuk memahami tingkah laku anak secara benar, terlebih dahulu perlu memahami hubungan antara stimulus satu dengan yang lainnya, memahami respon yang kemungkinan muncul, serta memahami konsekuensi yang kemungkinan akan timbul sebagai akibat dari respon tersebut (Muhajirah, 2020).

Menurut skinner, ada 3 konsep yang berhubungan dengan operan conditioning yaitu: (1) penguatan positif (positive reinforcement), adalah penguatan yang menimbulkan kemungkinan bertambahnya tingkah laku. Contohnya: seorang anak mencapai prestasi yang baik diberikan hadiah maka anak tersebut akan mengulangi prestasi itu dengan harapan bisa mendapatkan hadiah lagi, (2) penguatan negatif (negatif reinforcement),

(18)

adalah penguatan yang menimbulkan perasaan tidak menyenangkan sehingga mengurangi terjadinya tingkah laku.

Contohnya: seorang anak akan meninggalkan kebiasaan terlambat mengumpulkan tugas karena tidak tahan dimarahi oleh gurunya, (3) hukuman (punishment), adalah respon yang diberi konsekuensi yang tidak menyenangkan akan membuat anak tertekan. Contohnya:

seorang anak yang tidak mengerjakan tugas tidak diperbolehkan bermain bersama temannya sebagai bentuk hukuman.

Sehingga, hadiah dan penguatan merupakan faktor yang penting dalam belajar. Teori operan conditioning ini merupakan penguatan perilaku yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang kembali atau menghilang sesuai keinginan. Teori ini menjamin respon terhadap rangsangan/stimulus. Bila tidak memunculkan rangsangan maka guru tidak dapat membimbing anak untuk mengarahkan tingkah lakunya. Untuk itu, guru memiliki perlu mengarahkan dan mengontrol anak dalam pembelajaran agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai.

Lebih lanjut, skinner menyarankan agar hukuman dihindari karena adanya hasil yang bersifat emosional dan tidak menjamin timbulnya tingkah laku positif yang diinginkan.(Abidin, 2022)

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa teori belajar skinner adalah teori yang menekankan pada tingkah laku manusia dan memandang bahwa individu akan memberi respon

(19)

terhadap lingkungan dan pengalaman akan membentuk perilaku. Selain itu, menurut Skinner unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan.

Maksudnya, pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus-respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Penguatan ini bisa dalam bentuk penguatan postif dan penguatan negatif. Penguatan positif sebagai stimulus dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku seperti memberi hadiah, perilaku, dan penghargaan sedangkan penguatan negatif sebagai stimulus dapat mengakibatkan perilaku berkurang bahkan menghilang seperti menunjukkan perilaku tidak senang, menunda memberi penghargaan, dan memberikan tugas tambahan.

Cognitivism Theory

Konsep dasar teori kognitif menekankan pada proses mental yang terjadi dalam pembelajaran, seperti persepsi, pemahaman, memori, danpemecahan masalah. Konsep kognitif dalam teori perkembangan kognitif, terutama yang dikemukakan oleh Jean Piaget. Jean Piaget lahir pada tanggal 1989 di Neuhatel, Swiss, Ayahnya adalah seorang profesor dengan spesialis ahli sejarah abad pertengahan, ibunya adalah seorang yang dinamis, inteligen dan takwa. Waktu mudanya Piaget sangat tertarik pada alam, ia sukamengamati burung-burung, ikan dan binatang-binatang di alam bebas. Itulah sebabnya ia sangat tertarik pada pelajaran biologi di sekolah. Pada waktu umur 10 tahun ia sudah menerbitkan karangannya yang pertama tentang burung pipit albino dalam majalah ilmu pengetahuan alam. Piaget juga mulai belajar tentang moluska dan menerbitkan seri karangannya tentang moluska, karena karangan

(20)

yang bagus, pada umur 15 tahun ia ditawari suatu kedudukan sebagai kurator moluska di museum ilmu pengetahuan alam di Geneva. Ia menolak tawaran tersebut ia harus menyelesaikan sekolah menengah lebih dahulu (Ibda, 2015).

Menurut Langeveld, pedagogi atau ilmu pendidikan adalah ilmu yang tidak hanya memeriksa objek untuk mengetahui bagaimana kondisi atau sifat objek tersebut mengetahui bagaimana kondisi atau sifat suatu benda, tetapi juga mempelajari bagaimana cara bertindak Objek pendidikan adalah proses atau situasi pendidikan.

Sementara itu, Pendidikan agama atau pedagogi merupakan suatu teori pendidikan, pemikiran tentang pendidikan. Dalam arti yang luas pedagogi adalah ilmu yang mempelajari masalah-masalah Pendidikan yang muncul dalam praktek Pendidikan (Suhendi et al., 2021)

Menurut teori kognitif sosial, manusia adalah peserta aktif dalam kehidupan mereka, bukan penerima pasif dari perubahan yang disebabkan oleh peristiwa lingkungan dalam otak mereka.

Manusia menggunakan sistem sensorik, motorik, dan mental mereka sebagai alat untuk menyelesaikan aktivitas dan mencapai tujuan yang memberikan arah dan makna hidup bagi mereka.

Konsep agensi interaktif yang muncul didukung oleh teori kognitif sosial. Manusia bukanlah pembawa mekanis dari rangsangan lingkungan yang hidup maupun aktor yang otonom. Berbeda dengan zat tak berwujud yang ada di luar sistem saraf, peristiwa mental sebenarnya adalah aktivitas otak (Almogren & Aljammaz, 2022).

Setelah mempelajari dan tertarik dengan ilmu biologi, lalu kemudian ia mengalihkan fokusnya ke perkembangan intelektual (termasuk tahap perkembangan anaknya sendiri) dan mulai pengaruh besar pada konsep kognitif dalam perkembangan kepribadian. Piaget, ahli biologi

(21)

yang memperoleh nama sebagai psikolog anak karena mempelajari perkembangan inteligensi, menghabiskan ribuan jam mengamati anak yang sedang bermain dan menanyakan mereka tentang perilaku dan perasaannya. Ia tidak mengembangkan teori sosialisasi yang komprehensif, tetapi memusatkan perhatian pada bagaimana anak belajar, berbicara, berfikir, bernalar dan akhirnya membentuk pertimbangan moral. Bersama dengan istrinya yang bernama Valentine Catenay yang menikah pada tahun 1923, ia awal mulanya meneliti anaknya sendiri yang lahir pada tahun 1925, 1927 dan 1931 dan hasil pengamatan tersebut di publikasikan dalam the origins of inteligence in children dan the construction of reality in the child pada bab yang membahas tahap sensorimotor.

Setiap orang memiliki Tingkat kognitif yang berbeda dari anak-anak hingga dewasa atau secara kronologis sesuai dengan urutan waktu kelahiran.

Selain itu, perkembangan kognitif ini meningkatkan seiring dengan semakin dewasanya seseorang.

Kembali pada perkembangan kognitif, Piaget meyakini bahwa perkembangan kognitif ini seseorang itu memiliki empat tahap. Yaitu tahap sensorimotor (0-2 tahun), tahap pra-oprasional (2-7 tahun), tahap oprasional kongkret (7-11 tahun), dan tahap operasional formal (11 tahun keatas). Pada tahap sensorimotor, anak mengenali lingkungannya dengan pasca indranya sehingga ia beraksi secara langsung terhadap aktivitas pengenalan ini.

Selanjutnya, tahap pra-operasional, anak mulai menggunakan Bahasa simbolik berupa gambar atau lisan yang diperolehnya dari belajar melalui pengulangan. Kemudian, taha operasional kongkrit, Dimana anak mengaplikasikan pemikiran pada objek-objek kongkret atau nyata, belum abstrak, selanjutnya hipotesis. Kemudian tahap terakhir yang dilalui oleh anak adalah tahap operasi formal

(22)

Dimana anak dapat bernalar tanpa harus mendapatkan Gerakan langsung (Patricia et al., 2022).

Menurut Piaget, anak dilahirkan dengan beberapa skemata sensorimotor, yang memberi kerangka bagi interaksi awal anak dengan lingkungannya. Pengalaman awal si anak akan ditentukan oleh skemata sensorimotor ini. Dengan kata lain, hanya kejadian yang dapat diasimilasikan ke skemata itulah yang dapat di respons oleh si anak, dan karenanya kejadian itu akan menentukan batasan pengalaman anak. Tetapi melalui pengalaman, skemata awal ini dimodifikasi. Setiap pengalaman mengandung elemen unik yang harus di akomodasi oleh struktur kognitif anak. Melalui interaksi dengan lingkungan, struktur kognitif akan berubah, dan memungkinkan perkembangan pengalaman terus-menerus. Tetapi menurut Piaget, ini adalah proses yang lambat, karena skemata baru itu selalu berkembang dari skemata yang sudah ada sebelumnya. Dengan cara ini, pertumbuhan intelektual yang dimulai dengan respons refleksif anak terhadap lingkungan akan terus berkembang sampai ke titik di mana anak mampu memikirkan kejadian potensial dan mampu secara mental mengeksplorasi kemungkinan akibatnya (Hergenhahn, 2010).

Teori cognitive ini memiliki beberapa aspek pengembangan intelektual: pertama. Struktur Untuk sampai pada pengertian struktur, diperlukan suatu pengertian yang erat hubungannya dengan struktur yaitu pengertian operasi. Piaget berpendapat bahwa ada hubungan fungsional antara tindakan fisik dan tindakan mental dan perkembangan berfikir logis anak-anak. Tindakan (action) menuju pada perkembangan operasi dan operasi selanjutnya menuju pada perkembangan

(23)

struktur (Ratna, 2011). Operasi-operasi ini mempunyai empat ciri, yaitu:

Pertama, Operasi merupakan tindakan yang terinternalisasi. Ini berarti antara tindakan- tindakan itu. Baik tindakan mental maupun tindakan fisik tidak terdapat pemisah-misah, misalnya seorang anak mengumpulkan semua kelerang kuning dan merah, tindakannya ialah merupakan baik tindakan mental maupun fisik.

Secara fisik ia memindahkan kelereng-kelereng itu, tetapi tindakannya itu dibimbing oleh hubungan

“sama” dan “berbeda” yang diciptakannya dalam pikirannya. Kedua, Operasi-operasi itu reversible.

Misalnya menambah dan mengurangi merupakan operasi yang sama yang dilakukan dengan arah yang berlawanan. Sebagai contoh: 2 dapat ditambahkan dengan 1 untuk memperoleh 3, atau 1 dapat dikurangi dari 3 untuk memperoleh 2. Ketiga , tidak ada operasi yang berdiri sendiri. Suatu operasi selalu berhubungan dengan struktur atau sekumpulan operasi. Misalnya operasi penambahan-pengurangan berhubungan dengan operasi klasifikasi, pengurutan, dan konservasi bilangan. Operasi itu asli saling membutuhkan. Jadi operasi itu adalah tindakan-tindakan mental yang terinternalisasi, reversible, tetap dan terintegrasi dengan struktur-struktur dan operasi-operasi lainnya. Selanjutnya yang terakhir struktur juga disebut skemata merupakan organisasi mental yang tinggi, satu tingkat lebih tinggi dari individu waktu ia berinteraksi dengan lingkungannya. Struktur yang terbentuk lebih memudahkan individu itu menghadapi tuntutan-tuntutan yang makin meningkat dari lingkungannya. Diperolehnya suatu struktur atau skemata berarti telah terjadi suatu perubahan dalam perkembangan intelektual anak (Ratna, 2011).

(24)

Kedua, isi. Hal yang dimaksud dengan isi ialah pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada respons yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi-situasi yang dihadapinya.

Anatara tahun 1920 dan 1930 perhatian Piaget dalam penelitiannya tertuju pada isi pikiran anak, misalnya perubahan dalam kemampuan penalaran semenjak kecil sekali hingga agak besar, konsepsi anak tentang alam sekitarnya yaitu pohon-pohon, matahari, bulan, dan konsepsi tentang beberapa peristiwa alam (Ratna, 2011).

Ketiga, Fungsi ialah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan-kemajuan intelektual. Menurut Piaget perkembangan intelektual didasarkan pada 2 fungsi yaitu organisme dan adaptasi. Fungsi organisme untuk mensistematikkan proses fisik atau psikologi menjadi sistem yang teratur dan berhubungan atau berstruktur, seperti halnya seorang bayi mempunyai struktur-struktur perilaku untuk memfokuskan visual dan memegang benda secara terpisah. Pada suatu saat dalam perkembangannya, bayi itu dapat mengorganisasi kedua struktur perilaku ini menjadi struktur tingkat tinggi dengan memegang suatu benda sambil melihat benda itu, dengan organisasi, struktur fisik dan psikologis diintergrasi menjadi struktur tingkat tinggi. Piaget melihat perkembangan intelektual sebagai proses membangun model realitas dalam diri dalam rangka memperoleh informasi mengenai cara-cara membangun gambaran batin tentang dunia luar, sebagian besar masa kecil kita dihabiskan untuk aktif mempelajari diri kita sendiri dan dunia luar.

Mungkin anda pernah memperhatikan, anak-anak yang masih sangat belia pun sudah punya rasa ingin tahu yang besar tentang kemampuan diri dan lingkungan sekitarnya (Ratna, 2011).

(25)

Perkembangan kognitif merupakan pertumbuhan berfikir logis dari masa bayi hingga dewasa, Piaget percaya, bahwa kita semua melalui keempat tahap tersebut, meskipun mungkin setiap tahap dilalui dalam usia berbeda. Setiap tahap dimasuki ketika otak kita sudah cukup matang untuk memungkinkan logika jenis baru atau operasi (Jarvis, 2011). Semua manusia melalui setiap tingkat, tetapi dengan kecepatan yang berbeda, jadi mungkin saja seorang anak yang berumur 6 tahun berada pada Tingkat operasional konkrit, sedangkan ada seorang anak yang berumur 8 tahun masih pada tingkat pra-operasional dalam cara berfikir. Namun urutan perkembangan intelektual sama untuk semua anak, struktur untuk tingkat sebelumnya terintegrasi dan termasuk sebagai bagian dari tingkat-tingkat berikutnya (Ratna, 2011).

a. Tahap Sensorimotor

Sepanjang tahap ini mulai dari lahir hingga berusia dua tahun, bayi belajar tentang diri mereka sendiri dan dunia mereka melalui indera mereka yang sedang berkembang dan melalui aktivitas motor (Diane, 2008). Aktivitas kognitif terpusat pada aspek alat dria (sensori) dan gerak (motor), artinya dalam peringkat ini, anak hanya mampu melakukan pengenalan lingkungan dengan melalui alat drianya dan pergerakannya. Keadaan ini merupakan dasar bagi perkembangan kognitif selanjutnya, aktivitas sensori motor terbentuk melalui proses penyesuaian struktur fisik sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan (Surya, 2003).

b. Tahap Pra-operasional

Pada tingkat ini, anak telah menunjukkan aktivitas kognitif dalam menghadapi berbagai hal diluar dirinya. Aktivitas

(26)

berfikirnya belum mempunyai sistem yang teroganisasikan. Anak sudah dapat memahami realitas di lingkungan dengan menggunakan tanda-tanda dan simbol.

Cara berpikir anak pada pertingkat ini bersifat tidak sistematis, tidak konsisten, dan tidak logis. Hal ini ditandai dengan ciri-ciri:

a) Transductive reasoning, yaitu cara berfikir yang bukan induktif atau deduktif tetapi tidak logis. Ketidak jelasan hubungan sebab-akibat, yaitu anak mengenal hubungan sebabakibat secara tidak logis.

b) Animisme, yaitu menganggap bahwa semua benda itu hidup seperti dirinya.

c) Artificialism, yaitu kepercayaan bahwa segala sesuatu di lingkungan itu mempunyai jiwa seperti manusia.

d) Perceptually bound, yaitu anak menilai sesuatu berdasarkan apa yang dilihat atau di dengar.

e) Mental experiment yaitu anak mencoba melakukan sesuatu untuk menemukan jawaban dari persoalan yang dihadapinya.

f) Centration, yaitu anak memusatkan perhatiannya kepada sesuatu ciri yang paling menarik dan mengabaikan ciri yang lainnya.

g) Egosentrisme, yaitu anak melihat dunia lingkungannya menurut kehendak dirinya.

c. Tahap Operasional Kongkrit

Pada tahap ini, anak sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika atau operasi, tetapi hanya untuk objek fisik yang ada saat ini. Dalam tahap

(27)

ini, anak telah hilang kecenderungan terhadap animism dan articialisme.

Egosentrisnya berkurang dan kemampuannya dalam tugas-tugas konservasi menjadi lebih baik. Namun, tanpa objek fisik di hadapan mereka, anak- anak pada tahap operasional kongkrit masih mengalami kesulitan besar dalam menyelesaikan tugas-tugas logika (Jarvis, 2011). Sebagai contoh anak-anak yang diberi tiga boneka dengan warna rambut yang berlainan (edith, susan dan lily), tidak mengalami kesulitan untuk mengidentifikasikan boneka yang berambut paling gelap. Namun ketika diberi pertanyaan, “rambut edith lebih terang dari rambut susan. Rambut edith lebih gelap daripada rambut lily. Rambut siapakah yang paling gelap?”, anak-anak pada tahap operasional kongkrit mengalami kesulitan karena mereka belum mampu berpikir hanya dengan menggunakan lambanglambang.

d. Tahap Operasional Formal

Pada umur 12 tahun keatas, timbul periode operasi baru. Periode ini anak dapat menggunakan operasi-operasi konkritnya untuk membentuk operasi yang lebih kompleks (Jarvis, 2011).

Kemajuan pada anak selama periode ini ialah ia tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda atau peristiwa konkrit, ia mempunyai kemampuan untuk berpikir abstrak. Anak-anak sudah mampu memahami bentuk argumen dan tidak dibingungkan oleh sisi argumen dan karena itu disebut operasional formal.

(28)

Rangkuman

Behaviorisme Teori ini menekankan pada perilaku yang dapat diamati dan diukur sebagai hasil interaksi dengan lingkungan. Tokoh-tokoh penting dalam Behaviorisme termasuk John B. Watson, Ivan Pavlov, dan BF Skinner. Behaviorisme mengabaikan aspek mental dan tekanan pada pembentukan kebiasaan melalui rangsangan (stimulus) dan reaksi (respon). Teori Kognitif Sosial Teori ini menekankan bahwa pembelajaran terjadi melalui observasi, pemodelan, dan faktor kognitif seperti perhatian, memori, dan motivasi. Albert Bandura adalah tokoh utama dalam teori ini, yang memperkenalkan konsep pembelajaran sosial dan efikasi diri.

Penerapan dalam Pendidikan dan Psikologi Behaviorisme digunakan dalam teknik penguatan positif untuk mendorong perilaku yang diinginkan.

Teori Kognitif Sosial menekankan pentingnya model peran dalam pembelajaran. Tokoh-tokoh Teori Belajar Behaviorisme, Edward Lee Thorndike: Belajar adalah interaksi antara stimulus dan respon. Teori koneksionisme pembentukan koneksi antara stimulus dan respon melalui kesiapan hukum, latihan, dan efek.

Proses belajar terjadi melalui trial and error learning.

Perlatihan

1. Apa perbedaan utama antara teori belajar Behaviorisme dan Teori Kognitif Sosial dalam menjelaskan bagaimana individu belajar?

2. Menjelaskan bagaimana konsep stimulus-respon dalam Behaviorisme diterapkan dalam praktik pendidikan, memberikan contoh konkret.

3. Bagaimana Teori Kognitif Sosial menekankan peran observasi dan pemodelan dalam proses pembelajaran?

(29)

4. Apa yang dimaksud dengan efikasi diri dalam Teori Kognitif Sosial, dan mengapa konsep ini penting dalam konteks pendidikan?

5. Menjelaskan bagaimana hukum efek (law of effect) yang dikemukakan oleh Thorndike mempengaruhi proses belajar menurut teori koneksionisme.

(30)

Daftar Bacaan

Abidin, A. M. (2022). Penerapan Teori Belajar Behaviorisme Dalam Pembelajaran (Studi Pada Anak).

An-Nisa, 15(1), 1–8.

https://doi.org/10.30863/an.v15i1.3315

Abedini, A., Abedin, B., & Zowghi, D. (2024). A Framework of Environmental, Personal, and Behavioral Factors of Adult Learning in Online Communities of Practice.

Information Systems Frontiers, 26(3), 1201-1218.

https://doi.org/10.1007/s10796-023-10417-2

Acuña, M. H., Ogilvie, K. W., Baker, D. N., Curtis, S. A., Fairfield, D. H., & Mish, W. H. (1995). The Global Geospace Science Program and its investigations. In Space Science Reviews (Vol. 71, Issues 1–4).

https://doi.org/10.1007/BF00751323

Almogren, A. S., & Aljammaz, N. A. (2022). The integrated social cognitive theory with the TAM model: The impact of M-learning in King Saud University art education. Frontiers in Psychology, 13(November).

https://doi.org/10.3389/fpsyg.2022.1050532

B.R. Hergenhahn & Matthew H. Olson, Theories of Learning (Teori Belajar), alih bahasa: Tri Wibowo B.S., Cet. III, Jakarta: Prenada Media Group, 2010, hal. 313 Diane, E. Papalia, Sally Wendkos Old and Ruth Duskin Feldman, Psikologi Perkembangan, Cet. I, Jakarta:

Kencana, 2008, hal. 212

Fadhoil. (2015). implementasi pendidikan humanistik dan behavioristik dalam metode pembelajaran akidah Akhlak pada MI al falah kaliangkrik dan MI al islam tonoboyo bandongan kabupaten magelang tahun pelajaran 2014/2015. Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah, 86–87.

Febriani, N. K. D., Utami, N. W., & Putri, I. G. A. P. D.

(2023). Analisis Behavioral Intention dan Use

(31)

Behavior Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) Pada UMKM Dengan Metode UTAUT 2 di Kota Denpasar. Jurnal Ilmiah Teknologi Informasi Asia, 17(1), 67. https://doi.org/10.32815/jitika.v17i1.890 Graf, A. S., Cohn, T. J., & Syme, M. L. (2020). Social

Cognitive Theory as a Theoretical Framework to Predict Sexual Risk Behaviors among Older Adults.

Clinical Gerontologist, 44(3), 331–344.

https://doi.org/10.1080/07317115.2020.1825584 Hasan, M. M., Chang, Y., Lim, W. M., Kalam, A., & Shamim,

A. (2024). A Social Cognitive Theory of Customer Value Co- Creation Behavior: Evidence From Healthcare. Journal of Health Organization and Management, 38(9), 360- 388. https://doi.org/10.1108/JHOM-02-2024-0074

Ibda, F. (2015). Perkembangan Kognitif: Teori Jean Piaget.

Intelektualita, 3(1), 242904.

Islam, K. F., Awal, A., Mazumder, H., Munni, U. R., Majumder, K., Afroz, K. & Hossain, M. M. (2023).

Social Cognitive Theory-Based Health Promotion in Primary Care Practice: A Scoping Review. Heliyon, 9(4).

https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2023.e14889

Ismail, R. N., & Arnawa, I. M. (2018). Improving Students`

Reasoning and Communication Mathematical Ability by Applying Contextual Approach of The 21st Century at A Junior High School In Padang. XIII(11), 76–88. https://doi.org/10.2991/icm2e-18.2018.34 Muhajirah, M. (2020). Basic of Learning Theory.

International Journal of Asian Education, 1(1), 37–42.

https://doi.org/10.46966/ijae.v1i1.23

Matt Jarvis, Teori-Teori Psikologi, Cet. X, Bandung: Nusa Media, 2011, hal. 142

Mohd. Surya, Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran, Cet. II, Bandung: Yayasan Bhakti Winaya, 2003, hal.

56

(32)

Patricia, Y., Laja, W., Hijriani, L., & Timor, U. (2022). K r e a n o. 13(1), 33–42.

Rizka Amalia A, & FaRidholi, A. N. (2018). Teori Behavioristik. Journal of Chemical Information and

Modeling, 53(9), 1689–1699.

http://eprints.umsida.ac.id/1402/#

Ratna Wilis Dahar, Theories Belajar dan Pembelajaran, Cet. V, Jakarta: Erlangga, 2011, hal. 34

Scott, W. D., Cervone, D., & Ebiringah, O. U. (2024). The Social-Cognitive Clinician: On the Implications of Social Cognitive Theory for Psychotherapy and Assessment. International Journal of Psychology, 59(5), 616-623.

https://doi.org/10.1002/ijop.13125

Suhendi, A., Purwarno, P., & Chairani, S. (2021).

Constructivism-Based Teaching and Learning in Indonesian Education. KnE Social Sciences, 2021, 76–

89. https://doi.org/10.18502/kss.v5i4.8668

(33)

GLOSARIUM

1. Behaviorsm sebuah pendekatan dalam psikologi yang menekankan bahwa semua tindakan, pikiran, dan perasaan organisme dapat dan harus dianggap sebagai perilaku yang dapat diamati.

2. Cognitive Merujuk pada semua aktivitas mental yang berkaitan dengan berpikir, memahami, dan mengingat.

3. Signifikan adalah sebuah unsur yang mendekati/penting 4. Transductive reasoning, yaitu cara berfikir yang bukan

induktif atau deduktif tetapi tidak logis.

5. Animisme, yaitu menganggap bahwa semua benda itu hidup seperti dirinya.

6. Artificialism, yaitu kepercayaan bahwa segala sesuatu di lingkungan itu mempunyai jiwa seperti manusia.

7. Perceptually bound, yaitu anak menilai sesuatu berdasarkan apa yang dilihat atau di dengar.

8. Mental experiment yaitu anak mencoba melakukan sesuatu untuk menemukan jawaban dari persoalan yang dihadapinya.

9. Centration, yaitu anak memusatkan perhatiannya kepada sesuatu ciri yang paling menarik dan mengabaikan ciri yang lainnya.

10. Egosentrisme, yaitu anak melihat dunia

lingkungannya menurut kehendak dirinya.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Skinner seperti yang dikutip oleh Noto Atmodjo (2003) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan

Howard dan Shet (1967) menjelaskan bahwa teori perilaku konsumen dapat dilihat dari proses, yaitu input yang berupa rangsangan pemasaran dan lingkungannya yang akan